Lahir di Ngasem, Sompilan, Yogyakarta dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun,
Hamengkubuwana IX merupakan anak kesembilan[2] Gusti Pangeran Puruboyo dari
permaisurinya, Raden Ajeng Kustilah.[3] Pada tahun 1914, ketika Dorodjatun belum genap tiga
tahun, Gusti Pangeran Puruboyo diangkat menjadi Putra Mahkota Yogyakarta.
Ketika berumur empat tahun, Dorodjatun diperintah ayahnya untuk mulai tinggal terpisah dari
keraton.[4] Dorodjatun kecil menangis keras dan terus memeluk salah satu tiang di keraton
sebelum dapat dipisahkan. Dorodjatun tinggal bersama keluarga Mulder, orang Belanda yang
menjabat sebagai Kepala Sekolah Neutrale Hollands Javaanse Jongens School dan tinggal di
daerah Gondokusuman. Ketika tinggal bersama keluarga Mulder, Dorodjatun diberi nama
panggilan Henkie ("Henk kecil") yang diambil dari nama Pangeran Hendrik dari Belanda.[11] Nama
panggilan ini terus digunakan hingga ia bersekolah dan kuliah di Belanda, serta oleh teman-
teman dekatnya tetap digunakan sampai masa tuanya sebagai Hamengkubuwana IX.
Henkie mendapatkan pendidikan pertamanya di taman kanak-kanak Frobel School dan Eerste
Europese Lagere School B untuk pendidikan dasarnya. Setahun kemudian ia pindah ke
kediaman keluarga Cock dan bersekolah di Neutrale Europese Lagere School hingga lulus pada
bulan Juli 1925.[13] Ayahnya diangkat menjadi Hamengkubuwana VIII ketika ia duduk di kelas III
sekolah tersebut,[14] yaitu pada bulan Februari 1921.[15] Di sekolah tersebut, Dorodjatun bertemu
dan berteman dengan Sultan Hamid II yang dijuluki Mozes saat itu.
GRM Dorodjatun dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana IX pada tanggal 18 Maret
1940,[e] sesuai dengan tanggal berlakunya kontrak politik dengan Pemerintah Hindia Belanda.
Gubernur Lucien Adam menobatkan GRM Dorodjatun untuk dua gelar sekaligus. Gelar pertama
adalah gelar Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya Raja Putra Narendra Mataram,
gelarnya sebagai Putra Mahkota. Setelahnya, dinobatkanlah Sri Sultan Hamengkubuwana IX
dengan gelar Sampéyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Sénapati
ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga.
Perang Dunia II
Bulan Mei 1940, Panglima Angkatan Laut Kerajaan Belanda akan menghadiri perayaan naik
takhta Hamengkubuwana IX di Yogyakarta yang dilaksanakan pada tanggal 8 Mei 1940. Belum
sempat sampai di Yogyakarta, Panglima dipanggil kembali ke Belanda. Dua hari setelah
perayaan dilangsungkan, Jerman menduduki Belanda.[59] Pemerintah Hindia Belanda berusaha
untuk mengumpulkan dana perang; Gubernur Adam di Yogyakarta mengadakan Komite
Dukungan dengan sumbangan sebesar 2.000 gulden dari Hamengkubuwana IX, 3.000 gulden
dari Kesultanan, dan 1.500 gulden dari Pakualaman. Meskipun demikian, otoritas Belanda agak
kecewa kepada Hamengkubuwana karena hanya sedikit berbicara untuk hal ini, berbeda dengan
Paku Alam yang menyatakan dukungannya kepada Gubernur Adam.
“
Apa pun yang akan terjadi, saya tak akan meninggalkan Yogya. Justru bila bahaya
memuncak, saya wajib berada di tempat demi keselamatan Keraton dan rakyat.
Pendudukan Jepang
Tanggal 5 Maret 1942, Yogyakarta diduduki oleh Jepang.[68] Tentara Jepang yang datang
kemudian menyerahkan kekuasaan di Yogyakarta kepada Gubernur Adam untuk sementara.
Gubernur Adam dan Sultan Hamengkubuwana selalu aktif memberikan pesan publik agar tidak
terjadi kepanikan di masyarakat. Hamengkubuwana yang mudah mengadaptasikan
pemerintahannya dengan tentara Jepang, ditambah Gubernur Adam dan Patih Danurejo yang
sangat aktif dalam mengumumkan dan mengimplementasikan sebagian besar isi dekret
pemerintahan militer Jepang, membuat atmosfer pendudukan di Yogyakarta terasa lebih damai.
[72]
Terlepas dari itu, Lucien Adam diturunkan jabatannya menjadi residen pada akhir bulan Maret
dan diasingkan secara tiba-tiba pada tanggal 21 April oleh tentara Jepang.
Amanat ini diterima dengan baik oleh pemerintah pusat yang ditandai dengan tibanya Mr.
Sartono dan Mr. A.A. Maramis di Yogyakarta sebagai perwakilan pemerintah pusat untuk
menyerahkan piagam penetapan kedudukan Yogyakarta. Piagam ini ditandatangani Soekarno
pada tanggal 19 Agustus 1945, sehari setelah telegram dari Yogyakarta tiba, dan menandakan
bahwa Yogyakarta telah menjadi bagian Indonesia.