Anda di halaman 1dari 7

1.

Orientasi
A. Latar Belakang

Perundingan serta penandatanganan perjanjian Renville merupakan salah satu


perundingan yang dilaksanakan antara Indonesia dengan Belanda yang dilaksanakan di atas
kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”. Perundingan ini
diwakili oleh kedua delegasi, yang di mana perwakilah dari delegasi Indonesia adalah Mr.
Amir Syarifudin, sedangkan perwakilan dari delegasi Belanda adalah R. Abdulkadir
Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak kepada Belanda.

B. Rumusan Masalah

1. Latar Belakang diadakannya Perundingan Renville


2. Isi Perundingan Renville dan Orang-orang yang Berperan di dalamnya
3. Dampak Perundingan Renville Terhadap Bangsa Indonesia

2. Tafsiran

A.  Latar Belakang diadakannya Perundingan Renville

Pada dasarnya perundingan Renville merupakan perundingan yang dilaksanakan antara


pihak delegasi Indonesia dengan pihak delegasi Belanda. Yang di mana tujuan awal
diadakannya perundingan ini adalah guna menyelesaikan segala pertikaian dan sengketa yang
terjadi antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 21 Juli 1947 telah terjadi suatu
peristiwa berupa penyerangan yang tengah dilakukan Belanda terhadap Indonesia, yang di
mana penyerangan tersebut terkenal dengan Agresi Militer Belanda Pertama, yang
berlangsung dari tanggal 21 Juli 1947 sampai dengan 4 Agustus 1947.

Mengetahui peristiwa (penyerangan yang tengah dilakukan Belanda terhadap


Indonesia), di luar negeri, agresi Belanda ini mendatangkan reaksi keras. Wakil-wakil India
dan Australia di PBB mengajukan usul agar soal Indonesia dibahas dalam Dewan Keamanan.
Akhirnya Dewan Keamanan PBB pada tanggal 1 Agustus 1947 memerintahkan kedua belah
pihak untuk menghentikan tembak-menembak. Dalam persidangan tersebut, Indonesia
mengutus Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim. Pada tanggal 4 Agustus, Republik Indonesia
dan Belanda mengumumkan penghentian tembak-menembak. Dengan pengumuman gencatan
senjata pada tanggal 4 Agustus, secara resmi berakhirlah Agresi Militer Belanda yang
pertama.

Dewasanya, jika kita melihat kembali penyebab adanya Agresi Militer Belanda
Pertama ini, tidak lain disebabkan karena terdapat suatu perselisihan pendapat sebagai akibat
perbedaan penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggajati. Di mana Belanda
tetap mendasarkan tafsirannya pada pidato Ratu Wilhelmina tanggal 7 Desember 1942 bahwa
Indonesia akan dijadikan anggota Commonwealth dan akan berbentuk federasi, sedangkan
hubungan luar negerinya diurus Belanda. Belanda juga menuntut agar segera diadakan
gendar-merie bersama. Karena keinginan Belanda yang dinilai sangat merugikan pihak
Indonesia, ada sebagian hal yang tidak Indonesia setuju terkait dengan keinginan Belanda
tersebut, yaitu “menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah-
daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama).”
Mengetahui penolakaan yang tengah diberikan Indonesia terhadap keinginan Belanda,
maka sehari sebelum dilaksanakannya Agresi Belanda Pertama pada tanggal 21 Juli 1947,
pada tanggal 20 Juli 1947 (tepat satu hari sebelumnya) Belanda menyatakan bahwa Belanda
telah tidak terikat dengan perjanjian Linggajati yang tengah disepakatinya pada tanggal 25
Maret 1947. Maka sehari setelah menyatakan perihal ketidak terikatan atas perjanjian
Linggajati, maka keesokan harinya tepat pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan
serangan serentak terhadap daerah-daerah Republik, dan serangan militer ini dikenal sebagai
Agresi Militer Belanda Pertama. Untuk mengawasi pelaksanaan penghentian tembak
menembak dan mencari penyelesaian sengketa secara damai, Dewan Keamanan PBB
membentuk sebuah Komisi Jasa Baik, yang kemudian dikenal sebagai Komisi Tiga Negara
(KTN). Di mana tugas utama KTN ini adalah membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi
antara Indonesia dengan Belanda guna mencapai suatu kedamaian. Adapun negara-negara
yang termasuk ke dalam anggota KTN diantaranya adalah Belgia, Australia, dan Amerika
Serikat. Wakil Belgia dalam KTN adalah Paul Van Zeeland, Wakil Australia dalam KTN
adalah Richard Kirby, dan Wakil Amerika Serikat dalam KTN adalah Dr. Frank Graham.

Pada awalnya masalah yang timbul dalam menghadapi persoalan yang terjadi antara
Indonesia dengan Belanda adalah mengenai tempat dilaksanakannya kembali suatu
perundingan baru. Belanda mengusulkan tempat perundingan di Jakarta, namun ditolak oleh
Republik Indonesia yang menginginkan suatu tempat yang berada di luar daerah
kependudukan. Lalu atas usul KTN, perundingan dilakukan di atas sebuah kapal pengangkut
pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”.

Perundingan ini akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada tangal 8 Desember 1947 di atas
Kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh
Mr. Amir Sjarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir
Widjoojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda.  Meskipun sudah tercapai
persetujuan di atas Kapal Renville, tembak-menembak belum juga berhenti sementara KTN
praktis tidak berdaya. Pada tanggal 9 Januari 1948, Belanda menyampaikan ultimatum
kepada Republik Indonesia untuk segera mengosongkan sejumlah daerah yang luas dan
menarik TNI dari daerah-daerah gerilya ke Yogyakarta. Dan di dalam suasana seperti itu,
perjanjian Renville akhirnya ditandatangani tepat pada tanggal 17 Januari 1948, disusul
dengan instruksi penghentian tembak-menembak pada tanggal 19 Januari 1948.

B. Tokoh-tokoh Perjanjian Renville

Tokoh-tokoh atau delegasi-delegasi yang mengikuti rapat/perdebatan dalam


perjanjian renville di kapal perang USS Renville, antara lain adalah;

Delegasi dari Republik Indonesia ;

 Amir Syarifudin
 Ali Sastroamijoyo
  Dr. Tjoa Sik Len
 Moh. Roem
 Haji Agus Salim
 Narsun dan Ir. Juanda.
Adapun delegasi-delegasi yang Belanda kirim antara lain ;

  Abdulkadir Widjojoatmojo
 Jhr. Van Vredeburgh
 Dr. Soumokil
 Pangeran Kartanagara dan Zulkarnain.
Wakil dari KTN (Komisi Tiga Negara);

 Frank Graham dari Amerika Serikat


 Richard Kirby dari Australia
 Paul Van Zeeland dari Belgia

Delegasi-delegasi yang dikirim oleh Belanda kebanyakan tokoh-tokoh dari Republik


Indonesia sendiri. Sehingga dengan itu, Belanda bisa memanfaatkannya untuk mengadu
domba antara orang-orang Indonesia sendiri, supaya Indonesia lebih mudah untuk dikuasai.

C. Isi Perundingan Renville dan Orang-orang yang Berperan di dalamnya

Untuk melaksanakan tugas yang dibebankan oleh dewan keamanan PBB, dalam
pertemuannya di Sidney pada tanggal 20 oktober 1947 KTN memutuskan bahwa tugas
mereka di Indonesia adalah untuk membantu menyelesaikan sengketa antara Republik
Indonesia dan Belanda dengan cara damai. Kemudian KTN berusaha mendekatkan kedua
belah pihak guna menyelesaikan persoalan-persoalan militer dan politik yang dapat
memberikan dasar bagi perundingan selanjutnya. Diambil pula sikap bahwa dalam masalah
militer KTN akan mengambil inisiatif, sedangkan untuk pemecahan masalah-masalah politik
KTN hanya memberikan usul.

Perundingan antara Belanda dengan Indonesia akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada
tanggal 8 Desember1947 diatas kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi dari
Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin (lahir di Medan, Sumatera Utara, 27 April
1907 – meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 19 Desember 1948 pada umur 41 tahun) adalah
seorang tokoh Indonesia, mantan menteri dan perdana menteri pada awal berdirinya negara
Indonesia. Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo,
seorang Indonesia yang memihak kepada Belanda. Setelah diadakan serangkaian pendekatan
lagi, perundingan akhirnya menerima saran-saran KTN, yang pokok-pokoknya adalah:
1. Segera dikeluarkan perintah penghentian tembak-menembak di sepanjang “Garis van
Mook”.
2. Penghentian tembak-menembak segera diikuti dengan perjanjian perletakan senjata dan
pembentukan daerah-daerah kosong militer (demiliterized zones).

Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk


melakukan gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tapi
pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak
termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara
Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang dan Bekasi . Perundingan-perundingan terus
dilakukan sehingga sampai akhirnya tercapai suatu persetujuan yang dikenal sebagai
“Perjanjian Renville”. Namun meskipun sudah tercapai persetujuan diatas kapal Renville,
tembak-menembak belum juga berhenti sementara KTN praktis tidak berdaya. Jadi disini
dapat dikatakan bahwa Belanda tetap menyerang Indonesia walaupun dikeluarkan perintah
penghentian tembak-menembak. Pada akhirnya tanggal 9 Januari 1948, Belanda
menyampaikan ultimatum kepada Republik Indonesia untuk segera mengosongkan sejumlah
daerah yang luas dan menarik TNI dari daerah-daerah geriliya ke Yogyakarta. Didalam
suasana seperti itu perjanjian Renville akhirnya ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948,
disusul dengan intruksi penghentian tembak-menembak pada tanggal 19 Januari 1948.

 Perjanjian Renville terdiri dari:


- 10 pasal persetujuan gencatan senjata
- 12 pasal prinsip politik
- 6 pasal prinsip tambahan dari KTN

 Isi Perjanjian Renville:


1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian
wilayah Republik Indonesia.
2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan
daerah pendudukan Belanda
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di
Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta

Perjanjian Renville adalah perjanjian yang dilakukan antara Indonesia dan Belanda
yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika
Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok,
Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga
Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat,
Australia, dan Belgia. Indonesia dan Belanda dipersilahkan memilih setiap perwakilan untuk
KTN ini. Pemerintah Indonesia meminta Indonesia Australia menjadi anggota komisi,
sementara Belanda meminta Belgia, dan kedua negara KTN ini meminta Amerika Serikat.
Australia sendiri diwakili oleh Richard Kirby, Belgia oleh Paul van Zeenland dan Amerika
Serikat oleh Dr. Frank Graham.

Usulan KTN pada tanggal 8 Desember 1947 dilaksanakan perundingan antara


Indonesia dan Belanada diatas kapal renville yang sedang berlabuh di Jakarta. Delegasi
Indonesia terdiri atas perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik Len,
Moh. Roem, Haji Agus Salim, Narsun dan Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri dari
Abdulkadir Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumukil, Pangran Kartanagara dan
Zulkarnain. Ternyata wakil-wakil Belanda hampir semua berasal dari bangsa Indonesia
sendiri yang pro Belanda. Dengan demikian Belanda tetap melakukan politik adu domba agar
Indonesia mudah dikuasainya. Setelah selesai perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947
sampai dengan 17 Januari 1948 maka diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut
Perjanjian Renville. Pasca perjanjian sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik
harus mengosongkan enclave (kantong-kantong) yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari
1948, Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Tidak semua pejuang Republik yang
tergabung dalam berbagai laskar a.l.
Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan
Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut. Mereka terus
melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda. S.M. Kartosuwiryo, yang
menolak jabatan Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, kemudian
mendirikan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hingga pada 7 Agustus 1949,
di wilayah yang masih dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo menyatakan berdirinya
Negara Islam Indonesia(NII).

Perundingan Renville merupakan sebuah perundingan antara Indonesia dan Belanda


yang dilakukan setelah Agresi Militer Belanda I. Perundingan Renville berlangsung selama
hampir satu bulan. Setelah itu adanya KTN yang menjadi penengah pada perundingan
tersebut. Adapun anggota yang hadir dalam KTN tersebut yang diwakili oleh Richard Kirby
dari Australia, Paul Van Zeeland dari Belgia, Frank Graham dari Amerika Serikat, sedangkan
Indonesia diketuai oleh Amir Syarifuddin sementara belanda diketuai oleh R. Abdulkadir
Wijoyoatmojo.

 Hasil dari perundingan Renville ini, antara lain sebagai berikut :

1. Wilayah Indonesia diakui sebagai garis demarkasi (garis Van Mook) (Crayon
Pedia). Garis Van Mook yaitu garis khayal yang dibuat oleh Van Mook sebagai batas
wilayah kekuasaan Indonesia dan kekuasaan Belanda berdasarkan agresi militer
Belanda I (Eryadi). Yang mana batas wilayahnya yang di mulai dari Sumatera
Selatan, Jawa Barat sampai dengan wilayah Jawa Timur.

2. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia, sampai diserahkan kepada
Republik Indonesia Serikat yang segera dibentuk.

3. RIS mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam Uni
Indonesia-Belanda.

4. Republik Indonesia menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat.

5. Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya


kepada pemerintah federal sementara.

6. Pasukan Republik Indonesia yang berada di daerah kantung harus ditarik ke daearh
Republik Indonesia. Daerah kantung adalah daerah yang berada dibelakang garis Van
Mook, yakni garis yang menghubungkan dua daerah terdepan yang di duduki oleh
Belanda.

7. Pada tanggal 12 Januari 1948 Perjanjian Renville ditandatangani.


D. Dampak Perundingan Renville Terhadap Bangsa Indonesia

Persetujuan ini lebih merugikan Republik Indonesia dibandingkan dengan persetujuan


Linggarjati. Kedua belah pihak menuduh masing-masing melanggar perdamaian dan
Indonesia menuduh Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya menyerah.
Bulan Juli 1948, Komisi Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat mengawasi pelaksanaan
persetujuan itu, melaporkan bahwa Indonesia  mengeluh akan gencatan senjata yang
berulang-ulang dan menempatkan Republik Indonesia pada kedudukan yang bertambah sulit.
Wilayah Republik Indonesia makin sempit, dikurung oleh daerah-daerah pendudukan
Belanda. Kesulitan ditambah dengan blokade ekonomi yang dilakukan Belanda dengan ketat.
Persetujuan menimbulkan reaksi keras di kalangan Republik Indonesia, dan kemudian
mengakibatkan jatuhnya Kabinet Amir Sjarifuddin.

 Selain itu juga penandatanganan naskah perjanjian Renville ini dapat menimbulkan
akibat buruk bagi pemerintahan Republik Indonesia, antara lain sebagai berikut :
1. Wilayah Republik Indonesia menjadi makin sempit dan dikurung oleh daerah-
daerah kekuasaan Belanda

2. Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan para pemimpin Republik Indonesia yang


mengakibatkan jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin karena dianggap menjual negara
kepada Belanda

3. Perekonomian Indonesia diblokade secara ketat oleh Belanda

4. Indonesia terpaksa harus menarik mundur kesatuan-kesatuan militernya dari


daerah-daerah gerilya untuk kemudian hijrah ke wilayah Republik Indonesia yang
berdekatan

3. Rangkuman

Jadi, jikalau kita melihat kembali segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi
sebelum diadakannya perundingan Renville, maka penyebab awal dilaksanakannya
perundingan “baru” ini tidak lain disebabkan karena terdapat suatu perselisihan pendapat
sebagai akibat perbedaan penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggajati. Yang
mana pada akhirnya hal ini menyebabkan timbulnya penyerangan Belanda terhadap
Indonesia (Agresi Militer Belanda Pertama). Dan melihat agresi yang dilakukan Belanda
terhadap Indonesia, Dewan Keamanan PBB memutuskan untuk membuat suatu komisi jasa
yang baik bagi keduanya, yang diberi nama KTN (Komisi Tiga Negara). KTN ini sendiri juga
memiliki tujuan untuk menyelesaikan sengketa dan perselisihan antara Indonesia dengan
Belanda.
Dengan ada dan di sepakatinya perjanjian Renvile ini, dilihat justru memojokkan
keadaan bangsa kita dan justru semakin membuka peluang negara Belanda pada waktu itu
untuk menduduki sebagian besar wilayah republic Indonesia, dan hal inilah yang justru
memicu ketidakpercayaan rakyat pada Perdana Menteri Amir Syarifudin yang dinilai gagal
karena terlalu membuka peluang Belanda untuk lebh dapat menguasai berbagai wilayah
Indonesia yang dinilai lebih memiliki sumber daya alam yang melimpah, oleh karena itu
dengan adanya perjanjian Renvile ini sangatlah memberikan berbagai dampak yang
signifikan.

Anda mungkin juga menyukai