Anda di halaman 1dari 9

Revolusi Nasional Indonesia adalah sebuah konflik bersenjata dan pertentangan diplomasi

antara Republik Indonesia yang baru lahir melawan Kerajaan Belanda yang dibantu oleh pihak
Sekutu, diwakili oleh Inggris. Rangkaian peristiwa ini terjadi mulai dari proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga pengakuan kemerdekaan
Indonesia oleh Kerajaan Belanda pada 29 Desember 1949. Meskipun demikian, gerakan revolusi
itu sendiri telah dimulai pada tahun 1908, yang saat ini diperingati sebagai tahun dimulainya
kebangkitan nasional Indonesia.

Selama sekitar empat tahun, beberapa peristiwa berdarah terjadi secara sporadis. Selain itu,
terdapat pula pertikaian politik serta dua intervensi internasional. Dalam peristiwa ini, pasukan
Belanda hanya mampu menguasai kota-kota besar di pulau Jawa dan Sumatra, tetapi gagal
mengambil alih kendali di desa dan daerah pinggiran. Karena sengitnya perlawanan bersenjata
serta perjuangan diplomatik, Belanda berhasil dibuat tertekan untuk mengakui kemerdekaan
Indonesia.[2]

Revolusi ini berujung pada berakhirnya pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan
mengakibatkan perubahan struktur sosial di Indonesia; kekuasaan raja-raja mulai dikurangi atau
dihilangkan. Peristiwa ini dikenal dengan "revolusi sosial", yang terjadi di beberapa bagian di

pulau Sumatra.

Latar belakang
Pergerakan nasionalis untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, seperti
Budi Utomo, Partai Nasional Indonesia, Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia tumbuh
dengan cepat di pertengahan abad ke-20. Budi Utomo, Sarekat Islam dan gerakan nasional
lainnya memprakarsai strategi kerja sama dengan mengirim wakil mereka ke Volksraad (dewan
rakyat) dengan harapan Indonesia akan diberikan hak memerintah diri sendiri tanpa campur
tangan Kerajaan Belanda.[3] Sedangkan gerakan nasionalis lainnya memilih cara nonkooperatif
dengan menuntut kebebasan pemerintahan Indonesia sendiri dari Belanda. Pemimpin gerakan
nonkooperatif ini adalah Soekarno dan Mohammad Hatta, dua orang mahasiswa nasionalis yang
kelak menjadi presiden dan wakil presiden pertama.[4] Pergerakan ini dimudahkan dengan adanya
kebijakan Politik Etis yang dijalankan oleh Belanda.

Pendudukan Indonesia oleh Jepang selama tiga setengah tahun masa Perang Dunia Kedua
merupakan faktor penting untuk revolusi berikutnya. Belanda hanya memiliki sedikit
kemampuan untuk mempertahankan penjajahan di Hindia Belanda. Hanya dalam waktu tiga
bulan, Jepang berhasil menguasai Sumatra. Jepang kemudian berusaha untuk mengambil hati
kaum nasionalis dengan menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia dan mengizinkan
penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik. Ini menimbulkan lahirnya organisasi-organisasi
perjuangan di seluruh negeri.[5]
Ketika Jepang berada di ambang kekalahan perang, Belanda kembali untuk merebut kembali
bekas koloni mereka. Pada 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso
menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia, walaupun tidak menetapkan tanggal resmi. [6]

Proklamasi kemerdekaan
Proklamasi dan pembentukan pemerintahan

PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal - hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen '45
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.

Pada akhir bulan Agustus 1945, pemerintahan republikan telah berdiri di Jakarta. Kabinet
Presidensial dibentuk, dengan Soekarno sendiri sebagai ketuanya. Hingga pemilihan umum
digelar, Komite Nasional Indonesia Pusat dibentuk untuk membantu Presiden dan bertindak
hampir sebagai badan legislatif. Komite serupa juga dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten.
Mendengar berita pembentukan pemerintah pusat di Jakarta, beberapa raja menyatakan
menggabungkan diri dengan Indonesia. Sementara beberapa lainnya belum menyatakan sikap
atau menolak mentah-mentah, terutama yang pernah didukung oleh pemerintah Belanda.[7]

Pengibaran bendera Merah Putih setelah pembacaan naskah proklamasi pada 17 Agustus 1945

Khawatir Belanda akan berusaha merebut kembali kekuasaan di Indonesia, pemerintah yang baru
dibentuk tersebut dengan cepat menyelesaikan persoalan administrasi. Saat itu, pemerintahan
masih sangat terpusat di pulau Jawa, sementara kontak ke luar pulau masih sangat sedikit.[8] [9]
Pada 14 November 1945, Sutan Sjahrir menjadi perdana menteri pertama mengetuai kabinet
Sjahrir I.

Beberapa minggu setelah Jepang menyerah, Giyugun dan Heiho dibubarkan oleh pemerintah
Jepang. Struktur komando dan keanggotaan PETA dan Heiho pun hilang. Karena itu, pasukan
republikan yang mulai tumbuh di bulan September, tetapi lebih banyak berupa kelompok-
kelompok kecil milisi pemuda yang tidak terlatih, yang biasanya dipimpin oleh seorang
pemimpin karismatik.[7] Ketiadaan struktur militer yang patuh pada pemerintah pusat menjadi
masalah utama revolusi kala itu.[2] Dalam masa awal pembentukan struktur militer, perwira
Indonesia yang dilatih Jepang mendapat pangkat yang lebih tinggi dibanding perwira yang
dilatih oleh Belanda. Pada 12 November 1945, dalam sebuah konferensi antar panglima-
panglima divisi militer di Yogyakarta seorang mantan guru sekolah berumur 30 tahun bernama
Sudirman terpilih menjadi panglima Tentara Keamanan Rakyat, bergelar "Panglima Besar".[10]

Euforia revolusi

Lihat pula: Bersiap

Tan Malaka, salah satu pejuang revolusi yang berjuang bersama gerakan bawah tanah.

Sebelum berita tentang, proklamasi kemerdekaan Indonesia menyebar ke pulau-pulau lain,


banyak masyarakat Indonesia yang jauh dari ibu kota Jakarta tidak percaya. Saat berita mulai
menyebar, banyak dari orang Indonesia datang untuk menyatakan diri mereka sebagai pro-
republik, dan suasana revolusi menyapu seluruh negeri.[11] Kekuatan luar di dalam negeri telah
menyingkir, seminggu sebelum tentara Sekutu masuk ke Indonesia, dan Belanda telah mulai
melemah kekuatannya dikarenakan perang. Disisi lain, pasukan Jepang, sesuai dengan ketentuan
diminta untuk menyerah dan meletakkan senjata, da juga menjaga ketertiban umum.

kevakuman kekuasaan selama berminggu-minggu setelah Jepang menyerah menciptakan suasana


ketidakpastian di dalam politik Indonesia saat itu, tetapi hal ini menjadi suatu kesempatan bagi
rakyat.[12] Banyak pemuda Indonesia bergabung dengan kelompok perjuangan pro-republik dan
laskar-laskar. Laskar-laskar yang paling terorganisir antara lain kelompok PETA dan Heiho yang
dibentuk oleh Jepang. Namun pada saat itu laskar-laskar rakyat berdiri sendiri dan koordinasi
perjuangan cukup kacau. Pada minggu-minggu pertama, tentara Jepang menarik diri dari daerah
perkotaan untuk menghindari konfrontasi dengan rakyat.[13]

Pada bulan September 1945, pemerintah republik yang dibantu laskar rakyat telah mengambil
alih kendali atas infrastruktur-infrastruktur utama, termasuk stasiun kereta api dan trem di kota-
kota besar di Jawa.[13] Untuk menyebarkan pesan-peasn revolusioner, para pemuda mendirikan
stasiun radio dan koran, serta grafiti yang penuh dengan sentimen nasionalis. Di sebagian besar
pulau-pulau di Indonesia, komite perjuangan dan laskar-laskar milisi dibentuk.[14] Koran kaum
republik dan jurnal-jurnal perjuangan terbit di Jakarta, Yogyakarta dan Surakarta, yang betujuan
memupuk generasi penulis yang dikenal sebagai Angkatan 45.[13]

Para pemimpin republik berjuang untuk menyatukan sentimen yang menyebar di masyarakat,
karena ada beberapa kelompok yang menginginkan revolusi fisik, dan yang lain lebih memilih
menggunakan cara pendekatan damai. Beberapa pemimpin seperti Tan Malaka dan pemimpin
kiri lainnya menyebarkan gagasan bahwa revolusi harus dipimpin oleh para pemuda. Soekarno
dan Hatta, sebaliknya, lebih tertarik dalam perencanaan sebuah pemerintahan dan lembaga-
lembaga negara untuk mencapai kemerdekaan melalui diplomasi.[14] Massa pro-revolusi
melakukan demonstrasi di di kota-kota besar, salah satunya dipimpin Tan Malaka di Jakarta dan
diikuti lebih dari 200,000 orang. Tetapi aksi ini yang akhirnya berhasil dipadamkan oleh
Soekarno-Hatta, karna mengkhawatirkan pecahnya aksi-aksi kekerasan.

Pada September 1945, banyak pemuda Indonesia yang menyatakan diri "siap mati untuk
kemerdekaan 100%" karna tidak dapat menahan kesabaran mereka. Pada saat itu, penculikan
kaum "nonpribumi" - interniran Belanda, orang-orang Eurasia, Maluku dan Tionghoa - sangat
umum terjadi, karena mereka dianggap sebagai mata-mata. Kekerasan menyebar dari seluruh
negeri, sementara pemerintah pusat di Jakarta terus menyerukan kepada para pemuda agar dapat
tenang. Namun, pemuda yang mendukung perjuangan bersenjata memandang pimpinan yang
lebih tua sebagai para "pengkhianat revolusi", yang pada akhirnya sering menyebabkan
meletusnya konflik internal di kalangan masyarakat sipil.[15]

Tindakan Sekutu
Pihak Belanda menuduh Soekarno dan Hatta berkolaborasi dengan Jepang dan mencela bahwa
kemerdekaan Indonesia merupakan hasil dari fasisme Jepang. Pemerintahan Hindia Belanda
telah menerima sepuluh juta dolar dari Amerika Serikat untuk mendanai usaha pengembalian
Indonesia sebagai jajahan mereka kembali.[16]

Pendudukan kembali

Seorang prajurit dari resimen bersenjata asal India menyita sebuah tank milik kaum nasionalis,
yang tertinggal setelah pertempuran di Surabaya.
Meskipun begitu, situasi Belanda pada saat itu lemah setelah diamuk Perang Dunia Kedua di
Eropa dan baru bisa mengatur kembali militernya pada awal 1946. Jepang dan kekuatan sekutu
lainnya enggan menjadi pelaksana tugas pemerintahan di Indonesia.[14] Sementara Amerika
Serikat sedang fokus bertempur di kepulauan Jepang, Indonesia diletakkan di bawah kendali
seorang laksamana dari Angkatan Laut Britania Raya, Laksamana Earl Louis Mountbatten,
Panglima Tertinggi Sekutu untuk Komando Asia Tenggara. Enklaf-enklaf Sekutu muncul di
Kalimantan, Morotai, dan beberapa bagian di Irian Jaya; para pegawai sipil Belanda telah
kembali ke daerah-daerah tersebut.[9] Di area yang dikuasa angkatan laut Jepang, kedatangan
pasukan Sekutu segera saja menghentikan aksi-aksi revolusioner, dimana tentara Australia
(diikuti pasukan Belanda dan pegawai-pegawai sipilnya), dengan cepat menguasai daerah-daerah
yang sebelumnya dikuasai Jepang, kecuali Bali dan Lombok.[17] Karena tidak adanya perlawanan
berarti, dua divisi tentara Australia dengan mudah menguasai beberapa daerah di bagian Timur
Indonesia.

Inggris ditugaskan untuk mengatur kembali jalannya pemerintahan sipil di Jawa. Belanda
mengambil kesempatan ini untuk menegakkan kembali pemerintahan kolonial lewat NICA dan
terus mengklaim kedaulatan atas Indonesia.[14]. Meskipun begitu, tentara Persemakmuran belum
mendarat di Jawa sampai September 1945. Tugas mendesak Lord Mountbatten adalah
pemulangan 300,000 orang Jepang dan membebaskan para tawanan perang. Ia tidak ingin (dan
tidak berdaya) untuk memperjuangakan pengembalian Indonesia pada Belanda.[18]. Tentara
Inggris pertama kali mendarat di Medan, Padang, Palembang, Semarang dan Surabaya pada
bulan Oktober. Dalam usaha menghindari bentrokan dengan orang-orang Indonesia, komandan
pasukan Inggris Letjen Sir Philip Christison, mengirim para prajurit Belanda yang dibebaskan ke
Indonesia Timur, dimana pendudukan kembali Belanda berlangsung mulus.[17]. Tensi memuncak
saat tentara Inggris memasuki Jawa dan Sumatra; bentrokan pecah antara kaum republikan
melawan para "musuh negara", seperti tawanan Belanda, KNIL, orang Tionghoa, orang-orang
Indo dan warga sipil Jepang.[17]

Perjuangan militer dan diplomasi


Perjanjian Linggarjati

Artikel utama: Perundingan Linggarjati

Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk memecah halangan dengan
menunjuk tiga orang Komisi Jendral datang ke Jawa dan membantu Van Mook dalam
perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu. Konferensi antara dua belah pihak diadakan
di bulan Oktober dan November di bawah pimpinan yang netral seorang komisi khusus Inggris,
Lord Killearn. Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -
terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang
pokok pokoknya sebagai berikut:

 Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang
meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto
paling lambat 1 Januari 1949,
 Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia
Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah
Republik Indonesia
 Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda
dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis
Konstituante didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-
bagian komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda
bersama dengan Belanda, Suriname dan Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan bersama
dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi serta kebudayaan.
Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang
timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan lewat arbitrase.

Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke pedalaman dua hari
kemudian, pada tanggal 15 November 1946, di rumah Sjahrir di Jakarta, berlangsung pemarafan
secara resmi Perundingan Linggarjati. Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan
yang memungkinkan tercapainya persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan dengan
rancangan, dan yang bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.

Agresi Militer Belanda I

Artikel utama: Agresi Militer Belanda I

Deretan tentara Belanda saat Operasi Product

Pada tengah malam 20 Juli 1947, Belanda meluncurkan serangan militer yang disebut sebagai
Agresi Militer Belanda I (Operatie Product), dengan tujuan utama menghancurkan kekuatan
republikan. Aksi militer ini melanggar perjanjian Linggarjati, dan dianggap pemerintah belanda
sebagai aksi polisionil untuk penertiban dan penegakkan hukum. Pasukan Belanda berhasil
memukul pasukan Republikan dari Sumatra serta Jawa Barat dan Jawa Timur. Republikan
kemudian memindahkan pusatnya ke Yogyakarta. Pasukan Belanda juga menguasai perkebunan
di Sumatra, instalasi minyak dan batu bara, serta pelabuhan-pelabuhan besar di Jawa.

Negara-negara lain bereaksi negatif terhadap aksi Belanda ini. Australia, India, Uni Soviet, dan
Amerika Serikat segera mendukung Indonesia. Di Australia, misalnya, kapal berbendera Belanda
diboikot mulai bulan September 1945. Dewan keamanan PBB mulai bertindak aktif dengan
membentuk Komisi Tiga Negara untuk mendorong negosiasi. PBB kemudian mengeluarkan
resolusi untuk gencatan senjata. Pada saat aksi militer ini terjadi, tepatnya pada 9 Desember
1947, Pasukan Belanda membantai banyak warga sipil di Desa Rawagede (saat ini wilayah
Balongsari di Karawang, Jawa Barat.

Kekacauan internal
Beberapa kekacauan internal terjadi di pihak Indonesia selama terjadinya revolusi, antara lain:

Revolusi sosial

"Revolusi sosial" yang terjadi setelah proklamasi berupa penentangan terhadap pranata sosial
Indonesia yang terlanjur terbentuk pada masa penjajahan Belanda, dan terkadang juga
merupakan hasil kebencian terhadap kebijakan pada masa penjajahan Jepang. Di seluruh negara,
masyarakat bangkit melawan kekuasaan aristokrat dan kepala daerah dan mencoba untuk
mendorong penguasaan lahan dan sumber daya alam atas nama rakyat. Kebanyakan revolusi
sosial ini berakhir dalam waktu singkat, dan dalam kebanyakan kasus gagal terjadi.

Kultur kekerasan dalam konflik yang dalam memecah belah negara ini saat dalam pengusaan
Belanda seringkali terulang di paruh akhir abad keduapuluh. Istilah revolusi sosial banyak
digunakan untuk aktivitas berdarah yang dilakukan kalangan kiri yang melibatkan baik niat
altruistik, untuk mengatur revolusi sosial sebenarnya, dengan ekspresi balas dendam, kebencian,
dan pemaksaan kekuasaan. Kekerasan adalah salah satu dari sekian banyak hal yang dipelajari
rakyat selama masa penjajahan Jepang, dan tokoh-tokoh yang diidentifikasi sebagai tokoh
feodal, antara lain para raja, bupati, atau kadang sekadar orang-orang kaya, seringkali menjadi
sasaran penyerangan, kadang disertai pemenggalan, serta pemerkosaan juga sering menjadi
senjata untuk melawan wanita-wanita feodal. Di daerah pesisir Sumatra dan Kalimantan yang
dikuasai kesultanan, misalnya, para sultan dan mereka yang mendapat kekuasaan dari Belanda,
langsung mendapat serangan begitu pemerintahan Jepang angkat kaki. Penguasa sekuler Aceh,
yang menjadi basis kekuasaan Belanda, turut dieksekusi, meskipun kenyataannya kebanyakan
daerah kekuasaan kesultanan di Indonesia telah kembali jatuh ke tangan Belanda.

Kebanyakan orang Indonesia pada masa ini hidup dalam ketakutan dan kebimbangan, hal ini
terutama terjadi pada populasi yang mendukung kekuasaan Belanda atau mereka yang hidup di
bawah kontrol Belanda. Teriakan kemerdekaan yang begitu populer, "Merdeka ataoe mati!"
seringkali menjadi pembenaran untuk pembunuhan yang terjadi di daerah kekuasaan Republik.
Para pedagang seringkali mengalami situasi sulit ini. Di satu sisi, mereka ditekan oleh pihak
Republik untuk memboikot semua ekspor ke Belanda, sementara di sisi lain polisi Belanda juga
tidak mengenal ampun bagi para penyelundup yang justru menjadi tumpuan ekonomi pihak
Republik. Di beberapa wilayah, istilah "kedaulatan rakyat" yang diamanatkan dalam pembukaan
UUD 1945 dan sering digunakan para pemuda untuk menuntut kebijakan proaktif dari para
pemimpin, seringkali berakhir tidak hanya menjadi tuntutan atas komoditas gratis, tetapi juga
perampokan dan pemerasan. Pedagang Tionghoa, khususnya, seringkali diminta untuk
memberikan harga murah dengan ancaman pembunuhan.

Pemberontakan Komunis

Artikel utama untuk kategori ini adalah Peristiwa Madiun.


Pada 18 September 1948 Republik Soviet Indonesia diproklamasikan di Madiun, oleh anggota
PKI yang berniat menjalankan sebuah pusat pembangkangan atas kepemimpinan Soekarno
Hatta, yang dianggap budak Jepang dan Amerika. Pertempuran antara TNI dan PKI ini, tetap
dimenangkan pihak TNI dalam beberapa minggu, dan pemimpinnya, Muso, terbunuh. RM
Suryo, Gubernur Jawa Timur pada masa itu, beberapa petugas kepolisian, dan pemimpin relijius
gugur di tangan pemberontak. Kemenangan ini menghilangkan gangguan konsentrasi atas
perjuangan revolusi nasional dan memperkuat simpati Amerika yang awalnya hanya berupa
perasaan senasib dalam bentuk anti kolonialisme, menjadi dukungan diplomatik. Di dunia
internasional, pihak Republik Indonesia mengukuhkan sikap anti komunis dan menjadi calon
sekutu potensial di awal era perang dingin antara Amerika Serikat dan blok Soviet.[19]

Pemberontakan Darul Islam

Artikel utama untuk kategori ini adalah Negara Islam Indonesia.

Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan


anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya
Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan dalam satu brigade yang disebut
Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya.

Tuntutan itu ditolak karena banyak di antara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas
militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps
Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan
Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan
membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakkar mengubah nama
pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII
Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953.

Awalnya TNI tidak merespon karena sedang berkonsentrasi melawan agresi Belanda. Namun
setelah seluruh teritori kembali disatukan pada 1950, maka pemerintah Republik Indonesia mulai
menganggap Darul Islam sebagai ancaman, terutama setelah beberapa provinsi lainnya
menyatakan bergabung dalam Darul Islam. Perlawanan ini berhasil dipadamkan mulai tahun
1962, dan tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan TNI dalam
sebuah baku tembak.

Dampak

Wakil Presiden Indonesia, Hatta dan Ratu Belanda, Juliana menandatangani kedaulatan
Indonesia di Den Haag, Belanda
Walaupun tidak ada data akurat mengenai perhitungan dari berapa banyak penduduk Indonesia
yang meninggal dalam gerakan revolusi Indonesia. Perkiraan yang meninggal dalam peperangan
untuk kemerdekaan Indonesia berkisar dari 45.000 sampai 100.000 jiwa, dan rakyat sipil
diperkirakan meninggal dalam kisaran 25.000 atau mungkin mencapai angka 100.000 jiwa.
Selain itu, tentara Inggris yang berjumlah 1200 diperkirakan dibunuh dan hilang di Jawa dan
Sumatra antara tahun 1945-1946, kebanyakan merupakan prajurit India. Sedangkan untuk
Belanda lebih dari 5000 tentaranya kehilangan nyawa mereka di Indonesia. Lebih banyak lagi
tentara Jepang gugur, di Bandung sendiri tentara Jepang yang meninggal dalam peperangan
sebanyak 1057 jiwa, dalam faktanya hanya setengahnya yang gugur dalam peperangan,
sementara yang lainnya tewas diamuk oleh rakyat Indonesia lainnya. Puluhan ribu orang
Tionghoa dan masyarakat asing lainnya di bunuh atau terpaksa kehilangan tempat tinggalnya di
Indonesia, walaupun dalam kenyataannya masyarakat Tionghoa yang tinggal di Indonesia
mendukung gerakan revolusi Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan. Selain itu, lebih dari
tujuh juta jiwa mengungsi di Sumatra dan Jawa.[20].

Gerakan revolusi nasional Indonesia ini memberikan efek langsung pada kondisi ekonomi, sosial
dan budaya Indonesia itu sendiri, di antaranya kekurangan bahan makanan, dan bahan bakar.
Ada dua efek dalam ekonomi yang ditimbulkan oleh gerakan nasional Indonesia yang
berdampak langsung dengan ekonomi Kerajaan Belanda dan Indonesia, keduanya kembali untuk
membangun ekonomi mereka secara berkelanjutan setelah Perang Dunia II dan gerakan revolusi
Indonesia. Republik Indonesia mengatur kembali setiap hal yang dibutuhkan oleh rakyat
Indonesia yang awalnya diblokade oleh Belanda.

Catatan kaki

Anda mungkin juga menyukai