Orientasi
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
2. Tafsiran
Dewasanya, jika kita melihat kembali penyebab adanya Agresi Militer Belanda
Pertama ini, tidak lain disebabkan karena terdapat suatu perselisihan pendapat sebagai akibat
perbedaan penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggajati. Di mana Belanda
tetap mendasarkan tafsirannya pada pidato Ratu Wilhelmina tanggal 7 Desember 1942 bahwa
Indonesia akan dijadikan anggota Commonwealth dan akan berbentuk federasi, sedangkan
hubungan luar negerinya diurus Belanda. Belanda juga menuntut agar segera diadakan
gendar-merie bersama. Karena keinginan Belanda yang dinilai sangat merugikan pihak
Indonesia, ada sebagian hal yang tidak Indonesia setuju terkait dengan keinginan Belanda
tersebut, yaitu “menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah-
daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama).”
Mengetahui penolakaan yang tengah diberikan Indonesia terhadap keinginan Belanda,
maka sehari sebelum dilaksanakannya Agresi Belanda Pertama pada tanggal 21 Juli 1947,
pada tanggal 20 Juli 1947 (tepat satu hari sebelumnya) Belanda menyatakan bahwa Belanda
telah tidak terikat dengan perjanjian Linggajati yang tengah disepakatinya pada tanggal 25
Maret 1947. Maka sehari setelah menyatakan perihal ketidak terikatan atas perjanjian
Linggajati, maka keesokan harinya tepat pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan
serangan serentak terhadap daerah-daerah Republik, dan serangan militer ini dikenal sebagai
Agresi Militer Belanda Pertama. Untuk mengawasi pelaksanaan penghentian tembak
menembak dan mencari penyelesaian sengketa secara damai, Dewan Keamanan PBB
membentuk sebuah Komisi Jasa Baik, yang kemudian dikenal sebagai Komisi Tiga Negara
(KTN). Di mana tugas utama KTN ini adalah membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi
antara Indonesia dengan Belanda guna mencapai suatu kedamaian. Adapun negara-negara
yang termasuk ke dalam anggota KTN diantaranya adalah Belgia, Australia, dan Amerika
Serikat. Wakil Belgia dalam KTN adalah Paul Van Zeeland, Wakil Australia dalam KTN
adalah Richard Kirby, dan Wakil Amerika Serikat dalam KTN adalah Dr. Frank Graham.
Pada awalnya masalah yang timbul dalam menghadapi persoalan yang terjadi antara
Indonesia dengan Belanda adalah mengenai tempat dilaksanakannya kembali suatu
perundingan baru. Belanda mengusulkan tempat perundingan di Jakarta, namun ditolak oleh
Republik Indonesia yang menginginkan suatu tempat yang berada di luar daerah
kependudukan. Lalu atas usul KTN, perundingan dilakukan di atas sebuah kapal pengangkut
pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”.
Perundingan ini akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada tangal 8 Desember 1947 di atas
Kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh
Mr. Amir Sjarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir
Widjoojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda. Meskipun sudah tercapai
persetujuan di atas Kapal Renville, tembak-menembak belum juga berhenti sementara KTN
praktis tidak berdaya. Pada tanggal 9 Januari 1948, Belanda menyampaikan ultimatum
kepada Republik Indonesia untuk segera mengosongkan sejumlah daerah yang luas dan
menarik TNI dari daerah-daerah gerilya ke Yogyakarta. Dan di dalam suasana seperti itu,
perjanjian Renville akhirnya ditandatangani tepat pada tanggal 17 Januari 1948, disusul
dengan instruksi penghentian tembak-menembak pada tanggal 19 Januari 1948.
Amir Syarifudin
Ali Sastroamijoyo
Dr. Tjoa Sik Len
Moh. Roem
Haji Agus Salim
Narsun dan Ir. Juanda.
Adapun delegasi-delegasi yang Belanda kirim antara lain ;
Abdulkadir Widjojoatmojo
Jhr. Van Vredeburgh
Dr. Soumokil
Pangeran Kartanagara dan Zulkarnain.
Wakil dari KTN (Komisi Tiga Negara);
Untuk melaksanakan tugas yang dibebankan oleh dewan keamanan PBB, dalam
pertemuannya di Sidney pada tanggal 20 oktober 1947 KTN memutuskan bahwa tugas
mereka di Indonesia adalah untuk membantu menyelesaikan sengketa antara Republik
Indonesia dan Belanda dengan cara damai. Kemudian KTN berusaha mendekatkan kedua
belah pihak guna menyelesaikan persoalan-persoalan militer dan politik yang dapat
memberikan dasar bagi perundingan selanjutnya. Diambil pula sikap bahwa dalam masalah
militer KTN akan mengambil inisiatif, sedangkan untuk pemecahan masalah-masalah politik
KTN hanya memberikan usul.
Perundingan antara Belanda dengan Indonesia akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada
tanggal 8 Desember1947 diatas kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi dari
Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin (lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April
1907 – meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 19 Desember 1948 pada umur 41 tahun) adalah
seorang tokoh Indonesia, mantan menteri dan perdana menteri pada awal berdirinya negara
Indonesia. Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo,
seorang Indonesia yang memihak kepada Belanda. Setelah diadakan serangkaian pendekatan
lagi, perundingan akhirnya menerima saran-saran KTN, yang pokok-pokoknya adalah:
1. Segera dikeluarkan perintah penghentian tembak-menembak di sepanjang “Garis van
Mook”.
2. Penghentian tembak-menembak segera diikuti dengan perjanjian perletakan senjata dan
pembentukan daerah-daerah kosong militer (demiliterized zones).
Perjanjian Renville adalah perjanjian yang dilakukan antara Indonesia dan Belanda
yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika
Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga
Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat,
Australia, dan Belgia. Indonesia dan Belanda dipersilahkan memilih setiap perwakilan untuk
KTN ini. Pemerintah Indonesia meminta Indonesia Australia menjadi anggota komisi,
sementara Belanda meminta Belgia, dan kedua negara KTN ini meminta Amerika Serikat.
Australia sendiri diwakili oleh Richard Kirby, Belgia oleh Paul van Zeenland dan Amerika
Serikat oleh Dr. Frank Graham.
1. Wilayah Indonesia diakui sebagai garis demarkasi (garis Van Mook) (Crayon
Pedia). Garis Van Mook yaitu garis khayal yang dibuat oleh Van Mook sebagai batas
wilayah kekuasaan Indonesia dan kekuasaan Belanda berdasarkan agresi militer
Belanda I (Eryadi). Yang mana batas wilayahnya yang di mulai dari Sumatera
Selatan, Jawa Barat sampai dengan wilayah Jawa Timur.
2. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia, sampai diserahkan kepada
Republik Indonesia Serikat yang segera dibentuk.
3. RIS mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam Uni
Indonesia-Belanda.
6. Pasukan Republik Indonesia yang berada di daerah kantung harus ditarik ke daearh
Republik Indonesia. Daerah kantung adalah daerah yang berada dibelakang garis Van
Mook, yakni garis yang menghubungkan dua daerah terdepan yang di duduki oleh
Belanda.
Selain itu juga penandatanganan naskah perjanjian Renville ini dapat menimbulkan
akibat buruk bagi pemerintahan Republik Indonesia, antara lain sebagai berikut :
1. Wilayah Republik Indonesia menjadi makin sempit dan dikurung oleh daerah-
daerah kekuasaan Belanda
3. Rangkuman
Jadi, jikalau kita melihat kembali segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi
sebelum diadakannya perundingan Renville, maka penyebab awal dilaksanakannya
perundingan “baru” ini tidak lain disebabkan karena terdapat suatu perselisihan pendapat
sebagai akibat perbedaan penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggajati. Yang
mana pada akhirnya hal ini menyebabkan timbulnya penyerangan Belanda terhadap
Indonesia (Agresi Militer Belanda Pertama). Dan melihat agresi yang dilakukan Belanda
terhadap Indonesia, Dewan Keamanan PBB memutuskan untuk membuat suatu komisi jasa
yang baik bagi keduanya, yang diberi nama KTN (Komisi Tiga Negara). KTN ini sendiri juga
memiliki tujuan untuk menyelesaikan sengketa dan perselisihan antara Indonesia dengan
Belanda.
Dengan ada dan di sepakatinya perjanjian Renvile ini, dilihat justru memojokkan
keadaan bangsa kita dan justru semakin membuka peluang negara Belanda pada waktu itu
untuk menduduki sebagian besar wilayah republic Indonesia, dan hal inilah yang justru
memicu ketidakpercayaan rakyat pada Perdana Menteri Amir Syarifudin yang dinilai gagal
karena terlalu membuka peluang Belanda untuk lebh dapat menguasai berbagai wilayah
Indonesia yang dinilai lebih memiliki sumber daya alam yang melimpah, oleh karena itu
dengan adanya perjanjian Renvile ini sangatlah memberikan berbagai dampak yang
signifikan.