OLEH :
AURIEL KEMBAU
11 IPA 1
1. Latar Belakang dan Isi Perjanjian Linggarjati
Selepas Indonesia memproklamirkan diri sebagai negara Merdeka pada 17 Agustus 1945
dan terlepas dari jajahan Jepang. Belanda yang sebelumnya telah menjajajah Indonesia
selama 350 tahun ingin kembali menjajah Indonesia.
Karena sering terjadinya pertempuran-pertempuran yang merugikan kedua belah pihak dan
beberapa alasan lainnya. Maka pihak kerajaan Belanda dan Indonesia pun sepakat untuk
melakukan kontak diplomasi pertama dalam sejarah kedua negara.
Latar belakang terjadinya perjanjian Linggarjati adalah karena banyaknya konflik dan insiden
pertempuran antara pejuang Indonesia dan pasukan Sekutu-Belanda. Sehingga kedua belah
pihak menginginkan berakhirnya konflik dan selesainya persengketaan wilayah kekuasaan
serta kedaulatan Republik Indonesia.
Pasukan TNI yang tidak pernah menyangka akan terjadinya agresi militer Belanda itu, tidak
siap untuk menghadang serangan yang datangnya secara tiba-tiba. Serangan tersebut
mengakibatkan pasukan TNI tercerai-berai. Dalam keadaan seperti itu, pasukan TNI
berusaha untuk menjalin koordinasi antar satuan dan membangun daerah pertahanan baru.
Pasukan TNI melancarkan taktik gerilya untuk menghadapi pasukan Belanda. Dengan taktik
gerilya, ruang gerak pasukan Belanda berhasil dibatasi. Gerakan pasukan Belanda hanya
berada pada kota-kota besar dan jalan-jalan raya, sedangkan di luar kota, kekuasaan berada
di tangan pasukan TNI.
Agresi Militer Belanda 1 ternyata menimbulkan reaksi yang hebat dari dunia internasional.
Pada tanggal 30 Juli 1947, pemerintah India dan Australia mengajukan permintaan resmi
agar masalah Indonesia segera dimasukkan dalam daftar acara Dewan Keamanan PBB. Pada
tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian dari kedua
belah pihak yang mulai berlaku tanggal 4 Agustus 1947. Untuk mengawasi pelaksanaan
perjanjian gencatan senjata tersebut, maka dibentuk suatu Komisi Konsuler yang
anggotanya adalah konsul jenderal yang berada di Indonesia.
Komisi Konsuler diketuai oleh Konsul Jenderal Amerika Serikat Dr. Walter Foote dengan
anggotanya Konsul Jenderal Cina, Belgia, Prancis, Inggris, dan Australia. Komisi Konsuler itu
diperkuat dengan perwira militer Amerika Serikat dan Prancis, yaitu sebagai peninjau
militer. Dalam laporannya kepada Dewan Keamanan, Komisi Konsuler menyatakan bahwa
tanggal 30 Juli 1947 sampai dengan tanggal 4 Agustus 1947 pasukan Belanda masih
mengadakan gerakan militer. Namun demikian, pemerintah dari pihak Belanda menolak
dengan keras garis demarkasi yang dituntut oleh pemerintah Indonesia.
Belanda akan tetap berdaulat hingga terbentuknya RIS atau Republik Indonesia
Serikat.
RIS atau Republik Indonesia Serikat memiliki kedudukan sejajar dengan Uni
Indonesia Belanda.
Belanda dapat menyerahkan kekuasaannya ke pemerintah federal sementara,
sebelum RIS terbentuk.
Negara Republik Indonesia akan menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat.
Enam bulan sampai satu tahun, akan diadakan pemilihan umum dalam
pembentukan Konstituante RIS.
Setiap tentara Indonesia yang berada di daerah pendudukan Belanda harus
berpindah ke daerah Republik Indonesia.
2. Dampak Perjanjian
Selama gerilya Jenderal Soedirman dan pasukan berjalan untuk berpindah-pindah tempat.
Mereka berjalan cukup jauh dengan menyeberangi sungai, gunung, lembah, dan hutan. Para
pejuang juga melakukan penyerangan ke pos-pos yang dijaga Belanda atau saat konvoi.
Gerilya yang dilakukan pasukan Indonesia merupakan strategi perang untuk memecah
konsentrasi pasukan Belanda. Kondisi itu membuat pasukan Belanda kewalahan. Apalagi
penyerangan dilakukan secara tiba-tiba dan secara cepat. Pasukan Indonesia juga berani
masuk ke kota untuk menyerang dan menguasai kembali Yogyakarta dari penguasaan
Belanda. Adanya taktik ini membuat TNI dan rakyat yang bersatu dan kemudian berhasil
menguasai keadaan dan medan pertempuran.
Peristiwa Agresi Militer Belanda II membuat situasi Yogyakarta sangat tidak kondusif.
Apalagi adanya propaganda Belanda di dunia luar bahwa tentara Indonesia sudah tidak ada.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai raja Keraton Yogyakarta Hadiningrat mengirimkan
surat kepada Jenderal Sudirman untuk meminta izin diadakan serangan. Baca juga: Dari
Gunungkidul Serangan Umum 1 Maret 1949 Mendunia Setelah perancanaan yang matang, 1
Maret 1949 pagi hari, serangan besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah
Indonesia. Fokus utama penyerangan di ibu kota Indonesia, Yogyakarta. Pagi hari sekitar
pukul 06.00 WIB, sewaktu sirine dibunyikan serangan dilakukan di segala penjuru kota. Dari
sektor sebelah barat sampai batas Malioboro dipimpin Letkol Soeharto. Di sektor timur
dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur oleh Mayor Sardjono. Di sektor utara
dipimpin Mayor Kusno. Sementara di sektor kota dipimpin Letnan Amir Murtopo dan Letnan
Masduki. Pasukan Indonesia berhasil menguasai Kota Yogyakarta selama 6 jam. Peristiwa
tersebut dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret.
5. Keberadaan dan Peran PDRI
Tidak lama setelah ibu kota RI di Yogyakarta dikuasai Belanda dalam Agresi Militer Belanda
II, mereka berulangkali menyiarkan berita bahwa RI sudah bubar. Karena para
pemimpinnya, seperti Soekarno, Hatta dan Syahrir sudah menyerah dan ditahan.
Mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki ibu kota Yogyakarta dan
menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19
Desember sore hari, Mr. Syafruddin Prawiranegara bersama Kol. Hidayat, Panglima Tentara
dan Teritorium Sumatra, mengunjungi Mr. Teuku Mohammad Hasan,
Gubernur Sumatra/Ketua Komisaris Pemerintah Pusat di kediamannya, untuk mengadakan
perundingan. Malam itu juga mereka meninggalkan Bukittinggi menuju Halaban, daerah
perkebunan teh, 15 Km di selatan kota Payakumbuh.
Sejumlah tokoh pimpinan republik yang berada di Sumatra Barat dapat berkumpul di
Halaban, dan pada 22 Desember 1948 mereka mengadakan rapat yang dihadiri antara lain
oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara, Mr. T. M. Hassan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Kolonel
Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto,
Direktur BNI Mr. A. Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif. Walaupun secara resmi kawat
Presiden Soekarno belum diterima, tanggal 22 Desember 1948, sesuai dengan konsep yang
telah disiapkan, maka dalam rapat tersebut diputuskan untuk membentuk Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI), dengan susunan sebagai berikut:
Maknanya :
Perjanjian Roem Royen diadakan 14 April -7 mei 1948 dimana delegasi Indonesia dari Moh.
Roem dengan anggota Ali Sastro Amijoyo, Dr. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Supomo, dan
Latuharhary. Sedangkan dari belanda adalah Dr.J.H. Van Roijen yang beranggotakan Blom,
Jacob, dr.Van, dr. Gede, Dr.P.J.Koets, Van Hoogstratendan, dan Dr. Gieben. Dalam
Perundingan tersebut berjalan alot, Namun perundingan tersebut diperkuat dari hadirnya
Drs. Moh. Hatta dari pengasingan bangka dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari
Yogyakarta. dimana Sri Sultan Hamengkubuwono IX mempertegas bahwa “Jogjakarta is de
Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).
Rombongan PDRI mendarat di Maguwo pada 10 Juli 1949. Mereka disambut oleh Sultan
Hamangkubuwono IX, Moh. Hatta, Mr.Roem, Ki Hajar Dewantara, Mr. Tadjuddin serta
pembesar RI lainnya. Pada tanggal itu pula rombongan Panglima Besar Jenderal Sudirman
memasuki Desa Wonosari. Rombongan Jenderal Sudirman disambut kedatangannya oleh
Sultan Hamengkubuwono IX dibawah pimpinan Letkol Soeharto, Panglima Yogya, dan dua
orang wartawan, yaitu Rosihan Anwar dari Pedoman dan Frans Sumardjo dari Ipphos. Saat
menerima rombongan penjemput itu Panglima Besar Jenderal Sudirman berada di rumah
lurah Wonosari. Saat itu beliau sedang mengenakan pakaian gerilya dengan ikat kepala
hitam. Pada esok harinya rombongan Pangeran Besar Jenderal Sudirman dibawa kembali ke
Yogyakarta. Saat itu beliau sedang menderita sakit dengan ditandu dan diiringi oleh utusan
dan pasukan beliau dibawa kembali ke Yogyakarta. Dalam kondisi letih dan sakit beliau
mengikuti upacara penyambutan resmi dengan mengenakan baju khasnya yaitu pakaian
gerilya.