Ida Anak Agung Gde Agung adalah tokoh asal Bali yang
diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Ia merupakan seorang
ahli sejarah dan tokoh politik Indonesia. Di Bali, ia menjadi
seorang Raja Gianyar, menggantikan sang ayah. Agung
menjadi menteri masalah-masalah kemasyarakatan pada
Kabinet Persatuan Nasional.
Ida Anak Agung Gde Agung lahir di Gianyar, Bali, 24 Juli 1921
dan wafat pada 22 April 1999. Ia mengawali pendidikan
sekolahnya di Hollandsc Inlandsche School atau setingkat
sekolah dasar. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan di
Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) atau setingkat SMP. Setelah lulus dari MULO, Ida
Anak Agung Gde Agung melanjutkan sekolah di Algemeene Lagere atau SMA. Setelah itu, ia
bersekolah di sekolah tinggi hukum dan mendapat gelar Sarjana Hukum di Rechts Hoge
School.
Peran Ida Anak Agung Gde Agung di dunia politik dimulai di Negara Indonesia Timur (NIT).
Awalnya ia menjadi Menteri Dalam Negeri. Lalu sebagai Perdana Menteri pada Desember
1947 sampai Desember 1949. Meskipun saat itu NIT berada di bawah pengaruh
Belanda, Ida Anak Agung Gde Agung menjalankan politiknya dengan cara yang berbeda.
Pada Januari 1948, Anak Agung melaksanakan pertemuan dengan Perdana Menteri RI, Amir
Sjarifuddin, untuk bersama-sama mencari solusi terkait masalah nasionalisme Indonesia.
Berdasarkan pertemuan itu, pada 19 Januari 1948, pemerintah RI mengakui adanya NIT.
Pada Februari 1948, NIT mengirim misi parlementer ke Yogyakarta. Politik yang dilakukan
Anak Agung ini dikenal sebagai politik sintesis. Ia menentang keras keinginan Belanda untuk
membentuk pemerintahan federal sementara sebelum Negara Indonesia Serikat (RIS)
terbentuk. Sikap dukungan Anak Agung terhadap Indonesia pun semakin terlihat saat
Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Untuk menunjukkan proses
pada aksi itu, Anak Agung langsung mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana
Menteri NIT. Ia diangkat kembali pada 12 Januari 1949 sebagai Perdana Menteri NIT.
Pada awal Februarai 1949, Anak Agung memimpin delegasi BFO atau Pertemuan
Musyawarah Federal ke Bangka untuk melakukan pembicaraan dengan pemimpin RI yang
ditawan Belanda. Sebulan setelahnya, BFO menuntut agar Belanda segera menghentikan
aksi Agresi Militernya dan membebasakan para pemimpin RI. Untuk menyamakan pendapat
antara RI dengan BFO dalam menghadapi Belanda, Anak Agung memprakarsai diadakannya
Konferensi Antar Indonesia. Konferensi ini berlangsung dua kali, yaitu di Yogyakarta pada
19-22 Juli dan Jakarta pada 30 Juli hingga 2 Agustus. Dalam konferensi ini dicapai
kesepakatan, di mana bendera negara tetap merah putih dan lagu kebangsaan tetap
Indonesia Raya. Lalu disepakati juga untuk membentuk Angkatan Perang RIS. Perundingan
Konferensi Meja Bundar terjadi pada 23 Agustus sampai 2 November 1949.
Anak Agung menjadi wakil ketua delegasi BFO sekaligus ketua delegasi NIT. Dalam
perundingan KMB ini, Anak Agung menuntut agar wilayah Irian Barat digabungkan dalam
RIS. Namun, Belanda tetap mempertahankan bahwa Irian Barat berada di bawah kekuasaan
mereka. Pada akhirnya, disepakati bahwa Irian Barat akan diserahkan ke Indonesia satu
tahun setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda. Berkat sumbangsihnya, Ida Anak Agung
Gde Agung diberi penghargaan oleh pemerintah RI yaitu Bintang Mahaputra Adipradana dan
dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Revolusi sosial yang meletus pada 3 Maret 1946 menjadi akhir bagi kehidupan Amir
Hamzah. Dia menjadi salah satu korban penangkapan yang dilakukan oleh pasukan Pesindo.
Amir Hamzah kemudian diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK
Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975.
Hingga kematiannya, Amir Hamzah telah mewariskan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18
prosa liris, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa, dan 1 prosa terjemahan. Jumlah keseluruhan
karya itu adalah 160 tulisan. Jumlah karya tersebut masih ditambah dengan Setanggi Timur
yang merupakan puisi terjemahan, dan terjemahan Bhagawat Gita. Dari jumlah itu, ada juga
beberapa tulisan yang tidak sempat dipublikasikan.
3. PEREMPUAN PEJUANG
(CUT NYAK DIEN)
Meski suaminya meninggal, Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan Belanda di daerah
pedalaman Meulaboh. Dengan kondisi Cut Nyak Dien semakin rentan. Matanya mulai rabun
dan terkena encok. Ditambah sumber makanan yang tidak pasti karena benar-benar telah
habis dan jumlah pasukan yang juga berkurang. Kondisi itu membuat pasukannya iba dan
salah satu anak buahnya melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda. Dengan mudah
Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu dan membuatnya terkejut.
Mereka tetap berperang matia-matian, tapi berhasil digagalkan oleh pasukan Belanda.
Cut Nyak Dien pun akhirya tertangkap. Sementara anak Cut Nyak Dien bernama Cut
Gambang berhasil melarikan diri hutan. Setelah ditangkap Cut Nyak Dien kemudian dibawa
ke Banda Aceh. Di Banda Aceh, Cut Nyak Dien sempat mendapatkan perawatan untuk
penyakitnya. Bahkan penyakitnya, seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh.
Dibuang Setelah ditangkap dan mendapatkan perawatan, Cut Nyak Dien selanjutnya
dibuang atau dipindahkan ke Sumedang, Jawa Bara. Jadi Suri Teladan Daerah Lain
Pemindahan tersebut dilakukan karena Belanda merasa ketakutan dan khawatir. Karena
kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan bagi rakyat Aceh. Apalagi masih
banyak pejuang-pejuang Aceh yang belum tunduk dengan Belanda. Di Sumedang, ditahan
bersama tahanan politik Aceh lain. Pada 6 November 1908, Cut Nyak Dien meninggal karena
usianya yang sudah tua. Cut Nyak Dien dimakamkam di daerah pengasingan. Bahkan makam
Cut Nyak Dien baru ditemukan pada 1959. Pada 2 Mei 1962, Presiden Sokarno melalui SK
Presiden RI Nomor 106 Tahun 1964 diangkat menjadi pahlawan nasional.