Anda di halaman 1dari 3

UPAYA KEMERDEKAAN MELALUI DIPLOMASI

1. Perjanjian Linggarjati

Perjanjian Linggarjati dilaksanakan pada tanggal 10 November 1946 – 15 November 1946 di


Linggarjati, Cirebon. Perjanjian tersebut dipimpin oleh seorang diplomat Inggris yakni Lord
Killear. Pada tanggal 7 Oktober 1946. Lord Killearn berhasil membawa wakil-wakil pemerintah
Belanda dan Indonesia ke meja perundingan yang berlangsung di rumah kediaman Konsul
Jenderal Inggris di Jakarta. Dalam perundingan ini perihal masalah gencatan senjata yang tak
kunjung mencapai kesepakatan akhirnya dibahas dengan lebih lanjut oleh panitia yang dipimpin
oleh Lord Killearn. Hasil kesepakatan pada bidang militer, yakni sebagai berikut :
a. Gencatan senjata diadakan berdasarkan pada kedudukan militer pada waktu itu serta atas
dasar kekuatan militer dari Sekutu dan Indonesia.
b. Dibentuk sebuah Komisi bersama Gencatan Senjata yang berfungsi untuk mengatasi
berbagai permasalahan teknis perihal pelaksanaan gencatan senjata

Hasil Perundingan Linggarjati ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk yang
sekarang menjadi Istana Merdeka Jakarta, yang isinya ialah sebagai berikut :

a. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan meliputi wilayah kekuasaan yakni
Sumatra, Jawa dan Madura.
b. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto (Sumatra, Jawa, dan Madura) paling lambat yakni
pada tanggal 1 Januari 1949.
c. Belanda dengan Republik Indonesia akan bekerja sama dalam pembentukan Negara Indonesia
Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat yang salah satu bagiannya ialah Republik
Indonesia.
d. Belanda bersama dengan Republik Indonesia Serikat (RIS) akan membentuk Uni Indonesia –
Belanda dengan ketuanya adalah Ratu Belanda.

Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani pada tanggal 15 November 1946 mendapat tentangan
dari berbagai partai politik yang ada di Indonesia. Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden
No. 6 tahun 1946 mengenai penambahan anggota KNIP untuk partai besar serta wakil dari daerah luar
Jawa. Tujuannya ialah untuk menyempurnakan susunan dari KNIP itu sendiri. Setelah dikeluarkannya
perpres tersebut, ternya tentangan itu masih tetap ada, bahkan presiden dan wakil presiden hingga
mengancam akan mengundurkan diri apabila usaha-usaha yang telah dilakukan untuk memperoleh
persetujuan itu tetap ditolak.

Pada akhirnya, KNIP mengesahkan perjanjian Linggarjati pada tanggal 25 Februari 1947, dan
berlokasi di Istana Negara Jakarta. Persetujuan tersebut ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947.
Apabila ditinjau dari segi luas wilayah, kekuasaan Republik Indonesia menjadi semakin sempit. Meski
demikian apabila ditinjau dari segi politik intemasional, kedudukan Republik Indonesia menjadi
bertambah kuat. Hal ini disebabkan karena pemerintah Inggris, Amerika Serikat, dan juga beberapa
negara dari daerah Timur Tengah telah memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan serta
kedaulatan Republik Indonesia.

Persetujuan tersebut ternyata sangat sulit untuk terlaksana, karena pihak Belanda memberikan
penafsiran yang berbeda. Bahkan, alasan tersebut digunajan sebagai alasan oleh pihak Belanda untuk
mengadakan Agresi Militer I yang dilaksanakan pada tanggal 21 Juli 1947. Bersamaan dengan adanya
Agresi Militer I yang dilakukan oleh pihak Belanda, Republik Indonesia mengirimkan utusan (Sutan
Sjahrir, H. Agus Salim, Sudjatmoko, dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo) ke sidang PBB dengan tujuan
supaya posisi Indonesia di dunia internasional semakin bertambah kuat.

Kehadiran utusan tersebut menarik perhatian para peserta sidang PBB, karena adanya hal tersebut
Dewan Keamanan PBB memerintahkan untuk dilaksanakan gencatan senjata dengan mengirimkan
komisi jasa baik (goodwill commission) yang anggotanya berasal dari tiga negara. Indonesia
mengusulkan Australia, Belanda mengusulkan Belgia, dan kedua negara yang diusulkan tersebut
bersepakat untuk menunjuk Amerika Serikat sebagai anggota ketiga. Richard C. Kirby dari Australia, Paul
van Zeeland dari Belgia, serta Frank Graham dari Amerika Serikat. Di Indonesia, ketiga anggota tersebut
dikenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN).

2. perjanjian Renville

Nama Perjanjian Renville diambil dari nama sebutan kapal perang yang dimiliki oleh Amerika
Serikat yang digunakan sebagai tempat perundingan antara pihak Belanda dengan pihak
Indonesia, dengan Komisi Tiga Negara yang turut membantu sebagai perantaranya. Dalam
perundingan tersebut, delegasi Indonesia diketuai oleh Perdana Menteri yakni Amir Syarifuddin
dan pihak Belanda juga menempatkan seseorang yang berasal Indonesia yang bernama
Abdulkadir Wijoyoatmojo sebagai ketua delegasinya.
Penempatan Abdulkadir Wijoyoatmojo ini merupakan sebuah siasat yang dilakukan oleh pihak
Belanda dengan menyatakan bahwa pertikaian yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda
pada kala itu bukan masalah Internasional, melainkan merupakan masalah dalam negeri
Indonesia serta tidak memerlukan adanya campur tangan negara lain.
Usai melalui berbagai perdebatan dan permusyawaratan sejak tanggal 8 Desember 1947 hingga
17 Juni 1948 maka diperolehlah hasil persetujuan Renville. Isi perjanjian Renville, ialah sebagai
berikut:
a. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai dengan terbentuknya
Republik Indonesia Serikat (RIS).
b. Sebelum RIS terbentuk, Belanda bisa menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada
pemerintah federal.
c. RIS memiliki kedudukan yang sejajar dengan Negara Belanda dalam Uni Indonesia-
Belanda.
d. Republik Indonesia merupakan bagian dari RIS.

Kerugian-kerugian yang diterima oleh bangsa Indonesia, sebagai hasil dari perjanjian Renville
ialah sebagai berikut :

a. Indonesia dengan terpaksa menyetujui dibentuknya Negara Indonesia serikat melalui


masa peralihan.
b. Indonesia kehilangan sebagian daerahnya karena garis Van Mook terpaksa wajib diakui
sebagai daerah kekuasaan Belanda.
c. Pihak republik harus menarik seluruh pasukannya yang ada di daerah kekuasaan
Belanda serta dari kantong-kantong gerilya masuk daerah RI.
d. Wilayah RI menjadi semakin sempit serta dikurung oleh daerah-daerah kekuasaan
Belanda.
e. Terjadi Hijrah TNI ke pusat pemerintahan di Yogyakarta.
f. Terjadinya pemberontakan DI/TII.
g. Terjadinya pemberontakan PKI di Madiun 1948.
h. Jatuhnya kabinet Amir Syarifudin diganti dengan Moh.Hatta.

Anda mungkin juga menyukai