mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan di kalangan bangsa Indonesia sendiri setelah
kemerdekaan. Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan federalis yang ingin
bentuk negara federal dipertahankan dengan golongan unitaris yang ingin Indonesia menjadi
negara kesatuan.
Dalam konferensi Malino di Sulawesi Selatan pada 24 Juli 1946 misalnya, pertemuan untuk
membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai daerah non RI itu, ternyata
mendapat reaksi keras dari para politisi pro RI yang ikut serta. Mr. Tadjudin Noor dari Makasar
bahkan begitu kuatnya mengkritik hasil konferensi.
Perbedaan keinginan agar bendera Merah-Putih dan lagu Indonesia Raya digunakan atau tidak
oleh Negara Indonesia Timur (NIT) juga menjadi persoalan yang tidak bisa diputuskan dalam
konferensi. Kabinet NIT juga secara tidak langsung ada yang jatuh karena persoalan negara
federal ini (1947).
Sejarah Persoalan Negara Federal dan BFO
Dalam tubuh BFO juga bukan tidak terjadi pertentangan. Sejak pembentukannya di Bandung
pada bulan Juli 1948, BFO telah terpecah ke dalam dua kubu. Kelompok pertama menolak
kerjasama dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerjasama membentuk Negara
Indonesia Serikat. Kubu ini dipelopori oleh Ide Anak Agung Gde Agung (NIT) serta R.T. Adil
Puradiredja dan R.T. Djumhana (Negara Pasundan). Kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II
(Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur). Kelompok ini ingin agar garis kebijakan
bekerjasama dengan Belanda tetap dipertahankan BFO. Ketika Belanda melancarkan Agresi
Militer II-nya, pertentangan antara dua kubu ini kian sengit. Dalam sidang-sidang BFO
selanjutnya kerap terjadi konfrontasi antara Anak Agung dengan Sultan Hamid II. Dikemudian
hari, Sulta
Hamid II ternyata bekerjasama dengan APRA Westerling mempersiapkan pemberontakan
terhadap pemerintah RIS.
Setelah Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949), persaingan antara golongan federalis dan
unitaris makin lama makin mengarah pada konflik terbuka di bidang militer, pembentukan
Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) telah menimbulkan masalah psikologis.
Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa inti anggota APRIS diambil dari TNI,
sedangkan lainnya diambil dari personel mantan anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS
berkeberatan bekerjasama dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL. Sebaliknya anggota KNIL
menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang masuknya
anggota TNI ke negara bagian (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012.). Kasus APRA
Westerling dan mantan pasukan KNIL Andi Aziz sebagaimana telah dibahas sebelumnya adalah
cermin dari pertentangan ini.
Namun selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan, pergolakan bernuansa positif bagi
persatuan bangsa juga terjadi. Hal ini terlihat ketika negara-negara bagian yang keberadaannya
ingin dipertahankan setelah KMB, harus berhadapan dengan tuntutan rakyat yang ingin agar
negaranegara bagian tersebut bergabung ke RI.
Negara boneka
Negara boneka adalah negara yang secara resmi merdeka dan diakuikedaulatannya namun
secara de-facto berada di bawah kontrol negara lainnya. Negara boneka secara harfiah berarti
negara di mana pemerintahannya dapat disamakan seperti boneka yang dimainkan oleh
pemerintah negara lainnya sebagai dalang.
Pemerintahan negara boneka biasanya sangat tergantung kepada negara dalangnya terutama
dalam hal politik, ekonomi, militer dan hubungan luar negeri. Ini menyebabkan pemerintahan
seperti ini biasanya tidak mempunyai legitimasi cukup baik di dalam negeri maupun ke dunia
internasional.
Belanda yang ingin kembali menguasai wilayah Indonesia terus melakukan tindakan-tindakan
untuk merebut kembali wilayah-wilayah Indonesia. Wilayah Indonesia berhasil dipecah-pecah
oleh Belanda. Oleh karena itu, bangsa Indonesia berjuang untuk merebut kembali wilayah-
wilayahnya baik melalui perjuangan bersenjata maupun melalui jalan perundingan.
Terbentuknya Negara-Negara Boneka di Indonesia
Belanda yang ingin kembali menguasai wilayah Indonesia terus melakukan tindakan-tindakan
untuk merebut kembali wilayah-wilayah Indonesia. Wilayah Indonesia berhasil dipecah-pecah
oleh Belanda. Oleh karena itu, bangsa Indonesia berjuang untuk merebut kembali wilayah-
wilayahnya baik melalui perjuangan bersenjata maupun melalui jalan perundingan.
B. Perjanjian Roem-Royen
Latar belakang
Meskipun kemerdekaan Indonesia telah diproklamasikan, Belanda tetap saja tidak mau
mengakui kelahiran negara indonesia. Dan Belanda pun membuat negara boneka yang bertujuan
mempersempit wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Negara boneka tersebut dipimpin oleh
Van Mook. Dan Belanda mengadakan konferensi pembentukan Badan Permusyawaratan
Federal(BFO) 27 Mei 1948.
Dan pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda mengadakan Agresi Militer Belanda dengan
menyerang kota Yogyakarta dan menawan Presiden dan Wakil Presiden beserta pejabat lainnya.
Namun sebelum itu Presiden mengirimkan radiogram kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara yang
mengadakan perjalanan di Sumatera untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI).
Dengan begitu Indonesia menunjukkan kegigihan mempertahankan wilayahnya dari segala
agresi Belanda. Akhirnya konflik bersenjata harus segera diakhiri dengan jalan diplomasi. Dan
atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia, maka pada tanggal 14 April 1949 diadakan
perundingan di Jakarta di bawah pimpinan Merle Cochran, Anggota Komisi Amerika.
Hasil Perundingan
Perjanjian Roem Royen adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang
ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949, kemudian dibacakan kesanggupan kedua belah pihak
untuk melaksanakan resolusi dewan keamanan PBB tertanggal 28 januari 1949 dan
persetujuannya tanggal 23 Maret 1949. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi,
Mohammad Roem dan J. H. van Roijen.
Dampak
Dengan tercapainya kesepakatan dalam perundingan, Pemerintah Darurat Republik Indonesia
memerintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih pemerintahan
Yogyakarta oleh pihak Belanda. Pada tanggal 1 juli 1949 pemerintah Republik Indonesia secara
resmi kembali ke Yogyakarta disusul dengan kedatangan para pemimpin Republik Indonesia dari
medan gerilya.
Pada tanggal 13 Juli 1949 diselenggarakan sidang kabinet Republik Indonesia yang pertama, dan
Mr. Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada Wakil Presiden Moh. Hatta
dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX diangkat menjadi Menteri Pertahanan merangkap ketua
koordinator keamanan. Konferensi Meja Bundar (KMB) akan diadakan secepatnya di kota Den
Haag Belanda.
C. Konferensi Inter-Indonesia
Konferensi Inter Indonesia merupakan konferensi yang berlangsung antara negara Republik
Indonesia dengan negara-negara boneka atau negara bagian bentukkan Belanda yang tergabung
dalam BFO. Pada awalnya pembentukkan BFO ini diharapkan oleh Belanda akan mempermudah
Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia. Namun sikap negara-negara yang tergabung
dalam BFO berubah setelah Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua terhadap
Indonesia. Karena simpati dari negara-negara BFO ini maka pemimpin-pemimpin Republik
Indonesia dapat dibebaskan dan BFO jugalah yang turut berjasa dalam terselenggaranya
Konferensi Inter-Indonesia. Hal itulah yang melatarbelakangi dilaksanaklannya Konferensi Inter-
Indonesia pada bulan Juli 1949.
BFO yang didirikan di Bandung pada 29 Mei 1948 merupakan lembaga permusyawaratan dari
negara-negara federal yang memisahkan dari RI. Perdana Menteri negara Pasundan, Mr. Adil
Poeradiredja, dan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur, Gede Agung, memainkan peran
penting dalam pembentukan BFO.
BFO yang dibentuk di Bandung tentu saja tak bisa dilepaskan dari strategi van Mook mendirikan
negara boneka di wilayah Indonesia yang dimulai sejak 1946. Beberapa negara federal yang
tergabung dalam BFO masih menyisakan jejak-jejak van Mook.
Tetapi tidak berarti BFO sepenuhnya dikendalikan oleh van Mook atau Belanda. Bahkan dalam
beberapa hal, BFO dan van Mook berseberangan sudut pandang. BFO yang lahir di Bandung
bergerak dalam kerangka negara Indonesia yang merdeka, berdaulat dan berbentuk negara
federal. BFO ingin agar badan federasi inilah yang kelak juga menaungi RI di bawah payung
Republik Indonesia Serikat.
Ini berbeda titik pijak dengan van Mook yang jusrtu berharap BFO bisa menjadi pintu masuk
untuk meniadakan pemerintah Indonesia, persisnya Republik Indonesia. Kegagalan
mengendalikan sepenuhnya BFO inilah yang menjadi salah satu penyebab mundurnya van Mook
sebagai orang yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda guna mengusahakan kembalinya tatanan
kolonial. Alasan itu menjadi penyebab Wakil Tinggi Pemerintah Belanda di Jakarta, Beel, juga
mengundurkan diri dari jabatannya.
BFO ikut pula memainkan peran penting dalam membebaskan para petinggi RI yang ditangkap
Belanda pada Agresi Militer II. Para pemimpin BFO mengambil sikap yang tak diduga oleh
Belanda tersebut menyusul Agresi Militer II yang diangap melecehkan kedaulatan sebuah bangsa
di tanah airnya. Agresi Militer II tak cuma melahirkan simpati dunia internasional, melainkan
juga simpati negara-negara federal yang sebelumnya memisahkan dari RI.
Selain membahas aspek-aspek mendasar hingga teknis perencanaan membangun dan membentuk
RIS, Konferensi Intern-Indonesia juga digunakan sebagai konsolidasi internal menjelang
digelarnya Konferensi Meja Bundar yang dimulai pada 23 Agustus 1949.
Bagi pemerintah RI sendiri, kesediaan menggelar Konferensi Inter-Indonesia bukan semata
karena ketiadaan pilihan lain yang lebih baik, melainkan juga karena pemerintah RI menganggap
BFO tidak lagi sama persis dengan BFO yang direncanakan van Mook. Soekarno menyebut
konferensi ini sebagai “trace baru” bagi arah perjuangan Indonesia.
Konferensi yang berlangsung hingga 22 Juli itu banyak didominasi perbincangan mengenai
konsep dan teknis pembentukan RIS, terutama mengenai susunan kenegaraaan berikut hak dan
kewajiban antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hasil kesepakatan dari Konferensi
Inter-Indonesia adalah:
1) Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS)
berdasarkan demokrasi dan federalisme (serikat),
2) RIS akan dikepalai oleh seorang Presiden dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung
jawab kepada Presiden,
3) RIS akan menerima penyerahan kedaulatan, baik dari Republik Indonesia maupun dari
kerajaan Belanda,
4) Angkatan perang RIS adalah angkatan perang nasional, dan Presiden RIS adalah Panglima
Tertinggi Angkatan Perang RIS, dan
5) Pembentukkan angkatan Perang RIS adalah semata-mata soal bangsa Indonesia sendiri.
Angkatan Perang RIS akan dibentuk oleh Pemerintah RIS dengan inti dari TNI dan KNIL serta
kesatuan-kesatuan Belanda lainnya.
Dampak dari Konferensi Inter-Indonesia adalah adanya konsensus yang dibangun melalui
Konferensi Intern-Indonesia yang menjadi modal berharga bagi pemerintah RI, terutama delegasi
Indonesia yan dtunjuk untuk berunding dengan Belanda pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di
Den Haag. Keberadaan BFO dan sikap tegas Gde Agung untuk menolak intervensi Belanda
membuat pemerintah Indonesia memiliki legitimasi yang makin kuat untuk berunding dengan
Belanda di KMB.
Latar belakang
Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan
kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia
kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi,
lewat perundingan Linggarjati, perjanjian Renville, perjanjian Roem-van Roijen, dan Konferensi
Meja Bundar.
Hasil konferensi
Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah:
1) Serahterima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat,
kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi
daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah
karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2
menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serahterima, dan bahwa masalah ini
akan diselesaikan dalam waktu satu tahun,
2) Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarki Belanda sebagai kepala
negara,
3) Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat,
4) Keradjaan Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada
Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan karena itu
mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat,
5) Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada
Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan Nederland,
6) Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949, dan
7) Rantjangan Piagam Penjerahan Kedaulatan.
Dampak KMB
Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi
Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri membentuk Kabinet Republik Indonesia
Serikat. Indonesia Serikat telah dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16
negara yang memiliki persamaan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.
E. Peran PBB
Selama Indonesia dan Belanda bertikai, PBB turut membantu dalam setiap usaha penyelesaian
pertikaian antara tahun 1945-1950. Pada tanggal 24 januari 1949 Dewan Keamanan
PBBmengeluarkan resolusi yang disetujui oleh semua negara anggota, yaitu:
1. Membebaskan Presiden dan Wakil Presiden serta pemimpin-pemimpin Republik Indonesia
yang ditangkap pada tanggal 19 Desember 1948, dan
2. Memerintahkan KTN agar memberikan laporan lengkap mengenai situasi di Indonesia sejak
19 Desember 1948.
D. PERJANJIAN LINGGARJATI
Perundingan Linggarjati berlangsung tanggal 10 November 1946 di Linggarjati. Perundingan
Linggarjati merupakan perundingan antara RI dengan Komisi Umum Belanda.
Delegasi Republik Indonesia dipimpin olehPM. Syahrir.
Delegasi Belanda dipimpin olehSchermerhorn.
Perundingan Linggarjati dipimpin oleh Lord Killearn di Inggris (sebagai perantara)
Tanggal 15 November 1946 naskah persetujuan Linggarjati diumumkan di Jakarta.
Hasil perundingan Linggarjati adalah sebagai berikut.
1. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang
meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura.
2. Belanda harus meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949
3. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara federal,
dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu Negara bagiannya adalah
Republik Indonesia.
4. RepubliK Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda
dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.
Pengakuan secara de facto Belanda terhadap RI, meliputi wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera.
Secara de Jure (hukum) status hubungan Internasional Indonesia tidak jelas, tidak ada penegasan
dalam perjanjian apakah Indonesia dapat melakukan hubungan internasional atau tidak.
Terjalinnya hubungan diplomasi dengan negara lain inilah yang memicu pertentangan lebih
lanjut antara Indonesia-Belanda.
Terjadi pro dan kontra mengenai perjanjian Linggarjati tetapi akhirnya Indonesia
menandatangani perjanjian ini pada 25 Maret 1947 dengan alasan :
1. Adanya keyakinan bahwa bagaimanapun juga jalan damai merupakan jalan yang paling
baik dan aman untuk mencapai tujuan Bangsa Indonesia.
2. Cara damai akan mendatangkan simpati dan dukungan internasional yang harus
diperhitungkan oleh lawan.
3. Keadaan militer Indonesia yang masih lemah jika menyetujui perundingan
memungkinkan Indonesia memperoleh kesempatan untuk memperkuat militer.
4. Jalan diplomasi dipandang sebagai jalan untuk memperjuangkan pengakuan kedaulatan
dan penegakan Negara RI yang berdaulat.
E. AGRESI MILITER BELANDA I