Anda di halaman 1dari 2

Zhafirah Tsany Saputri

XII TATABOGA 1
Penugasan PPKn

PERUNDINGAN MEMPERTAHANKAN KEDAULATAN NKRI

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Belanda masih berkeinginan untuk menguasai


Indonesia kembali dengan memboncengi tentara Sekutu.

Kedatangan Belanda dan tentara sekutu ke Tanah Air tidak disambut baik oleh masyarakat karena tujuan
mereka datang adalah menaklukkan kembali tanah jajahannya. Benar saja, pertempuran antara para pejuang
dengan tentara Sekutu tak terelakkan. Banyak bentrokan terjadi, sebut saja Pertempuran Ambarawa,
Pertempuran Surabaya, Bandung Lautan Api, dan masih banyak lagi.
Karena tidak ingin terjadinya pertumpahan darah, maka Indonesia dan Belanda sepakat mengadakan
beberapa perundingan, diantaranya ialah:

 Perundingan Linggajati

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Belanda masih belum mengakui kedaulatan NKRI secara
de facto. Oleh karena itu, diadakan sebuah perundingan antara Indonesia dan Belanda untuk membahas hal
tersebut. Perundingan tersebut adalah Perjanjian Linggajati yang dilakukan di Kuningan, Jawa Barat pada 10-
15 November 1946 dan disahkan pada 25 Maret 1947. Indonesia diwakili oleh Sutan Sjahrir dan Belanda
diwakili oleh Prof. Schermerhorn.
Perundingan di Linggajati ini mencapai beberapa persetujuan, antara lain Belanda mengakui RI secara de
facto yang terdiri atas Jawa, Madura, dan Sumatra. Selain itu akan dibentuk negara federal yang dinamakan
Republik Indonesia Serikat (di mana RI menjadi salah satu negara bagiannya). Terakhir akan dibentuk Uni
Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepala uni.
 Perundingan Renville

Usai peristiwa di Linggajati, Belanda melanggar perjanjian tersebut dengan melakukan Agresi Militer Belanda
I secara serentak pada 21 Juli 1947 terhadap kota-kota besar wilayah RI di Jawa dan Sumatera. Tindakan ini
mendapatkan kecaman keras dari dunia internasional. Oleh karena itu, PBB membentuk Komisi Tiga Negara
(KTN) yang beranggotakan Australia sebagai perwakilan Indonesia (Richard C. Kirby), Belgia sebagai
perwakilan Belanda (Paul Van Zeeland), dan Amerika Serikat sebagai penengah (Prof. Dr. Frank Graham)
untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Maka dari itu, dilakukanlah sebuah perundingan di atas kapal milik Amerika Serikat yang bernama USS
Renville pada 17 Januari 1948. Kala itu, kapal USS Renville sedang bersandar di Pelabuhan Tanjung
Priok.Delegasi Indonesia diketuai Perdana Menteri Amir Syarifudin dan Belanda menempatkan seorang
Indonesia bernama R. Abdulkadir Wijoyoatmojo sebagai ketuanya. Hasil yang dituai dari perjanjian ini adalah
Belanda tetap berdaulat sampai terbentuknya RIS, RI sejajar kedudukannya dengan Belanda, RI menjadi
bagian dari RIS dan akan diadakan pemilu untuk membentuk Konstituante RIS, serta tentara Indonesia di
daerah Belanda (daerah kantong) harus dipindahkan ke wilayah RI.
 Perundingan Roem-Royen

Belanda kembali melanggar Perjanjian Renville dengan melancarkan Agresi Militer Belanda II. Hal ini
menyebabkan Indonesia terpaksa mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi,
Sumatra Barat di bawah komando Syafruddin Prawiranegara.
Setelah mendapatkan kecaman dari dunia internasional, barulah Belanda mau mengadakan perundingan
kembali dengan Indonesia. Perundingan Dalam perundingan ini dinamakan dengan Perundingan Roem-
Royen, digelar di Jakarta pada 7 Mei 1949. Mr. Moh. Roem sebagai ketua delegasi mewakili Indonesia dan Dr.
J.H Van Royen sebagai ketua delegasi Belanda. Sedangkan, sebagai mediator perundingan adalah Merle
Cochran dari UNCI.
Hasil dari perundingan ini adalah menghentikan perang gerilya dan Indonesia-Belanda bekerja sama dalam
memelihara ketertiban dan keamanan. Kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta dan bersedia turut serta
dalam Konferensi Meja Bundar yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.

 Konferensi Inter-Indonesia

Sebelum pelaksanaan Konferensi Meja Bundar diadakan Konferensi Inter-Indonesia yaitu Republik Indonesia
dengan BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) atau Badan Permusyawaratan Federal. Mula-mula
diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 19 – 22 Juli 1949, kemudian dilanjutkan di Jakarta pada tanggal
30 Juli 1949. Keputusan penting antara lain negara yang akan dibentuk nanti dinamakan RIS, APRIS (Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat) adalah angkatan perang nasional, dan TNI menjadi inti APRIS.
 Konferensi Meja Bundar

Konferensi Meja Bundar dilaksanakan di Den Haag, Belanda. Delegasi Belanda dipimpin oleh van
Maarseveen. Delegasi Indonesia dipimpin Drs. Moh. Hatta, untuk delegasi BFO (forum permusyawaratan
federal yang terdiri atas Negara-negara boneka buatan Belanda) dipimpin oleh Sultan Hamid II. Sidang
berlangsung pada tanggal 23 Agustus sd 2 November 1949. KMB menghasilkan beberapa keputusan penting,
yaitu Belanda mengakui kedaulatan Indonesia paling lambat 30 Desember 1949. Selain itu, Indonesia
berbentuk negara serikat dan merupakan sebuah uni dengan Belanda. Uni Indonesia-Belanda dipimpin oleh
Ratu Belanda. Namun, permasalahan Irian Barat masih merupakan daerah perselisihan dan akan diselesaikan
dalam waktu satu tahun.
Meskipun tidak memuaskan banyak pihak, tetapi itulah hasil optimal yang dapat diperoleh. Akhirnya, pada
tanggal 27 Desember 1949 dilakukan penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada RIS. Bangsa Indonesia
melalui perjuangan bersenjata dan diplomasi memaksa Belanda untuk mengakui kedaulatan negara Republik
Indonesia dan mendesak keluar dari wilayah RI yang ditandai dengan upacara pengakuan kedaulatan
Indonesia sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan KMB antara Indonesia-Belanda.

Anda mungkin juga menyukai