Anda di halaman 1dari 35

JAVA TALES

Buku 8
SURAKARTA
DI GERBANG REPUBLIK

1
Mangkatnya Pakubuwana X pada 20 Februari 1938 mengakhiri pemerintahan yang paling panjang dalam sejarah Mataram, yakni 45
tahun.

2
Pangeran Hangabehi yang kemudian diangkat menjadi Pakubuwana XI sesungguhnya pernah menjadi bagian dari kelompok keraton
yang anti-Belanda yang dipimpin oleh Pangeran Hadiwidjojo dan Pangeran Woerjaningrat. Ia bahkan pernah menjadi pelindung Sarekat
Islam dan sempat mengambil alih jabatan ketua Budi Utomo cabang Solo. Namun, sesudah Hangabehi meletakan jabatan di Budi Utomo
karena didesak Belanda pada pertengahan 1922, ia mulai lenyap dalam kancah politik hingga akhirnya menjadi Sunan. Masa
Pakubuwana XI kala itu menjadi masa yang benar-benar genting karena keraton harus berhadapan pada situasi peralihan kekuasan dari
pemerintah Belanda ke pemerintah Jepang. Kondisi ini diperparah pula dengan pengurangan anggaran belanja keraton secara besar-
besaran terkait masa great depression (depresi besar) akibat kecamuk Perang Dunia II di Eropa. Depresi Besar yang dalam bahasa
Belanda disebut ‘malaise’ sering diplesetkan ke dalam bahasa Jawa menjadi ‘zaman meleset’.

Pakubuwana XI lebih sering pergi ke kantor residen Belanda. Padahal, dahulu gubernurlah yang medatangi Pakubuwana X dan itu pun
harus dengan izin/ansfraag (perjanjian atau terjadwal). Kata orang-orang: “Beliau bukan lagi Sunan yang sesungguhnya. Keraton wis
koncatan wahyu (sudah kehilangan pamornya).”

3
Di akhir hayatnya, pada suatu malam dalam keadaan sakit, Pakubuwana XI mengucapkan kalimat pada puteranya, Suryo Guritno.

“Bersiaplah, keraton kini telah menuju kegelapan.”

Suryo Guritno akhirnya menjadi Pakubuwana XII pada tahun-tahun senja dari kolonialisme di Hindia Belanda. Perang Dunia II di Eropa,
dimana Belanda dikalahkan oleh Jerman, memang merupakan senjakala Hindia Belanda.

Belanda menjalankan pemerintahannya dari Inggris dan menyatakan perang terhadap Jepang. Hal itu terjadi setelah Jepang menyerang
Pearl Harbour pada tahun 1941 (Perang Pasifik) yang melibatkan banyak sekali negara yang akhirnya terbagi dalam dua kubu; yakni
SEKUTU (Inggris, Amerika, Belanda, dan kekuatan besar lain) versus POROS (Jepang, Jerman, dan Italia).

4
Sementara, sejak September 1936, di Surakarta telah terdapat 57 orang Jepang, belum termasuk perempuan dan anak-anak Jepang.
Kebanyakan dari mereka tinggal di Solo, sementara yang lainnya menyebar di beberapa kabupaten. Jepang memang berhasil memasuki
wilayah Hindia Belanda dengan slogan politiknya yaitu “Gerakan Tiga A” (Jepang pemimpin Asia, pelindung Asia, cahaya Asia)
menjadikan Jepang sebagai saudara tua yang akan membebaskan Hindia Belanda dari penjajahan.

Untuk menguatkan citra sebagai saudara tua, sejak tahun 1920 bahkan Jepang sudah mendirikan majalah yang bernama Jawa Nippon.
Selain itu, Jepang juga mendirikan koran lain, yaitu Nichiran Shogyo Shinbun pada tahun 1934. Koran ini lebih bernuansa politis, yang
memperkerjakan para jurnalis muda dan berani. Propaganda Jepang semakin menjadi-jadi ketika kedua koran itu melebur menjadi satu
dengan nama Tohindo Nippo atau juga dikenal dengan nama Harian Hindia Timur. Jepang memang menyebut wilayah Indonesia kini
dengan Hindia Timur, berbeda dengan Belanda yang menyebutnya dengan Hindia Belanda.

5
Berbagai jenis organisasi pergerakan pun lahir dalam dukungan Jepang. Salah satunya adalah Partai Indonesia Raya atau Parindra
Tujuan yang ditentukan oleh partai adalah “Indonesia Moelia” yang mengandung arti kemerdekaan. Pada mulanya, Parindra adalah
aliansi antara para pengikut Dr. Soetomo di Surabaya dan politikus keraton di Solo. Keterlibatan keraton dalam embrio politik
Indonesia ditandai dengan kongres fusi yang terkenal antara Budi Utomo dan Persatuan Bangsa Indonesia dalam bulan Desember 1935
di Solo.

Raden Soetomo RMA. Woerjaningrat Pangeran Hadiwijoyo Pangeran Kusumoyudo Pangeran Ario Suryohamijoyo

Parindra paling sedikit mempunyai 121 cabang dan anggotanya mungkin melebihi 20 ribu orang, dua kali lipat daripada PNI Sukarno
Partai ini berusaha untuk mempersatukan semua lapisan masyarakat bumiputera dengan inspirasi Jepang, yaitu kemenangan samurai
yang telah merebut kekuasaan pada tahun 1868 dan membawa negerinya ke arah modernisasi yang pesat dengan status sebagai
kekuatan dunia.

6
Sementara itu, di Batavia, balatentara Jepang bahkan telah membentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) sejak awal masa pendudukan. BPUPKI kemudian berubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Selain
membentuk kekuatan militer, tentara pendudukan Jepang juga menghimpun seluruh organisasi dan eksponen Islam ke dalam Majelis
Islam A’laa Indonesia (MIAI) yang kemudian berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

7
Selain itu, Jepang juga mendirikan Jawatan Urusan Agama atau Sumumbu. Sumumbu adalah cikal bakal Departemn/Kementerian Agama
Republik Inonesia yang berada di Kota Solo dengan menempati gedung megah di depan Taman Sriwedari yang sekarang digunakan
sebagai Madrasah Aliyah Negeri II.

Untuk menahan menguatnya serangan Jepang di Hindia Belanda, sekutu (yang di dalamnya termasuk Belanda) membentuk sebuah
gugus tempur komando gabungan bernama ABDACOM (American British Dutch Australian Command). ABDACOM adalah komando
tinggi berumur pendek untuk semua angkatan Sekutu di Asia Tenggara pada awal tahun 1942 selama Perang Pasifik dalam Perang
Dunia II. Tujuan utama komando ini adalah mengawasi gerak-gerik Jepang dan memelihara kendali operasi Sekutu. Namun, tujuan ini
gugur dalam Pertempuran Laut Jawa yang memporakporandakan kekuatan ABDACOM dan tenggelamnya kapal perang Belanda (Fregat
de Ruyter). Pertempuran yang berlangsung 26-28 Februari 1942 itu dimenangi armada laut Jepang.

8
Pada tanggal 28 Februari 1942, setelah merebut Pangkalan Udara Kalijati, Letnan Jenderal Imamura membuat markasnya di sana. KNIL
(Koninklijk Netherlandsch Indische Leger) di bawah komandan Letnan Jenderal Hein Ter Poorten melakukan gencatan senjata pada 7
Maret 1942. Pada 8 Maret 1942, Imamura memberikan ultimatum kepada Belanda, bahwa apabila tidak menyerah, maka tentara Jepang
akan menghancurkan seluruh tentara Belanda dan sekutunya. Akhirnya pada 9 Maret 1942 Tjarda Van Starkenborg Stachouwer yang
menjabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, menyerah di Kalijati, Jawa Barat. Sejak itulah masa pendudukan Jepang resmi dimulai.

9
Bekas wilayah Hindia Belanda pun dibagi menjadi dua bagian besar. Pulau Sumatra dan Jawa berada di bawah kekuasaan militer
RIKUGUN (Angkatan Darat). Sementara, Kalimantan dan wilayah yang dahulu dikenal grote oost (timur besar) dikuasai oleh
pemerintahan militer KAIGUN (Angkatan Laut). Untuk kepentingan Angkatan Laut dan Angkatan Darat, Jepang mendirikan Kaigun
Bukanfu, kantor penghubung Jepang di Jakarta yang dipimpin oleh Laksamana Muda Tadashi Maeda. Jepang mulai menjadi penguasa
Jawa.

Sejak Oktober 1943, pihak Jepang mewajibkan para petani menjadi romusha. Romusha adalah bahasa Jepang untuk ‘buruh’ atau
‘pekerja’. Jumlah orang-orang yang menjadi romusha tidak diketahui pasti - perkiraan yang ada bervariasi dari 4 hingga 10 juta. Dalam
praktiknya para romusha dijadikan tenaga kerja paksa untuk kepentingan militer Jepang dan menimbulkan banyak korban akibat
siksaan dan kurang pangan. Soekarno, yang kemudian menjadi Presiden RI, turut membantu Jepang dalam hal ini.

10
Memasuki masa baru di bawah kekuasaan Jepang, “pelantikan” Pakubuwana XII hanya dilaksanakan di Balaikota, setelah mendapat
persetujuan dari pemerintah Jepang, yaitu Komandan Tentara ke-16 Angkatan Darat (Saikoo Sikikan), Letnan Jenderal Yuchihiro
Nagano. Selanjutnya, Pakubuwana XII mengucapkan sumpah setia di hadapan pemerintahan militer di Surakarta (Kooti Jimu Kyoku
Tyokan) Kolonel H. Watanabe pada 12 Juli 1945 di usia 20 tahun dengan dihadiri paman beliau, yaitu GPH Kusumayuda dan GPH
Suryohamijojyo yang kebetulan merupakan tokoh Parindra yang didukung penguasa kolonial Jepang.

11
Selagi menunjukkan kuasanya, Jepang dibombardir dengan bom atom oleh Amerika Serikat dari pihak sekutu pada 14 Agustus 1945.
Namun, di wilayah Hindia Belanda Jepang masih tetap bergerak secara bawah tanah untuk mempengaruhi para pemuda pejuang dengan
mendorong misi untuk tetap merdeka seratus persen dari kekuasan Belanda. Hal itu dilakukan di bawah kepemimpinan Laksamana
Maeda di Jakarta.

Kala di Belanda, Maeda juga kerap berhubungan dengan sejumlah tokoh pelajar dan mahasiswa Indonesia. Maeda sempat mendirikan
suatu sekolah atau institut politik yang diberi nama Asrama Indonesia Merdeka (Ashram of Free Indonesia) pada Oktober 1944 bagi
para pelajar terpilih. Peran Maeda dalam mempersiapkan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia amatlah besar. Ia menyediakan
rumahnya untuk tempat penyusunan konsep teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

12
Sesuai dengan bunyi Pasal 18 penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, maka pada 19 Agustus 1945 Presiden Negara Republik Indonesia
(Jogjakarta) mengeluarkan sebuah piagam penetapan yang menetapkan Pakubuwana XII dan Mangkunegara VIII pada kedudukannya
masing-masing dengan kepercayaan, bahwa keduanya akan mencurahkan segala pikiran tenaga, jiwa, dan raga untuk keselamatan
daerahnya sebagai bagian dari Republik Indonesia.

13
Baik Susuhunan Pakubuwana XII maupun Mangkunegara VIII menyambut kepercayaan tersebut dengan baik, sehingga pada 1
September 1945 kedua penguasa tradisional Surakarta mengeluarkan amanat yang berisi kesetiaan Kasunanan dan Mangkunegaran
kepada Republik Indonesia.

14
Pakubuwana XII mendapat gelar kemiliteran secara tituler Letnan Jenderal. Ia juga berulang kali diajak mendampingi Presiden
Soekarno melihat front pertempuran di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pada 13 Oktober 1945, di Surakarta, Polisi Militer Jepang yang diwakili oleh komandannya T. Mase menandatangani surat pernyataan
penyerahan diri kepada Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta KRT. Mr. Sumadiningrat. Penyerahan itu sekaligus
merupakan serah terima tanggung jawab atas semua persenjataan Jepang di Surakarta hingga tersusun struktur pemerintahan. Tak
lama kemudian KNID pun menyusun struktur pemerintahan.

15
Akan tetapi, tindakan KNID membentuk badan-badan pemerintahan daerah mengakibatkan hubungan antara Keraton Kasunanan dan
Pakubuwana XII dengan KNID menjadi buruk. Pakubuwana XII mulai merasakan bahwa KNID telah merebut kekuasaan yang dimiliki
oleh Kasunanan. Kondisi tersebut di atas juga dirasakan oleh Kadipaten Mangkunegaran dan Mangkunegara VIII. Sumber kekacauan lain
adalah adanya keputusan yang berbeda tentang KNID di Surakarta. Satu pihak mengatakan perlu dibentuk KNID, namun pihak lain
beralasan karena Surakarta adalah daerah vosrtenlanden atau tanah keraton maka tidak diperlukan KNID.

16
Perpindahan ibukota RI dari Jakarta ke Yogyakarta pada 5 Januari 1946 turut mempengaruhi kondisi politik di Solo. Pemerintahan RI
Yogyakarta dijalankan oleh Kabinet Syahrir yang diangkat pada 14 November 1945.

Pengangkatan Syahrir sebagai perdana menteri ternyata sangat ditentang oleh Tan Malaka. Dalam aksi politiknya menentang
pemerintah baru RI, Tan Malaka mendirikan sebuah organisasi yang dinamakan Persatuan Perjuangan. Organsisasi ini merupakan
gabungan dari banyak organisasi yang jumlahnya 141 organisasi yang dapat dikategorikan sebagai partai politik dan organisasi semi-
militer. Organisasi ini didirikan di Purwokerto pada 16 Januari 1946, namun gerakannya memperoleh momentum ketika oleh Tan
Malaka dipindahkan pusat gerakannya di Solo.

17
Dengan demikian Solo menjadi pusat oposisi menentang pemerintahan pusat RI di Yogyakarta. Hal ini terjadi karena Jakarta sudah
dikuasai oleh Belanda kembali. Sementara wilayah RI Proklamasi tinggal Jawa Tengah bagian selatan Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Pengaruh Kelompok Tan Malaka yang berhaluan kiri di Solo menyebabkan berkembangnya pengaruh kiri dalam masyarakat daerah
swapraja. Inilah awal munculnya gerakan sosial di Solo pasca kemerdekaan.

18
Akibat konstelasi sosial politik yang rumit terjadi di Solo pada awal 1946, tugas komisaris tinggi yang dikepalai oleh RP Soerasa.
Lembaga pemerintahan modern ini mulai menghadapi realitas baru yaitu gerakan sosial. Bentuk dari gerakan sosial itu adalah sikap anti
kepada swapraja. Detail dari tuntutan gerakan sosial yang sering disebut sebagai revolusi sosial itu adalah:

1. Hapus Daerah Istimewa/Swapraja Surakarta.


2. Ganti penguasa Swapraja.
3. Perubahan peraturan daerah yang tidak sesuai zaman.

Tuntutan dari kelompok gerakan sosial itu kemudian diwujudkan dalam bentuk aksi melepaskan diri dari Pemerintahan Swapraja.
Beberapa daerah yang berhasil melepaskan diri dari pemerintahan swapraja awalnya adalah Kabupaten Karanganyar yang lepas dari
Kekuasaan Mangkunegaran, kemudian diikuti Sragen, Klaten, Boyolali dan terakhir Kota Surakarta.

19
Aksi-aksi melepaskan diri yang dilakukan oleh kabupaten-kabupaten di Surakarta dari pemerintahan swapraja ini mengakibatkan pusat
pemerintahan swapraja yaitu Kepatihan menjadi kehilangan fungsi. Dengan demikian pemerintahan swapraja juga kehilangan
legitimasi. Lebih-lebih di lingkungan kepatihan sendiri terjadi konflik antara kelompok pro swapraja yang berusia tua dengan kelompok
muda yang tergabung dalam Serikat Buruh Negeri Surakarta. Konflik di kepatihan ini sangat tragis karena berujung pada penculikan
sejumlah pejabat kepatihan.

Untuk mengatasi kemelut di Kota Surakarta, KNID Kota Surakarta mengangkat Sindurejo sebagai Kepala Daerah Kabupaten Kota
Surakarta. Namun, kondisi Solo sedemikian gawat pada awal 1946. Kemelut di Solo yang semakin memanas menyebabkan pemerintah
pusat menetapkan Jawa dan Madura dalam Kondisi Bahaya Perang ( SOB ) pada 6 Juni 1946. Hal itu terjadi dalam kasus penculikan
Perdana Menteri Sutan Syahrir ketika menginap di Hotel Merdeka pada 27 Juni dalam perjalanan pulang dari Surabaya ke Yogyakarta.
Karena kasus ini, untuk kedua kalinya pemerintah memberlakukan keadaan bahaya untuk seluruh Indonesia.

20
Di kemudian hari, nasib serupa dialami para pendukung Keraton Kasunanan. Pakubuwana XII dan ibunya diculik. Penculikan ini disertai
dengan pembuatan graffiti di Benteng Baluwarti dengan tulisan yang antara lain berbunyi, “Guritno (nama kecil Pakubuwana XII) dan
Ibunya harus pergi, geledah, dan teliti”. Pakubuwana XII dan ibunya pun diculik selama beberapa hari ke Tawangmangu.

Keadaan pemerintahan di Surakarta pasca SOB 28 Juni 1946 semakin memprihatinkan. Tampaknya gejolak sosial politik yang terjadi di
kota Surakarta bukan karena ketidakmampuan pemerintahan daerah saja, melainkan tampaknya beban berupa dampak dari konflik
nasional terlalu berat. Untuk mengatasi ini pemerintah pusat perlu campur tangan karena Surakarta selalu dipandang sebagai wilayah
yang penting selain itu letaknya berdekatan dengan pusat pemerintahan RI di Yogyakarta.

21
Campur tangan pemerintah pusat dalam mengatasi kemelut di Surakarta diwujudkan dalam penerapan UU No. 16/SD/ 1946 pada 15
Juli 1946. Isi pokok dari undang-undang ini adalah pertama, penghapusan lembaga komisaris tinggi; kedua, menerapkan untuk
sementara suatu bentuk pemerintahan karesidenan untuk daerah Surakarta, sebelum bentuk pemerintahan yang pasti untuk
Kasunanan dan Mangkunegaran ditetapkan; ketiga, di dalam wilayah karesidenan Surakarta akan dibentuk suatu daerah baru bernama
Kota Surakarta yang akan dikepalai oleh seorang walikota.

Dalam mewujudkan langkah yang dimuat dalam undang-undang itu diangkat Iskaq Tjokroadisurjo sebagai Residen, dan untuk wakilnya
diangkat Sudiro. Untuk sementara jabatan walikota dipegang oleh Iskaq Tjokroadisurjo merangkap sebagai residen. Untuk selanjutnya
untuk mendukung jalannya pemerintahan, melalui sebuah Surat Keputusan Residen No. 6 tertanggal 7 Juli 1946 dibentuklah Dewan
Perwakilan Rakyat dari tingkat karesidenan, kabupaten, dan kota Surakarta. Dengan ditetapkannya Dewan Perwakilan Rakyat
Karesidenan dan Kabupaten, maka fungsi legeslatif yang dijalankan oleh KNID dihapuskan. Hanya beberapa bulan setelah dilantik oleh
Presiden Sukarno, Residen Iskaq dan wakilnya, serta beberapa stafnya diculik. Menyikapi kekosongan kepemimpinan di tingkat daerah
karesidenan, pada 6 Desember 1946 pemerintah pusat mengangkat Sutarjo Kartohadikusumo. Residen baru ini ternyata tidak menjabat
lama. Dalam sebuah sidang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Surakarta yang berlangsung pada 17 Februari 1947 Sutarjo sempat
mengemukakan tentang pentingnya menghidupkan kembali Kerajaan Kasunanan dan Kadipaten Mangkunegaran. Karena usulnya
dianggap tidak populer Residen Sutarjo akhirnya dibebastugaskan pada 17 Maret 1947 dan sebagai pejabatnya diangkat wakilnya yaitu
Sudiro.

22
Di tingkat pusat terjadi perkembangan politik yang cukup menggembirakan berkaitan dengan ditandatanginya Perjanjian Linggarjadi
pada 25 Maret 1947. Inti dari perjanjian ini adalah bahwa Pemerintah Belanda secara de facto mengakui wilayah Republik Indonesia
meliputi wilayah, Jawa, Madura, dan Sumatra, untuk nantinya dalam jangka panjang akan dibentuk suatu pemerintahan baru yang
berbentuk serikat dengan nama Negara Indonesia Serikat.

23
Seiring dengan perkembangan pemerintahan pusat, di Surakarta terjadi perkembangan penting setelah ditetapkannya UU No. 16 tahun
1947, pada 5 Juni 1947. Dengan undang-undang ini secara formal posisi walikota menjadi jelas. Suatu hal yang lebih penting dari
undang-undang ini selain memperjelas posisi walikota, terdapat uraian yang detail tentang daerah-daerah yang termasuk dalam
wilayah Haminte Kota Surakarta yaitu meliputi sebagian dari wilayah Kabupaten Kota Kasunanan, dan sebagian dari wilayah Kabupaten
Kota Mangkunegaran yang batasnya ditetapkan dengan surat keputusan zaman Hindia Belanda yang termuat dalam Bijblad No. 13318.

24
Tahun 1948 menjadi tahun yang tidak menentu bagi Solo. Di bidang ketentaraan karena aturan Garis Van Mook maka pasukan Siliwangi
yang berada di Jawa Barat harus ditarik ke wilayah RI. Pasukan tentara itu akhirnya ditempatkan di beberapa tempat strategis di
Wilayah Surakarta seperi Delanggu, Colomadu, Kerten, dan Tasikmadu. Di Solo karena pasukan itu kurang komunikasi dan hanya
menempati tempat-tempat tertentu, tentara Siliwangi di Solo sering disebut Tentara Kantong. Keberadaan tentara Kantong ini sering
menimbulkan gesekan dengan pasukan dan kelompok gerakan politik lokal. Indikasi kondisi Solo yang tidak aman ini dapat dibuktikan
dengan banyaknya kekerasan yang menimbulkan korban jiwa orang-orang penting seperti terbunuhnya Panglima Divisi IV KPPS,
Kolonel Sutarto pada 2 Juli 1948, serta penculikan dan pembunuhan terhadap pemimpin Barisan Banteng, dr. Muwardi.

25
Sejak maraknya pembunuhan politik, suasana Solo semakin tidak
menentu. Pada 18 September 1948 terjadi peristiwa yang
menentukan perubahan politik di Solo. Pada tanggal itu di Madiun
meletus pemberontakan FDR/PKI Muso. Sepuluh hari kemudian
Pemerintah RI dalam rangka mencegah meluasnya gerakan Madiun
merespon dengan membentuk Daerah Militer Istimewa yang diketuai
oleh seorang gubernur militer. Daerah Istimewa Militer itu meliputi
Provinsi Jawa Timur yang dipimpin oleh Kolonel Sungkono;
Karesidenan Surakarta, Semarang, Madiun, dan Pati dengan
Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto; serta Daerah Istimewa
Yogyakarta, Karesidenan Kedu, serta Banyumas dengan Gubernur
Militer Kolonel Bambang Sugeng. Terkait Peristiwa Madiun di
Karesidenan Surakarta muncul suatu pemerintahan militer. Namun
ternyata Pemberontakan FDR/PKI hanya dalam dua bulan berhasil
ditumpas setelah pimpinan pemberontakan Muso tertembak, dan
Amir Syarifudin tertangkap di Purwodadi pada 29 November 1948.
Adanya kondisi keamanan yang buruk menyebabkan momentum
pembahasan tentang daerah istimewa menjadi kehilangan gaung.

26
Sejak berakhirnya Peristiwa Madiun, kondisi Solo masih belum cukup aman. Setelah itu, Solo sungguh menjadi wilayah yang liar; “The
Wild Wild Solo”. Kondisinya tak ubahnya mirip perang saudara. Hampir semua kelompok pecah. Militer terpecah, non-militer juga
terpecah, bahkan penguasa tradisional pun terpecah. Siapa membunuh siapa, tak pernah terdeteksi.

27
Pada 19 Desember 1948 Belanda menyerbu ibukota RI di Yogyakarta. Serbuan ini diikuti rencana Belanda untuk masuk Solo. Sebelum
hal itu terjadi beberapa bangunan penting telah dibakar untuk merintangi kedatangan Belanda. Seiring dengan aksi penyerbuan
Belanda ini Panglima Komando Jawa pada 22 Desember mengumumkan dibentuknya Pemerintahan Militer di seluruh Jawa yang dibagi
dalam empat daerah otonom yang disebut Daerah Militer Istimewa yang dipimpin oleh seorang Gubernur Militer. Daerah Surakarta
termasuk kekuasaan Gubernur Militer Daerah Militer Istimewa II. Selanjutnya melalui keputusan Gubernur Militer No. 23 tertanggal 27
April 1949 ditetapkan Komando Militer Kota Surakarta dibawah pimpinan Mayor Achmadi.

28
Sejak pendudukan Belanda terhadap Kota Solo, di dalam kota sendiri terdapat dua pemerintahan yaitu satu pemerintahan pendudukan
dan kedua pemerintahan militer kota dibawah pimpinan Mayor Ahmadi karena unsur pemerintahan sipil termasuk Walikota
Sjamsuridjal ditangkap dan dipenjara. Keberadaan dua pemerintahan ini berlangsung hampir satu tahun.

Pada tanggal 3 Agustus 1949 diumumkan cease fire yang akan berlaku efektif pada tanggal 10 Agustus. Di Solo ketegangan memuncak
menunggu berlakunya gencatan sendjata. Dan ketegangan itu berubah menjadi konflik yang semakin panas ketika pasukan rakyat dan
tentara RI memulai pertempuran dengan pihak Belanda pada 7 Agustus 1949 yang dikenal dengan Serangan Umum Surakarta.
Serangan Umum Surakarta atau juga disebut Serangan Umum Empat Hari berlangsung pada tanggal 7 -10 Agustus 1949 secara gerilya
oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa yang berjuang tersebut kemudian dikenal sebagai tentara pelajar.
Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-maskas Belanda di Solo dan sekitarnya. Menurut catatan sejarah,
serangan itu digagas di kawasan Monumen Juang 45, Banjarsari, Solo. Untuk menyusun serangan, para pejuang berkumpul di
Desa Wonosido, Kabupaten Sragen dari situlah ide untuk melakukan serangan umum dikobarkan.

29
Menjelang pertengahan pertempuran Slamet Riyadi dengan pasukan Brigade V/Panembahan Senopati turut serta dan menjadi tokoh
kunci dalam menentukan jalannya pertempuran.

Slamet Riyadi adalah ahli navigasi lulusan sekolah tinggi pelayaran di masa pendudukan Jepang. Ia menjadi anggota Heiho Laut yang
kemudian memimpin para bekas prajurut Heiho, PETA, Seinendan, dan KNIL untuk menyerang markas tentara Jepang di Solo. Ia yang
kemudian diberi gelar pahlawan nasional ini juga merupakan penggagas cikal bakal RPKAD yang kemudian menjadi Kopassus.

30
Akhir pemerintahan pendudukan Belanda terjadi ketika dilakukan penarikan Tentara Belanda dari Solo dan penyerahan keamanan kota
Solo dari Overste Ohl kepada Panglima KPPS Overste Slamet Riyadi.

Pakubuwana XII (berkacamata gelap mengenakan peci) turut menyaksikan persitiwa penyerahan Kota Solo tersebut.

31
32
Pada 27 Desember 1949, Konferensi Meja Bundar atau Ronde Tafel Conferentie di Den Haag, Belanda kemudian menjadi ujung dari
sengketa internasional atas proklamasi kemerdekaan Indonesia. Telah banyak perundingan yang dilakukan sebelumnya, seperti
perundingan Linggar Jati, Renville, dan Roem Royen. Rangkaian perundingan itu akhirnya menyimpul pada lahirnya Negara Negara
Republik Indonesia Serikat yang disepakati tiga pihak: Kerajaan Belanda, Pertemuan/Perhimpunan untuk Permusyawaratan Federal
(BFO) yang terdiri dari negara-negara dan daerah-daerah otonom, dan Negara Republik Indonesia.

33
Menurut Buku Seri Naskah Sumber yang berjudul Konferensi Meja Bundar (2004) terbitan Arsip Nasional Republik Indonesia, nama
Pakubuwana XII termasuk sebagai delegasi NRI (Jogja) sebagai panitia bidang kebudayaan. Konon, Pakubuwana XII berangkat ke KMB
atas biaya sendiri, bahkan ikut pula menomboki biaya perjalanan delegasi NRI dengan menjual dua nampan emas milik keraton.
Disebutkan pula bahwa Susuhunan Pakubuwana XII sebagai anggota delegasi diberi jabatan menteri negara tanpa portofolio dan
bersifat sementara oleh Soekarno. Jabatan menteri negara tersebut kemudian berakhir dengan ditandatanganinya persetujuan
Konferensi Meja Bundar yang diikuti “penyerahan kedaulatan” pada 27 Desember 1949.

Nampak dalam foto di sebelah kiri, delegasi Negara Republik Indonesia (Jogjakarta), Pakubuwono XII (berdiri di samping Moh. Hatta,
mengenakan mantel panjang berwarna gelap) dan Mangkunegara VIII (berdiri nomor dua dari kiri, mengenakan mantel panjang
berwarna terang). Sementara, dalam foto sebelah kanan nampak Pakubuwono XII (di belakang, membelakangi lensa) sedang bercakap-
cakap dengan delegasi dari Belanda.

34
Pasca kekuasaan Sunan Pakubuwana XII, wajah Kasunanan Surakarta kian tak menentu. Kejelasan tentang nasib daerah istimewa di
Surakarta terjadi pada tahun 1950. Pada tanggal 3 Maret 1950 Menteri Dalam Negeri Soesanto Tirtoprojo dengan suratnya tertanggal 3
Maret 1950 no. Fx3/1/13 memerintahkan agar jawatan-jawatan Kasunanan dan Mangkunegaran dibekukan. Dengan tidak adanya
jawatan yang bekerja di Kasunanan dan Mangkunegaran atas dasar SK Menteri Dalam Negeri tahun 1950 itu berarti tidak ada lagi
Daerah Swapraja atau Istimewa di Surakarta. Alih-alih mendapat status daerah istimewa seperti Keraton Jogjakarta, baik Kasunanan
maupun Mangkunegaran secara definitif akhirnya justru dicopoti dari otonomi administratifnya dan dilebur ke dalam Provinsi Jawa
Tengah.

Nasib keraton setelah memasuki gerbang republik justru ibarat dinaungi awan hitam yang menggelayut. Rabun sejarah membuat
konflik berlarut-larut perihal suksesi selepas Sunan terakhir mangkat. Ketiadaan peran pemerintah untuk menyelesaikan konflik
keraton justru mengancam keberlangsungan adat dan tradisi di dalam keraton.

Hingga kini, di dalam gerbang republik, Kasunanan Surakarta masih menanti fajar menyingsing.

35

Anda mungkin juga menyukai