Pada tanggal 17 Agustus 1945, Ir. Soekarno dan Moh. Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia ditengah keadaan politik dunia yang tidak stabil pasca perang dunia
II. Keadaan politik yang tidak stabil pasca perang mempengaruhi keadaan politik dan
keamanan bangsa Indonesia yang baru saja merdeka. Hal ini membuat kemerdekaan
Indonesia seakan tidak berjalan mulus. Sesaat setelah Indonesia merdeka timbul berbagai
ancaman baik dari dalam negeri maupun dari dunia internasional yang melihat Indonesia
sebagai bekas wilayah jajahan Jepang yang harus dikembalikan kepada sekutu[1].
Setelah Jepang menyerah tanpa syarat, tentara Inggris dan Belanda datang ke Jakarta dengan
pengawalan Netherlands-Indies Civil Administration atau yang disingkat NICA. Selain itu,
Allied Forces Netherlands East Indies atau AFNEI yang awalnya bertugas hanya untuk
membebaskan warga negara sekutu yang ditawan Jepang dan menghukum penjahat-penjahat
perang Jepang, justru seakan bekerja sama dengan NICA untuk membangun Indonesia
sebagai negara persemakmuran Belanda yang berbentuk federasi. Hal ini memicu kecurigaan
rakyat Indonesia yang memicu pertempuran-pertempuran yang terjadi di dalam negeri.
Seperti Insiden Bendera, Peristiwa Bandung Lautan Api, Pertempuran Ambarawa terutama
Pertempuran Surabaya yang akhirnya ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
Sehingga negara yang baru saja merdeka ini tidak hanya dihadapkan dengan politik dunia
yang tidak stabil pasca perang, tapi juga rakyat yang masih bergejolak dan sistem
pemerintahan dalam negeri yang harus segera dibentuk sebagai negara yang berdaulat.
Sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 adalah negara kesatuan yang berbentuk
republik dan menjunjung kedaulatan rakyat. Awalnya Indonesia menggunakan sistem
pemerintahan presidensil dimana Presiden Soekarno merupakan kepala negara sekaligus
kepala pemerintahan. Kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif dikelola oleh satu badan
pembantu presiden yaitu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Hal ini dianggap kurang
efektif sehingga pada bulan Oktober 1945 KNIP mendesak Presiden Soekarno untuk segera
membentuk MPR yang bertujuan untuk membangun sebuah sistem parlementer guna
menghindari kekuasaan yang terpusat[2]. Sehingga pada tanggal 16 Oktober 1945
dilaksanakan kongres KNIP yang disusul dengan pembentukan badan perwakilan rakyat yang
anggotanya merupakan perwakilan masing-masing daerah di Indonesia, serta terbentuknya
sistem multipartai yang muncul dari kelompok-kelompok masyarakat yang terbentuk
sebelum Indonesia merdeka. Badan perwakilan rakyat saat itu disebut Badan Pekerja KNIP
yang disingkat BP KNIP. BP KNIP meminta setiap daerah untuk mengusulkan wakil
daerahnya agar menjadi anggota BP KNIP. Sejak saat itu, sistem pemerintahan Indonesia
berubah menjadi sistem pemerintahan parlementer dan BP KNIP serta para menteri
bertanggung jawab pada perdana menteri.
Pada tanggal 14 November 1945 Kabinet Sjahrir I dibentuk dengan Sutan Sjahrir
sebagai perdana menteri. Perubahan yang terjadi pada kabinet ini yaitu menteri-menteri tidak
lagi bertanggung-jawab langsung pada presiden melainkan kepada KNIP[3]. Oleh karena itu,
kedudukan Presiden Soekarno sebagai kepala negara sedangkan Sutan Sjahrir sebagai kepala
pemerintahan. Dalam pemerintahannya, Sjahrir melakukan politik diplomasi untuk
menghentikan aksi-aksi militer Belanda yang mengancam kedaulatan Indonesia pasca
kemerdekaan. Namun cara ini tidak disetujui oleh banyak pihak yang menjadi kelompok
oposisi Kabinet Sjahrir. Diantaranya mantan menteri-menteri kabinet Soekarno, Barisan
Pemberontak Republik Indonesia dan Tan Malaka. Mereka berpendapat bahwa jalan damai
tidak akan menghentikan Belanda dalam penjajahannya terhadap Indonesia. Kelompok anti
diplomasi ini lebih menganjurkan pertempuran fisik untuk membuat pasukan Belanda pergi
dari Indonesia. Kongres yang diadakan oleh kelompok yang tidak puas atas kinerja Kabinet
Sjahrir ini akhirnya berhasil mendirikan sebuah organisasi bernama Persatuan Perjuanga yang
banyak mendapat dukungan dari masyaraka. Pada tanggal 30 Desember 1945, pasukan
marinir Belanda mendarat di Tanjung Priok dan menyebabkan situasi Kota Jakarta tidak
aman apalagi dengan aksi-aksi teror yang Belanda lakukan[4]. Sehingga pada tanggal 4
Januari 1945, Ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Jogjakarta. Tidak hanya Belanda,
Inggris juga melakukan penyerangan di Tanggerang, Jakarta dan Bogor namun rakyat melihat
bahwa tindakan penyelesaian atas penyerangan Inggris berlangsung terlalu lama dan seakan
tidak ada tindakan. Hal ini menjadi pemicu kemarahan kelompok yang ingin menggulingkan
Sjahrir. Sehingga Kabinet Sjahrir I resmi bubar pada tanggal 28 Februari 1946 dan disusul
dengan Kabinet Sjahrir II dengan anggota kabinet yang baru namun Sjahrir tetap sebagai
perdana menteri. Sebelumnya, Soekarno ingin PP mengajukan nama perdana menteri agar
tidak terjadi lagi konflik. Namun PP tidak mengajukan nama Tan Malaka karena PP hanya
ingin menggulingkan kaninet sjahrir bukan mengangkat Tan Malaka menjadi perdana
menteri. Disini terlihat bahwa di dalam politik semua orang memiliki kepentingan masing-
masing.
Pada tanggal 27 Juni 1946 terjadi penculikan Perdana Menteri Sjahrir dan pegawai
pemerintah lainnya[5]. Kejadian ini menyebabkan kekuasaan pemerintahan sementara
berada di tangan Presiden Soekarno. Tujuan penculikan ini terungkap pada tanggal 3 Juli
ketika Achmad Soebardjo, Iwa Koesoema Soemantri dan Jenderal Mayor Soedarsono
memaksa presiden untuk menandatangani perubahan struktur pemerintahan, yaitu
pemberhentian semua menteri dalam Kabinet Sjahrir dan penyerahan kekuasaan presiden
dalam bidang militer kepada Panglima Besar Angkatan Perang[6]. Presiden Soekarno tidak
setuju akan hal ini dan akhirnya tokoh-tokoh dibalik peristiwa ini ditangkap termasuk Tan
Malaka.
Intervensi Belanda
Belanda semakin semena-mena dengan menyatakan bahwa Belanda tidak terikat dengan
Perjanjian Renville. Belanda langsung melakukan Agresi Militer 2 di Ibukota Jogjakarta yang
membuat pemerintahan RI lumpuh total. Setelah Belanda melakukan pengasingan terhadap
presiden dan wakil presiden, Belanda menyatakan bahwa RI sudah bubar. Menanggapi hal
ini, Soekarno-Hatta langsung memberi mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk
membuat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia agar pemerintahan Indonesia tetap
berjalan dan Indonesia tidak lagi jatuh lagi ke tangan Belanda. PDRI terus memberikan
motivasi kepada masyarakat Indonesia untuk terus berjuang dalam pidato-pidato yang
dilakukan sambil melakukan Perang Gerilya guna menghindari Belanda.
Dalam politik memecah belah kedaulatan RI, Belanda terus membentuk negara-negara
boneka di wilayah RI. Negara- negara tersebut adalah Negara Pasundan, Negara Indonesia
Timur, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur , Negara Sumatera
Selatan dan Negara Republik Indonesia diamana Jogjakarta sebagai Ibukotanya.
Pembentukan negara-negara boneka ini mengakibatkan pemerintah RI melakukan Konferensi
Inter Indonesia yang merupakan konferensi antar negara-negara bagian. Dalam konferensi
ini, diputuskan bahwa negara-negara bagian akan tergabung dalam Republik Indonesia
Serikat. Hal ini kembudian dibicarakan dalam Konferensi Meja Bundar yang dilakukan untuk
mencari jalan damai antara konflik Indonesia dan Belanda. Konferensi Meja Bundar yang
diselenggarakan di Den Haag itu akhirnya membuat kesepakatan bahwa Belanda mengakui
kedaulatan RIS namun RIS harus menjadi negara persemakmuran Belanda dan membentuk
Uni-Indonesia Belanda.
Dengan diakuinya kedaulatan RIS, Presiden Soekarno melakukan kunjungan luar negeri
pertamanya yaitu ke India, Pakistan dan Birma. Hal ini bertujuan untuk mempererat
hubungan dan juga memperkuat posisi indo di dunia internasional.
Pada awal tahun 1950, gerakan rakyat dalam menuntut pembubaran negara bagian dan
Republik Indonesia Serikat mulai muncul di hampir seluruh negara bagian. Sehingga pada 8
Maret 1950, dibuatlah Undang Undang Sementara yang disetujui MPR tentang Tata Cara
Perubahan Susunan Kenegaraan Republik Indonesia Serikat. Dengan adanya UU tersebut
beberapa negara bagian menggabungkan negaranya denga Republik Indonesia- Jogja.
Sehingga pada tanggal 5 April, RIS hanya tinggal terdiri dari Republik Indonesia, Negara
sumatera Timur dan Negara Indonesia Timur[7]. Pada 19 Mei 1950 tercapai persetujuan
antara pemerintah RIS dan Republik Indonesia untuk membangun sebuah negara kesatuan.
Akhirnya, pada tanggal 15 Mei 1950, Presiden Soekarno membacakan piagam terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali menjadi
presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Sementara itu berdasarkan UUDS 1950,
pemerintahan Indonesia memiliki sistem demokrasi parlementer dimana kabinet dan menteri
bertanggung jawab pada parlemen, maka Moh. Natsir diangkat menjadi Perdana Menteri
pertama setelah Republik Indonesia berubah kembali menjadi negara kesatuan. Pengakuan
dunia internasional terhadap kemerdekaan Indonesia seakan disahkan dengan diterimanya
Republik Indonesia sebagai anggota PBB ke-60 pada tanggal 27 September 1950. Keesokan
harinya, bendera Merah-Putih dikibarkan untuk pertama kali di Markas Besar PBB
Kesimpulan
Republik Indonesia menjadi negara pertama yang menyatakan kemerdekaannya pasca Perang
Dunia II. Walaupun memiliki keberagaman etnis, budaya dan kepercayaan, rakyat Indonesia
tidak memutuskan untuk membuat negara-negara sendiri setelah Jepang pergi dari wilayah
tanah air. Tapi justru menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan
kedaulatan rakyat. Sebagai negara yang baru merdeka, dinamika politik yang tidak stabil
menjadi tantangan besar yang mengancam kesatuan dan persatuan Republik Indonesia. Tapi
hal ini justru menguatkan jiwa persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia untuk terus berjuang
demi kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia.
Saat ini setelah 69 tahun Indonesia merdeka, tantangan bangsa Indonesia bukan lagi melawan
penjajah dengan peperangan. Namun tantangan moral rakyat Indonesia sendiri dalam
demokrasi, globalisasi dan juga rasa nasionalisme. Situasi politik yang carut marut
sebenarnya bisa diperbaiki jika rakyat tidak apatis dan tutup mata terhadap keadaan politik di
negeri ini. Dengan partisipasi politik masyarakat, Indonesia dapat membuktikan bahwa
Indonesia merupakan negara demokrasi yang tidak setengah-setengah. Oleh karena itu,
diperlukan jiwa nasionalisme dari rakyat Indonesia untuk membangun dan mempertahankan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
References
https://dittarch.wordpress.com/2010/02/06/dinamika-politik-di-indonesia/
http://sistempemerintahanindonesia.com/
[2] Noer,Deliar dan Akbarsyah. Komite Nasional Indonesia Pusat:Parlemen Indonesia 1945-
1959. 2005. Jakarta: Yayasan Risalah
[3] Tim Penulis. 1986. 30 Tahun Indonesia Merdeka : 1945-1949(Cetakan Ketujuh). Jakarta :
PT Cipta Lamtoro Gung Persada
[4] Tim Penulis. 1986. 30 Tahun Indonesia Merdeka : 1950-1964(Cetakan Ketujuh). Jakarta :
PT Cipta Lamtoro Gung Persada