LINGGARJATI
Perundingan Linggarjati merupakan salah satu perjanjian antara Indonesia dan Belanda
dalam sejarah kemerdekaan. Perjanjian ini digelar di Linggarjati, Jawa Barat, dan ditandatangani
di Istana Merdeka Jakarta, terkait status kemerdekaan RI. Sebelum Perjanjian Linggarjati
dilaksanakan, telah digelar rangkaian perundingan di Jakarta maupun Belanda, namun kedua
belah pihak belum menemukan titik temu mengenai status Indonesia sebagai negara yang
merdeka. Hingga akhirnya, tanggal 11-13 November 1946 digelar pertemuan di Linggarjati,
Jawa Barat. Hasil perundingan ini diteken pada 15 November 1946 lalu diratifikasi secara resmi
pada 25 Maret 1947 di Istana Merdeka, Jakarta.
LATAR BELAKANG
Tahun 1945, pihak sekutu telah memutuskan bahwa pasukan-pasukan Amerika akan
memusatkan perhatian pada pulau-pulau di Jepang. Tanggung jawab atas Indonesia dipindahkan
dari komando Pasifik Barat Daya Amerika kepada Komando Asia Tenggara Inggris di bawah
pimpinan Lord Louis Mount batten. Tentu saja Belanda ingin sekali menduduki kembali
Indonesia dan menghukum mereka yang telah bekerjasama dengan pihak Jepang, hal itu tidak
mungkin dilakukannya secara sendiri oleh pihak Belanda. Dengan kata lain Belanda ingin
bertumpu pada Inggris, akan tetapi mountbatten akan menunjukkan bahwa dia tidak berniat
menaklukkan Indonesia untuk Belanda.
Sejak kedatangan sekutu di Indonesia pada akhir September 1945, yang diboncengi oleh
NICA dengan KNIL nya, terjadilah pertempuran yang terus menerus antara pihak RI dan
Inggris / Belanda. Perundingan-perundingan yang gagal biasanya dimulai lagi dengan
persetujuan gencatan senjata. Peluang berunding dengan Belanda terbuka lagi ketika Inggris
mengangkat Lord Killearn sebagai utusan istimewa Inggris di Asia Tenggara, sekaligus
penengah konflik Indonesia-Belanda. Pertempuran antara pihak Indonesia dan Inggris berhenti,
tetapi tentara Inggris telah berhasil menduduki beberapa tempat yang penting baik di Jawa
maupun di Sumatera yang selanjutnya diserahkan kepada pihak Belanda. Inggris datang ke
Indonesia tidak ingin terlalu menunjukkan untuk mengobarkan api kekacauan, maka
diusahakanlah olehnya agar pihak Belanda dan Indonesia bisa dipertemukan dalam suatu
perundingan untuk menyelesaikan persoalan mereka dengan cara damai. Pemerintah Inggris
mengirimkan diplomatnya, Lord Killearn ke Indonesia untuk menjadi perantara. Atas jasanya
dapatlah dicapai persetujuan Linggajati pada tanggal 15 November tahun 1946. Adapun
Linggajati adalah nama kota peristirahatan di dekat Cirebon yang terletak dilereng gunung
Cerme. Dalam perundingan ini dipertemukanlah delegasi RI yang dipimpin oleh PM Syahrir
dengan delegasi Belanda yang dipimpin oleh Schermer-horn.
Tanggal 10 Februari 1946, sewaktu Sjahrir menjabat perdana menteri dalam Kabinet
Sjahrir I, Van Mook telah menyampaikan kepada Sjahrir rencana Belanda, yang berisi
“pembentukan negara persemakmuran Indonesia, yang terdiri atas kesatuan-kesatuan yang
mempunyai otonomi dari berbagai tingkat negara persemakanuran mejadi bagian dari Kerajaan
Belanda”. Bentuk politik ini hanya berlaku untuk waktu terbatas, setelah itu peserta dalam
Kerajaan dapat menentukan apakah hubungannya akan dilanjutkan berdasarkan kerja sama yang
bersifat sukarela. Pernerintah Inggris mengangkat seorang Diplomat tingkat tinggi, Sir Archibald
Clark Kerr (yang kemudian diberi gelar Lord Inverchapel) untuk bertindak sebagai ketua dalam
perundingan Indonesia-Belanda. Segera setelah terbentuknya Kabinet Sjahrir II, Sjahrir membuat
usul-usul tandingan yaitu, Republik Indonesia diakui sebagai negara berdaulat yang meliputi
daerah bekas Hindia- Belanda dan antara negeri Belanda dan RI dibentuk federasi. Jelaslah
bahwa usul ini bertentangan dengan usul Van Mook. Setelah diadakan perundingan antara Van
Mook dan Sjahrir dicapai kesepakatan bahwa rancangan persetujuan diberikan bentuk sebagai
Perjanjian Indonesia Internasional dengan “Preambule” dan Pemerintah Belanda mengakui
kekuasaan de facto republik atas Pulau Jawa dan Sumatra.
Pada rapat pleno tanggal 30 Maret 1946 Van Mook menerangkan bahwa rancangannya
merupakan usahanya pribadi tanpa diberi kekuasaan oleh pemerintahanya. Maka diputuskan
bahwa Van Mook akan pergi ke negeri Belanda, dan kabinet rnengirim satu delegasi ke Negeri
Belanda yang terdiri atas Soewandi, Soedarsono dan Pringgodigdo. Perundingan diadakan
tanggal 14-24 April 1946. Pada hari pertama ternyata perundingan sudah mencapai deadlock,
Belanda menganggap dirinya sebagai negara pemegang kedautalatan atas Indonesia.
Perundingan di Hoge Voluwe merupakan kegagalan akan tetapi pengalaman yang diperoleh dan
perundingan Hoge Voluwe ternyata berguna dalam perianjian Linggarjati. Perundingan politik
dimulai di Jakarta, tempatnya bergantian antara Istana Rijswijk (sekarang Istana Negara) tempat
penginapan anggota Komisi Jenderal dengan tempat kediaman resmi Sjahrir, jalan Pegangsaan
Timur 56. Perundingan di tempat kediaman Sjahrir dipimpin oleh Schermerhom sedangkan
perundingan di Istana Rijswijk dipimpin oleh Sjahrir. Perundingan di Jakarta diadakan empat
kali dengan yang terakhir tanggal 5 November. Delegasi Republik Indonesia kemudian menuju
ke Yogya untuk memberi laporan kepada Presiden, Wakil Presiden dan Kabinet, setelah itu
berangkat ke Linggarjati. Lord Killearn datang pada tanggal 10 november dengan menumpang
kapal perang inggris HMS “Verayan Bay”. Beliau diangkat dengan perahu motor ALRI ke
Cirebon, diantar dengan mobil ke Linggarjati dan ditempatkan di rumah yang terletak dekat
dengan rumah penginapan Sjahrir. Sedangkan belanda menggunakan angkatan laut Belanda telah
mempersiapkan Kapal Perang H.M. “Banchert” untuk dipakai sebagai tempat penginapan
Delegasi Belanda. Pada tanggal 11 Nopember Delegasi Belanda datang dengan kapal terbang
“Catalina” dan dibawa ke “Banckert”. Seperti apa yang dilakukan satu hari sebelumnya perahu
ALRI datang untuk menjemput Delegasi Belanda Komandan Banckert menolak dan minta
Delegasi diangkat dengan perahu patroli “Banckert”. Hal ini ditolak oleh Komandan perahu
motor ALRI. Akhirnya persoalan ini dipecahkan dengan diperkenankannya Delegasi Belanda
diangkat perahu Patroli “Banckert” tetapi dikawal oleh perahu motor ALRI.
PROSES PERUNDINGAN
A. PERTAMA
B. KEDUA
Pagi tanggal 15 Nopember diadakan rapat antara kedua delegasi di Istana Rijswijk.
Dalam perundingan tersebut, Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, sedangkan Belanda diwakili
oleh Prof. Schermerhorn. Lord Killearn dari Inggris sebagai penengah. Perjanjian Linggarjati ini
berakhir pada 15 November 1946 dan baru ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada 25
Maret 1947.
ISI PERUNINGAN
a. Belanda mau mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan daerah kekuasaan meliputi
Madura, Sumatera, dan Jawa. Belanda sudah harus pergi meninggalkan daerah de facto
tersebut paling lambat pada tanggal 1 Januari 1949.
b. Belanda dan Republik Indonesia telah sepakat untuk membentuk Negara serikat dengan nama
RIS. Negara Indonesia Serikat akan terdiri dari RI, Timur Besar dan Kalimantan.
Pembentukan RIS akan dijadwalkan sebelum tanggal 1 Januari 1949.
c. Belanda dan RIS sepakat untuk membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda
sebagai ketua.
TOKOH TOKOH
1 Sutan Syahrir
Sutan Syahrir sebagai perwakilan Indonesia, lahir di Padang Panjang pada 5 Maret 1909. Ia
menyelesaikan pendidikannya di Amsterdam, kemudian Sutan Syahrir memulai karier politiknya
di Indonesia. Ia dipilih menjadi Ketua Umum Partai Pendidikan Nasional Indonesia Baru (PNI
Baru). Usai proklamasi kemerdekaan, Syahrir diangkat sebagai ketua Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP). Pernah tiga kali memimpin Kabinet Parlementer. Syahrir menjadi perdana menteri
termuda di dunia saat itu. Perjanjian Linggarjati menjadi puncak keberhasilan Syahrir dalam
diplomasi. Pada tanggal 16 Januari 1962, Sutan Syahrir bersama dengan PSI dan Masyumi
ditangkap pemerintah Orde Lama karena dituduh melakukan kudeta dan percobaan pembunuhan
Presiden RI. Sutan Syahrir meninggal saat berobat di Swiss. Saat pemakaman, pemerintah
menginstruksikan pengibaran bendera setengah tiang sebagai penghormatan
2 Susanto Tirtoprodjo
Susanto Tirtoprodjo lahir di Solo pada 3 Maret 1900. Susanto Tirtoprodjo adalah perwakilan
Indonesia dan negarawan Indonesia yang pernah duduk sebagai Menteri Kehakiman dalam enam
kabinet yang berbeda, mulai Kabinet Sjahrir III sampai Kabinet Hatta II. Sebagai orang yang
duduk dalam sebuah kabinet pemerintahan, tentunya ia memiliki kewajiban dan kewenangan
dalam mengikuti perjanjian Linggarjati. Susanto Tirtoprodjo sebagai orang yang mengikuti
delegasi Indonesia, ia juga termasuk salah satu orang yang ikut menandatanganni isi perjanjian
Linggarjati, walaupun memang pada saat itu tidak semua kabinet menyetujui isi perjanjian
dengan berbagai alasan.
Mayjen TNI (Purn) dr Adnan Kapau Gani atau dikenal AK Gani, lahir di Sumatera Barat 16
September 1905. Beliu merupakan perwakilan tokoh Indonesia dan tokoh kemerdekaan karena
beliau merupakan bagian dari susunan kabinet Syahril, yang mana A. K. Gani pada saat itu
menjabat sebagai anggota konstituante dan sekaligus delegasi Indonesia dalam perundingan
Lingarjati. Ia selalu memberikan sumbangan pemikiran dalam isi perundingan yang disepakati
kedua belah pihak baik oleh Delegasi Indonesia maupun delegasi Belanda. Pada saat di
tandatanganinya isi perjanjian dilakukan di Jakarta, A. K. Gani yang merupakan salah satu
delegasi Indonesia dari empat tokoh yang hadir dalam perundingan maka beliau juga ikut
menandatanganinya, sebagai bentuk tanggung jawab terhadap kesepakatan yang telah dibuatnya,
meskipun ada yang setuju dan ada yang tidak dengan berbagai alasan yang diberikan masing-
masing.
4 Wim Schermerhon
Van Poll lahir di Roosendaal pada 24 Februari 1881. Ia adalah seorang jurnalis dan politisi
Belanda. Van Poll memulai karirnya sebagai pegawai negeri sipil di kotamadya Teteringen,
tetapi menjadikan dirinya sebagai koresponden dan editor untuk berbagai surat kabar daerah.
Tahun 1911 hingga 1917, ia adalah pemimpin redaksi De Gelderlander dan tahun 1917 hingga
1919 dari Nieuwe Haarlemsche Courant. Pada tahun 1929 ia datang ke Dewan Perwakilan
Rakyat untuk RKSP, menjadi spesialis untuk urusan kolonial dan khususnya yang berkaitan
dengan Hindia Belanda. Ia menjadi anggota Komisi Umum untuk Hindia Belanda setelah Perang
dunia II. Dewan penasihat tiga yang membantu Gubernur Jenderal Van Mook dalam negosiasi
dengan Sukarno tentang masa depan Republik Indonesia melalui Perjanjian Linggarjati.
Miles Wedderburn Lampson Killearn atau Lord Killearn adalah seorang diplomat berkebangsaan
Inggris. Ia masuk ke Kementerian Luar Negeri Inggris sejak 1903. Killearn bertugas sebagai
Komisaris Tinggio untuk Siberia, Mesir, Sudan, dan duta besar di China. Kemudian pada tahun
1946, dia diangkat sebagai komisaris khusus untuk Asia Tenggara. Dalam kedudukan tersebut
dia banyak terlibat pertikaian Belanda-Indonesia. Ia berperan dalam gencatan senjata yang
kemudian terbentuk perjanjian Linggarjati.
Gischa, Serafica. 2020. “Perjanjian Linggarjati: Latar Belakang, Isi, dan Dampaknya” ,
https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/10/090000769/perjanjian-linggarjati-latar-
belakang-isi-dan-dampaknya?page=all, diakses pada 14 Maret 2022 pukul 14.08.
Parinduri, Alhidayath. 2021. “Sejarah Perjanjian Linggarjati: Latar Belakang, Isi, Tokoh
Delegasi” , https://tirto.id/sejarah-perjanjian-linggarjati-latar-belakang-isi-tokoh-delegasi-f9zC,
diakses pada 14 Maret 2022 pukul 12.12.
Kurniawan, Andre. 2021. “Sejarah 15 November 1946: Penandatanganan Perundingan
Linggarjati” , https://www.merdeka.com/jabar/sejarah-15-november-1946-penandatanganan-
perundingan-linggarjati-kln.html, diakses pada 14 Maret 2022 pukul 21.58.
Chairul, Ilham. 2021. “Sejarah Perundingan Renville: Latar Belakang, Isi, Tokoh, & Dampak” ,
https://tirto.id/sejarah-perundingan-renville-latar-belakang-isi-tokoh-dampak-f9CK, diakses pada
17 Maret 2022 pukul 21.49.
Primadia, Andara. 2021. ” Perundingan Hooge Valuwe – Latar Belakang dan Hasil Perundingan”
, https://sejarahlengkap.com/indonesia/kemerdekaan/pasca-kemerdekaan/perundingan-hooge-
valuwe, diakses pada 18 Maret 2022 pukul 21.09.
Septiana, Tiyas. 2022. “Perjanjian Renville 17 Januari 1948: Latar Belakang, Tokoh, dan Isi
Perjanjiannya”, https://caritahu.kontan.co.id/news/perjanjian-renville-17-januari-1948-latar-
belakang-tokoh-dan-isi-perjanjiannya, diakses pada 18 Maret 2022 pukul 18.49.
Nur, Siti. 2021. “Sejarah Perjanjian Roem Royen Lengkap dengan Tokoh yang Terlibat”,
https://katadata.co.id/sitinuraeni/berita/61b32724e94e0/sejarah-perjanjian-roem-royen-lengkap-
dengan-tokoh-yang-terlibat, diakses pada 17 Maret 2022 pukul 19.05.
Nada, Nibras. 2021. “Konferensi Meja Bundar: Latar Belakang, Tujuan, Hasil, dan Dampaknya”,
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/11/100000169/konferensi-meja-bundar-latar-
belakang-tujuan-hasil-dan-dampaknya?page=all, diakses pada 16 Maret 2022 pukul 17.51.
perjanjian Linggajati ini dari pihak RI ditandatangani oleh Sutan Sjahrir, Mr.Moh.Roem,
Mr.Soesanto Tirtoprodjo, dan A.K.Gani, sedangkan dari pihak Belanda ditandatangani oleh Prof.
Schermerhorn, Dr.van Mook, dan van Poll.
Pada tanggal I Oktober 1945, telah diadakan perundingan antara Christison Inggris dengan pihak
Republik Indonesia Dalam perundingan ini Christison mengakui secara de facto terhadap
Republik Indonesia Hal tersebut memperlancar gerak masuk Sekutu ke wilayah Indonesia.
Pihak pemerintah RI pada tanggal 1 November 1945 mengeluarkan maklumat politik.
Pernerintah RI menginginkan pengakuan terhadap negara dan pernerintah RI, baik oleh Inggris
maupun Belanda sebagaimana yang dibuat sebelum Perang Dunia II. Pemerintah RI juga berjanji
akan mengembalikan sernua milik asing atau memberi ganti rugi atas milik yang telah dikuasai
oleh pernerintah RI. Inggris yang ingin melepaskan diri dari kesulitan pelaksanaan tugas-
tugasnya di Indonesia, mendorong agar segera diadakan perundingan antara Indonesia dan
Belanda. Oleh karena itu, Inggris mengirim Sir Archibald Clark Kerr. Di bawah pengawasan dan
perantaraan Clark Kerr, pada tanggaI 10 Februari 1946 diadakan perundingan Indonesia dengan
Belanda di Jakarta. Dalam perundingan ini, Belanda mendelegasikan gubernur jenderal NICA
bernama H.J Van Mook dan pemerintah Indonesia diwakili oleh tokoh nasional seperti Sutan
Sjahrir dan Agus Salim. Dalarn perundingan ini Van Mook selaku wakil dari Belanda
mengajukan usul-usul antara. lain sebagai berikut. 1. Indonesia akan dijadikan negara
persemakmuran berbentuk federasi, memiliki pemerintahan sendiri tetapi di dalarn lingkungan
Kerajaan Nederland Belanda. 2. Masalah dalam negeri di urus oleh Indonesia, sedangkan urusan
luar negeri ditangani oleh pernerintah Belanda. 3. Sebelum dibentuk persemakmuran, akan
dibentuk pemerintahan peralihan selama sepuluh tahun. 4. Indonesia akan dimasukkan sebagai
anggota PBB. Pihak Indonesia belum menanggapi dan mengajukan usul-usul balasannya.
Kebetulan situasi Kabinet Syahrir mengalami krisis, Persatuan Perjuangan PP pimpinan Tan
Malaka melakukan oposisi. PP mendesak pada pemerintahan bahwa perundingan hanya dapat
dilaksanakan atas dasar pengakuan seratus persen terhadap RI. Ternyata mayoritas suara anggota
KNIP menentang kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Syahrir. Oleh karena itu, Kabinet
Syahrir jatuh. Presiden Sukarno kemudian menunjuknya kembali sebagai Perdana Menteri.
Kabinet Syahrir II teribentuk pada tanggal 13 Maret 1946. Kabinet Syahrir II mengajukan usul
balasan dari usul-usul Van Mook. Usul-usul Kabinet Syahrir II antara lain sebagai berikut : 1. RI
harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah Hindia Belanda. 2. Federasi
Indonesia Belanda akan dilaksanakan dalam masa tertentu. Mengenai urusan luar negeri dan
pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang anggotanya terdiri atas orang-orang
Indonesia Di unduh dari : Bukupaket.com 159 Sejarah Indonesia dan Belanda. 3. Tentara
Belanda segera ditarik kembali dari republik. 4. Pemerintah Belanda harus-membantu
pemerintah Indonesia untuk menjadi anggota PBB. 5. Selama perundingan sedang terjadi, semua
aksi militer harus dihentikan. Usulan Syahrir tersebut ternyata ditolak oleh Van Mook. Sebagi
jalan keluarnya Van Mook mengajukan usul tentang pengakuan republik Indonesia sebagai wakil
Jawa untuk mengadakan kerja sama dalam upaya pembentukan negara federal yang bebas dalam
lingkungan Kerajaan Belanda. Pada tanggal 27 Maret 1946, Sutan Syahrir memberikan jawaban
disertai konsep persetujuan yang isi pokoknya antara lain sebagai berikut. 1. Supaya pemerintah
Belanda mengakui kedaulatan de facto RI atas Jawa dan Sumatra. 2. Supaya RI dan Belanda
bekerja sama membentuk RIS. 3. RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, dan Curacao,
menjadi peserta dalam ikatan kenegaraan Belanda. Usulan tersebut ternyata sudah saling
mendekati kompromi. Oleh karena itu, usaha perundingan perlu ditingkatkan.
elegasi Indoesia
Perwakilan delegasi Indonesia salah satunya adalah Sutan Syahrir. Syahrir diangkat sebagai
ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pernah tiga kali memimpin Kabinet
Parlementer. Syahrir menjadi perdana menteri termuda di dunia saat itu. Perjanjian Linggarjati
menjadi puncak keberhasilan Syahrir dalam diplomasi. Selain Sutan Syahrir terapat Susanto
Tirtoprodjo yang pernah duduk sebagai Menteri Kehakiman dalam enam kabinet yang berbeda,
mulai Kabinet Sjahrir III sampai Kabinet Hatta II. Sebagai orang yang duduk dalam sebuah
kabinet pemerintahan, tentunya ia memiliki kewajiban dan kewenangan dalam mengikuti
perjanjian Linggarjati. Susanto Tirtoprodjo sebagai orang yang mengikuti delegasi Indonesia, ia
juga termasuk salah satu orang yang ikut menandatanganni isi perjanjian Linggarjati. Kemudian,
terdapat A. K. Gani yang pada saat itu menjabat sebagai anggota konstituante dan sekaligus
delegasi Indonesia dalam perundingan Lingarjati. Ia juga termasuk salah satu orang yang ikut
menandatangani isi perjanjian Linggarjati bersama Sutan Sjahrir, Mr.Moh.Roem, Mr.Soesanto
Tirtoprodjo.
Perjanjian Linggarjati juga didatangi oleh perwakilan Inggris sebagai penanggung jawab atau
mediator, yang diwakili oleh Lord Killearn. Pada tahun 1946, dia diangkat sebagai komisaris
khusus untuk Asia Tenggara. Dalam kedudukan tersebut dia banyak terlibat dalam pertikaian
antara Belanda – Indonesia. Berkat perantaraannya, dua negara tersebut berhasil mencapai
gencatan senjata yang kemudian terbentuk perjanjian Linggarjati
Desember tahun 1946, Belanda mampu memecah Indonesia menjadi negara-negara bagian
dengan tujuan untuk menciptakan konflik antar masyarakat Indonesia. Indonesia melakukan
berbagai upaya untuk membendung politik Devide et Impera pasca proklamasi, salah satunya
melalui Konferensi Inter-Indonesia. Konferensi Inter-Indonesia dilaksanakan sebanyak dua kali.
Konferensi Inter-Indonesia I dilaksanakan pada tanggal 19 – 22 Juli 1949 di hotel Tugu
Yogyakarta. Konferensi Inter-Indonesia II dilaksanakan pada 31 Juli – 3 Agustus 1949 di
Jakarta. Dengan demikian, tokoh yang terlibat dalam Konferensi Inter-Indonesia, yaitu dari pihak
Indonesia ada Sukarno, dan Moh. Hatta. Dari pihak BFO ada Sultan Hamid II, dan Anak Agung
Gde Agung.
1 Kedaulatan Republik Indonesia secara penuh atas pulau Jawa dan Sumatra diakui oleh
pemerintahan Belanda.
RIS secara bersama-sama dengan Suriname, Netherland dan Curacao menjadi anggota
kenegaraan dibawah kendali kerajaaan Belanda.
Dengan tercapainya usulan tersebut, kedua belah pihak yang diwakili oleh Syahrir dari Indonesia
dan Van Mook yang mewakili pihak Belanda yang dihadiri juga oleh Archibald Clark Kerr
selaku pihak yang menengahi pertemuan tersebut. Yang kemudian hasilnya akan dibawa ke
pemerintahan Belanda untuk memperoleh persetujuan karena Van Mook mengungkapkan bahwa
dirinya tak memiliki kekuasaan untuk memenuhi usulan dari pemerintah Indonesia tersebut.
Munculnya perundingan Hooge Veluwe ini disebabkan oleh kegagalan perundingan
pendahuluan antara Netherlands Indies Civiele Administration (NICA/Belanda) dan Indonesia
pada 23 Oktober 1945 di Jakarta. Dalam perundingan ini, Belanda menyampaikan keinginan
untuk menjadikan Indonesia sebagai negara bawahan dalam persemakmuran Belanda.
Menanggapi keinginan pihak Belanda tersebut, tentu saja tim delegasi Indonesia menolak.
Bahkan Indonesia menuntut pengakuan kedaulatan secara penuh dari pihak Belanda. Maka
dalam pertemuan tersebut menghasilkan naskah draft Jakarta yang berisi tiga hal yang nantinya
akan dibawa dalam perundingan Hooge Veluwe
Delegasi Belanda terdiri dari: Perdana Menteri Prof. Ir. Dr. W. Schermerhorn, Menteri Daerah-
daerah Seberang Lautan Prof. Dr. J.H. Logemann, Menteri Luar Negeri Dr. J.H. van Roijen,
Letnan Gubernur Jenderal Dr. H.J. Van Mook, Prof. Baron van Asbeck, Sultan Hamid II, dan
Letnan Kolonel Surio Santoso.
Delegasi Republik Indonesia terdiri dari Menteri Kehakiman Mr. Suwandi, Menteri Dalam
Negeri Dr. Sudarsono, dan Sekretaris Kabinet Mr. A.G. Pringgodigdo.
Perjanjian Renville dilaksanakan tanggal 8 Desember 1947 dan ditandatangani pada tanggal 17
Februari 1948. Dinamakan perjanjian Renville karena perjanjian ini dilaksanakan di atas geladak
kapal perang milik Amerika Serikat yang bernama USS Renville. Saat itu kapal perang milik
Amerika tersebut berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Tiga Negara (KTN) menjadi
penengah menjadi penengah bagi delegasi Indonesia dan Belanda. KTN atau Komisi Tiga
Negara terdiri atas Amerika Serikat, Australia, dan Belgia.
Di dalam jalannya perundingan Renville, Indonesia kala itu delegasinya dipimpin oleh Perdana
Menteri Amir Sjarifudin Harahap. Sementara delegasi Belanda dipimpin oleh kolonel KNIL R
Abdul Kadir Wijoyoatmojo. Selama perundingan berlangsung, Belanda bersikukuh dengan sikap
awal mereka yang tidak ingin mundur demarkasi sebelum agresi militer. Belanda tetap
menginginkan untuk bertahan pada batas demarkasi baru yang dinamakan Garis van Mook. Bagi
pihak Belanda, garis tersebut merupakan garis impian dalam rangka memperoleh penambahan
wilayah yang sangat besar di Sumatra dan Jawa. Seperti kita ketahui, bahwa Sumatra dan Jawa
merupakan daerah kaya akan sumber daya alam yang dibutuhkan Belanda. Menjelang Natal
tahun 1947, KTN mengajukan Christian Message atau Pesan Natal kepada kedua belah pihak. Isi
dari pesan itu yang pertama yaitu, berdiri tegak di tempat dan penghentian tembak-menembak
dengan segera (immediate standfast and cease-fire). Kedua, pengulangan kembali pokok dasar
Persetujuan Linggajati. Melalui pendekatan yang dilakukan oleh KTN akhirnya tanggal 17
Januari 1948 tercapailah kesepakatan antara pemerintah RI dengan Belanda. Persetujuan tersebut
antara lain berisi persetujuan gencatan senjata antara Indonesia dengan Belanda. Disepakati juga
enam prinsip tambahan guna mencapai penyelesaian politik. Hasil persetujuan tersebut kemudian
dikenal dengan Perjanjian Renville.
Akibat Perjanjian Renville luas wilayah Indonesia menjadi semakin sempit dan sangat
merugikan. Para tentara di Jawa Barat harus berpindah ke Jawa tengah yang dikenal dengan
peristiwa Long March Siliwangi. Bahkan ibu kota negara juga harus berpindah dari Jakarta
karena tidak lagi menjadi wilayah kekuasaan Indonesia. Hal ini memunculkan rasa kecewa dan
membuat munculnya perlawanan di berbagai daerah. Bahkan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin
mundur dari jabatannya pada 23 Januari 1948 karena dianggap gagal mempertahankan wilayah
kedaulatan Indonesia. Sama halnya dengan Perjanjian Linggajati, Belanda juga mengkhianati isi
perjanjian Renville. Mereka melancarkan serangan Agresi Militer II di tanggal 19 Desember
1948. Bung Karno dan para anggota kabinet bahkan sempat dditawan dan diasingkan ke luar
Jawa. KTN kemudian melaporkan pelanggaran tersebut kepada Dewan PBB. Tanggal 22
Desember 1948, Dewan Kehormatan PBB bersidang yang menghasilkan resolusi berisi desakan
untuk menghentikan permusuhan. Jawaharlal Nehru juga memprotes keras Agresi Militer
Belanda terhadap Indonesia dan menggelar Konferensi Asia yang diikuti 16 negara di Asia pada
tanggal 23 Januari 1949. Hasil konferensi ini mampu berkumandang dalam ssidang PBB. Hingga
akhirnya PBB membentuk United Nation Commission for Indonesia (UNCI).
Sama halnya dengan Perjanjian Linggajati, Belanda juga mengkhianati isi perjanjian Renville.
Mereka melancarkan serangan Agresi Militer II di tanggal 19 Desember 1948. Bung Karno dan
para anggota kabinet bahkan sempat dditawan dan diasingkan ke luar Jawa. KTN kemudian
melaporkan pelanggaran tersebut kepada Dewan PBB. Tanggal 22 Desember 1948, Dewan
Kehormatan PBB bersidang yang menghasilkan resolusi berisi desakan untuk menghentikan
permusuhan. Jawaharlal Nehru juga memprotes keras Agresi Militer Belanda terhadap Indonesia
dan menggelar Konferensi Asia yang diikuti 16 negara di Asia pada tanggal 23 Januari 1949.
Hasil konferensi ini mampu berkumandang dalam ssidang PBB. Hingga akhirnya PBB
membentuk United Nation Commission for Indonesia (UNCI).
Hasil dari perundingan Renville yang dilaksanakan pada 8 Desember 1947 atas geladak kapal
perang milik Amerika Serikat yang bernama USS Renville. Hasil perundingan tersebut
ditandatangani pada 17 Januari 1948. Isi Perjanjian Renville antara lain :
Wilayah Indonesia yang diakui Belanda hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera.
Wilayah kekuasaan Indonesia dengan Belanda dipisahkan oleh garis demarkasi yang disebut
Garis Van Mook.
Tentara Indonesia ditarik mundur dari daerah-daerah kekuasaan Belanda (Jawa Barat dan Jawa
Timur).
Akan diadakan plebisit atau semacam referendum (pemungutan suara) untuk menentukan nasib
wilayah dalam RIS.
Adanya desakan Dewan Keamanan PBB, Belanda dan Indonesia menggelar perundingan di atas
kapal perang milik Amerika Serikat bernama USS Renville yang sedang berlabuh di Teluk
Jakarta. Perundingan yang disebut Perjanjian Renville ini dilangsungkan pada 8 Desember 1947.
Sebagai penengah adalah Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari Amerika Serikat,
Australia,dan Belgia. Adapun para tokoh yang terlibat sebagai delegasi dalam Perjanjian
Renville antara lain :
Delegasi Indonesia terdiri dari Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr. J.
Leimena, Dr. Coatik Len, dan Nasrun.
Delegasi Belanda beranggotakan H.A.I van Vredenburg, Dr. P.J. Koets, Dr. Chr. Soumokil, serta
orang Indonesia yang menjadi utusan Belanda yakni Abdul Kadir Wijoyoatmojo.
Mediator dari KTN adalah Richard C Kirby dari Australia (wakil Indonesia), Frank B. Graham
dari Amerika Serikat (pihak netral), dan Paul van Zeeland Belgia (wakil Belanda).
Yang hadir pada perundingan diatas kapal Renville ialah sebagai berikut:
Frank Graham “ketua”, paul van Zeeland “anggota” dan Richard Kirby “annggota” sebagai
mediator dari PBB.
Delegasi Indonesia Republik Indonesia diwakili oleh Amir Syarifuddin “ketua”, Ali
Sastroamidjojo “anggota”, Haji Agus Salim “anggota”, Dr. J. Leimena “anggota”, Dr. Coa Tik
len “anggota” dan Nasrun “anggota”.
Delegasi Belanda diwakili oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo “ketua”, Mr. H.A.L van
Vredenburgh “anggota”, Dr.P.J.Koets “anggota” dan Mr. Dr. Chr. Soumokil “anggota”.
Pada tanggal 23 Agustus sampai tanggal 2 November 1949, yang disengelarakan di Den Hag
terjadi Knferensi Meja Bundar. Dalam Konferensi Meja Bundar, delegasi dari Indonesia diwakili
oleh Mohammad Hatta, Mohammad Roem, dan Prof. Dr. Soepomo. Sedangkan untuk
perwakilan dari BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg) yang merupakan kumpulan negara
federal hasil bentukan Belanda di Indonesia, ialah Sultan Hamid II. Untuk perwakilan delegasi
dari Belanda ialah Johannes Henricus van Maarseveen yang menjabat Menteri Seberang Laut
(Menteri Urusan Kolonial). Hadir pula perwakilan Komisi PBB untuk Indonesia atau United
Nations Commission for Indonesia (UNCI), Tom Critchley.
Syahrir mengusulkan untuk dimasukannya pasal arbitrase agar terbukti pada dunia luar
bahwa Republik Indonesia dan Negara Belanda sederajat.