Anda di halaman 1dari 5

Biografi Sri Sultan Hamengkubuwana

IX

sri Sultan Hamengkubuwono IX lahir di Ngasem,


Yogyakarta, pada 12 April 1912 dengan nama asli Gusti
Raden Mas Dorodjatun. Ia merupakan putra dari Sri
Sultan Hamengkubuwono VIII dan Raden Ajeng
Kustilah. Ketika baru berusia dua tahun, Dorodjatun
menyandang status sebagai Putra Mahkota Yogyakarta.
Kemudian, di usia empat tahun, ia telah dididik untuk
tinggal terpisah dari keraton. Dorodjatun tinggal
bersama keluarga Belanda, Mulder, yang menjabat
sebagai kepala sekolah Neutrale Hollands Javaanse
Jongens School di daerah Gondokusuman. Selama
tinggal bersama keluarga Mulder, Dorodjatun dipanggil
dengan nama Henkie, yang diambil dari nama Pangeran
Belanda, Hendrik. Nama Henkie terus melekat padanya
sampai ia sekolah dan kuliah di Belanda.

Dorodjatun menempuh pendidikan pertamanya di taman kanak-kanak Frobel School dan


Eerste Europeesche Lagere School B. Setahun setelahnya, ia pindah ke kediaman keluarga
Cock dan sekolah di Neutrale Europeesche Lagere School. Setelah lulus pada 1925,
Dorodjatun melanjutkan ke sekolah menengah Hoogere Burgerschool (HBS) Semarang.
Sewaktu sekolah di HBS, ia tinggal bersama keluarga sipir penjara Semarang, Voskuil.
Namun karena merasa tidak cocok dengan lingkungannya, ia pindah ke HBS Bandung pada
1928. Di Bandung, Dorodjatun tinggal bersama tentara militer Belanda, Letkol De Boer.
Namun, sebelum pendidikannya selesai, ia diminta oleh sang ayah untuk belajar ke Belanda.
Ia pun berangkat pada Maret 1930 dengan didampingi oleh keluarga Hofland, seorang
direktur pabrik gula.
Sesampainya di Belanda, Dorodjatun sekolah di dua lembaga yang berbeda, yakni HBS B
dan Stedelijk Gymnasium. Setelah lulus pada 1934, ia pindah ke Leiden dan masuk ke
Universitas Leiden mengambil studi Indologi, yakni studi tentang administrasi kolonial,
etnologi, dan kesusastraan di Hindia Belanda. Belum sempat menyelesaikan tugas akhirnya,
Dorodjatun dipanggil untuk kembali ke Indonesia pada 1939.

Sesampainya di Batavia pada Oktober 1939, Dorodjatun dijemput oleh keluarganya di


Pelabuhan Tanjung Priok. Ia menginap di Hotel Des Indes karena dijadwalkan menghadiri
acara makan malam di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda bersama keluarganya.
Saat sedang bersiap, sang ayah menyematkan Keris Kiai Jaka Piturun kepadanya, yang
menjadi penanda bahwa ia merupakan pewaris takhta Kesultanan Yogyakarta. Setelah tiga
hari di Batavia, Dorodjatun dan keluarganya kembali ke Yogyakarta. Dalam perjalanan, tiba-
tiba Sri Sultan Hamengkubuwono VIII jatuh sakit dan tidak sadarkan diri. Pada 22 Oktober
1939, Sri Sultan Hamengkubuwono VIII meninggal dunia, dan takhta Kesultanan Yogyakarta
pun jatuh ke tangan Dorodjatun. Dorodjatun dinobatkan sebagai Sultan Yogyakarta
kesembilan pada 18 Maret 1940 dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Ia
menyandang dua gelar sekaligus, yakni Pangeran Adipati Anom Hamengku Negara Sudibya
Raja Putra Narendra Mataram dan Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan
Hamengkubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah
ingkang Jumeneng Kaping Sanga.

Sikap Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada awal kemerdekaan Republik Indonesia adalah
mendukung penuh NKRI. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX mengeluarkan Amanat 5 September 1945 dan membentuk Komite
Nasional Indonesia Daerah di Yogyakarta. Lewat Amanat 5 September 1945, sultan
menyatakan bahwa Kesultanan Yogyakarta masuk dalam NKRI. Pemerintah pusat menerima
dengan baik amanat tersebut, yang kemudian mengirim Mr. Sartono dan Mr. A.A Maramis
ke Yogyakarta untuk menyerahkan piagam penetapan kedudukan Yogyakarta yang telah
ditandatangani oleh Soekarno pada 19 Agustus 1945.
Pada 4 April 1946, ibu kota Indonesia sempat dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakara karena
situasi Jakarta yang sangat tidak aman setelah kedatangan Sekutu. Melihat kondisi di Jakarta
yang sedang tidak aman, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pakualam VIII mengirimkan
sebuah surat pada 2 Januari 1946.

Isi dari surat itu adalah apabila pemerintah RI bersedia, mereka bisa memindahkan ibu kota
dari Jakarta ke Yogyakarta hingga kondisi aman kembali. Tawaran itu pun disambut baik
oleh Presiden Soekarno, yang kemudian memindahkan ibu kota Indonesia ke Yogyakarta.
Ketika Yogyakarta menjadi ibu kota, sultan melakukan beberapa perubahan, salah satunya
menetapkan semua bisnis resmi memberlakukan bahasa Indonesia, bukan lagi bahasa Jawa.
Sultan juga memberikan sebagian dari keraton untuk dibangun Universitas Gadjah Mada
(UGM).

dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan berlanjut ketika Belanda melancarkan


Agresi Militer II di Yogyakarta pada 19 September 1948. Sultan mengerahkan seluruh
usahanya untuk mempertahankan Yogyakarta dengan memerintahkan agar semua gerbang
keraton segera ditutup, sehingga tidak ada orang Belanda yang bisa masuk. Namun, pada
Januari 1949, Sultan memutukan untuk mundur dari jabatannya sebagai Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta pertama.

Menjelang 1960-an, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, yang telah aktif dalam kegiatan
kepanduan sejak muda, menjadi Pandu Agung atau pemimpin kepanduan. Pada 1961, ketika
banyak organisasi kepanduan akan dijadikan dalam satu wadah, Soekarno kerap
berkonsultasi kepada sultan.
Akhirnya, pada 9 Maret 1961, Soekarno membentuk Panitia Pembentukan Gerakan
Pramuka, di mana Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjadi salah satu pengurusnya. Pada 14
Agustus 1961, dilakukan penganugerahan panji kepramukaan, yang kemudian diperingati
sebagai Hari Pramuka. Setelah itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjabat sebagai Ketua
Kwartir Nasional Gerakan Pramuka selama empat periode berturut-turut, yakni 1961-1963,
1963-1967, 1967-1970 dan 1970-1974. Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian dikenal
sebagai Bapak Pramuka Indonesia, yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia
kedua periode 1973-1978.

Pada 14 September 1988, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menghadiri acara Pageralan


Kesenian Mataram di Kyoto, Jepang, didampingi oleh Pangeran Mangkubumi. Setelah itu, ia
lanjut ke Washington DC karena telah dijadwalkan melakukan pemeriksaan kesehatan di
Rumah Sakit Walter Reed. Namun, pada 2 Oktober 1988, Sri Sultan Hamengkubuwono IX
dinyatakan meninggal setelah muntah-muntah di kamar hotelnya. Jasadnya kemudian dibawa
pulang ke Yogyakarta dan disemayamkan di Bangsal Kencono, Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat, pada 7 Oktober 1988. Berkat semua jasanya bagi bangsa Indonesia, pemerintah
telah menobatkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai pahlawan nasional
Refrensi: https://www.kompas.com/stori/read/2022/03/07/150000679/biografi-sri-sultan-
hamengkubuwono-ix?page=all

Citeureup 25 Februari 2024

Penyusun:

Denish Arvin Kanigara


WA: 087854991039
Alamat: Jalan Pahlawan No 214 RT 7 RW 5 Karang
Asem Barat Citereup Bogor

Anda mungkin juga menyukai