Anda di halaman 1dari 2

PERUNDINGAN LINGGARJATI

Sebab / Latar Belakang perjanjian Linggarjati

Perjanjian Linggarjati merupakan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Republik


Indonesia untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda.

Pelaksanaan dan Isi Perundingan Linggarjati

Perundingan Linggarjati terlaksana pada 11 – 15 November 1946 di Linggarjati, dekat


Cirebon. Dalam perundingan ini, dihadiri oleh perwakilan dari Indonesia dan Belanda.
Delegasi Belanda dipimpin oleh Prof. Scermerhorn, dengan anggotanya:
– Max Van Poll,
– F. de Baer, dan
– H.J. Van Mook.

Sedangkan Delegasi Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir dengan anggotanya ialah:
– Mr. Moh. Roem,
– Mr. Susanto Tirtoprojo, dan
– A.K. Gani

Pada tanggal 15 November 1946, hasil perundingan diumumkan dan disetujui oleh kedua
belah pihak. Secara resmi, naskah hasil perundingan ditandatangani oleh Pemerintah
Indonesia dan Belanda pada tanggal 25 Maret 1947. Perundingan ini menghasilkan pokok-
pokok  sebagai berikut :

 Belanda mengakui  de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan


meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda sudah harus meninggalkan daerah de
facto paling lambat pada tanggal 1 Januari 1949.
 Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam menyelenggarakan
berdirinya negara Indonesia Serikat. Pembentukan RIS akan diadakan sebelum
tanggal 1 Januari 1949.
 RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda
sebagai ketua
Adapun isi dari perundingan Linggarjati secara lengkap terdiri dari 17 pasal dan 1
pasal penutup.

PERUNDINGAN RENVILLE

Perundingan Renville secara resmi dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Berikut ini adalah
pihak-pihak yang menghandiri Perundingan Renville:

1. PBB sebagai mediator, diwakili oleh Grank Graham (ketua) dan Richard Kirby (anggota).
2. Delegasi Belanda, diwakili oleh R. Abdul Kadir Wijoyoatmodjo (ketua).
3. Delegasi Indonesia, diwakili oleh Mr. Amir Syarifuddin (ketua).
Perundingan ini berjalan alot, karena kedua pihak berpegang teguh pada pendiriannya
masing-masing. Meski perundingan berlangsung alot, akhirnya pada tanggal 17 Januari 1948
naskah Persetujuan Renville berhasil ditandatangani.
Berikut ini adalah hasil (isi) dari Perundingan Renville:

a. Penghentian tembak-menembak.
b. Daerah-daerah di belakang Garis van Mook harus dikosongkan dari pasukan RI.
c. Belanda bebas membentuk negara-negara federal di daerah-daerah yang didudukinya
dengan melalui plebisit terlebih dahulu.
d. Dalam Uni Indonesia Belanda, Negara Indonesia Serikat akan sederajat dengan Kerajaan
Belanda.

AGRESI MILITER I

Agresi Militer Belanda 1 direncanakan oleh Van Mook, dia merencanakan negara-negara
boneka dan ingin mengembalikan kekuasaan Belanda atas Indonesia. Pada tanggal 15 Juli 1947,
van Mook mengeluarkan ultimatum supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km. dari garis
demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.
pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan aksi militer pertama dengan target utama
kota-kota besar di pulau Jawa dan Sumatra.

Pasukan TNI yang tidak pernah menyangka akan terjadinya agresi militer Belanda itu, tidak
siap untuk menghadang serangan yang datangnya secara tiba-tiba. Serangan tersebut
mengakibatkan pasukan TNI tercerai-berai. Dalam keadaan seperti itu, pasukan TNI berusaha
untuk menjalin koordinasi antar satuan dan membangun daerah pertahanan baru. Pasukan
TNI melancarkan taktik gerilya untuk menghadapi pasukan Belanda. Dengan taktik gerilya,
ruang gerak pasukan Belanda berhasil dibatasi.

Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian dari
kedua belah pihak yang mulai berlaku tanggal 4 Agustus 1947.

AGRESI MILITER II

Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak (bahasa Belanda: Operatie Kraai) terjadi
pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota
Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa
tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat
Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.

Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan
Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet mengadakan
sidang kilat. Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap tinggal dalam
kota agar dekat dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat
diadakan.

Anda mungkin juga menyukai