Anda di halaman 1dari 8

Sebagai negara yang baru merdeka Indonesia banyak menghadapi masalah di berbagai sektor

diantaranya ekonomi, politik, pendidikan, sosial dan militer. Kedatangan kembali Belanda dengan
NICA-nya dengan dalih mengambil alih pendudukan Jepang hingga menyebabkan perlawanan di
berbagai daerah di Indonesia.

Perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan juga dilakukan di meja


perundingan atau perjuangan diplomasi.

MENCARI DUKUNGAN INTERNASIONAL

Australia

Australia bersedia menjadi anggota Komisi Tiga Negara. Australia juga mendesak Belanda agar
menghentikan operasi militernya di Indonesia. Australia berperan dalam membentuk opini dunia
internasional untuk mendukung Indonesia dalam sidang Dewan Keamanan PBB.

Dewan Keamanan PBB

Para tokoh politik Indonesia mengadakan pendekatan dengan negara-negara anggota Dewan
Keamanan PBB. Pendekatan yang dilakukan Sutan Syahrir dan Haji Agus Salim dalam sidang Dewan
Keamanan PBB pada bulan Agustus 1947 berhasil mempengaruhi negaranegara anggota Dewan
Keamanan PBB untuk mendukung Indonesia.

BERUNDING DENGAN BELANDA

Indonesia juga mengadakan perundingan langsung dengan Belanda. Berbagai perundingan yang
pernah dilakukan untuk menyelesaikan konflik Indonesia- Belanda misalnya: Perundingan Linggarjati,
Perjanjian Renville, Persetujuan Roem-Royen, Konferensi Inter-Indonesia, dan Konferensi Meja
Bundar.

1. Permulaan Perundingan dengan Belanda(10 Februari 1946)

Panglima AFNEI (Letnan Jenderal Christison) memprakarsai pertemuan Pemerintah RI dengan


Belanda untuk menyelesaikan pertikaian Belanda dan RI. Serangkaian perundingan pendahuluan di
lakukan. Archibald Clark Kerr dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai penengah. Perundingan
dimulai pada tanggal 10 Februari 1946. Pada awal perundingan, H.J. van Mook menyampaikan
pernyataan politik pemerintah Belanda. Kemudian pada tanggal 12 Maret 1946, pemerintah
Republik Indonesia menyampaikan pernyataan balasan.

Isi usul balasan dari Indonesia adalah:

1. Republik Indnesia harus diakui sebagai negara berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia-
Belanda.

2. Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan dalam masa tertentu.

3. Tentara Belanda segera ditarik dari Indonesia.

4. Selama perundingan berlangsung, aksi militer harus dihentikan.


2. Perundingan di Hooge Veluwe (14–25 April 1946)

Setelah beberapa kali diadakan pertemuan pendahuluan, diselenggarakanlah perundingan resmi


antara pemerintah Belanda dengan Pemerintah RI untuk menyelesaikan konflik. Perundingan
dilakukan di Hooge Veluwe negeri Belanda pada tanggal 14 – 25 April 1946. Isi perundingan ini
adalah Indonesia meminta Belanda mengakui wilayah kekuasaan Indonesia adalah Jawa, Madura
dan Sumatra. Perundingan mengalami kegagalan karena Belanda menolak.

3. Perundingan Gencatan Senjata (20–30 September 1946)

Banyaknya insiden pertempuran antara pejuang Indonesia dengan pasukan Sekutu dan Belanda
mendorong diadakannya perundingan gencatan senjata. Perundingan diikuti wakil dari
Indonesia,Sekutu, dan Belanda. Perundingan dilaksanakan dari tanggal 20 – 30 September 1946.
Perundingan tidak mencapai hasil yang diinginkan.

4. Perundingan RI dan Belanda (7 Oktober 1946)

Lord Killearn berhasil membawa wakil-wakil Pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja
perundingan. Perundingan berlangsung di rumah Konsul Jenderal Inggris di Jakarta pada tanggal 7
Oktober 1946. Delegasi Indonesia diketuai Perdana Menteri Sutan Syahrir. Delegasi Belanda diketuai
oleh Prof. Schermerhorn. Dalam perundingan tersebut, masalah gencatan senjata yang gagal
perundingan tanggal 30 September 1946 disetujui untuk dibicarakan lagi dalam tingkat panitia yang
diketuai Lord Killearn.

Perundingan tingkat panitia menghasilkan persetujuan gencatan senjata sebagai berikut :

1. Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar
kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.

2. Dibentuk sebuah Komisi Bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis


pelaksanaan gencatan senjata.

Di bidang politik, delegasi Pemerintah Indonesia dan komisi

umum Belanda sepakat untuk menyelenggarakan perundingan

politik “secepat mungkin”.

5. Perundingan Linggarjati (10 November 1946)

Sebagai kelanjutan perundingan-perundingan sebelumnya, sejak tanggal 10 November 1946 di


Linggarjati di Cirebon, dilangsungkan perundingan antara Pemerintah RI dan komisi umum Belanda.
Perundingan di Linggarjati dihadiri oleh beberapa tokoh juru runding, antara lain sebagai berikut:

Inggris, sebagai pihak penengah diwakili olehLord Killearn.

Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir (Ketua), Mohammad Roem (anggota), Mr. Susanto Tirtoprojo,
S.H. (anggota), Dr. A.K Gani (anggota).

Belanda, diwakili Prof. Schermerhorn (Ketua), De Boer (anggota), dan Van Pool (anggota).
Perundingan di Linggarjati tersebut menghasilkan keputusan yang disebut perjanjian Linggarjati.
Berikut ini adalah isi Perjanjian Linggarjati.

1. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan meliputi
Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda sudah harusmeninggalkan daerah de facto paling
lambat pada tanggal 1 Januari 1949.

2. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk negara Serikat
dengan nama RIS. Negara Indonesia Serikat akan terdiri dari RI, Kalimantan dan Timur Besar.
Pembentukan RIS akan diadakan sebelum tanggal 1 Januari 1949.

3. RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia- Belanda dengan Ratu Belanda sebagai
ketua. Perjanjian Linggarjati ditandatangani oleh Belanda dan Indonesia pada tanggal 25
Maret 1947 dalam suatu upacara kenegaraan di Istana Negara Jakarta.

6. Melibatkan Komisi Tiga Negara

Pada tanggal 18 September 1947, Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah Komisi Jasa Baik.
Komisi ini kemudian terkenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara. Anggota KTN terdiri dari Richard
Kirby (wakil Australia), Paul van Zeeland (wakil Belgia), dan Frank Graham (wakil Amerika Serikat).
Dalam pertemuannya pada tanggal 20 Oktober 1947, KTN memutuskan bahwa tugas KTN di
Indonesia adalah untuk membantu menyelesaikan sengketa antara RI dan Belanda dengan cara
damai. Pada tanggal 27 Oktober 1947, KTN tiba di Jakarta untuk memulai pekerjaannya.

7. Perjanjian Renville (8 Desember 1947 – 17 Januari 1948)

KTN berusaha mendekatkan RI dan Belanda untuk berunding. Atas usul KTN, perundingan
dilakukandi tempat yang netral, yaitu di atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika
Serikat “USS Renville”. Oleh karena itu, perundingan tersebut dinamakan Perjanjian Renville.

Perjanjian Renville dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Hasil perundingan Renville disepakati dan
ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Yang hadir pada perundingan di atas kapal Renville
ialah sebagai berikut.

1. Frank Graham (ketua), Paul van Zeeland (anggota), dan Richard Kirby (anggota) sebagai
mediator dari PBB.

2. Delegasi Indonesia Republik Indonesia diwakili oleh Amir Syarifuddin (ketua), Ali
Sastroamidjojo (anggota), Haji Agus Salim (anggota), Dr. J. Leimena (anggota), Dr. Coa Tik Ien
(anggota), dan Nasrun (anggota).

3. Delegasi Belanda Belanda diwakili oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo (ketua), Mr. H.A.L. van
Vredenburgh (anggota), Dr. P. J. Koets (anggota), dan Mr. Dr. Chr. Soumokil (anggota).

8. Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948-20 Desember 1948)

Pelaksanaan hasil Perundingan Renville mengalami kemacetan. Upaya jalan keluar yang ditawarkan
oleh KTN selalu mentah kembali karena tidak adanya kesepakatan antara Indonesia dan Belanda.
Indonesia melalui Hatta tetap tegas mempertahankan kedaulatan Indonesia, sementara Belanda
terus berupaya mecari cara menjatuhkan wibawa Indonesia.

Akhirnya, menjelang tengah malam pada tanggal 18 Desember 1948, Wali Tinggi Kota Mahkota
Belanda Dr. Beel mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan
Renville.Dini hari tanggal 19 Desember, pesawat terbang Belanda memborbardir Maguwo (sekarang
Bandara Adisucipto) dan sejumlah bangunan penting di Yogyakarta. Peristiwa itu mengawali agresi
militer Belanda II. Pemboman dilanjutkan dengan penerjunan pasukan udara. Dalam waktu singkat,
Yogyakarta ibu kota RI ketika itu, dapat dikuasai.

Dalam suasana genting, pemerintah RI mengadakan rapat kilat dan menghasilkan keputusan darurat
berikut.

1. Melalui radiogram, pemerintah RI memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara


untuk membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI) di Sumatera.

2. Presiden dan wakil presiden RI tetap tinggal dalam kota dengan resiko ditangkap Belanda,
agar dekat dengan KTN (yang sekarang berada di Kaliurang).

3. Pimpinan TNI menyingkir keluar kota dan melancarkan perang gerilya dengan membentuk
wilayah pertahanan (sistem wehkreise) di Jawa dan Sumatera.

Namun para pejuang diplomasi yaitu Palar, Sujatmo, Sumitro, dan Sudarpo berkeliling di luar negeri
dalam melakuakan perjuangan diplomasi antara lain:

1. Menunjukan pada dunia bahwa agresi militer Belanda merupakan tindakan melanggar
perjanjian damai (Perjanjian Renville)

2. Meyakinkan dunia bahwa RI cinta damai, terbukti dari sikap, menaati hasil Perundingan
Renville dan pernghargaan terhadap KTN.

3. Membuktikan bahwa RI masih berdaulat dengan fakta masih berlangsungnya pemerintahan


melalui PDRI dan keberhasilan TNI menguasai Yogyakarta selama 6 jam (Serangan Oemoem
1 Maret)

Kerja keras perjuangan diplomasi mampu mengundang simapti internasional terhadap Indonesia.
Amerika Serikat mendesak Belanda untuk menarik mundur pasukannya dari wilayah RI (dengan
ancaman menghentikan bantuannya). Dewan Keamanan PBB mendesak Belanda untuk
menghentikan operasi militer dan membebaskan para pemimpin Indonesia. Desakan yang gencar
dari dunia internasional akhirnya dapat membuat Belanda mengakhiri militernya kedua.

8. Resolusi DK PBB (28 Januari 1949)

Berkaitan dengan agresi militer Belanda II, pada tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB
mengeluarkan sebuah resolusi. Isi dari resolusi itu ialah sebagai berikut.
1. Belanda harus menghentikan semua operasi militer dan pihak Republik Indonesia diminta
untuk menghentikan aktivitas gerilya. Kedua pihak harus bekerja sama untuk mengadakan
perdamaian kembali.

2. Pembebasan dengan segera dan tidak bersyarat semua tahanan politik dalam daerah RI oleh
Belanda sejak 19 Desember 1948.

3. Belanda harus memberikan kesempatan kepada pemimpin RI untuk kembali ke Yogyakarta


dengan segera. Kekuasaan RI di daerah-daerah RI menurut batas-batas Persetujuan Renville
dikembalikan kepada RI.

4. Perundingan-perundingan akan dilakukan dalam waktu yang secepat-cepatnya dengan dasar


Persetujuan Linggarjati, Persetujuan Renville, dan berdasarkan pembentukan suatu
Pemerintah Interim Federal paling lambat tanggal 15 Maret 1949. Pemilihan Dewan
Pembuat Undang Undang Dasar Negara Indonesia Serikat selambat-lambatnya pada tanggal
1 Juli 1949.

5. Komisi Jasa-jasa Baik (KTN) berganti nama menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
Indonesia (United Nation for Indonesia atau UNCI). UNCI bertugas untuk: membantu
melancarkan perundinganperundingan untuk mengurus pengembalian kekuasaan
pemerintah RI, mengamati pemilihan, mengajukan usul mengenai berbagai hal yang dapat
membantu tercapainya penyelesaian.

9. Perjanjian Roem-Royen (17 April – 7 Mei 1949)

Sejalan dengan perlawanan gerilya di Jawa dan Sumatra yag semakin meluas, usaha-usaha di bidang
diplomasi berjalan. Sementara itu, Dewan Keamanan PBB pada tanggal 23 Maret 1949
memerintahkan UNCI untuk membantu pelaksanaan resolusi DK PBB pada tanggal 28 Januari 1949.
UNCI berhasil membawa Indonesia dan Belanda ke meja perundingan. Pada tanggal 17 April 1949
dimulailah perundingan pendahuluan di Jakarta. Delegasi Indonesia dipimpin Mr. Mohammad Roem.
Delegasi Belanda dipimpin Dr. van Royen. Pertemuan dipimpin Merle Cohran dari UNCI yang berasal
dari Amerika Serikat. Akhirnya pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai persetujuan. Persetujuan itu
dikenal dengan nama “Roem-Royen Statement”.

Dalam perundingan ini, setiap delegasi mengeluarkan pernyataan sendiri-sendiri. Pernyataan


delegasi Indonesia antara lain sebagai berikut.

1. Soekarno dan Hatta dikembalikan ke Yogyakarta.

2. Kesediaan mengadakan penghentian tembakmenembak.

3. Kesediaan mengikuti Konferensi Meja Bundar setelah pengembalian Pemerintah RI ke


Yogyakarta.

4. Bersedia bekerja sama dalam memulihkan perdamaian dan tertib hukum.

Sedangkan pernyataan dari pihak Belanda adalah sebagai berikut.

1. Menghentikan gerakan militer dan membebaskan tahanan politik.


2. Menyetujui kembalinya Pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta.

3. Menyetujui Republik Indonesia sebagai bagian dari negara Indonesia Serikat.

4. Berusaha menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar.

Pada tanggal 6 Juli 1949, Soekarno dan Hatta dikembalikan ke Yogyakarta. Pengembalian Yogyakarta
ke tangan Republik Indonesia diikuti dengan penarikan mundur tentara Belanda dari Yogyakarta.
Tentara Belanda berhasil menduduki Yogyakarta sejak tanggal 19 Desember 1948 – 6 Juli 1949.

10. Konferensi Inter-Indonesia (19 -22 Juli 1949 dan 31 Juli – 2 Agustus 1949)

Sebelum Konferensi Meja Bundar berlangsung, dilakukan pendekatan dan koordinasi dengan
negara- negara bagian (BFO) terutama berkaitan dengan pembentukan Republik Indonesia Serikat.
Konferensi Inter-Indonesia ini penting untuk menciptakan kesamaan pandangan menghadapi
Belanda dalam KMB. Konferensi diadakan setelah para pemimpin RI kembali ke Yogyakarta.
Konferensi Inter-Indonesia I diadakan di Yogyakarta pada tanggal 19 – 22 Juli 1949. Konferensi Inter-
Indonesia I dipimpin Mohammad Hatta. Konferensi Inter-Indonesia II diadakan di Jakarta pada
tanggal 30 Juli – 2 Agustus 1949. Konferensi Inter-Indonesia II dipimpin oleh Sultan Hamid (Ketua
BFO).

Pembicaraan dalam Konferensi Inter-Indonesia hampir semuanya difokuskan pada masalah


pembentukan RIS, antara lain:

Masalah tata susunan dan hak Pemerintah RIS, kerja sama antara RIS dan Belanda dalam
Perserikatan Uni.

Hasil positif Konferensi Inter-Indonesia adalah disepakatinya beberapa hal berikut ini.

1. Negara Indonesia Serikat yang nantinya akan dibentuk di Indonesia bernama Republik
Indonesia Serikat (RIS).

2. Bendera kebangsaan adalah Merah Putih.

3. Lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya.

4. Hari 17 Agustus adalah Hari Nasional.

Dalam bidang militer, Konferensi Inter-Indonesia memutuskan hal-hal berikut.

1. Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) adalah Angkatan Perang Nasional.

2. TNI menjadi inti APRIS dan akan menerima orang-orang Indonesia yang ada dalam KNIL dan
kesatuan-kesatuan tentara Belanda lain dengan syarat-syarat yang akan ditentukan lebih
lanjut.

3. Pertahanan negara adalah semata-mata hak Pemerintah RIS, negara-negara bagian tidak
mempunyai angkatan perang sendiri.

Pada tanggal 1 Agustus 1949, pihak Republik Indonesia dan Belanda mencapai persetujuan
penghentian tembak-menembak yang akan mulai berlaku di Jawa pada tanggal 11 Agustus dan di
Sumatera pada tanggal 15 Agustus. Tercapainya kesepakatan tersebut memungkinkan
terselenggaranya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.

11. Konferensi Meja Bundar (23 Agustus 1949 – 2 November 1949)

Konferensi Meja Bundar (KMB) diadakan di Ridderzaal, Den Haag, Belanda. Konferensi dibuka pada
tanggal 23 Agustus 1949 dan dihadiri oleh:

1. Delegasi Republik Indonesia dipimpin Mohammad Hatta,

2. Delegasi BFO dipimpin Sultan Hamid,

3. Delegasi Kerajaan Belanda dipimpin J. H. van Maarseveen, dan

4. UNCI diketuai oleh Chritchley.

Konferensi Meja Bundar dipimpin oleh Perdana Menteri Belanda, W. Drees. Konferensi berlangsung
dari tanggal 23 Agustus sampai dengan 2 November 1949. Dalam konferensi dibentuk tiga komisi,
yaitu: Komisi Ketatanegaraan, Komisi Keuangan, dan Komisi Militer.

Kesulitan-kesulitan yang muncul dalam perundingan adalah:

• dari Komisi Ketatanegaraan menyangkut pembahasan mengenai Irian Jaya,

• dari Komisi Keuangan menyangkut pembicaraan mengenai masalah utang.

Belanda menuntut agar Indonesia mengakui utang terhadap Belanda yang dilakukan sampai tahun
1949. Dalam bidang militer, tanpa ada kesulitan sidang menyepakati inti angkatan perang dalam
bentuk Indonesia Serikat adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI). Setelah penyerahan kedaulatan
kepada Republik Indonesia Serikat, KNIL (tentara Belanda di Indonesia) akan dilebur ke dalam TNI.

Berikut ini adalah beberapa hasil dari KMB di Den Haag:

1. Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia sepenuhnya dan tanpa syarat kepada RIS.

2. Republik Indonesia Serikat (RIS) terdiri atas Republik Indonesia dan 15 negara federal. Corak
pemerintahan RIS diatus menurut konstitusi yang dibuat oleh delegasi RI dan BFO selama
Konferensi Meja Bundar berlangsung.

3. Melaksanakan penyerah an kedaulatan selambat- lambatnya tanggal 30 Desember 1949.

4. Masalah Irian Jaya akan diselesaikan dalam waktu setahun sesudah pengakuan kedaulatan.

5. Kerajaan Belanda dan RIS akan membentuk Uni Indonesia-Belanda. Uni ini merupakan badan
konstitusi bersama untuk menyelesaikan kepentingan umum.

6. Menarik mundur pasukan Belanda dari Indonesia dan membubarkan KNIL. Anggota KNIL
boleh masuk ke dalam APRIS.

7. RIS harus membayar segala utang Belanda yang diperbuatnya semenjak tahun 1942.
PENGAKUAN KEDAULATAN

Upacara penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan dilakukan pada waktu yang bersamaan di
Indonesia dan di negeri Belanda, yaitu pada tanggal 27 Desember 1949. Di negeri Belanda,
penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan dilaksanakan di ruang takhta Istana Kerajaan
Belanda. Ratu Juliana, P.M. Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. A.M.J.A. Sassen, dan
Mohammad Hatta membubuhkan tanda tangan pada naskah pengakuan kedaulatan. Sementara itu,
di Jakarta, Sultan Hamengkubuwono IX dan A.H.J. Lovink (Wakil Tinggi Mahkota) membubuhkan
tanda tangan pada naskah pengakuan kedaulatan. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan
penyerahan kedaulatan dari Republik Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat.

Anda mungkin juga menyukai