Anda di halaman 1dari 3

 

lahir dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun) adalah sultan yogyakarta kesembilan


dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama. Ia merupakan Wakil Presiden
Indonesia kedua yang menjabat pada tahun 1973–1978. Hamengkubuwana IX juga merupakan
Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka yang pertama dan dikenal sebagai Bapak Pramuka
Indonesia.

Lahir di Ngasem, Sompilan, Yogyakarta dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun,
Hamengkubuwana IX merupakan anak kesembilan[2] Gusti Pangeran Puruboyo dari
permaisurinya, Raden Ajeng Kustilah.[3] Pada tahun 1914, ketika Dorodjatun belum genap tiga
tahun, Gusti Pangeran Puruboyo diangkat menjadi Putra Mahkota Yogyakarta.

Ketika berumur empat tahun, Dorodjatun diperintah ayahnya untuk mulai tinggal terpisah dari
keraton.[4] Dorodjatun kecil menangis keras dan terus memeluk salah satu tiang di keraton
sebelum dapat dipisahkan. Dorodjatun tinggal bersama keluarga Mulder, orang Belanda yang
menjabat sebagai Kepala Sekolah Neutrale Hollands Javaanse Jongens School dan tinggal di
daerah Gondokusuman. Ketika tinggal bersama keluarga Mulder, Dorodjatun diberi nama
panggilan Henkie ("Henk kecil") yang diambil dari nama Pangeran Hendrik dari Belanda.[11] Nama
panggilan ini terus digunakan hingga ia bersekolah dan kuliah di Belanda, serta oleh teman-
teman dekatnya tetap digunakan sampai masa tuanya sebagai Hamengkubuwana IX.

Henkie mendapatkan pendidikan pertamanya di taman kanak-kanak Frobel School dan Eerste
Europese Lagere School B untuk pendidikan dasarnya. Setahun kemudian ia pindah ke
kediaman keluarga Cock dan bersekolah di Neutrale Europese Lagere School hingga lulus pada
bulan Juli 1925.[13] Ayahnya diangkat menjadi Hamengkubuwana VIII ketika ia duduk di kelas III
sekolah tersebut,[14] yaitu pada bulan Februari 1921.[15] Di sekolah tersebut, Dorodjatun bertemu
dan berteman dengan Sultan Hamid II yang dijuluki Mozes saat itu.

Dorodjatun mengenyam pendidikan menengahnya di Hoogere


Burgerschool (HBS) Semarang mulai bulan Juli 1925. Ia tinggal di keluarga Voskuil, keluarga
seorang sipir penjara di Semarang. Karena iklim Semarang yang cukup panas, Dorodjatun
merasa tidak cocok dan kemudian dipindahkan oleh ayahnya ke HBS Bandoeng pada tahun
1928. Di sana, ia bersama kakaknya, BRM Tinggarto, tinggal bersama dengan seorang tentara
militer Belanda, Letnan Kolonel De Boer.

GRM Dorodjatun dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana IX pada tanggal 18 Maret
1940,[e] sesuai dengan tanggal berlakunya kontrak politik dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Gubernur Lucien Adam menobatkan GRM Dorodjatun untuk dua gelar sekaligus. Gelar pertama
adalah gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram,
gelarnya sebagai Putra Mahkota. Setelahnya, dinobatkanlah Sri Sultan Hamengkubuwana IX
dengan gelar Sampéyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Sénapati
ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga.

Perang Dunia II
Bulan Mei 1940, Panglima Angkatan Laut Kerajaan Belanda akan menghadiri perayaan naik
takhta Hamengkubuwana IX di Yogyakarta yang dilaksanakan pada tanggal 8 Mei 1940. Belum
sempat sampai di Yogyakarta, Panglima dipanggil kembali ke Belanda. Dua hari setelah
perayaan dilangsungkan, Jerman menduduki Belanda.[59] Pemerintah Hindia Belanda berusaha
untuk mengumpulkan dana perang; Gubernur Adam di Yogyakarta mengadakan Komite
Dukungan dengan sumbangan sebesar 2.000 gulden dari Hamengkubuwana IX, 3.000 gulden
dari Kesultanan, dan 1.500 gulden dari Pakualaman. Meskipun demikian, otoritas Belanda agak
kecewa kepada Hamengkubuwana karena hanya sedikit berbicara untuk hal ini, berbeda dengan
Paku Alam yang menyatakan dukungannya kepada Gubernur Adam.

Tanggal 6 Desember 1941, Gubernur Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh


Stachouwer menyatakan perang terhadap Jepang setelah Pengeboman Pearl Harbor.
[61]
 Gubernur Adam dalam pertemuannya dengan Gubernur Jenderal di Batavia menyusun
rencana apabila Jepang menyerang Hindia Belanda. Monfries mencatat bahwa empat penguasa
Vorstenlanden rencananya akan dibawa oleh Belanda untuk mengungsi ke Jakarta atau
Bandung;[f] sementara Sultan mengatakan bahwa keempat penguasa akan dibawa oleh Belanda
untuk mengungsi ke Australia.[64] Hamengkubuwana menolak ajakan tersebut dan menyatakan
akan tetap berada di Yogyakarta.[65] Dalam beberapa catatan dan wawancara, ia juga
mengatakan bahwa Belanda memiliki rencana untuk menculiknya dan menjadikannya tawanan,
tetapi pergerakan tentara Jepang yang sangat cepat menyebabkan rencana ini gagal.[66]


Apa pun yang akan terjadi, saya tak akan meninggalkan Yogya. Justru bila bahaya
memuncak, saya wajib berada di tempat demi keselamatan Keraton dan rakyat.

Pendudukan Jepang
Tanggal 5 Maret 1942, Yogyakarta diduduki oleh Jepang.[68] Tentara Jepang yang datang
kemudian menyerahkan kekuasaan di Yogyakarta kepada Gubernur Adam untuk sementara.

Gubernur Adam dan Sultan Hamengkubuwana selalu aktif memberikan pesan publik agar tidak
terjadi kepanikan di masyarakat. Hamengkubuwana yang mudah mengadaptasikan
pemerintahannya dengan tentara Jepang, ditambah Gubernur Adam dan Patih Danurejo yang
sangat aktif dalam mengumumkan dan mengimplementasikan sebagian besar isi dekret
pemerintahan militer Jepang, membuat atmosfer pendudukan di Yogyakarta terasa lebih damai.
[72]
 Terlepas dari itu, Lucien Adam diturunkan jabatannya menjadi residen pada akhir bulan Maret
dan diasingkan secara tiba-tiba pada tanggal 21 April oleh tentara Jepang.

Sultan Hamengkubuwana IX diberi otonomi untuk menjalankan pemerintahan di daerahnya di


bawah Pemerintah Kolonial Jepang. Jabatan Pepatih Dalem yang sebelumnya harus
bertanggung jawab kepada Sultan dan Pemerintah Kolonial Belanda kini hanya bertanggung
jawab kepada Sultan saja.[74] Pada tanggal 1 Agustus 1942, Panglima Besar Tentara
Pendudukan Jepang di Jakarta menjadikan Yogyakarta sebuah Kooti atau Kochi,[75] sementara
Hamengkubuwana IX menjadi Koo (penguasa) wilayah tersebut.[76] Jepang menganggap Sunan
Pakubuwana sebagai primus inter pares di antara keempat penguasa Vorstenlanden, sehingga
ketika ada undangan pertemuan dengan petinggi tentara Jepang maka Sunan sering mewakili
keempat penguasa tersebut. Jika Sunan dan Sultan bersama-sama hadir, Sunan mewakili
Surakarta dan Mangkunegaran, sementara Sultan mewakili Yogyakarta dan Pakualaman. Bulan
September 1944, Pakubuwana XI jatuh sakit, Hamengkubuwana IX menggantikannya menjadi
perwakilan di antara para penguasa Vorstenlanden. Peran ini kemudian diambil kembali
oleh Pakubuwana XII ketika naik takhta menggantikan ayahnya yang mangkat.[77]

Di tengah banyaknya pengambilan penduduk menjadi romusa, banyak catatan mengatakan


bahwa Sultan mampu mencegahnya dengan memanipulasi data statistik produktivitas pertanian
dan peternakan.

Di masa pendudukan Jepang ini, Hamengkubuwana IX melakukan beberapa reformasi di


Kesultanan. Akhir bulan Juli 1942, Sultan mengganti nama-nama institusi pemerintahan daerah
yang sebelumnya berbahasa Belanda menjadi bahasa Jawa.[86] Pada tahun 1944, Sultan
membuat layanan publik dapat diakses dari kelas dan kelompok masyarakat manapun sehingga
banyak pegawai negeri yang diterima dari kalangan biasa, membentuk komite daerah untuk
membantu para panewu (camat), juga mengeluarkan instruksi agar pelatihan pegawai negeri
dilakukan lebih intensif.[87] Selain itu ia menghapus distrik dan
menjadikan kapanewon (kecamatan) sebagai institusi administratif terbawah, juga menghapus
pengadilan khusus bagi bangsawan. Selo Soemardjan mencatat bahwa sebagian besar
reformasi-reformasi itu adalah uji coba, sehingga tidak semuanya berjalan dengan sukses.

Bergabung dengan Indonesia


Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Hamengkubuwana IX dan Sri Paku Alam
VIII mengirimkan telegram ucapan selamat kepada Soekarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman
Wedyodiningrat atas kemerdekaan Indonesia.[89] Pada tanggal 20 Agustus 1945,[g] dikirimkan lagi
telegram oleh Hamengkubuwana IX sebagai Ketua Badan Kebaktian Rakyat (Hokokai)
Yogyakarta[91] dan menegaskan bahwa Yogyakarta "sanggup berdiri di belakang pimpinan" yang
juga diikuti oleh Sri Paku Alam VIII.[92] Peristiwa ini menjadikan Yogyakarta sebagai kerajaan di
Indonesia pertama yang bergabung dengan Republik Indonesia.[93] 5 September 1945, Sultan
mengeluarkan amanat posisi Yogyakarta sebagai daerah istimewa dengan Sultan sebagai
pemimpinnya yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

 Amanat ini diterima dengan baik oleh pemerintah pusat yang ditandai dengan tibanya Mr.
Sartono dan Mr. A.A. Maramis di Yogyakarta sebagai perwakilan pemerintah pusat untuk
menyerahkan piagam penetapan kedudukan Yogyakarta. Piagam ini ditandatangani Soekarno
pada tanggal 19 Agustus 1945, sehari setelah telegram dari Yogyakarta tiba, dan menandakan
bahwa Yogyakarta telah menjadi bagian Indonesia.

Awal masa Revolusi Nasional


Dengan banyaknya laskar pemuda setelah kemerdekaan, termasuk di Yogyakarta,
Hamengkubuwana meminta para pemuda melapor kepadanya di kantornya (Kepatihan) agar
lebih mudah mengorganisasikan mereka.[96] Ia kemudian membentuk Laskar Rakyat Mataram,
yang kemudian dikenal dengan sebutan Tentara Rakyat Mataram, dari laskar-laskar ini.[96] Sri
Sultan menjadi panglimanya sementara Selo Soemardjan menjadi kepala stafnya.[97] Setelahnya,
Hamengkubuwana diterima menjadi perwira kehormatan senior dari Tentara Keamanan Rakyat,
menjadi anggota dewan tertinggi tentara bersama tiga penguasa Catur Sagotra yang lain, serta
menerima pangkat jenderal kehormatan bulan November 1945

Bulan November 1945, pada saat Pertempuran Surabaya terjadi, Sri Sultan melawat


ke Surabaya. Ia bertemu dengan Gubernur Soerjo di Mojokerto sebelum tiba di pinggiran Kota
Surabaya. Sultan mengatakan kepada wartawan bahwa pertempuran ini menunjukkan
kekejaman Inggris serta kebijakan diplomasi bukanlah hal yang tepat. Terdapat cerita terkenal
dari kunjungan ini, yaitu ketika Sultan mencapai daerah sekitar Madiun, ia dicegat sekelompok
pemuda bersenjata yang menanyakan, "Mana Dorodjatun?" Sultan menjawab, "Saya Suyono,"
dan lolos.

Anda mungkin juga menyukai