BAB 1
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan aksi polisionil yang dikenal dengan agresi
militer I. Tujuannya adalah untuk menguasai sarana-sarana vital di Jawa dan Madura. Jadi
tujuan serangan ini bersifat ekonomis. Pasukan Belanda bergerak dari Jakarta dan Bandung
untuk menduduki Jawa Barat, dan dari Surabaya untuk menduduki Madura. Dalam waktu
singkat wilayah RI dapat diterobos. Berbagai reaksi bermunculan akibat agresi militer I.
Belanda tidak menyangka apabila Amerika Serikat dan Inggris memberikan reaksi yang
negatif.
Negara-negara Arab, India, Burma, Australia juga merupakan negara-negara yang paling
awal bersimpati pada RI. Dengan berbagai usaha diplomatik dan kerjasama internasional
mereka membela perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dukungan mereka dan keterampilan
delegasi Indonesia memperjuangkan hak kedaulatan bangsa berhasil menyudutkan Belanda
dalam percaturan politik internasional. India dan Australia berhasil membawa masalah
Indonesia ke Sidang Dewan Keamanan PBB.
2. RUMUSAN
3. TUJUAN
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca,
khususnya para pelajar di bidang sejarah dan dapat memberikan informasi kepada kita
tentang sejarah Konferensi Tiga Negara (KTN). Lalu dapat menjadi bahan ajaran siwa/siswi
terutama dalam pelajaran sejarah. Serta sebagai salah satu mata rantai pergaulan kehidupan
yang berbudaya dalam berbagai perspektif dan visi pendidikan secara umum.
BAB II
ISI
1. Penghentian operasi militer dari pihak Belanda serta perang gelilya dari pihak Indonesia.
2. Pembebasan serta pengembalian para pemimpin RI ke Yogyakarta.
3. Penyelenggaraan perundingan antara Belanda dan Indonesia dalam waktu dekat.
4. Pembentukan Komisi PBB untuk Indonesia dengan tugas memperlancar perundingan
Indonesia Belanda.
Untuk mengawasi gencatan senjata, Pada tanggal 25 Agustus 1947 PBB membentuk Komisi
Tiga Negara (KTN). Anggota KTN ada tiga negara yaitu:
a. Belgia (dipilih oleh Belanda) dipimpin oleh Paul van Zeeland;
b. Australia (dipilih oleh Indonesia) dipimpin oleh Richard Kirby; dan
c. Amerika Serikat (dipilih oleh Indonesia dan Belanda) dipimpin Dr. Frank Graham.
Tugas utama KTN adalah mengawasi secara langsung penghentian tembak-menembak sesuai
dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB. Dengan demikian masalah Indonesia menjadi
masalah internasional. Secara diplomatis jelas sangat menguntungkan Indonesia.
KTN berhasil mempertemukan Indonesia dengan Belanda dalam Perjanjian Renville.
Sumber : http://www.thejakartapost.com/
Kedatangan Komisi Tiga Negara (Committee of Good Offices) ke Indonesia.
Selain itu juga mengembalikan para pemimpin Republik Indonesia yang ditawan Belanda di
Bangka. Sejak awal awal Belanda telah mempersulit tugas Komisi Tiga Negara. Pada tanggal
29 Agustus atau 4 hari setelah terbentuknya KTN, Belanda mengumumkan garis demarkasi
baru yang dikenal sebagai "Garis Van Mook" (Van Mook Line) yang didasari dengan
argumen bahwa daerah yang dianggap sebagai wilayah kekuasaan Belanda adalah yang
berada di belakang pos-pos terdepan pasukan KNIL/KL. Padahal di belakang pos- pos yang
merupakan benteng-benteng terpisah tersebut pasukan TNI dan kekuatan RI lainnya cukup
leluasa untuk beroperasi. Konsep "Garis Van Mook" ditolak mentah- mentah oleh RI. Pada
tanggal 27 Oktober 1947, Komisi Tiga Negara yang terdiri atas wakil Belgia (Paul van
Zeeland), Australia (Richard Kirby) dan Amerika Serikat (Prof. Graham) mendarat di Jakarta.
Konflik dengan Belanda selanjutnya dibawah pengawasan internasional.
KTN dapat mempertemukan wakil-wakil Belanda dan RI di meja perundingan yaitu di kapal
Renville milik USA yang berlabuh di Tanjung Priok pada 8 Desember 1947 sampai 17
Januari 1948. Delegasi Indonesia dipimpin oleh PM. Amir Syarifuddin.
Delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo. Penengah perundingan
adalah KTN.
Suasana perundingan melalui penengah KTN pada awal Desember 1948 memulai menemui
jalan buntu. Pada tanggal 11 Desember 1948, Belanda mengatakan bahwa tidak mungkin lagi
dicapai persetujuan antara kedua belah pihak. Empat hari kemudian Wakil Presiden
Mohammad Hatta meminta KTN untuk mengatur perundingan dengan Belanda.
tetapi Belanda menjawab pada tanggal 18 Desember 1948, pukul 23:00 malam, bahwa
Belanda tidak terikat lagi dengan Persetujuan Renville. Lewat tengah malam atau tanggal 19
Desember 1948 pagi, tentara Belanda diterjunkan di lapangan terbang Maguwo, yang dikenal
dengan istilah Aksi Militer Belanda II (2nd Dutch Military Action).
Reaksi internasional atas serangan Belanda terhadap Republik pada tanggal 19 Desember
1948 sangat keras. Negara-negara Asia, Timur Tengah dan Australia mengutuk serangan itu
dan memboikot Belanda dengan cara menutup lapangan terbang mereka bagi pesawat
Belanda. Dalam sidangnya pada tanggal 22 Desember 1948 Dewan Keamanan PBB
memerintahkan penghentian tembak menembak kepada tentara Belanda dan Republik
Inodnesia. Atas usul India dan Birma, Konferensi Asia mengenai Indonesia diadakan di New
Delhi pada tanggal 20 Desember 1949. Amerika Serikat, Kuba, dan Norwegia mendesak
Dewan Keamanan untuk membuat resolusi yang mengharuskan dilanjutkannya
perundingan.
Pada tanggal 24 Januari 1948, Konferensi Asia di New Delhi mengirimkan resolusi kepada
Dewan Keamanan PBB, yang antara lain menuntut dipulihkannya Pemerintah Republik ke
Yogyakarta; dibentuknya Pemerintahan Interim; ditariknya tentara Belanda dari seluruh
Indonesia; dan diserahkannya kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia Serikat, pada tanggal
1 Januari 1950.
Atas usul Amerika Serikat, Tiongkok, Kuba, dan Norwegia, pada tanggal 28 Januari
1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mengharuskan kedua belah pihak
menghentikan permusuhan, dipulihkannya pemerintah pusat Republik Indonesia ke
Yogyakarta; dilanjutkannya perundingan; dan diserahkannya kedaulatan kepada Indonesia
pada waktu yang disepakati.
Sumber : http://www.deplu.go.id/
Suasana Konferensi Asia di new Delhi, India yang mendesaknya PBB untuk kembali mengeluarkan resolusinya.
Resolusi Dewan Keamanan PBB ini memberikan peluang baru bagi KTN untuk kembali aktif
menangani Indonesia - Belanda. KTN mendesak Belanda agar para tawanan dibebaskan.
Anggota KTN juga datang ke Bangka mengunjungi pemimpin Republik yang ditahan di sana.
Lalu pada tanggal 23 Maret 1949 KTN yang diminta Dewan Keamanan PBB agar membantu
kedua belah pihak untuk melakukan perundingan berdasarkan resolusi tanggal 28 Januari
1949, telah tiba di Jakarta. Dua hari kemudian delegasi Republik yang dipimpin Mr.
Mohammad Roem bertemu dengan delegasi Belanda dibawah Van Royen di Hotel Des Indes,
Jakarta. Merle Cochran dari KTN bertindak sebagai penengah.
Terjadinya Agresi Militer Belanda menimbulkan reaksi yang cukup keras dari Amerika
Serikat dan Inggris, bahkan PBB. Hal ini tidak lepas dari kemampuan pada diplomat
Indonesia dalam memperjuangkan dan menjelaskan realita di PBB. Salah satunya adalah L.N.
Palar. Sebagai reaksi dari Agresi Militer Belanda, PBB memperluas kewenangan KTN.
Komisi Tiga Negara diubah menjadi UNCI. UNCI kependekan dari United Nations
Commission for Indonesia. UNCI dipimpin oleh Merle Cochran (Amerika Serikat) dibantu
Critchley (Australia) dan Harremans (Belgia). Hasil kerja UNCI di antaranya mengadakan
Perjanjian Roem-Royen antara Indonesia Belanda. Perjanjian Roem-Royen diadakan tanggal
14 April 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebagai wakil dari PBB adalah Merle Cochran
(Amerika Serikat), delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Mr. Moh. Roem, sedangkan
delegasi Belanda dipimpin oleh van Royen. Dalam perundingan Roem-Royen, masing-
masing pihak mengajukan statement.
Pada tanggal 1 Agustus 1949 Rapat gabungan komisi militer (Republik - Belanda - BFO dan
UNCI) bersepakat untuk segera menghentikan permusuhan, mengadakan gencatan senjata
dan mengembalikan kota-kota yang telah diduduki Belanda ke tangan Republik Indonesia.
Pada tanggal 3 Agustus 1949 pukul 8 malam, melalui RRI, Presiden Soekarno
memerintahkan Angkatan Perang RI untuk menghentikan tembak-menembak dengan tentara
Belanda. Pada saat yang bersamaan Wakil Tinggi Mahkota Belanda di Indonesia,
Lovink, mengumumkan hal yang sama melalui radio di Jakarta.
Karena penghentian tembak-menembak antara kedua belah pihak harus mulai berlaku sejak
11 Agustus untuk seluruh wilayah Jawa, dan 17 Agustus 1949 untuk Sumatra, maka para
komandan lapangan harus pula segera mengadakan pembicaraan baik melalui Panita Bersama
Pusat, maupun Komite Daerah, untuk mengatur segi-segi teknis penghentian tembak-
menembak, dibantu oleh PBB/UNCI. Sambil menunggu hasil perundingan Konferensi Meja
Bundar, tentara Belanda mulai ditarik.
BAB IV
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan aksi polisionil yang dikenal dengan agresi
militer I. Agresi ini menguasai sarana-sarana vital di Jawa dan Madura. Jadi tujuan serangan
ini bersifat ekonomis. Pasukan Belanda bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menduduki
Jawa Barat, dan dari Surabaya untuk menduduki Madura. Dalam waktu singkat wilayah RI
dapat diterobos Berbagai reaksi bermunculan akibat agresi tersebut. Belanda tidak
menyangka apabila Amerika Serikat dan Inggris memberikan reaksi yang negatif. Negara-
negara Arab, India, Burma, Australia juga merupakan negara-negara yang paling awal
bersimpati pada RI. Dengan berbagai usaha diplomatik dan kerjasama internasional mereka
membela perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka membawa masalah ini ke PBB
sehingga dibentuklah KTN (Konferensi Tiga Negara) pada tanggal 25 Agustus 1947 dan
mulai bekerja oktober 1947 untuk mengawasi secara langsung penghentian tembak-
menembak sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB.
Peranan KTN sendiri dalam mengatasi masalah antara Indonesia Belanda adalah KTN
selalu menjadi penengah yang bijaksana dalam perundingan-perundingan yang diadakan
guna menghentikan agresi Belanda. Secara diplomatis jelas sangat menguntungkan
Indonesia. KTN berhasil mempertemukan Indonesia dengan Belanda dalam Perjanjian
Renville. KTN selalu memberikan petunjuk-petunjuk kepada RI sehingga timbul simpati
dunia yang semakin besar karena RI selalu bersedia menerima petunjuk KTN. KTN juga
mendesak Belanda agar para tawanan dibebaskan. Anggota KTN juga datang ke Bangka
mengunjungi pemimpin Republik yang ditahan di sana. Akhirnya karena perjuangan RI dan
KTN, mereka dapat mengembalikan para pemimpin Republik Indonesia yang ditawan
Belanda di Bangka.
2. SARAN
"Kedaulatan Negara" yang menjadi obsesi kita semua. Kita dapat mengambil pelajaran dari
Agresi Militer yang dilakukan Belanda, itu artinya kita khususnya pelajar sebagai penerus
bangsa yang nantinya akan membentengi Indonesia. Namun, upaya untuk sampai ke arah itu,
hanya sebatas retorika dan ketentuan formal. Rasa nasionalisme memang simbol yang
diperlukan khususnya pelajar. Namun selama ini penerapannya banyak yang melenceng dari
sasaran.
3. KRITIK
Sedangkan kritik bagi kita semua adalah untuk lebih memperhatikan lebih detail lagi
mengenai sejarah bangsa terutama KTN (Konferensi Tiga Negara) yang sudah jarang kita
ketahui. Selain itu kita sebagai para pelajar wajib meneruskan perjuang para pahlawan kita
untuk terus mengharumkan nama bangsa.
Daftar Pustaka
www.google.com
www.deplu.go.id
Kansil, C.S.T. 1997. IPS Sejarah Jilid 3 Untuk SLTP Kelas 3. Jakarta: Erlangga.
Diposkan oleh RANTY PEBRIANTIKA di 7:00:00 AM