Anda di halaman 1dari 10

RESUME

PERJUANGAN DIPLOMASI INDONESIA

NUR ASTI RAHAYU

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

nurastirahayu7@gmail.com

PENDAHULUAN

A. PERJANJIAN LINGGARJATI 11-15/11/1946


Perjanjian Linggarjati merupakan Perjanjian yang muncul setelah Belanda melakukan serangan
pasca diumumkan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Belanda yang tidak mengakui
kemerdekaan Indonesia berusaha untuk merebut dan menegakkan wilayah kekuasaan di Indonesia.
Perundingan Linggarjati merupakan salah satu perjanjian antara Indonesia dan Belanda dalam
sejarah kemerdekaan. Perjanjian ini digelar di Linggarjati, Jawa Barat, dan ditandatangani di Istana
Merdeka Jakarta, terkait status kemerdekaan RI. Sebelum Perjanjian Linggarjati dilaksanakan, telah
digelar rangkaian perundingan di Jakarta maupun Belanda, namun kedua belah pihak belum
Smenemukan titik temu mengenai status Indonesia sebagai negara yang merdeka.

Pada tahun 1946 setelah beberapa pertikaian Belanda dan bangsa Indonesia, pihak Belanda
menginginkan diadakan Perjanjian. Perjanjian tersebut adalah Perjanjian Linggarjati, dimana dalam
Perjanjian tersebut pihak Belanda dan Indonesia ditengahi oleh pihak Inggris. Hasil Perjanjian yang
terjadi di awal-awal masa kemerdekaan tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan yang kemudian
dinamakan “Perjanjian Linggarjati”. Dalam catatan sejarah, Linggarjati atau Linggajati sendiri adalah
nama sebuah desa yang secara geografis berada antara Cirebon dan Kuningan dan terletak di kaki
gunung Ciremai Jawa Barat, dan ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta, terkait status
kemerdekaan RI Pemilihan Linggarjati sebagai tempat Perjanjian dikarenakan tempat ini netral bagi
kedua belah pihak.

Hingga akhirnya, tanggal 11-13 November 1946 dilaksanakan pertemuan di Linggarjati. Hasil
perundingan ini diteken pada 15 November 1946 lalu diratifikasi secara resmi pada 25 Maret 1947 di
Istana Merdeka, Jakarta.

Latar Belakang

Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 setelah sekian lama dijajah
bangsa-bangsa Eropa, terutama Belanda, dan kemudian Jepang. Meskipun sudah memproklamirkan
kemerdekaan namun Indonesia masih diincar oleh Belanda yang ingin berkuasa kembali. Setelah
Indonesia merdeka, Pasukan Belanda yang tergabung dalam NICA (Netherlands-Indies Civiele
Administration) kembali ke Indonesia dengan membonceng pasukan Sekutu yang telah
memenangkan perang melawan Jepang. Maka, digelarlah rangkaian perundingan untuk membahas
status kemerdekaan RI. rangkaian perundingan untuk membahas status kemerdekaan RI.
Pertemuan pertama dilangsungkan pada 23 Oktober 1945 di Jakarta oleh perwakilan RI dan NICA.
Namun gagal mencapai kesepakatan. Pertemuan kedua digelar pada 13 Maret 1946 yang berlanjut
tanggal 16-17 Maret 1946 dan menghasilkan naskah yang dikenal dengan sebutan Batavia Concept
atau Rumusan Jakarta. Naskah ini adalah nota kesepahaman untuk menginjak fase perundingan
berikutnya. Delegasi Belanda dalam pertemuan itu adalah Perdana Menteri Prof. Dr. Ir. W.
Schermerhorn, sedangkan wakil Indonesia dipimpin oleh Soetan Sjahrir. Pihak Inggris (Sekutu)
bertindak sebagai penengah yang diwakili oleh Sir Archibald Clark Kerr atau Lord Inverchapel.

Kronologi

Sebagai tindak lanjut atas beberapa pertemuan awal, dihelat forum di Hoge Veluwe, Belanda, pada
4-24 April 1946, yang membahas tentang persoalan status kenegaraan, kemerdekaan, dan wilayah
Indonesia. Namun, pemerintah Kerajaan Belanda tidak setuju dan menawarkan opsi bahwa
Indonesia akan menjadi negara bawahan dalam persemakmuran Belanda. Soetan Sjahrir sebagai
wakil delegasi Indonesia tentu saja menolak mentah-mentah. Indonesia ingin kedaulatan penuh.

Perundingan kembali dilanjutkan pada 7 Oktober 1946 dengan tujuan untuk mengurai persoalan
demi persoalan. Delegasi Indonesia dalam forum ini adalah Soetan Sjahrir, A.K. Gani, Amir
Sjarifuddin, Soesanto Tirtoprodjo, Mohammad Roem, dan Ali Boediardjo. Sementara dari pihak
Belanda diwakili oleh Prof. Dr. Ir. W. Schermerhorn dan Inggris sebagai penengah diwakili oleh Lord
Killearen. Pada 14 Oktober 1946 disepakati bahwa akan dilakukan pembicaraan lebih lanjut
mengenai pengakuan Indonesia dari pihak Belanda. Waktu yang disepakati untuk pertemuan penting
itu adalah dari 12 November 1946 di Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat.

Isi Perjanjian

Linggarjati Perundingan Linggarjati dilangsungkan selama 3 hari, yakni hingga tanggal 15 November
1946 yang membuahkan kesepakatan bersama. A.B Lafian melalui buku Menelusuri Jalur Linggarjati
Diplomasi dalam Perspektif Sejarah (1992) memaparkan, perjanjian tersebut disepakati pada rapat
penutup pukul 13.30.

Adapun isi dari Perjanjian Linggarjati adalah sebagai berikut:

1. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang
meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura.
2. Belanda sudah harus meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
3. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negeri Indonesia
Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS), yang salah satu negara bagiannya
adalah Republik Indonesia (RI).
4. RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda selaku
ketuanya
Karta Sasmita dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1960 (1995) menyebutkan bahwa isi
Perjanjian Linggarjati masih menimbulkan polemik di kalangan Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP). Hal tersebut menyebabkan penandatanganan Perjanjian Linggarjati baru terlaksana pada 25
Maret 1947 di Istana Istana Merdeka, Jakarta. Nantinya, Belanda mengingkari kesepakatan dalam
Perjanjian Linggarjati tersebut dengan melancarkan agresi militer pertama pada 21 Juli 1947.
Tokoh-Tokoh dalam Perjanjian Linggarjati
 Delegasi Belanda: Hubertus vanMook dan Prof. Dr. Ir. W. Schermerhorn
 Delegasi Indonesia: Soetan Sjahrir, A.K. Gani, Amir Sjarifuddin, Soesanto Tirtoprodjo,
Mohammad Roem, dan Ali Boediardjo
 Delegasi Inggris (Penengah): Lord Inverchapel dan Lord Killearen

B. AGRESI MILITER 1
Setelah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia tidak serta merta bebas
dari penjajah. Belanda masih terus berupaya merebut kemerdekaan Indonesia melalui sejumlah
serangan,salah satunya Agresi Militer Belanda I atau Operatie Product. Yaitu operasi
militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21
Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi militer ini yaitu babak dari Afal yang dibuat Polisionil yang
diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan
Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap yaitu pelanggaran dari hasil
Perundingan Linggajati.

Sebab Adanya Agresi Militer Belanda I adalah kekalahan Belanda dalam peperangan.Kekalahan itu
membuat ekonomi Belanda lesu. Belanda pun ingin membangkitkan perekonomian negaranya
dengan kembali menguasai kekayaan alam Indonesia . Sejumlah tentara Belanda pun dikirim
kembali ke Indonesia.Belanda datang dengan membonceng pasukan sekutu yang menang Perang
Dunia II. Kali ini, Belanda datang dengan bendera baru. Bukan lah VOC, melainkan NICA (Netherlands
Indies Civiele Administration) atau Pemerintahan Sipil Hindia Belanda.NICA mendarat di Sabang,
Aceh dan sampai di Jakarta pada 15 September 1945. Tentara NICA dipimpin oleh Letnan Gubernur
Jenderal Hubertus van Mook.

Van Mook datang menyampaikan pidato Ratu Wilhelmina yang menyebutkan Indonesia dan Belanda
membentuk sebuah persemakmuran. Dengan kata lain, Indonesia berada di bawah naungan
Kerajaan Belanda.Namun, masyarakat dan pemerintah Indonesia yang sudah merdeka tak menerima
pidato tersebut. Mereka bertekad memukul mundur para penjajah. Situasi pun mulai memanas.
Pada 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum atau peringatan keras meminta Indonesia
menarik mundur pasukannya sejauh 10 km dari garis demarkasi atau garis gencatan senjata.
Ultimatum tesebut ditolak mentah-mentah.

Lima hari kemudian, pada 21 Juli, van Mook melalui siaran radio secara gamblang menyatakan
bahwa Belanda tidak lagi terikat pada hasil Perjanjian Linggarjati.Perundingan Linggarjati itu salah
satunya pengakuan belanda secara de facto pada Negara Republik Indonesia. Isi dan Hasil
Perundingan Setelah pengumuman itu, dalam waktu kurang dari 24 jam Agresi Militer Belanda I
dimulai.

Agresi Militer Belanda I memiliki tujuan menguasai sumber daya alam Indonesia yang berada di
Sumatera dan Jawa. Di pulau Jawa, Belanda bergerak ke Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Mereka hendak menguasai perkebunan, pabrik, dan pelabuhan.Sementara di Sumatera, Belanda
bertujuan menguasai perkebunan dan pertambangan khususnya minyak dan batu bara. Kekayaan
alam ini akan menjadi modal ekonomi Kerajaan Belanda.Belanda melancarkan serangan yang
menyebabkan banyak orang meninggal dunia.
Pemerintah Indonesia melaporkan agresi militer ini kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB
lantas mengeluarkan resolusi pada 1 Agustus 1947Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan
senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite calon penengah
konflik sela Indonesia dan Belanda. Komite ini awal mulanya hanyalah sebagai Committee of Good
Offices for Indonesia (Komite Perbuatan yang berguna Patut Untuk Indonesia), dan semakin dikenal
sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggota tiga negara, yaitu Australia yang ditunjuk oleh
Indonesia, Belgia yang ditunjuk oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral.
Australia diganti oleh Richard C. Kirby, Belgia diganti oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat
menunjuk Dr. Frank Graham.Dewan Keamanan PBB terus mendesak Belanda menghentikan agresi
militer. Belanda pun menerima resolusi itu dan menyetop pertempuran pada 5 Agustus 1947.

C. Perjanjian Renville 8/12/1947


Perjanjian Renville merupakan perundingan antara Indonesia dan Belanda yang terjadi di atas kapal
Amerika Serikat yaitu USS Renville pada 8 Desember 1947.Menurut Pengaruh Perang Kemerdekaan
II terhadap Pengakuan Kedaulatan RI Tanggal 27 Desember 1949 (2015), perundingan Renville
dilatarbelakangi pertikaian Belanda-Indonesia.Yang menjadi unsur pertikaian adalah
seranganSerangan yang dilakukan Belanda ke Indonesia itu mendapat perhatian negara lain dan
menjadi kecaman internasional.

Pada 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB ikut turun tangan untuk membantu menghentikan
serangan Belanda tersebut.Tetapi, pada 5 Agustus 1947, Belanda dan Indonesia kembali
mengumumkan akan melakukan gencatan senjata, hingga membuat Dewan Keamanan PBB
mengambil langkah penyelesaian.Dewan Keamanan PBB kemudian membentuk Komisi Tiga Negara
(KTN) terdiri atas Australia, Belgia, dan Amerika Serikat, yang bertugas menyelesaikan sengketa
antara Belanda serta Indonesia.KTN juga berusaha mendekatkan kedua belah pihak yaitu Belanda
dan Indonesia untuk menuntaskan segala persoalan-persoalan militer serta politik.Di samping itu,
KTN turut berperan dalam mempertemukan kembali antara Belanda dan Indonesia dalam
perundingan yang berlangsung di atas kapal perang Renville.

Tokoh Perjanjian Renville

Sejumlah saksi turut dihadirkan ketika perundingan Renville, di antaranya:

 Delegasi Indonesia diwakili oleh Amir Syarifudin (ketua), Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim,
Dr.J. Leimena, Dr. Coatik Len, dan Nasrun.
 Delegasi Belanda diwakili oleh R.Abdul Kadir Wijoyoatmojo (ketua), Mr. H.A.L. Van
Vredenburg, Dr.P.J. Koets, dan Mr. Dr. Chr. Soumokil.
 PBB sebagai mediator diwakili oleh Frank Graham (ketua), Paul Van Zeeland, dan Richard
Kirby.
 Belanda berdaulat atas Indonesia sebelum Indonesia mengubah menjadi RIS (Republik
Indonesia Serikat).

Isi Perjanjian Renville


Setelah cukup lama berunding, akhirnya terciptalah perjanjian Renville yang berisi sebagai berikut:
1. Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan segera.
2. Republik Indonesia merupakan negara bagian RIS.
3. Belanda tetap menguasai seluruh Indonesia sebelum RIS terbentuk.
4. Wilayah Republik Indonesia yang diakui Belanda hanya Yogyakarta, Jawa Tengah, dan
Sumatera.
5. Wilayah kekuasaan Indonesia dengan Belanda dipisahkan oleh garis demarkasi yang disebut
Garis Van Mook.
6. TNI harus ditarik mundur dari Jawa Barat dan Jawa Timur atau wilayah-wilayah kekuasaan
Belanda.
7. Akan dibentuk UNI Indonesia-Belanda dengan kepalanya Raja Belanda.
8. Akan diadakan plebisit atau referendum (pemungutan suara) untuk menentukan nasib
wilayah dalam RIS.
9. Akan diadakan pemilihan umum untuk membentuk Dewan Konstituante RIS.

Dampak Perjanjian Renville

Hasil Perjanjian Renville yang telah ditandatangani pada 17 Januari 1948 itu cukup merugikan bagi
Indonesia. Salah satunya perekonomian Indonesia diblokade Belanda secara ketat.
Dalam Indonesian National Revolution 1945-1950 (1974) tulisan Anthony Reid, keberadaan Garis
Van Mook dinilai sebagai hinaan karena wilayah Indonesia jadi semakin dipersempit.
Tidak hanya itu, dampak Perjanjian Renville ini memicu aksi pemberontakan PKI di Madiun pada
1948 dan membuat konflik politik di Indonesia semakin kacau.

D. AGRESI MILITER II
Pasca kemerdekaan Indonesia, Belanda kembali datang dan melancarkan sejumlah serangan.
Serangan ini dinamakan Agresi Militer Belanda.Terdapat dua kali serangan yang dilakukan terhadap
Indonesia yakni Agresi Militer Belanda I atau Operatie Product dan Agresi Militer Belanda II atau
Operatie Kraai alias Operasi Gagak. Setelah gagal dengan agresi militer yang pertama pada 21 Juli - 5
Agustus 1947, Belanda kembali menyerang Indonesia setahun kemudian.

Agresi Militer Belanda II adalah serangan yang dilancarkan Belanda pada 19-20 Desember 1948.
Operasi Gagak ini berawal dari serangan di Yogyakarta yang saat itu merupakan ibu kota dan pusat
pemerintahan Indonesia. Serangan pun meluas ke sejumlah kota di Jawa dan Sumatera.Tujuan
Agresi Militer Belanda II adalah untuk melumpuhkan pusat pemerintahan Indonesia sehingga
Belanda bisa menguasai Indonesia kembali.Belanda ingin merebut kekayaan alam yang ada di
Indonesia untuk menumbuhkan perekonomian negaranya yang hancur setelah kalah dalam Perang
Dunia II.

Kronologi Agresi Militer Belanda II

Dalam Agresi Militer Belanda II, pasukan militer Belanda awalnya menyerang Pangkalan Udara
Maguwo agar bisa masuk ke Yogyakarta. Belanda menggempur pangkalan udara itu secara tiba-tiba
melalui serangan udara.Setelah Pangkalan Udara Maguwo lumpuh, Belanda dengan cepat
menguasai Yogyakarta. Pemimpin Indonesia saat itu, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Mohammad Hatta ditangkap.Belanda juga menangkap sejumlah tokoh seperti Sutan Sjahrir, Agus
Salim, Mohammad Roem, dan AG Pringgodigdo. Mereka diterbangkan ke tempat pengasingan di
Pulau Sumatera dan Pulau Bangka.
Pembentukan Pemerintahan Darurat di Bukittinggi

Sebelum ditangkap, Presiden Soekarno sempat membuat surat kuasa kepada Menteri Kemakmuran
Syafruddin Prawiranegara untuk membuat pemerintahan darurat sementara.Soekarno memberikan
mandat kepada Syafruddin untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di
Bukittinggi, Sumatera Barat. Peralihan pemerintahan ini bertujuan agar Republik Indonesia tidak
berhenti dan terus menyusun strategi melawan Belanda.Presiden Soekarno juga sudah membuat
rencana cadangan seandainya PemerintahaDarurat ini gagal menjalankan tugas pemerintahan.

Soekarno membuat surat kepada Duta Besar RI di New Delhi, India, Sudarsono, Menteri Keuangan
AA Maramis dan staf Kedutaan RI LN Palar untuk membentuk Exile Government of Republic
Indonesia di New Delhi, India. Exile Government adalah pemerintah resmi suatu negara yang karena
alasan tertentu tidak dapat menggunakan kekuatan legalnya. Namun, rencana ini tak jadi dilakukan
karena PDRI berhasil membentuk pemerintahan sementara pada 22 Desember 1948. Sejak saat itu,
tokoh-tokoh PDRI menjadi incaran Belanda.

Namun, PDRI tak gentar dan menyusun sejumlah perlawanan dengan membentuk lima wilayah
pemerintahan militer di Sumatera yakni di Aceh, Tapanuli, Riau, Sumatera Barat, dan Sumatera
Selatan.Perlawanan terhadap belanda juga dibantu berbagai laskar di Jawa.Serangan Belanda yang
terus digencarkan justru mendapat kecaman dari dunia internasional. PBB mendesak Belanda
membebaskan pemimpin Indonesia dan kembali memenuhi Perjanjian Renville.Belanda pun
membebaskan Soekarno dan Hatta pada 6 Juli 1949. Pemerintahan pun kembali pulih pada 13 Juli
1949. Belanda dan Indonesia juga merundingkan perjanjian Roem Royen.

E. PERSETUJUAN ROEM ROYEN 14/4/1949


Perjuangan Indonesia untuk membebaskan diri dari Belanda di awal kemerdekaan, ditempuh lewat
berbagai upaya diplomasi. Salah satu upaya diplomasi yang dilakukan yakni perjanjian Roem-Royen.
Perjanjian Roem-Royen adalah perundingan yang dibuat Indonesia dengan Belanda pada 7 Mei 1949
di Hotel Des Indes, Jakarta untuk menyelesaikan konflik di awal kemerdekaan. Perjanjian Roem-
Royen menjadi salah satu dari rangkaian perundingan dengan Belanda dalam sejarah Indonesia
pasca-kemerdekaan.Nama Perjanjian Roem-Royen diambil dari tokoh pemimpin delegasi di kedua
belah pihak. Dari Indonesia ada Mohamad Roem, sementara delegasi Belanda dipimpin oleh Herman
van Roijen.

Sempat berjalan alot, Indonesia akhirnya dapat menjalankan kembali roda Pemerintahanny yang
sebelumnya terhenti akibat Agresi Militer Belanda II. Para pemimpin pemerintahan yang ditawan
Belanda pun dibebaskan dan dipulangkan ke Yogyakarta yang kala itu menjadi ibu kota sementara
Republik Indonesia. Perjanjian Roem-Royen juga membuka peluang digelarnya Konferensi Meja
Bundar (KMB) dalam upaya pengakuan kedaulatan dari Belanda.

Latar Belakang

Sejarah Indonesia belum aman meski telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Pasukan Sekutu yang tergabung dalam Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) pimpinan Sir
Phliip Christisson datang ke Indonesia tak seberapa lama setelah kemerdekaan. Salah satu tujuannya
yaitu melucuti senjata tentara Jepang serta menegakkan dan mempertahankan keadaan damai yang
kemudian akan diserahkan pada pemerintahan sipil. Namun pasukan Sekutu ternyata diboncengi
oleh Belanda yang menggunakan nama NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Belanda
sebenarnya ingin kembali menguasai Indonesia yang dulu lama mereka duduki sebelum Perang
Dunia Kedua melawan Jepang. Terjadilah berbagai momen heroik bangsa Indonesia yang bertekad
mempertahankan kemerdekaan, termasuk rangkaian perjanjian atau perundingan yang beberapa
kali dilanggar oleh Belanda. Perjanjian Linggarjati, dikutip dari A History of Modern Indonesia Since c.
1300 (2008) karya M.C. Ricklefs, dihelat pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah
tanggal 25 Maret 1947. Namun, Belanda kemudian melanggar perjanjian itun dengan melancarkan
Agresi Militer Belanda I pada 20 Juli 1947.

Pembuktian Eksistensi RI

Agresi Militer Belanda I berhenti dengan dilakukannya Perundingan Renville pada 8 Desember 1947.
Namun, Belanda tidak menaati kesepakatan. Agresi Militer Belanda II dilakukan mulai 19 Desember
1948 dengan sasaran utama Yogyakarta yang kala itu menjadi ibu kota sementara RI. Para petinggi
pemerintahan RI, termasuk Presiden Sukarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan sejumlah
menteri ditawan oleh Belanda, bahkan diasingkan ke luar Jawa. Indonesia ternyata belum habis.
Kendali pemerintahan untuk sementara dialihkan kepada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI) yang berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera Barat. Sementara itu, tanggal 1 Maret 1949
terjadilah serangan umum atau serangan besar-besaran. Kota Yogyakarta yang semula diduduki
Belanda mampu direbut oleh angkatan perang RI dan dipertahankan selama 6 jam sebagai bukti
eksistensi Indonesia. Agresi militer kedua yang dibalas dengan Serangan Umum 1 Maret 1949
merugikan posisi Belanda di peta politik internasional. Banyak negara, juga Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB), yang mengecam aksi polisionil tersebut.

Tokoh Isi Perjanjian Roem-Royen

Dewan Keamanan PBB mendesak Belanda agar dilakukan perundingan kembali. Maka,digelarlah
Perundingan Roem-Royen pada 14 April 1949 hingga 7 Mei 1949. Delegasi Indonesia dipimpin oleh
Mohamad Roem, sementara delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. van Roijen (Royen).
Perundingan dilakukan di Hotel Des Indes, Jakarta, atas prakarsa UNCI (United Nations Commission
for Indonesia). Selain Mohamad Roem, para tokoh delegasi Indonesia antara lain: Supomo, Ali
Sastroamidjojo, Johannes Leimena, A.K. Pringgodigdo, dan Johannes Latuharhary. Hadir pula
Mohammad Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sedangkan delegasi Belanda terdiri dari J.H.
van Roijen, Blom, Jacob, dr. Van, dr. Gede, Dr. P. J. Koets, van Hoogstratendan, dan Dr. Gieben.
Sementara UNCI dipimpin oleh Merle.

Isi perundingan Roem-Royen Setelah melalui perundingan berlarut-larut, akhirnya pada 7 Mei 1949
dicapai persetujuan. Persetujuan itu dikenal sebagai "Roem-Royen Statements" atau Perundingan
Roem-Royen membahas tentang penyerahan ibu kota Yogyakarta yang sempat dikuasai Belanda
kepada Pemerintah Republik Indonesia.

Berikut isi Perjanjian Roem-Royen bagi Indonesia:

Memerintahkan "pengikut RI yang bersenjata" untuk menghentikan perang gerilya.

 Bekerja sama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan


keamanan.
 Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk
mempercepat "penyerahan" kedaulatan yang sungguh lengkap kepada Negara
Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.
Perjanjian Roem-Royen untuk Belanda yakni:
 Belanda menyetujui kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta.
 Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan
politik.
 Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang
dikuasai oleh RI sebelum tanggal 19 Desember 194x dan tidak akan meluaskan
negara atau daerah dengan merugikan RI.
 Menyetujui adanya RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
 Berusaha dengan sungguh-sungguh supaya Konferensi Meja Bundar segera diadakan
sesudah pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.

Dampak Perjanjian Roem-Royen

Untuk menindaklanjuti perjanjian Roem-Royen, pada 22 Juni 1949, diadakan perundingan


formal antara Indonesia, Belanda, dan Majelis Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst
voor Federaal Overleg (BFO) di bawah pengawasan Critchley (Australia).
Perundingan itu menghasilkan keputusan:
 Pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta dilaksanakan pada 24 Juni 1949
 Pasukan Belanda akan ditarik mundur dari Yogyakarta pada 1 Juli 1949.
 Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah TNI menguasai keadaan sepenuhnya di
daerah itu
 Mengenai penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintah RI
ke Yogyakarta
 Konferensi Meja Bundar diusulkan akan diadakan di Den Haag, Belanda
 Yogyakarta baru sepenuhnya ditinggalkan tentara Belanda pada 29 Juni 1949.

F. KONFERENSI MEJA BUNDAR(KMB)

Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah suatu pertemuan antara pihak Belanda, Indonesia, dan
Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO). Momen penting dalam sejarah kemerdekaan
Indonesia ini dilakukan pada tanggal 23 Agustus sampai 2 November 1949. Saat itu, KMB yang
digelar di Den Haag bertujuan untuk menyelesaikan masalah antara Indonesia dan Belanda yang
sudah lama terjadi.

Sejarah Konferensi Meja Bundar

Seperti yang telah diketahui, bahwa Belanda pernah menjajah wilayah Indonesia selama berpuluh-
puluh tahun. Sejak tahun 1942, Belanda menyerah kepada Jepang sehingga wilayah Indonesia
diambil-alih oleh Dai Nippon. Sehingga Indonesia akhirnya merdeka tanggal 17 Agustus 1945 setelah
Jepang kalah dari Sekutu di Perang Dunia II. dalam waktu dua bulan. Kemudian persetujuan yang
dihasilkanKMB diusahakan selesai dalam waktu enam minggu. Namun ternyata, Belanda malah
datang kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu. Belanda ingin menguasai wilayah
Indonesia sehingga terjadilah serangkaian peperangan dan perundingan.Pada tanggal 4 April 1949,
digelar Perjanjian Roem-Royen antara Belanda dan Indonesia. Di mana perundingan tersebut
berakhir pada 7 Mei 1949 dan menghasilkan beberapa kesepakatan, di antaranya adalah
persetujuan diadakannya KMB di Den Haag, kembalinya pemerintahan Republik ke Yogyakarta pada
6 Juli 1949, dan penerapan gencatan senjata. Setelah itu, perundingan antara pihak RI dan BFO
dilakukan, di mana pertemuan ini disebut sebagai Konferensi Inter-Indonesia, yang dilaksanakan
pada 19-22 Juli 1949 di Yogyakarta dan 31 Juli-3 Agustus di Jakarta. BFO merupakan sebuah komite
yang terdiri dari 15 pemimpin negara bagian dan daerah otonom di dalam Republik Indonesia
Serikat(RIS).

Latar belakang dan tujuan Konferensi Meja Bundar

Sebelum KMB, Indonesia dan Belanda sudah beberapa kali mengupayakan kemerdekaan lewat
diplomasi.Diadakannya Konferensi Meja Bundar juga menjadi salah satu kesepakatan dalam
Perjanjian Roem-Royen. KMB bertujuan menyelesaikan sengketa Indonesia dan Belanda seadil dan
secepat mungkin. Indonesia ingin jalan dan cara penyerahan kedaulatan yang sungguh, penuh, dan
tidak bersyarat kepada Negara Indonesia Serikat (NIS) sesuai dengan pokok-pokok persetujuan
Renville. Para pihak yang turut serta dalam KMB mengupayakan agar KMB dapat dimulai pada 1
Agustus 1949.Mereka berharap konferensi diselesaikan dalam waktu dua bulan. Kemudian
persetujuan yang dihasilkan KMB diusahakan selesai dalam waktu enam minggu

Proses Konferensi Meja Bundar


Perundingan antara Indonesia dan Majelis Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst voor
Federaal Overleg (BFO) intensif digelar pada Maret 1949 di Bangka. Dalam rangka mempersiapkan
KMB di Den Haag, RI dan BFO mengadakan perundingan untuk menyatian pendapat. Perundingan
dilaksanakan dua kali yakni di Yogyakarta pada 19 Juni 1949 dan di Jakarta pada 22 Juni 1949.
Perundingan itu dikenal dengan Perundingan Inter-Indonesia. Hasilnya, Indonesia dan BFO sepakat
mendirikan Republik Indonesia Serikat (RIS). Sesudah berhasil menyelesaikan masalahnya sendiri
lewat Konferensi Inter-Indonesia, Indonesia siap menghadapi KMB. Baca juga: Konferensi Meja
Bundar, Belanda Akui Kedaulatan Indonesia Pada tanggal 4 Agustus 1949, dibentuk delegasi yang
diketuai Moh Hatta. Anggotanya yakni:
 Moh Roem
 Soepomo
 Leimena
 Ali Sastroamidjojo
 Juanda
 Sukiman Suyono Hadinoto
 Sumitro Djojohadikusumo
 Abdul Karim Pringgodigdo
 TB Simatupang Sumardi
Sementara dari BFO dipimpin Sultan Hamid II dari Pontianak. Adapun Belanda diwakili oleh Van
Maarseven. KMB diawasi United Nations Commission for Indonesia (UNCI) yang dipimpin oleh
Chritchley (Australia). KMB dibuka pada 23 Agustus 1949. Perundingan KMB berjalan alot dan lama.
Dua masalah yang sulit mencapai titik temu yakni pembentukan Uni Indonesia-Belanda dan soal
utang Hindia Belanda.
Hasil dan dampak Konferensi Meja Bundar

Setelah melalui pembahasan yang berlarut-larut, pada 2 Nobember 1949 tercapailah persetujuan
Konferensi Meja Bundar. Hasil KMB yakni:

 Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada akhir Desember
1949.
 Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda. Dalam uni itu, Indonesia dan Belanda akan bekerja
sama. Kedudukan Indonesia dan Belanda sederajat.
 Indonesia akan mengembalikan semua milik Belanda dan memabayar utang-utang Hindia
Belanda sebelum tahun 1949.
 Masalah Irian Barat akan dibahas satu tahun kemudian.

Dampak dari KMB yakni Indonesia akhirnya mendapat kedaulatannya. Acara penyerahan kedaulatan
berlangsung pada 27 Desember 1949.Penandatanganan naskah penyerahan kedaulatan berlangsung
di dua kota yakni Amsterdam dan Jakarta. Di Amsterdam, naskah penyerahan kedaulatan
ditandatangani Ratu Juliana dan Moh Hatta. Di Jakarta, naskah ditandatangani AHJ Lovink dan Sri
Sultan Hamengkubuwono IX. Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik.
Soekarno menjadi Presiden. Perdana Menterinya Moh Hatta. Kabinet RIS dibentuk. RIS dibentuk
seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara bagian dan merupakan persekutuan
dengan Kerajaan Belanda.

Anda mungkin juga menyukai