Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH Sejarah

Sejarah Perjanjian Renville

DOSEN/GURU PEMBIMBING :

LOGO

DISUSUN OLEH
NAMA : ISTAVITA UTAMA
NIM : 11210012
KELAS: XI IPS

SMA AVICENNA JOMBANG


JOMBANG
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan Rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Sejarah yang berjudul “Sejarah Perjanjian
Renville” ini dengan baik dan tepat waktu. Adapun makalah ini dibuat oleh penulis guna
memenuhi tugas mata pelajaran Sejarah

Dalam pembuatan makalah ini penulis mengucapkan terima kasih yang


sebesarnya pada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan sehingga makalah
ini dapat diselesaikan tepat pada waktu yang telah ditentukan.

Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak. Saran dan kritik dari pembaca sangat diharapkan oleh penulis guna memperbaiki
makalah selanjutnya.

Jombang, 11 Juni 2018

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perundingan serta penandatanganan perjanjian Renville merupakan salah satu
perundingan yang dilaksanakan antara Indonesia dengan Belanda yang dilaksanakan
di atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”.
Perundingan ini diwakili oleh kedua delegasi, yang di mana perwakilah dari delegasi
Indonesia adalah Mr. Amir Syarifudin, sedangkan perwakilan dari delegasi Belanda
adalah R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak kepada
Belanda.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Latar Belakang diadakannya Perundingan Renville?
2. Apa Isi Perundingan Renville dan Orang-orang yang Berperan di dalamnya?
3. Bagaimana Dampak Perundingan Renville Terhadap Bangsa Indonesia?

1.3 Tujuan Makalah


1. Untuk mengetahui Latar Belakang diadakannya Perundingan Renville?
2. Untuk mengetahui Isi Perundingan Renville dan Orang-orang yang Berperan di
dalamnya?
3. Untuk mengetahui Dampak Perundingan Renville Terhadap Bangsa Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang diadakannya Perundingan Renville


Pada dasarnya perundingan Renville merupakan perundingan yang dilaksanakan
antara pihak delegasi Indonesia dengan pihak delegasi Belanda. Yang di mana tujuan
awal diadakannya perundingan ini adalah guna menyelesaikan segala pertikaian dan
sengketa yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 21 Juli 1947
telah terjadi suatu peristiwa berupa penyerangan yang tengah dilakukan Belanda
terhadap Indonesia, yang di mana penyerangan tersebut terkenal dengan Agresi Militer
Belanda Pertama, yang berlangsung dari tanggal 21 Juli 1947 sampai dengan 4
Agustus 1947.

Mengetahui peristiwa (penyerangan yang tengah dilakukan Belanda terhadap


Indonesia), di luar negeri, agresi Belanda ini mendatangkan reaksi keras. Wakil-wakil
India dan Australia di PBB mengajukan usul agar soal Indonesia dibahas dalam Dewan
Keamanan. Akhirnya Dewan Keamanan PBB pada tanggal 1 Agustus 1947
memerintahkan kedua belah pihak untuk menghentikan tembak-menembak. Dalam
persidangan tersebut, Indonesia mengutus Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim. Pada
tanggal 4 Agustus, Republik Indonesia dan Belanda mengumumkan penghentian
tembak-menembak. Dengan pengumuman gencatan senjata pada tanggal 4 Agustus,
secara resmi berakhirlah Agresi Militer Belanda yang pertama.

Dewasanya, jika kita melihat kembali penyebab adanya Agresi Militer Belanda Pertama
ini, tidak lain disebabkan karena terdapat suatu perselisihan pendapat sebagai akibat
perbedaan penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggajati. Di mana
Belanda tetap mendasarkan tafsirannya pada pidato Ratu Wilhelmina tanggal 7
Desember 1942 bahwa Indonesia akan dijadikan anggota Commonwealth dan akan
berbentuk federasi, sedangkan hubungan luar negerinya diurus Belanda. Belanda juga
menuntut agar segera diadakan gendar-merie bersama. Karena keinginan Belanda
yang dinilai sangat merugikan pihak Indonesia, ada sebagian hal yang tidak Indonesia
setuju terkait dengan keinginan Belanda tersebut, yaitu “menyelenggarakan keamanan
dan ketertiban bersama, termasuk daerah-daerah Republik yang memerlukan bantuan
Belanda (gendarmerie bersama).”

Mengetahui penolakaan yang tengah diberikan Indonesia terhadap keinginan Belanda,


maka sehari sebelum dilaksanakannya Agresi Belanda Pertama pada tanggal 21 Juli
1947, pada tanggal 20 Juli 1947 (tepat satu hari sebelumnya) Belanda menyatakan
bahwa Belanda telah tidak terikat dengan perjanjian Linggajati yang tengah
disepakatinya pada tanggal 25 Maret 1947. Maka sehari setelah menyatakan perihal
ketidak terikatan atas perjanjian Linggajati, maka keesokan harinya tepat pada tanggal
21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan serentak terhadap daerah-daerah
Republik, dan serangan militer ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda Pertama.
Untuk mengawasi pelaksanaan penghentian tembak menembak dan mencari
penyelesaian sengketa secara damai, Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah
Komisi Jasa Baik, yang kemudian dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN). Di mana
tugas utama KTN ini adalah membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi antara
Indonesia dengan Belanda guna mencapai suatu kedamaian. Adapun negara-negara
yang termasuk ke dalam anggota KTN diantaranya adalah Belgia, Australia, dan
Amerika Serikat. Wakil Belgia dalam KTN adalah Paul Van Zeeland, Wakil Australia
dalam KTN adalah Richard Kirby, dan Wakil Amerika Serikat dalam KTN adalah Dr.
Frank Graham.

Pada awalnya masalah yang timbul dalam menghadapi persoalan yang terjadi antara
Indonesia dengan Belanda adalah mengenai tempat dilaksanakannya kembali suatu
perundingan baru. Belanda mengusulkan tempat perundingan di Jakarta, namun ditolak
oleh Republik Indonesia yang menginginkan suatu tempat yang berada di luar daerah
kependudukan. Lalu atas usul KTN, perundingan dilakukan di atas sebuah kapal
pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”.

Perundingan ini akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada tangal 8 Desember 1947 di atas
Kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi Republik Indonesia dipimpin
oleh Mr. Amir Sjarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir
Widjoojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda. Meskipun sudah tercapai
persetujuan di atas Kapal Renville, tembak-menembak belum juga berhenti sementara
KTN praktis tidak berdaya. Pada tanggal 9 Januari 1948, Belanda menyampaikan
ultimatum kepada Republik Indonesia untuk segera mengosongkan sejumlah daerah
yang luas dan menarik TNI dari daerah-daerah gerilya ke Yogyakarta. Dan di dalam
suasana seperti itu, perjanjian Renville akhirnya ditandatangani tepat pada tanggal 17
Januari 1948, disusul dengan instruksi penghentian tembak-menembak pada tanggal
19 Januari 1948.

2.2. Isi Perundingan Renville dan Orang-orang yang Berperan di dalamnya


Untuk melaksanakan tugas yang dibebankan oleh dewan keamanan PBB, dalam
pertemuannya di Sidney pada tanggal 20 oktober 1947 KTN memutuskan bahwa tugas
mereka di Indonesia adalah untuk membantu menyelesaikan sengketa antara Republik
Indonesia dan Belanda dengan cara damai. Kemudian KTN berusaha mendekatkan
kedua belah pihak guna menyelesaikan persoalan-persoalan militer dan politik yang
dapat memberikan dasar bagi perundingan selanjutnya. Diambil pula sikap bahwa
dalam masalah militer KTN akan mengambil inisiatif, sedangkan untuk pemecahan
masalah-masalah politik KTN hanya memberikan usul.

Perundingan antara Belanda dengan Indonesia akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada
tanggal 8 Desember1947 diatas kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta.
Delegasi dari Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin (lahir di Medan, Sumatera
Utara, 27 April 1907 – meninggal di Surakarta, Jawa Tengah, 19 Desember 1948 pada
umur 41 tahun) adalah seorang tokoh Indonesia, mantan menteri dan perdana menteri
pada awal berdirinya negara Indonesia. Sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R.
Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak kepada Belanda. Setelah
diadakan serangkaian pendekatan lagi, perundingan akhirnya menerima saran-saran
KTN, yang pokok-pokoknya adalah:
1. Segera dikeluarkan perintah penghentian tembak-menembak di sepanjang “Garis
van Mook”.
2. Penghentian tembak-menembak segera diikuti dengan perjanjian perletakan senjata
dan pembentukan daerah-daerah kosong militer (demiliterized zones).

Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk


melakukan gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tapi
pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang
tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan
tentara Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang dan Bekasi . Perundingan-
perundingan terus dilakukan sehingga sampai akhirnya tercapai suatu persetujuan yang
dikenal sebagai “Perjanjian Renville”. Namun meskipun sudah tercapai persetujuan
diatas kapal Renville, tembak-menembak belum juga berhenti sementara KTN praktis
tidak berdaya. Jadi disini dapat dikatakan bahwa Belanda tetap menyerang Indonesia
walaupun dikeluarkan perintah penghentian tembak-menembak. Pada akhirnya tanggal
9 Januari 1948, Belanda menyampaikan ultimatum kepada Republik Indonesia untuk
segera mengosongkan sejumlah daerah yang luas dan menarik TNI dari daerah-daerah
geriliya ke Yogyakarta. Didalam suasana seperti itu perjanjian Renville akhirnya
ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, disusul dengan intruksi penghentian
tembak-menembak pada tanggal 19 Januari 1948.
Perjanjian Renville terdiri dari:
- 10 pasal persetujuan gencatan senjata
- 12 pasal prinsip politik
- 6 pasal prinsip tambahan dari KTN

Isi Perjanjian Renville:


1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian
wilayah Republik Indonesia.
2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan
daerah pendudukan Belanda
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di
Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta
Perjanjian Renville adalah perjanjian yang dilakukan antara Indonesia dan Belanda
yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang
Amerika Serikat sebagai tempat netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan
Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan
ditengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia,
yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Indonesia dan Belanda
dipersilahkan memilih setiap perwakilan untuk KTN ini. Pemerintah Indonesia meminta
Indonesia Australia menjadi anggota komisi, sementara Belanda meminta Belgia, dan
kedua negara KTN ini meminta Amerika Serikat. Australia sendiri diwakili oleh Richard
Kirby, Belgia oleh Paul van Zeenland dan Amerika Serikat oleh Dr. Frank Graham.

Usulan KTN pada tanggal 8 Desember 1947 dilaksanakan perundingan antara


Indonesia dan Belanada diatas kapal renville yang sedang berlabuh di Jakarta.
Delegasi Indonesia terdiri atas perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr.
Tjoa Sik Len, Moh. Roem, Haji Agus Salim, Narsun dan Ir. Juanda. Delegasi Belanda
terdiri dari Abdulkadir Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumukil, Pangran
Kartanagara dan Zulkarnain. Ternyata wakil-wakil Belanda hampir semua berasal dari
bangsa Indonesia sendiri yang pro Belanda. Dengan demikian Belanda tetap
melakukan politik adu domba agar Indonesia mudah dikuasainya. Setelah selesai
perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan 17 Januari 1948 maka
diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut Perjanjian Renville. Pasca perjanjian
sebagai hasil Persetujuan Renville, pihak Republik harus mengosongkan enclave
(kantong-kantong) yang dikuasai TNI, dan pada bulan Februari 1948, Divisi Siliwangi
hijrah ke Jawa Tengah. Tidak semua pejuang Republik yang tergabung dalam berbagai
laskar a.l.

Barisan Bambu Runcing dan Laskar Hizbullah/Sabillilah di bawah pimpinan Sekarmaji


Marijan Kartosuwiryo mematuhi hasil Persetujuan Renville tersebut. Mereka terus
melakukan perlawanan bersenjata terhadap tentara Belanda. S.M. Kartosuwiryo, yang
menolak jabatan Menteri Muda Pertahanan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, kemudian
mendirikan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Hingga pada 7 Agustus
1949, di wilayah yang masih dikuasai Belanda waktu itu, Kartosuwiryo menyatakan
berdirinya Negara Islam Indonesia(NII).

Perundingan Renville merupakan sebuah perundingan antara Indonesia dan Belanda


yang dilakukan setelah Agresi Militer Belanda I. Perundingan Renville berlangsung
selama hampir satu bulan. Setelah itu adanya KTN yang menjadi penengah pada
perundingan tersebut. Adapun anggota yang hadir dalam KTN tersebut yang diwakili
oleh Richard Kirby dari Australia, Paul Van Zeeland dari Belgia, Frank Graham dari
Amerika Serikat, sedangkan Indonesia diketuai oleh Amir Syarifuddin sementara
belanda diketuai oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo.
Hasil dari perundingan Renville ini, antara lain sebagai berikut :

1. Wilayah Indonesia diakui sebagai garis demarkasi (garis Van Mook) (Crayon Pedia).
Garis Van Mook yaitu garis khayal yang dibuat oleh Van Mook sebagai batas wilayah
kekuasaan Indonesia dan kekuasaan Belanda berdasarkan agresi militer Belanda I
(Eryadi). Yang mana batas wilayahnya yang di mulai dari Sumatera Selatan, Jawa
Barat sampai dengan wilayah Jawa Timur.

2. Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia, sampai diserahkan kepada
Republik Indonesia Serikat yang segera dibentuk.

3. RIS mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam Uni
Indonesia-Belanda.

4. Republik Indonesia menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat.

5. Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya


kepada pemerintah federal sementara.

6. Pasukan Republik Indonesia yang berada di daerah kantung harus ditarik ke daearh
Republik Indonesia. Daerah kantung adalah daerah yang berada dibelakang garis Van
Mook, yakni garis yang menghubungkan dua daerah terdepan yang di duduki oleh
Belanda.

7. Pada tanggal 12 Januari 1948 Perjanjian Renville ditandatangani.

2.3. Dampak Perundingan Renville Terhadap Bangsa Indonesia


Persetujuan ini lebih merugikan Republik Indonesia dibandingkan dengan persetujuan
Linggarjati. Kedua belah pihak menuduh masing-masing melanggar perdamaian dan
Indonesia menuduh Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya
menyerah. Bulan Juli 1948, Komisi Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat
mengawasi pelaksanaan persetujuan itu, melaporkan bahwa Indonesia mengeluh akan
gencatan senjata yang berulang-ulang dan menempatkan Republik Indonesia pada
kedudukan yang bertambah sulit. Wilayah Republik Indonesia makin sempit, dikurung
oleh daerah-daerah pendudukan Belanda. Kesulitan ditambah dengan blokade ekonomi
yang dilakukan Belanda dengan ketat. Persetujuan menimbulkan reaksi keras di
kalangan Republik Indonesia, dan kemudian mengakibatkan jatuhnya Kabinet Amir
Sjarifuddin.

Selain itu juga penandatanganan naskah perjanjian Renville ini dapat menimbulkan
akibat buruk bagi pemerintahan Republik Indonesia, antara lain sebagai berikut :
1. Wilayah Republik Indonesia menjadi makin sempit dan dikurung oleh daerah-daerah
kekuasaan Belanda

2. Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan para pemimpin Republik Indonesia yang


mengakibatkan jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin karena dianggap menjual negara
kepada Belanda

3. Perekonomian Indonesia diblokade secara ketat oleh Belanda

4. Indonesia terpaksa harus menarik mundur kesatuan-kesatuan militernya dari daerah-


daerah gerilya untuk kemudian hijrah ke wilayah Republik Indonesia yang berdekatan
BAB III
PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan
Jadi, jikalau kita melihat kembali segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi
sebelum diadakannya perundingan Renville, maka penyebab awal dilaksanakannya
perundingan “baru” ini tidak lain disebabkan karena terdapat suatu perselisihan
pendapat sebagai akibat perbedaan penafsiran ketentuan-ketentuan dalam persetujuan
Linggajati. Yang mana pada akhirnya hal ini menyebabkan timbulnya penyerangan
Belanda terhadap Indonesia (Agresi Militer Belanda Pertama). Dan melihat agresi yang
dilakukan Belanda terhadap Indonesia, Dewan Keamanan PBB memutuskan untuk
membuat suatu komisi jasa yang baik bagi keduanya, yang diberi nama KTN (Komisi
Tiga Negara). KTN ini sendiri juga memiliki tujuan untuk menyelesaikan sengketa dan
perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.

Dengan ada dan di sepakatinya perjanjian Renvile ini, dilihat justru memojokkan
keadaan bangsa kita dan justru semakin membuka peluang negara Belanda pada
waktu itu untuk menduduki sebagian besar wilayah republic Indonesia, dan hal inilah
yang justru memicu ketidakpercayaan rakyat pada Perdana Menteri Amir Syarifudin
yang dinilai gagal karena terlalu membuka peluang Belanda untuk lebh dapat
menguasai berbagai wilayah Indonesia yang dinilai lebih memiliki sumber daya alam
yang melimpah, oleh karena itu dengan adanya perjanjian Renvile ini sangatlah
memberikan berbagai dampak yang signifikan.
DAFTAR PUSTAKA

Amir Al-Maruzy. 2015. SEJARAH LENGKAP PERJANJIAN RENVILLE.


http://www.gurusejarah.com/ Diakses pada 08 Mei 2017

Istavita Utama. 2017. Sejarah Perjanjian Renville. http://underpapers.blogspot.com.


Diakses pada 08 Mei 2017

wikipedia.org

Anda mungkin juga menyukai