Anda di halaman 1dari 9

Bentuk Perjuangan Diplomasi dalam Mempertahankan Kemerdekaan

Sikap perlawanan rakyat Indonesia di berbagai daerah menyadarkan pihak sekutu bahwa mereka
tidak dapat mengabaikan perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.
Kesadaran itu mendorong Sekutu untuk mempertemukan pihak Republik Indonesia dan Belanda
di meja perundingan. Para pemimpin bangsa Indonesia pun menunjukkan niat baiknya untuk
menyelesaikan perselisihan Indonesia Belanda dengan cara-cara damai.

1. Perundingan-Perundingan Awal
Rencana untuk mempertemukan pihak Indonesia dengan pihak Belanda di meja perundingan,
diprakarsai oleh Panglima AFNEI, yaitu Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Pemerintah
Inggris segera mengirim Sir Archibald Clark Kerr ke Indonesia dan selanjutnya bertindak
sebagai penengah dalam perundingan-perundingan Indonesia-Belanda.

Perundingan antara Indonesia dengan Belanda dimulai pada tanggal 10 Februari 1946. Dalam
perundingan ini delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir dan delegasi
Belanda dipimpin oleh van Mook. Pertemuan yang diadakan di Jakarta itu ternyata tidak
membuahkan hasil karena masing-masing pihak tetap pada pendiriannya.

Pada awal perundingan van Mook menyampaikan pernyataan pemerintah Belanda yang isinya
mengulangi pidato Ratu Wilhelmina pada tanggal 7 Desember 1942, yaitu:
 Indonesia akan dijadikan negara persemakmuran yang memiliki pemerintahan sendiri
dalam lingkungan Kerajaan Belanda.
 Masalah dalam negeri diurus Indonesia dan luar negeri diurus oleh pemerintah Belanda.

Pihak Indonesia secara tegas menolak pernyataan van Mook dan berpegang pada pendirian
bahwa Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas jajahan
Belanda. Pada tanggal 12 Maret 1946, pemerintah Republik Indonesia menyerahkan pernyataan
penolakannya. Sekalipun perundingan di Jakarta mengalami kegagalan, tetapi pertemuan itu
telah menyejajarkan Republik Indonesia, Belanda, dan Inggris di meja perundingan yang
kemudian menjadi dasar perundingan-perundingan selanjutnya.
Setelah perundingan- perundingan itu, pasukan Sekutu secara berangsur-angsur mulai
mengosongkan daerah-daerah yang didudukinya dan selanjutnya diganti oleh tentara Belanda.

2) Perundingan Linggajati

Pada tanggal 10 November 1946, pihak Indonesia dan Belanda kembali mengadakan
perundingan di Linggajati. Perundingan itu dipimpin oleh Lord Killern. Dalam perundingan
Linggajati itu, delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Soetan Sjahrir dan anggotanya
antara lain Presiden Soekarno, Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta, Dr. Leimena, Dr. A. K. Gani,
Mr. Moh. Roem, Mr. Amir Syarifuddin, dan Mr. Ali Boediardjo.

Dari pihak Belanda dipimpin oleh van Mook dengan anggotanya antara lain Mr. van Pool dan E.
de Boer. Seperti sebelumnya, perundingan ini pun berjalan sangat alot karena baik pihak
Republik Indonesia maupun Belanda berpegang teguh pada prinsipnya masing-masing. Pada
tanggal 15 November 1946, perundingan mencapai persetujuan yang terdiri dari 17 pasal, di
antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut:

 Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia atas wilayah Sumatra, Jawa dan
Madura. Belanda segera menarik mundur tentaranya dari daerah-daerah itu paling lambat 1
Januari 1949.
 Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama untuk membentuk negara federasi
dengan nama Republik. Indonesia Serikat yang salah satu negara bagiannya adalah Republik
Indonesia.
 Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan
Ratu Belanda sebagai ketuanya.

3) Komisi Tiga Negara

Agresi militer yang dilancarkan Belanda menimbulkan reaksi hebat dari berbagai negara. Pada
tanggal 30 Juli 1947 pemerintah India dan Australia mengajukan permintaan secara resmi kepada
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) agar masalah Indonesia segera
dimasukan dalam daftar acara DK PBB.

Permintaan itu diterima pada tanggal 1 Agustus 1947. Dewan Keamanan PBB memerintahkan
gencatan senjata pada kedua belah pihak yang sudah harus berlaku pada tanggal 4 Agustus 1947.
Pada tanggal 14 Agustus 1947, DK PBB mengadakan sidang untuk membahas masalah Republik
Indonesia Belanda.

Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah komisi konsuler yang beranggotakan beberapa
konsul jenderal di Indonesia untuk mengawasi jalannya gencatan senjata. Komisi konsuler
diketuai oleh Konsul Jenderal Amerika Serikat, yaitu Dr. Walter Foote, sedangkan anggotanya
terdiri dari Konsul Jenderal Cina, Belgia, Prancis, Inggris, dan Australia.

Walaupun gencatan senjata itu diawasi oleh komisi konsuler, pihak Belanda ternyata tidak
menaati perintah tersebut. Belanda tetap saja mengadakan serangan-serangan dan berusaha
menduduki wilayah-wilayah Republik Indonesia. Batas terakhir dari wilayah-wilayah yang
dikuasainya ditetapkan Belanda sebagai garis demarkasi yang kemudian dikenal dengan "Garis
van Mook".

Akibat pelanggaran itu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian memang-gil


kembali wakil-wakil dari kedua belah pihak yang bertikai untuk mengadakan perundingan.
Dalam perundingan itu, Indonesia dengan tegas menolak garis demarkasi yang dipaksakan oleh
pihak Belanda.

Dalam perdebatan itu, Amerika Serikat mengusulkan agar sebaiknya dibentuk sebuah komisi
jasa-jasa baik untuk membantu menyelesaikan pertikaian. Usul Amerika Serikat itu diterima baik
oleh DK PBB yang kemudian memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk memilih
sendiri satu negara sebagai wakilnya. Indonesia kemudian memilih Australia, Belanda memilih
Belgia, dan kedua negara itu menetapkan Amerika sebagai penengah.

Maka, terbentuklah Komisi Jasa-Jasa Baik yang kemudian terkenal dengan nama Komisi Tiga
Negara (KTN). Dalam KTN ini, Australia diwakili oleh Richard Kirby, Belgia diwakili Paul van
Zeeland, dan Amerika diwakili oleh Dr. Frank Graham. Pada tanggal 27 Oktober 1947, wakil-
wakil KTN telah tiba di Jakarta untuk melaksanakan tugasnya.

4) Perundingan Renville

Komisi Tiga Negara berhasil mendekatkan pihak Republik Indonesia-Belanda untuk kembali
mengadakan perundingan yang kemudian dilaksanakan di atas kapal pengangkut pasukan
Amerika USS Renville yang saat itu sedang berlabuh di Teluk Jakarta.

Sebelum perundingan dilangsungkan, pemerintah Republik Indonesia membentuk sebuah panitia


istimewa yang dipimpin oleh Dr. J. Leimena. Panitia tersebut beranggotakan Mr. Abdul Madjid,
Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo, Mayor Jenderal Didi Kartasasmita, Kolonel Simbolon, dan
Letnan Kolonel Bustomi. Pihak Belanda juga membentuk panitia yang sama dipimpin oleh van
Vredenburgh dengan anggotanya Kolonel Drost, Mr. Zulkamaen, Letnan Kolonel Surio Santoso,
Dr. Stuyt, dan Dr. P. J. Koets.

Pada tanggal 8 Desember 1947, per-undingan dimulai di atas Kapal USS Renville. Oleh karena
itu, perundingan ini kemudian disebut dengan Perundingan Renville. Dalam perundingan itu,
delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan Ali Sastroamidjojo
sebagai wakilnya, sedangkan anggotanya adalah dr. Tjoa Siek Ien, Sutan Syahrir, H. Agus Salim,
Mr. Nasrun, dan dua orang anggota cadangan, yaitu Ir. H. Djuanda dan Setiadji, serta 32 orang
penasihat.

Delegasi Belanda dipimpin oleh Raden Abdul Kadir Widjojoatmodjo dan Mr. van P. J Koets,
Mr. Ch.R. Soumokil, Tengku Zulkarnaen, Mr. Adjie Kartanegara, Mr. Masjarie, Thi Thian
Tjiong, Mr. A.H. Ophuysen, dan A.Th. Band sebagai sekretarisnya.

Perundingan Renville ini ternyata berlangsung sangat alot dan tersendat karena seperti dalam
perundingan-perundingan sebelumnya, pihak Belanda ingin memaksakan kehendaknya dan tidak
mempunyai niat untuk mengakhiri pertikaian. Komisi Tiga Negara akhirnya menyampaikan
usul-usul sebagai berikut:

a) Segera dikeluarkan perintah penghentian tembak-menembak sepanjang garis van Mook.


b) Penghentian tembak-menembak agar diikuti dengan peletalcican senjata dan pembentukan
daerah-daerah kosong militer.

Secara singkat isi Perjanjian Renville sebagai berikut:

a. 10 pasal persetujuan gencatan senjata.

b. 6 pokok prinsip tambahan untuk perundingan guna mencapai penyelesaian politik, antara lain
sebagai berikut:
 Belanda berdaulat atas Indonesia sampai pengakuan kedaulatannya kepada Negara
Indonesia Serikatyang merdeka;
 Republik Indonesia menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat;
 Sebelum pemerintah negara federal terbentuk, maka Republik

Indonesia harus mempunyai wakil-wakil yang layak dalam tiap-tiap Pemerintahan Federal
Sementara; (d) Akan mengadakan plebisit (Pepera) di Pulau Jawa, Madura, dan Sumatra untuk
menentukan apakah rakyat daerah-daerah tersebut bergabung dengan RI atau RIS.

c. 12 prinsip politik termasuk tiga pokok hasil Persetujuan Linggajati.

5) Resolusi Dewan Keamanan PBB

Tindakan Belanda melakukan agresi militer kedua menimbulkan reaksi dari PBB. Dewan
Keamanan PBB pada tanggal 28 Januari 1949 mengeluarkan sebuah resolusi yang berisi sebagai
berikut:
 Penghentian semua operasi militer dengan segera oleh Belanda dan penghentian semua
aktivitas gerilya oleh Republik Indonesia. Kedua pihak harus bekerja sama untuk mengadakan
perundingan kembali
 Pembebasan dengan segera dan dengan tidak bersyarat semua tahanan politik di dalam
daerah Republik Indonesia oleh Belanda semenjak tanggal 19 Desember 1948.
 Belanda harus memberikan kesempatan kepada pembesar-pembesar pemerintah Republik
untuk kembali ke Yogyakarta.
 Perundingan-perundingan akan dilakukan dalam waktu yang secepat-cepatnya dengan
dasar Perjanjian Linggajati, Perjanjian Renville, terutama berdasarkan pembentukan suatu
Pemerintah Interim Federal paling lambat pada tanggal 15 Maret 1949; pemilihan untuk Dewan
Pembuat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Serikat selambat-lambatnya pada
tanggal 1 Juli 1949.
 Mulai sekarang Komisi Jasa-Jasa Baik (Komisi Tiga Negara) diganti namanya menjadi
Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia atau United Nation Commission for
Indonesia (UNCI). UNCI bertugas membantu melancarkan perundingan-perundingan untuk
mengurus pengembalian kekuasaan pemerintah Republik Indonesia, mengamati pemilihan, dan
berhak memajukan usul-usul mengenai berbagai hal yang dapat membantu tercapainya
penyelesaian.

6) Perundingan Roem-Royen

UNCI yang mengemban tugas menyelesaikan konflik Indonesia—Belanda memainkan perannya,


dengan mengundang kedua belah pihak yang bertikai untuk kembali mengadakan perundingan.
Delegasi Indonesia dalam perundingan itu dipimpin oleh Mr. Moh. Roem, sedangkan dari pihak
Belanda dipimpin oleh Dr. Van Royen.
Perundingan dimulai pada tanggal 17 Apri11949 di Hotel Des Indes (Hotel Duta Merlin
sekarang) yang dipimpin oleh Merle Cochran, wakil Amerika Serikat dalam UNCI. Setelah
melalui perundingan yang berlarut-larut, maka pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai persetujuan
yang kemudian dikenal sebagai Persetujuan Roem-Royen atau Roem Royen Statements. Isinya
berupa pernyataan-pernyataan dari kedua pihak sebagai berikut.

Hasil-hasil Persetujuan Roem-Royen mendapat dukungan dari partai-partai politik, sedangkan


pihak PDRI dan TNI tetap mencurigai iktikad Belanda. Pada tanggal 1 Mei 1949, Jenderal
Soedirman memperingatkan agar TNI tidak turut memikirkan politik dan perundingan karena
akan merugikan pertahanan dan keamanan. Sebagai realisasi dari Persetujuan Roem-Royen
adalah sebagai berikut.
a) Belanda meninggalkan Ibu kota Republik Indonesia Yogyakarta.
b) TNI menduduki Ibu kota Yogyakarta.
c) Presiden dan wakil presiden serta para pemimpin lainnya kembali dari tempat pengasingan ke
ibu kota negara.
d) Panglima Besar Jenderal Soedirman kembali ke Yogyakarta dari medan gerilya.
e) PDRI mengembalikan mandatnya kepada pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta.

7) Konferensi Inter-Indonesia

Sebagai tindak lanjut dari hasil-hasil Perjanjian Roem-Royen, pemerintah Republik Indonesia
segera mengadakan persiapan-persiapan untuk menghadapi Konferensi Meja Bundar (KMB).
Pemerintah Republik Indonesia kemudian mengadakan pendekatan dengan pihak BFO atau
Badan Musyawarah Negara-negara Federal untuk menciptakan satu front dalam menghadapi
Belanda pada KMB.

Republik Indonesia dan pihak BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) akhirnya mengadakan
pertemuan pada tanggal 19-22 Juli 1949 di Yogyakarta. Pertemuan dilanjutkan kembali tanggal
31 Juli-2 Agustus 1949 di Jakarta. Pembicaraan dalam konferensi itu hampir seluruhnya
mengenai masalah pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS), terutama mengenai tata
susunan dan hak pemerintah RIS di satu pihak dan hak negara- negara bagian di pihak lain.

Dalam konferensi itu dibicarakan pula bentuk kerja sama RIS dengan pemerintah Belanda dalam
perserikatan uni, serta masalah kewajiban RIS dan Belanda sehubungan dengan penyerahan
kekuasaan. Keputusan penting lainnya adalah bahwa BFO menyokong tuntutan Republik
Indonesia atas penyerahan kedaulatan, tanpa ikatan-ikatan politik atau ekonomi. Di bidang
militer, konferensi memutuskan antara lain sebagai berikut:

 Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) adalah Angkatan Perang Nasional.
 TNI menjadi inti APRIS dan akan menerima orang-orang Indonesia yang ada di dalam
KNIL, VB (Veiligherd Bataljons), dan kesatuan-kesatuan tentara Belanda lainnya dengan syarat-
syarat yang akan ditentukan lebih lanjut.
 Masalah pertahanan keamanan adalah hak pemerintah RIS.

Negara-negara bagian tidak berhak untuk memiliki angkatan perang sendiri. Hal-hal lain yang
jtiga diputuskan adalah sebagai berikut:

 Tanggal 17 Agustus ditetapkan sebagai Hari Nasional Negara RIS.


 Bendera Merah Putih ditetapkan sebagai bendera RIS.
 Lagu Kebangsaan Indonesia Raya menjadi Lagu Kebangsaan RIS.
 Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai Bahasa Nasional RIS. e) Ir. Soekarno ditetapkan
sebagai Presiden RIS.

8) Konferensi Meja Bundar (KMB)

Pada tanggal 23 Agustus 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda.
Bagi pemerintah Belanda, kesediaannya untuk menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar tidak
lain ingin segera membentuk Negara Indonesia Serikat yang sudah lama dicita-citakannya.

Pada tanggal 14 Agustus 1949, pemerintah Republik Indonesia menetapkan delegasi yang akan
menghadiri KMB, yaitu Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof. Soepomo, Dr. J. Leimena, Mr.
Ali Sastroamidjojo, Ir. H. Djuanda, Drs. Soekiman, Mr. Soeyono Hadinoto, Dr. Soemitro
Djoyohadikoesoemo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel T. B. Simatupang, dan Mr.
Soemardi. Delegasi-delegasi yang menghadiri KIVIB adalah sebagai berikut:
a) Delegasi Indonesia dipimpin Perdana Menteri Moh. Hatta.
b) Delegasi BFO dipimpin Sultan Hamid II.
c) Delegasi Belanda dipimpin oleh J.H. Maarseveen.
d) Delegasi UNCI diwakili oleh H. M. Cochran, Herremans, Th. K. Critchley, dan Romanos.

Dalam konferensi itu terjadi perdebatan seru antara delegasi dua negara yang bertikai mengenai
berbagai hal. Masalah paling pelik yang dibahas dan menjadi sorotan utama adalah masalah
utang-utang Belanda dan masalah Irian Barat.

Belanda berpendapat bahwa semua utang-utangnya adalah tanggung jawab pihak RIS dan
mengenai Irian Barat, Belanda baru akan menyerahkannya satu tahun setelah KMB. Keinginan
delegasi Belanda itu dengan tegas ditentang oleh delegasi Indonesia yang didukung oleh BFO
yang makin yakin akan kelicikan Belanda.
Untuk mengakhiri perdebatan, pihak UNCI menengahi dan memasukkan usulan-usulan sehingga
akhirnya KMB berhasil mengambil keputusan sebagai berikut.

a) Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia secara penuh dan tanpa syarat kepada
RIS.
b) Pelaksanaan penyerahan kedaulatan akan dilaksanakan pada tanggal 30 Desember 1949.
b) Masalah Irian Barat ditunda dan akan diadakan perundingan kembali dalam waktu satu tahun
setelah penyerahan kedaulatan kepada RIS.
c) Akan dibentuk satu Uni Indonesia- Belanda berdasarkan kerja sama sukarela dan sederajat.
d) Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia dan beberapa korvet akan diserahkan
kepada RIS.
e) Tentara Belanda akan ditarik dari Indonesia dan KNIL dibubarkan kemudian akan
digabungkan dengan APRIS.

Anda mungkin juga menyukai