Anda di halaman 1dari 20

BAB IV

PERJUANGAN PENGAKUAN KEDAULATAN


DAN KEMBALI KE NEGARA KESATUAN

A. Pendahuluan
Proklamasi Kemerdekaan yang telah diumumkan tetapi bangsa
Indonesia menghadapi masalah dengan kedatangan Sekutu dan turut serta
NICA yang ingin menguasai kembali Indonesia. Berbagai permasalahan
terjadi antara Belanda dengan Indonesia, untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut ditempuh dengan cara militer dan diplomasi.
Sebelum dilaksanakannya Konperensi Meja Bundar dilaksanakan
Konperensi Antar Indonesia yang diikuti oleh Republik Indonesia dan
negera-negara yang bentukan Belanda. Konperensi Meja Bundar di Den
Haag Belanda. Setelah penandatanganan naskah KMB, terbentuklah RIS
sebagai federasi yang terdiri dari RI dan BFO. Dalam perkembangan
sejarah hanya dalam waktu 6 minggu nasib RIS tidak diganggu gugat.
Setelah itu suara yang menghendaki kembali ke NKRI semakin meluas.
Untuk kembali ke NKRI cukup dilakukan dengan mengubah
konstitusinya saja. Jadi secara yuridis NKRI adalah perubahan dari RIS.
Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan hanya
merupakan kisah sentral dalam sejarah Indonesia. Semua usaha yang
tidak menentu untuk mencari identitas-identitas baru, untuk persatuan
dalam menghadapi kekuasaan asing dan untuk tatanan sosial yang lebih
adil tampaknya membuahkan hasil pada masa-masa sesudah Perang
Dunia II. Untuk pertama kalinya dalam kehidupan kebanyakan rakyat
Indonesia, segala sesuatu yang serba paksaan yang berasal dari kekuasaan
asing hilang. Kemerdekaan yang diperoleh bangsa Indonesia tidak
semata-mata hasil perjuang secara fisik, namun kemerdekaan tersebut
juga merupakan hasil perjuangan melalui jalur diplomasi, seperti
perundingan-perundingan antara Indonesia-Belanda yang dilakukan
dengan tujuan untuk mencari jalan penyelesaian konflik Indonesia-
Belanda.

93
Munculnya Bijeenkomst Federale Overleg (BFO) atau Pertemuan
Musyawarah Federal (PMF) adalah suatu wadah yang bertujuan untuk
mengurangi perundingan-perundingan antara Indonesia – Belanda yang
dalam pertengahan tahun 1948 itu terancam gagal. Munculnya BFO
sebagai kekuatan ketiga yang sangat diharapkan dapat menyelesaikan
konflik Indonesia-Belanda, namun perkembangan politik kemudian
menjurus pada Agresi Militer II sehingga Yogyakarta diduduki dan para
pemimpin Indonesia diasingkan ke Prapat dan Bangka. Akan tetapi justru
tindakan kekerasan untuk meniadakan Indonesia itulah yang
menimbulkan penolakan oleh BFO (negara-negara bagian).
Agresi Militer Belanda II itu dilihat oleh sebagian dari anggota
BFO sebagai suatu pengkhianatan Belanda atas janjinya sendiri bahwa
penyelesaian konflik Indonesia – Belanda akan diselesaikan dengan cara
damai (diplomasi). Keyakinan mereka akan kebohongan Belanda makin
besar ketika mereka membaca surat edaran dari Sultan Hamengkubuwono
IX bahwa kondisi Indonesia tidak seperti yang diberitakan oleh Belanda.
Tanggapan atas Sultan Yogya atas kebohongan ini, adalah ia bertekad
menghadapi Belanda dalam resiko apapun dan mengingatkan Belanda
bahwa tekadnya itu timbul karena aksi-aksi mereka.
Dalam konteks ini pihak Belanda yang tidak mau menerima
resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB pada tanggal 28 Januari 1949,
masih yakin bahwa Republik Indonesia hanya tinggal nama. Sementara
itu Sultan Hamengku Buwono IX lewat siaran radio dapat menangkap
berita kalau DK-PBB akan bersidang pada bulan Maret untuk membahas
perkembangan di Indonesia. Dalam pemikiran Sri Sultan apakah yang
dapat diperbuat untuk dapat mempengaruhi jalannya sidang tersebut.
Salah satu langkah terbaik adalah menunjukkan kepada dunia dan
terutama Belanda bahwa Republik Indonesia itu masih ada dan pasukan
TNI masih kuat. Dengan demikian maka propaganda Belanda yang
menyatakan bahwa Republik Indonesia telah gulung tikar, tidak mempan
lagi.
Menindaklanjuti langkah tersebut, Sri Sultan mengirim surat
kepada Panglima Angkatan Bersenjata (Pangab) Sudirman, yang
94
kemudian dijawab bahwa untuk keperluan penyerangan, hendaknya Sri
Sultan merundingkannya dengan komandaan TNI setempat, yakni Letkol
Soeharto selaku komandan wilayah Yogyakarta. Sri Sultan dan Soeharto
setelah mempertimbangkan secara matang, kemudian sepakat untuk
melancarkan serangan umum secara besar-besaran terhadap kedudukan
Belanda di Yogyakarta. Serangan itu sendiri dijadwalkan berlangsung
tanggal 1 Maret 1949 siang hari. Dan ternyata serangan umum itu dapat
dilaksanakan sesuai rencana yang hasilnya sangat memuaskan.
Hasil dari serangan umum itu adalah kota Yogyakarta selama
enam jam berhasil dikuasasi oleh pasukan TNI. Hanya dengan bantuan
yang didatangkan dari Gombong dan Magelang membuat Belanda
berhasil memukul mundur pasukan TNI. Itulah yang dikenal dengan
sebagai pertempuran enam jam di Yogyakarta. Hasil dari serangan umum
itu kemudian disebarluaskan melalui RRI yang bergerilya di daerah
Gunung Kidul, yang dapat ditangkap oleh RRI di Sumatera. Selanjutnya
dari Sumatera berita itu disiarkan ke Rangoon dan India, dan dengan
demikian dunia mengetahui bahwa Belanda melakukan kebohongan
besar. Di samping itu, berita serangan umum itu disebarkan juga oleh
wartawan asing yang berada di Indonesia. Ternyata serangan umum ini
juga dapat mempengaruhi pandangan dunia (terutama DK-PBB) dengan
tegas menyatakan bahwa aksi militer dari gerilyawan Indonesia sangat
mempengaruhi dan membantu perjuangan penyelesaian konflik Indonesia
– Belanda.

B. MATERI
A. Situasi Politik Dalam Negeri Indonesia Pasca Kemerdekaan
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal
17 Agustus 1945 situasi kehidupan berbangsa dan bernegara terus diikuti
oleh berbagai pergolakan. Pergolakan internal yang keras antar kekuatan
politik di dalam negeri dan masuknya pasukan sekutu yang dikuti
pasukan Belanda ke Indonesia menyebabkan pemerintahan sipil sering
mengalami kesulitan dalam menjalankan aktivitasnya. Kabinet yang
dibentuk Soekarno-Hatta sebagian besar anggotanya berasal dari mereka
95
yang pernah bekerja sama dengan Jepang dan menduduki pimpinan
departemen sebagai Bucho (kepala) atau Sanjo (penasehat kepala).
Mereka tidak dapat melaksanakan tugas secara maksimal. Mereka yang
tidak simpati dengan kabinet ini menyebutnya dengan istilah Kabinet
Bucho. Keterlibatan sebagian besar anggota kabinet yang sebelumnya
bekerja sama dengan pemerintah pendudukan Jepang banyak mendapat
kritik dari kelompok Sjahrir dan Tan Malaka.
Ancaman sekutu untuk menangkap Soekarno-Hatta sebagai
penjahat perang semakin mempersulit kabinet Soekarno-Hatta. Di tengah
kesulitan ini, Sjahrir dan kelompoknya setelah melihat perkembangan
keadaan di masyarakat berhasil meredefinisikan posisi dan bekerja sama
dengan Soekarno-Hatta. Sjahrir dan kelompoknya berhasil menjadikan
Komiten Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai lembaga legislatif dan
mendominasi Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP). Tidak lama kemudian
mereka berhasil mendesak pemerintah untuk membentuk Kabinet
Parlementer yang dipimpin oleh orang yang tidak terlibat dengan tentara
pendudukan Jepang sehingga memudahkan menjalin kerja sama dengan
kekuatan internasional.
Sejak saat itu pemerintahan berubah menjadi Kabinet Parlementer.
Pada tanggal 14 November 1945 susunan Kabinet Sutan Sjahrir
diumumkan. Ternyata perubahan kabinet tidak serta merta menciptakan
keamanan dan ketertiban terjamin. Kabinet Sjahrir yang menggantikan
Kabinet Soekarno-Hatta belum mampu menciptakan stabilitas politik dan
keamanan yang kuat. Masih ada beberapa kekuatan politik yang enggan
menerima dan mengakui eksistensi Kabinet Sjahrir.
Komposisi Kabinet Sjarir yang didominasi oleh kelompok sosialis
banyak menimbulkan kekecewaan pada kelompok politik lain, terutama
dari kelompok Tan Malaka, seperti Masyumi dan PNI. Demikian sikap
Sjahrir yang menganggap mereka yang dulu bekerjasama dengan Jepang
sebagai facist menyebabkan sebagaian kalangan militer, terutama dari
kalangan tentara PETA enggan mendukung Kabinet Sjahrir. Kebijakan
Sjahrir yang lebih mengandalkan politik diplomasi semakin

96
mengecewakan kalangan militer. Situasi politik tersebut termasuk
“kebudayaan politik yang rendah”.
Kekuasaan pemerintah yang lemah dan sulit mengontrol berbagai
tuntutan yang ada di masyarakat mencerminkan suatu negara yang lemah
dan masyarakat yang kuat. Beberapa kalangan militer, laskar dan partai-
partai politik melakukan oposisi yang gencar terhadap pemerintahan
Sjahrir. Sementara masuknya pasukan sekutu dan Belanda telah banyak
menimbulkan peperangan di berbagai tempat. Eksistensi Negara sering
menjadi ancaman, sehingga di akhir bulan November 1945 tiga kota besar
di Jawa, yaitu Surabaya, Jakarta dan Bandung diduduki oleh sekutu.
Pertempuran besar yang berhasil dimenangkan oleh TNI hanya terjai di
Ambarawa yang dipimpin oleh Kolonel Sudirman. Kondisi militer yang
sulit tersebut ikut mempengaruhi kesulitan pemerintah dalam diplomasi.
Tuntutan sebagian masyarakat melakukan revolusi secara total
dengan menggulingkan simbol-simbol kekuasaan kolonial dan feodal
terjadi di beberapa daerah. Pergolakan yang mengarah pada revolusi
sosial dan menimbulkan korban harta dan jiwa yang besar tersebut sering
menyulitkan posisi pemerintah pusat. Berbagai pergolakan revolusioner
terus terjadi sejak Proklamasi 17 Agustus 1945. Sebagian besar
pergolakan di luar pengetahuan atau kekuasaan pemerintah Soekarno
maupun Sjahrir. Untuk menjaga ketertiban, pemerintah kemudian
menindak pihak-pihak yang dianggap sebagai penyulut terjadinya
revolusi sosial.
Ancaman terhadap perang saudara yang besar pertama kali
muncul di daerah Madiun. Tepatnya pada waktu Persindo dan Persatuan
Perjoeangan (PP) melakukan kongres yang waktunya bersamaan di bulan
Maret 1946. Persindo mengarahkan pasukan bersenjata lengkap yang
berkisar 1 batalyon untuk keliling kota sebagai bagian show of force
terhadap kekuatan yang menentang pemerintah. Pada waktu bersamaan,
laskar-laskar yang mendukung Persatuan Perjoeangan, seperti laskar
Rakyat, Buruh, Hisbullah dan sebagainya hadir pada rapat raksasa di
alun-alun Madiun dalam rangka penutupan acara kongres. Ketegangan

97
antara berbagai partai politik yang melibatkan unsure bersenjata dari
kalangan TNI dan Laskar, menyebabkan situasi sulit dikendalikan.
Perkembangan selanjutnya, pada tanggal 18 Maret 1946
pemerintah mengeluarkan maklumat tentang tindakan-tindakan di masa
genting yang ditandatangani oleh Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin
dan Menteri Dalam Negeri Soedarsono. Pemerintah mengeluhkan
beberapa golongan yang dianggap mengganggu persatuan perjuangan
mereka yang menyiarkan berita atau melakukan perbuatan yang dapat
menggelisahkan atau mengacaukan masyarakat, mengadakan perpecahan
dalam masyarakat dan menghambat usaha dalam menyempurnakan
pertahanan negara akan diambil tindakan tegas. Situasi politik semakin
memanas ketika muncul kelompok oposisi yang dipelopori oleh Tan
Malaka terhadap pemerintah. Beberapa pemimpin PP termasuk Tan
Malaka ditangkap oleh tentara tanggal 17 Maret 1946. Pemerintah pada
tanggal 30 Maret 1946, terpaksa memberikan keterangan tentang
penangkapan terhadap para pemimpin oposisi tersebut telah melemahkan
perjuangan, mengancam pemerintah dan usaha mengubah pemerintahan
pusat dengan jalan di luar undang-undang negara.
Menghadapi situasi yang dapat mengganggu ketertiban umum,
pemerintah pusat menunjuk Gubernur Jawa Timur Surjo sebagai wakil
pemerintah dengan kekuasaan penuh untuk mengembalikan ketentraman
di daerah Surakarta. Hal ini menunjukkan masih berjalannya dualisme
pemerintahan, sehingga pengangkatan beberapa perwira menimbulkan
pergolakan. Panglima Sutarto pada tanggal 1 Juni 1946 mengambil
tindakan sementara untuk menguasai seluruh pemerintahan dengan
membentuk Dewan Pemerintahan Rakyat dan Tentara daerah Surakarta.
Pada tanggal 27 Juni 1946 Perdana Menteri Sjahrir dan beberapa menteri
serta pejabat tinggi diculik di Surakarta. Keadaan yang tidak terkendali
tersebut menjadikan Presiden Soekarno pada tanggal 28 Juni 1946
memberlakukan keadaan darurat perang dan mengambil alih kekuasaan.
Setelah Sjahrir berhasil dibebaskan dan diberi mandat untuk
menyusun kabinet situasi politik tetap belum stabil. Surakarta yang
menjadi tempat dan markas beberapa kekuatan politik serta kekuatan
98
bersenjata situasinya memanas. Pergolakan di berbagai daerah baik yang
disebabkan oleh friksi antar faksi yang ada di daerah yang bersangkutan
maupun dalam kaitannya dengan intervensi pasukan sekutu di beberapa
wilayah tertentu semakin rawan. Otoritas dan alokatisi kekuasaan tidak
dapat dikendalikan oleh pemerintah pusat. Sementara beberapa elite
politik mulai memikirkan tentang perlunya pemerintahan yang kuat. Salah
satu cara untuk mencapai dan menciptakan pemerintahan yang kuat dalam
situasi penuh gejolak tersebut adalah memberlakukan negara dalam
keadaan darurat.

B. Perjuangan Melalui Konperensi Meja Bundar


Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda menyerang Yogyakarta
dengan agresi militernya yang kedua. Belanda kemudian menyiarkan
berita ke seluruh dunia bahwa perlawanan Republik Indonesia sama
sekali tidak berarti dan rakyat menyambut kedatangan Belanda sebagai
pembebas. Agar berita sebenarnya tidak sampai keluar maka Belanda
melakukan sensor pers. Permintaan Komisi Tiga Negara untuk melakukan
peninjauan dari udara ditolak. Namun meskipun pers disensor, Republik
Indonesia merasa beruntung karena mempunyai 4 orang diplomat di luar
negeri yaitu : Palar, Sudjatmoko, Sumitro dan Sudarpo, mereka inilah
yang leluasa menjadi pembela RI. Disamping itu pula Republik Indonesia
memiliki radio gerilya yang sanggup memancarkan berita penyerangan
Belanda tersebut.
Reaksi dunia internasional luar biasa, dunia umumnya marah karena
Belanda berani melanggar persetujuan yang disponsori oleh PBB (KTN),
dan penyerangan Belanda ini dilakukan saat KTN berada di Indonesia.
Wakil AS di DK PBB meminta agar segera bersidang dan sidang
mempermasalahkan tindakan Belanda tersebut.
Kaum terpelajar Indonesia umumnya mengecam ketidaktegasan
Amerika Serikat, mereka menduga Amerika Serikat membantu
penyerbuan Belanda dengan bantuan Marshall Plan. Selain itu juga suara
simpati kepada Republik Indonesia mulai meluas ke kalangan Kongres,
baik dikalangan partai demokrat yang berkuasa dan juga dikalangan partai
99
Republik yang beroposisi. 9 senator Republik dibawa oleh Owen
Brewster pada 7 Februari 1949 mengeluarkan pernyataan :
1. Amerika Serikat supaya menghentikan segala bantuan kepada
Belanda sampai negeri ini menghentikan permusuhan dengan
Republik Indonesia.
2. Mendesak kepada pihak Belanda supaya menarik pasukannya ke
belakang garis status quo Renville.
3. Membebaskan pemimpin RI yang ditawan.
4. Membuka kembali perundingan yang jujur dengan RI atas dasar
persetujuan Renville.
Amerika Serikat kemudian semakin tegas terhadap permasalahan
yang terjadi di Indonesia. Hal yang menyebabkan Amerika Serikat
semakin tegas terhadap Belanda karena : suara kongres harus
diperhitungkan, AS tidak mau Perserikatan Bangsa-Bangsa kehilangan
prestise hanya karena persoalan RI, AS makin menyadari kekuatan militer
RI dan yakin Belanda tidak mungkin mendudukkan kekuatan militer dan
sikap penduduk RI yang non-kooperatif, keseganan Belanda
mengembalikan pemimpin RI yang ditawan memungkinkan tokoh PKI
mengambil posisi mereka. Karena sikap AS yang tegas maka perundingan
Rum-Royen dapat terlaksana.
Sebelum KBM dilaksanakan maka telah diadakan terlebih dahulu
Konperensi Antar Indonesia di Yogyakarta dan Jakarta yang diikuti wakil
RI dan BFO dan hasilnya : BFO mengakui bahwa RIS akan menerima
kedaulatan dari Belanda dan RI, negara bagian tidak akan memiliki
tentara sendiri, BFO menyokong tuntutan RI supaya penyerahan
kedaulatan tanpa syarat dan RI setuju konstitusi RIS akan disusun dalam
KMB.
Belanda menunjukkan perobahan sikap diakibatkan; mereka
menyadari kekuatan militernya tidak kuat untuk memaksa RI tunduk
kepada mereka, perang yang berkepanjangan akan berakibat hancurnya
perkebunan dan pabrik milik Belanda, tekanan AS supaya Belanda
menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia tanpa syarat agar Indonesia

100
tidak jatuh ke tangan Komunis. Dengan tercapainya perkembangan
tersebut ditentukan pelaksanaan KMB di Den Haag 23 Agustus 1949.
KMB berlangsung dari 23 Agustus sampai 2 November 1949. Yang
menjadi Ketua KMB ialah PM Belanda, Drees. Delegasi Belanda
dipimpin oleh van Maarsveen, RI oleh Hatta dan BFO oleh Sultan Hamid
II sedangkan UNCI bertindak sebaga mediator.

Suasana Perundingan KMB

KMB menghasilkan naskah-naskah persetujuan yang lengkap


mengenai hubungan antara Indonesia (RI dan BFO) dan Belanda, yang
pada pokoknya terbagi menjadi dua bagian : induk dan anak persetujuan.
Ketentuan yang paling penting dari persetujuan KMB ialah Piagam
Penyerahan Kedaulatan, oleh karena kedaulatan sudah kita rebut pada 17
Agustus 1945, bahkan dengan pengorbanan yang besar, Piagam ini
menetapkan penyerahan kedaulatan yang lengkap dan tanpa syarat
selambat-lambatnya pada 30 Desember 1949 oleh Belanda kepada RIS
kecuali Irian Barat. RIS terdiri dari RI dan 15 negara bagian ciptaan
Belanda. Corak pemerintahan RIS diatur oleh Konstitusi yang dibuat oleh
para delegasi RI dan BFO selama KMB berlangsung, atas dasar
persetujuan yang dicapai oleh wakil-wakil mereka dalam konferensi antar
Indonesia di Yogya dan Jakarta pada bulan Juli dan awal Agustus 1949.

101
Penyerahan kedaulatan dilakukan segera tanpa melalui masa peralihan
seperti ditentukan semula.
Naskah yang lain ialah tentang Status Uni Indonesia-Belanda. RIS
dan Belanda bersama-sama membentuk Uni yang dikepalai raja Belanda
untuk mengurus kepentingan bersama. Uni Indonesia-Belanda sifatnya
ringan. Ini mengecewakan sebagian besar penduduk Belanda yang
menghendaki Uni yang berat, sehingga bagaimanapun juga masih bisa
mengikat Indonesia. Uni Indonesia-Beelanda memang bersifat ringan,
terutama ditunjukkan untuk konsultasi bersama mengenai kepentingan
umum kedua negara. Raja Belanda mengepalai Uni sekedar sebagai
simbol kesediaan kerja sama kedua belah pihak.
Tentang Uni, yang nyata kelihatan hanyalah adanya sekretariat
bersama yang terdiri dari sekelompok menteri dari kedua pihak yang
harus mengadakan sidang minimum 2x setahun, dan adanya Mahkamah
Arbitrase Uni. Sidang-sidang tersebut dimaksudkan untuk memecahkan
soal-soal yang belum terselesaikan dalam KMB dan merupakan saluran
untuk memecahkan persoalan-persoalan kepentingan bersama. Keputusan
sidang hanya sah bila dterima secara bulat dan disahkan oleh parlemen
kedua pihak. Mahkamah Arbitrase bertugas memecahkan persoalan
hukum yang diambil Mahkamah. Anggotanya terdiri dari 6 orang, yaitu 3
dari masing-masing negara. Mereka diangkat untuk 10 tahun. Keputusan
diambil dengan dasar mayoritas. Jika pemungutan suaara memberikan
hasil yang seimbang, kedua pihak setuju untuk menambah anggota
ketujuh, yang diambil dari Mahkamah Internasional, atau lembaga lain
yang disetujui oleh kedua pihak.
KMB juga mengatur tentang kerja sama militer, disamping itu
diatur pula tentang penarikan mundur pasukan Belanda (KL) keluar
Indonesia secepatnya, sedang KNIL akan dinasionalisasi. Yang menolak
boleh masuk KL tetapi ada juga yang didemobilisasi.
Konperensi Meja Bundar juga memperhatikan hak milik orang
asing di Indonesia. Menurut salah satu naskah KMB, RIS harus
memulihkan hak-hak yang diberikan kepada orang asing oleh UU India-
Belanda. Hak tersebut dapat diperluas dan diperpanjang asal tidak
102
bertentangan dengan kepentingan umum dan ekonom RIS.
Pengambilalihan dan nasionalisasi hanya boleh dilakukan dengan atau
atas dasar UU dan dengan ganti rugi.
Hal yang dirasakan paling berat oleh RIS adalah masalah utang-
piutang yang diatur dalam naskah tersendiri. Masalah perhitungan utang-
piutang sangatlah sulit. Belanda menuntut agar RIS menanggung hutang
Hindia Belanda sampai penyerahan kedaulatan, sedangkan RIS hanya
bersedia menanggung beban sampai Maret 1942, sebab kalau sampai
1949 itu berarti RIS harus membiayai sendiri penyerangan yang telah
dilakukan Belanda terhadap RI. Jalan buntu dihadapi dalam penyelesaian
masalah ini, akhirnya UNCI diminta untuk turun tangan, tetapi Cochran
memaksakan kehendaknya yang merugikan RIS. Dengan terpaksa RIS
menerima akibat tekanan AS.
Untuk masalah Irian Barat, belum terselesaikan. Belanda
beranggapan dengan menahan Irian Barat merupakan simbol bahwa
Belanda masih merupakan salah satu kekuatan yang ada di Asia.
Pada waktu diadakan KMB sebenarnya masalah Irian Barat sudah
selesai bila tuntutan Belanda diikuti oleh RI. Dalam perundingan dengan
Mohamad Hatta, Belanda akan mengembalikan Irian Barat bila RI
memberikan Tanjung Perak kepada Belanda yang akan dijadikan
pangkalan militernya tetapi Hatta tidak mengabulkan karena nantinya
Tanjung Perak akan dijadikan pangkalan Angkatan Laut RI. Dengan tidak
adanya kesepakatan maka Belanda berlarut-larut dalam menyelesaikan
Irian Barat dan akhirnya Irian Barat ditunda setahun penyelesaiannya.
Dengan teratasinya soal yang paling berat dalam KMB maka
ditandatanganilah KMB bagi Belanda ini adalah penyerahan kedaulatan
tetapi bagi Indonesia karena sudah merdeka dianggap sebagai pengakuan
kedaulatan. Pada tanggal 27 Desember 1949 dilaksanakan penyerahan
kedaulatan (pengakuan) kepada RIS, di Den Haag dari PM Willem Drees
kepada Hatta, sedangkan di Jakarta dari tangan Lovink kepada Sri Sultan.

103
C. Pembentukan RIS
Setelah penandatanganan naskah KMB, terbentuklah RIS sebagai
federasi yang terdiri dari RI dan BFO. RIS terdiri dari RI sebagai negara
bagian yang terkuat dan 15 negara bagian yaitu Negara Indonesia Timur,
Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Jawa Timur, Madura,
Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Dayak Besar
(Kalimantan Tengah sekarang), Daerah Banjar (Kalimantan Selatan
sekarang), Kalimantan Tenggara, Bangka, Biliton, Riau Kepulauan dan
Jawa Tengah.
Setelah RIS berdiri, maka sesuai dengan konstitusinya yang
ditetapkan di Scheveningen pada tanggal 29 Oktober 1949 oleh wakil-
wakil RI dan BFO yang menghadiri KBM. Dalam konstitusi RIS
Pancasila ditetapkan menjadi dasar negara. Tiap negara bagian
mengirimkan 2 senator ke Badan Perwakilan Federal yang terdiri dari dua
kamar (bicameral). Senat mempunyai kekuasan ko-legislatif dengan DPR
dalam hal yang menyangkut hubungan antara negara-negara bagian, atau
antara negara bagian dengan RIS. Senat mempunyai hak inisiatif dan
dalam hal perundang-undangan megenai persoalan-persoalan memerlukan
persetujuan Senat.
DPR RIS terdiri atas 150 anggota, RI diwakili 50 orang sedangkan
dari negara bagian diatur menurut jumlah penduduk. Disamping itu juga
terdapat wakil Orang Cina, Eropa dan Arab.
Presiden adalah Kepala Negara dan Panglima Tertinggi Angkatan
Perang dan dipilih oleh sidang bersama Senat dan DPR. Dengan
persetujuan kedua badan itu Presiden mengangkat 3 orang formatur
kabinet dan salah seorang darinya menjadi Perdana Menteri, dalam RIS
tidak ada wakil Presiden.
Kekuasan mengubah UUD terletak di tangan Senat dan DPR,
sidang perubahan UUD memerlukan quorum 2/3 dari jumlah anggota
yang hadir. Pada 16 Desember 1949 Senat dan DPR RIS mengadakan
sidang untuk memilih Presiden, Soekarno terpilih sebagai Presiden RIS
dari 17 Desember 1949 dilantik di Yogyakarta, karena terpilih menjadi
Presiden RIS kewajibannya sebagai Presiden RI dilakukan oleh Pj.
104
Presiden Asaat, selanjutnya presiden mengangkat 4 orang formatur
kabinet yaitu Hatta, Sultan Hamengku Buwono IX (RI), Anak Agung dan
Sultan Hamid II (BFO). Hatta terpilih menjadi Perdana Menteri dari
Kabinet yang terbentuk pada tanggal 19 Desember 1949.
Perkembangan selanjutnya pada tanggal 6 Juli 1949 pemerintah
Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta, yang telah ditinggalkan oleh
pasukan-pasukan Belanda pada akhir bulan Juni 1949. Soedirman dan
para pemimpin tentara lainnya enggan mengakui kekuasaan sipil yang
mereka anggap telah meninggalkan Indonesia. Akan tetapi pihak militer
mengakuinya ketika Soekarno mengancam akan mengundurkan diri kalau
mereka tidak melakukannya. Persoalan ini diselesaikan dengan
menyelenggarakan suatu konferensi di Yogyakarta dan Jakarta pada bulan
Juli 1949, di mana dalam konferensi itu, negara-negara bagian ternyata
memiliki banyak kepentingan yang sama dengan Republik Indonesia.
Kepentingan yang sama ini didasarkan pada rasa hormat mereka
atas perlawanan RI dan kekecewaan mereka atas kelalaian Belanda untuk
menyerahkan kekuasaan yang penting kepada negara-negara bagian
tersebut. Konferensi tersebut bersepakat bahwa tentara RI akan menjadi
kekuatan militer bagi Republik Indonesia Serikat (RIS) yang baru dan
bahwa Soekarno dan Hatta akan menjadi presiden dan wakil presiden
negara baru itu.
Perkembangan berikutnya, pada tanggal 1 Agustus 1949
diumumkan gencatan senjata yang akan mulai berlaku di Jawa pada
tanggal 11 Agustus dan di Sumatera tanggal 15 Agustus. Justru sebelum
gencatan senjata itu dilaksanakan, pasukan militer Indonesia Indonesia
berhasil merebut kembali sebagian besar wilayah Surakarta dan
mempertahankannya selama dua hari. Bentrokan-bentrokan berikutnya
yang berdiri sendiri berlanjut sampai bulan Oktober 1949. Akan tetapi,
sedikit demi sedikit penyerahan kekuasaan militer dari Belanda dan
pasukan-pasukan liar kepada satuan-satuan reguler Republik Indonesia
dan pembentukan kekuasaan militer yang terintegrasi bagi Republik
Indonesia Serikat (RIS) diurus oleh Sultan Hamengkubuwono IX selaku
coordinator keamanan. Akan tetapi ada beberapa wilayah yang bergolak
105
seperti Sulawesi selatan, Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara),
Kalimantan Selatan, dan Jawa Barat, di mana proses ini menghadapi
perlawanan dari pasukan-pasukan liar setempat.
Berdasarakan kondisi di atas, maka sejak tanggal 23 Agustus
sampai dengan tanggal 2 November 1949, diselenggarakan Konferensi
Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda yang diketuai oleh Perdana
Menteri Belanda, Drees. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Muhammad
Hatta, delegasi Belanda dipimpin oleh van Maarseveen, BFO oleh Sultan
Hamid II, sedangkan UNCI berperan sebagai mediator. Dalam konferensi
itu, masing-masing delegasi menyampaikan ide-ide yang kemudian lebih
cenderung untuk memperhatikan kepentingan-kepentingan mereka.
Hatta mendominasi pihak Indonesia selama berlangsungnya
perundingan. Terbentuknya uni Indonesia – Belanda yang sifatnya sangat
longgar di mana ratu Belanda sebagai pimpinan simbolis. Soekarno akan
menjadi presiden RIS dan Hatta sebagai perdana menteri merangkap
wakil presiden. Berbagai jaminan diberikan kepada investasi-investasi
Belanda di Indonesia dan disepakati akan diadakan konsultasi-konsultasi
mengenai beberapa masalah keuangan. Hal ini membuat banyak orang
Indonesia menganggap rencana-rencana tersebut sebagai pembatasan-
pembatasan yang tidak adil terhadap kedaulatan mereka.
Pihak Indonesia harus memberikan konsensi-konsensi pula dalam
dua masalah penting dan sulit. Belanda tetap mempertahankan kedaulatan
atas Papua sampai ada perundingan-perundingan berikutnya mengenai
status wilayah itu. Sementara RIS memikul tanggung jawab atas hutang
Hindia Timur Belanda yang setelah terjadi banyak tawar menawar,
jumlahnya ditetapkan sebesar 4,3 milyar gulden (f); sebagian besar dari
jumlah ini sebenarnya merupakan biaya yang dipakai pihak belanda
dalam usahanya menumpas Revolusi.
KMB menghasilkan naskah-naskah persetujuan yang lengkap
mengatur hubugan antara Indonesia-Belanda atau RI dan BFO di satu
pihak dan Belanda di pihak lain, yang pada initinya terbagi menjadi dua
bagian, yakni bagian induk dan anak persetujuan. Ketentuan yang paling
penting dalam persetujuan KMB adalah Piagam Penyerahan Kedaulatan
106
yang oleh Indonesia diartikan Piagam Pengakuan Kedaulatan. Piagam ini
kemudian menetapkan pengakuan kedaulatan dengan lengkap dan tanpa
syarat selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949 oleh Belanda
kepada RIS yang terdiri dari RI dan 15 negara baian buatan Belanda,
kecuali Papua.
Perkembangan selanjutnya, corak pemerintahn RIS diatur oleh
konstitusi yang dibuat oleh para delegasi RI dan BFO selama KMB
berlangsung, atas persetujuan yang dicapai oleh wakil-wakil mereka
dalam konferensi antar Indonesia di Yogyakarta dan Jakarta pada bulan
Juli dan awal Agustus 1949. Dengan teratasinya masalah-masalah yang
paling berat, maka KMB diakhiri. DPR masing-masing negara meskipun
tidak puas dengan ketentuan-ketentuan KMB sehingga dilaksanakanlah
penyerahan kedaulatan atas RIS.
Dengan demikian, maka pada tanggal 27 Desember 1949 secara
resmi Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia di Den Haag
(Belanda) dari PM Belanda Drees kepada PM Hatta, dan di Jakarta dari
tangan Lovink kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang masing-
masing mewakili Belanda dan Indonesia. Dengan begitu maka RIS
menjadi negara yang merdeka dan berdaulat, dan kemudian mendapat
pengakuan baik secara de facto maupun secara de jure dari dunia
internasional. Setelah itu mulailah negara-negara lain melakukan
pertukaran duta besar dengan RIS.

D. Kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia


Dalam perkembangan sejarah hanya dalam waktu 6 minggu nasib
RIS tidak diganggu gugat. Setelah itu suara yang menghendaki kembali
ke NKRI semakin meluas. Kahin (pro RI) mengemukakan jika RIS
dibiarkan hidup terus secara politis dan sosial-psikologis bisa
menimbulkan keadaan yang tidak sehat. Disamping itu mempertahankan
RIS berarti mempertahankan posisi orang Indonesia yang pro Belanda.
Dalam RIS negara RI benar-benar otonom dan banyak pejabat dari negara
bagian lebih berkiblat ke Yogyakarta daripada Jakarta.

107
Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak puas dengan bentuk
federasi hasil KMB, ketidakpuasan tersebut kemudian diwujudkan dalam
bentuk tuntutan agar negara-negara bagian bersatu dengan RI atau RIS
dilikuidasi. Pemimpin RI dan orang RI yang duduk di pusat menanggapi
keinginan mereka secara positif dan terang-terangan sehingga keinginan
untuk bergabung dengan RI semakin besar.
Kedudukan golongan pro RIS menjadi lebih buruk karena diantara
mereka ada yang berlaku jahat terhadap RIS diantaranya Sultan Hamid II
yang bersekongkol dengan Westerling. Petualangan Westerling di
Bandung mengakibatkan masyarakat enggan untuk mempertahankan RIS.
Rakyat menuntut dibubarkannya negara Pasundan. Apa yang terjadi di
Pasundan kemudian diikuti oleh Sumatera Selatan kemudian diikuti oleh
negara lain untuk bergabung dengan RI.
Melihat dukungan kembali NKRI begitu luas, maka
diselenggarakan pertemuan antara Hatta, Sukawati dan Mansur, masing-
masing mewakili RIS, NIT dan Sumatera Timur. Mereka setuju untuk
membentuk NKRI, tinggal persoalannya bagaimana cara kembali ke
NKRI.
Sehubungan dengan itu maka diadakanlah konferensi yang dihadiri
oleh wakil-wakil RIS dan wakil RI di Jakarta. Konferensi mencapai
persetujuan pada 19 Mei 1950 sebagai berikut :
I. Persetujuan bersama melaksanakan Negara Kesatuan sebagai jaminan
dari RI proklamasi 17 Agustus 1945.
II. 1. Undang-undang kesatuan diperpadat dengan mengubah Konstitusi
Sementara RIS dengan memasukkan bagian-bagian esensial dari
UUD RI antara lain : pasal 27 tentang hak warga negara, pasal 29
tentang dasar negara dan kebebasan beragama, pasal 33 tentang asas
perekonomian.
2. Dalam UUDS (1950) dimasukkan pokok pikiran : “Hak milik
adalah suatu fungsi sosial”.
3. Perubahan ketentuan Konstitusi RIS antara lain :
a. Senat dihapuskan.

108
b. DPRS terdiri dari gabungan DPR RIS dan BP KNIP RI,
ditambah dengan anggota yang diangkat Presiden atas usul
pemerintah RIS dan RI.
c. DPRS RIS dan BP KNIP merupakan Majelis Perubahan UUD.
d. Presiden ialah Presiden Soekarno.
e. Dewan Menteri harus bersifat parlementer.
4. DPA dihapuskan
Perubahan Konstitusi RIS dilakukan dengan menetapkan UU
Perubahan Konstitusi RIS. UU itu ialah UU No. 7 tahun 1950 (Lembaran
Negara No. 56/1950). Jadi UUDS adalah UU No. 7/1950 dari RIS. Dalam
pasal 1 disebutkan bahwa : “Konstitusi Sementara RIS diubah menjadi
UUDS RI”. UUDS disahkan pada tanggal 15 Agustus 1950 dan mulai
berlaku pada 17 Agustus 1950.
Mengapa proses kembalinya negara RIS ke NKRI dilakukan dengan
mengubah Konstitusi RIS, mengapa tidak membiarkan semua negara
bagian bergabung saja dengan RI. Suatu negara serikat tak mungkin
hanya dengan satu negara bagian saja, cara ini tidak dipilih. Jika seluruh
negara bagian bergabung dengan RI, maka hubungan dengan luar negeri
akan mengalami kesulitan, karena RI yang tinggal adalah RI negara
bagian, sedangkan yang menyelenggarakan hubungan dengan luar negeri
adalah RIS. Karena itu agar pengakuan dengan dunia luar terpelihara
maka secara yuridis peleburan negara RIS harus dihindarkan. Untuk
kembali ke NKRI cukup dilakukan dengan mengubah konstitusinya saja.
Jadi secara yuridis NKRI adalah perubahan dari RIS.
NKRI tetap negara berdasar Pancasila. Daerah negara dibagi dalam
daerah-daerah otonom, tidak dalam negara bagian. Kalau awal Revolusi
propinsi ada 8 maka mulai tahun 1950 mempunyai 10 propinsi karena
Sumatera dijadikan 3 propinsi. Bentuk pemerintahan, yaitu Republik,
tidak mengalami perubahan. Sistem pemerintahan menurut UUDS adalah
sistem kabinet parlementer. Maksudnya setiap kabinet yang berkuasa
harus mendapat dukungan mayoritas dalam parlemen, dengan demikian
kedudukan kabinet tergantung dari dukungan dalam parlemen. Presiden

109
hanya merupakan kepala negara yang menjalankan pemerintahan adalah
Perdana Menteri.

17-8-‘45
19-5-‘50 NKRI
(Jakarta)

14-12-‘49* RIS
(KMB)

13 NEGARA NEGARA NEGARA


NEGARA BAGIAN SUMATERA INDONESIA
BAGIAN RI TIMUR TIMUR

NKRI

17-1-’48 (Renville)
25-3-’47 (Linggajati)
(Proklamasi)
17-8-‘45
* 14-12-’49 : tanggal ratifikasi KMB

C. Penutup
1. Rangkuman :
KMB berlangsung dari 23 Agustus sampai 2 November 1949.
Yang menjadi Ketua KMB ialah PM Belanda, Drees. Delegasi
Belanda dipimpin oleh van Maarsveen, RI oleh Hatta dan BFO oleh
Sultan Hamid II sedangkan UNCI bertindak sebaga mediator. KMB

110
menghasilkan naskah-naskah persetujuan yang lengkap mengenai
hubungan antara Indonesia (RI dan BFO) dan Belanda, yang pada
pokoknya terbagi menjadi dua bagian : induk dan anak persetujuan.
Pada tanggal 27 Desember 1949 dilaksanakan penyerahan
kedaulatan (pengakuan) kepada RIS, di Den Haag dari PM Willem
Drees kepada Hatta, sedangkan di Jakarta dari tangan Lovink kepada
Sri Sultan Hamengku Buwono IX. RIS sebagai federasi yang terdiri
dari RI dan BFO. RIS terdiri dari RI sebagai negara bagian yang
terkuat dan 15 negara bagian yaitu Negara Indonesia Timur, Negara
Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Jawa Timur, Madura,
Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Dayak Besar
(Kalimantan Tengah sekarang), Daerah Banjar (Kalimantan Selatan
sekarang), Kalimantan Tenggara, Bangka, Biliton, Riau Kepulauan
dan Jawa Tengah.
Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak puas dengan bentuk
federasi hasil KMB, ketidakpuasan tersebut kemudian diwujudkan
dalam bentuk tuntutan agar negara-negara bagian bersatu dengan RI
atau RIS dilikuidasi. Sehubungan dengan itu maka diadakanlah
konferensi yang dihadiri oleh wakil-wakil RIS dan wakil RI di
Jakarta. Konferensi mencapai persetujuan pada 19 Mei 1950.

2. Tes Formatif :
1. Sebelum KMB dilaksanakan, telah diadakan Konferensi Antar
Indonesia. Jelaskan bagaimana hasil dari KAI tersebut dan negara-
negara mana yang menjadi peserta konperensi!
2. Jelaskan bagaimana perjuangan bangsa Indonesia di KMB, hasil-hasil
apa saja yang disepakati oleh kedua negara tersebut serta negara-
negara mana yang terlibat dalam KMB!
3. Latar belakang apa yang menyebabkan Irian Barat ditunda
penyelesaiannya setahun setelah penandatanganan naskah KMB!
4. Setelah KMB terbentuklah RIS, jelaskan latar belakang terbentuknya
RIS dan bagaimana sistem pemerintahannya. Jelaskan!

111
5. Jelaskan bagaimana pemerintah RIS mengatasi gangguan keamanan
di dalam negeri!
6. Pemerintahan RIS tidak berlangsung lama, karena adanya desakan
untuk kembali ke NKRI. Jelaskan latar belakang apa yang
menyebabkan adanya desakan untuk kembali ke NKRI!

112

Anda mungkin juga menyukai