Sri Sultan Hamengkubuwono IX di lahirkan pada hari Sabtu Paing, tanggal 12 April
1912 atau menurut hitungan Jawa jatuh pada tanggal 25 Rabingulakir tahun Jimakir 1842.
Dialah yang nanti pada gilirannya diangkat menjadi Pangeran Adipati Anom Hamengku
Negara Sudibya Raja Putra Narendra ing Mataram dan dinobatkan menjadi Sampeyan Dalem
Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrakhman
Sayidin Panatagama Kalifatullah IX.
Dua hari kemudian, 20 Agustus 1945, kembali ia mengirim telegram, kali ini dalam
kedudukannya sebagai Ketua Badan Kebaktian Rakyat (Hokokai) Yogyakarta dan ditujukan
kepada Presiden serta Wakil Presiden RI yang pertama. Dalam telegram ini secara spontan
Sultan menyatakan ’’sanggup berdiri di belakang pimpinan’’ mereka. Padahal pada saat
Belanda berkuasa Sri Sultan HB IX pernah ditawari menjadi wali raja atas Jawa dan Madura,
tetapi Sri Sultan menolaknya.
Beberapa minggu kemudian, atas anjuran pemerintah pusat telah dibentuk Komite
Nasional Indonesia (KNI) daerah Yogyakarta, atas persetujuan komite itu dikeluarkan amanat
Sultan Hamengkubuwono IX pada 5 September 1945. Amanat ini terdiri atas tiga pokok yang
ringkasnya adalah:
Kedua: Segala kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada di tangan Hamengku
Buwono IX.
Demikian surat pernyataan itu, yang di sambut positif oleh pemerintah pusat. Keesokan
harinya, 6 September 1945, dua utusan dari pemerintah pusat-para Menteri negara Mr.
Sartono dan Mr. A.A Maramis datang di Yogyakarta untuk menyampaikan Piagam
Penetapan mengenai kedudukan Yogyakarta dalam lingkungan RI yang ditandatangani oleh
Sukarno.
Perang Kemerdekaan
Awal kehidupan Republik Indonesia ditandai dengan suasana yang mencekam yang
disebabkan oleh keganasan tentara Belanda (NICA). Pada bulan Oktober, November, dan
Desember 1945 Jakarta menjadi ajang kekerasan dan teror, menyebabkan penduduk menutup
pintu sejak senja hari. Tentara NICA memang memancing insiden di mana-mana dan kapan
saja, sehingga ribuan orang menjadi korban.
Menurut penuturan Soekarno sendiri dalam buku otobiografinya yang ditulis oleh Cindy
Adams, selama tiga bulan itu telah jatuh korban orang Indonesia yang tak berdosa, tak kurang
dari 8.000 orang. NICA juga mendapat perintah dari atasannya untuk membunuh para
pemimpin Republik, sehingga terutama Sukarno dan Hatta terpaksa tidur berpindah-pindah
rumah, sementara keluarga mereka selalu diliputi kecemasan yang amat sangat.
Akhirnya keadaan terasa begitu gawatnya sehingga dalam sidang Kabinet pada 3 Januari
1946 di putuskan untuk memindahkan kedudukan pemerintah pusat republik Indonesia ke
Yogyakarta. Esok harinya, sederetan gerbong kereta apai yang kosong perlahan-lahan tanpa
menimbulkan banyak suara ribut ditarik oleh sebuah lokomotif dari stasiun Manggarai,
behenti di rel Pegangsaan Timur, tepat di belakang rumah Presiden Soekarno di Jalan
Pegangsaan Timur 56, yang kini sudah berubah menajdi jalan Proklamasi dan diisi dengan
Gedung Pola.
Dalam malam gelap tak berbintang pada 4 Januari 1946 itu berpindahlah Republik Indonesia
dari pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Yogyakarta, dan pada akhir perjalanan ini
di Stasiun Tugu, pimpinan Republik ini di sambut dengan hangat oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono IX. Mulai waktu itu Yogya menjadi Ibukota Revolusi dan ternyata sanggup
bertahan mengatasi gelombang pasang susrutnya perjuangan di tahun-tahun berikutnya. Ini
semua tidak lepas dari sosok pemimpin Yogya visioner, Sri Sultan Hamengku Buwono IX
yang mau menerima pemindahan Ibukota RI ke Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengu Buwono IX sendiri untuk pertama kali masuk sebagai anggota kabinet
pada Kabinet Syahrir III sebagai Menteri Negara di tahun 1946, permulaan dari satu karir
yang akan berlanjut sampai puluhan tahun sesudahnya.
Tidak hanya itu saja sikap baik dan jiwa nasionalisme Sri Sultan Hamengku Buwono
terhadap negaranya sangat besar, sejak pemerintah pusat pindah ke Yogya, kantor-kantor
pemerintah ikut “hijrah”ke Yogya, semua pejabat dari tingkat tinggi sampai pegawai rendah,
boleh dikatakan sejak Presiden sendiri, semuanya menderita. Uang gaji tak ada, sedangkan
ekeluarga harus makan. Dalam keadaan demikian tak jarang pilihannya bagi seseorang
adalah: tetap setia kepada RI tetapi menderita sekeluarga atau pindah kerja pada Belanda dan
dapat hidup berkecukupan.
Sultan HB IX yang meilhat penderitaan banyak orang di sekelilingnya tak tinggal diam, ia
membuktikan sikap konsekuen terhdap anjurannya sendiri dalam pidato radio agar orang
bersedia mengorbankan apa saja bagi keseamatan Republik. Apa yang ia perbuat? tanpa ragu-
ragu sang Raja ini lalu merogoh kantongnya sendiri, membuka peti harta Keratonnya dan
membagi-bagikan kepada yang memerlukannya. Uang perak gulden Belanda
disumbangkannya kepada yang berpangkat tinggi sampai yang berpangkat rendah sedang dan
rendah di kementrian-kementrian. Pemberian bantuan ini berlangsung sampai berbulan-bulan.
Tidak hanya terbatas bantuan kepada perorangan yang diberikan oleh HB IX , tetapi juga
keperluan pasukan gerilya untuk melawan Belanda dan unit Palang Merah Indonesia
sebagian dibiayai dengan uang perak persediaan Keraton Yogya. Bung Hatta pernah
mengatakan bahwa jumlah uang yang disumbangkan tidak kurang dari lima juta gulden.
Kabarnya Bung Hatta juga pernah bertanya kepada Sri Sultan HB IX, apakah itu tak perlu
dihitung dan di bayar kembali oleh RI. Pertanyaan ini tidak pernah di jawab oleh Sultan.
Serangan Umum 1 Maret 1949 bertujuan untuk menegakkan eksistensi TNI di dalam
negeri dan di mata dunia. Serangan umum ini berlangsung selama sembilan jam (06.00-15.00
WIB), tetapi secara efektif Yogya berhasil diduduki oleh pasukan gerilya (TNI) selama enam
jam saja. Serangan yang terjadi di Yogya ini menunjukkan peran strategis DIY dalam
menegakkan eksistensi Indonesia di mata dunia
Di dalam buku Sejarah “Tahta Untuk Rakyat” di jelaskan bahwa Sultan adalah pengagas SO
1 Maret 1949 (Beliaulah Master Mind atau aktor intelektual di balik serangan itu). Ide datang
dari Sultan kemudian Sultan menanyakan kepada Suharto (pada saat itu komandan Gerilya)
apakah sanggup melalukan serangan umum itu.
Pada waktu itu, HB IX mendengar berita dari radio luar negeri bahwa pada akhir
Februari 1949 Indonesia-Belanda akan dibicarakan di forum di PBB. Karena itu tim pencari
fact finding (fakta) dari PBB akan datang ke Yogya yang waktu itu merupakan Ibukota RI.
Setelah mendengar berita itu, Sultan mencari akal bagaimana caranya memberitahukan
kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih hidup. Kesan bahwa Belanda berkuasa di
Indonesia harus di patahkan. Ide yang diperoleh HB IX adalah melancarkan sebuah serangan
umum terhadap Belanda. Langkah cepat HB IX selanjutnya adalah mengontak Panglima
Besar Jenderal Sudirman yang pada saat itu sedang bergerilya, untuk memberitahukan
siasatnya itu. Panglima Besar setuju dan meminta supaya HB IX memberitahukan rencana
serangan tersebut kepada Letnan Kolonel Suharto.
Sultan Syarif Kasim menolak bekerja sama dengan Belanda dan menentang Belanda, ia
membangun kekuatan militer yang berawal dari barisan kehoramatan pemuda-pemuda untuk
melawan Belanda. Selain membangun kekuatan militer Sultan Siak ke 12 ini juga
membangun sekolah bagi anak negeri dan memberikan beasiswa kepada anak-anak yang
berbakat. Sultan memandang kekuatan Belanda harus diimbangi dengan kekuatan
pemnbinaan mental dan pendidikan rakyat. Pada tanggal 6 November 1998 melalui Kepres
No. 109/TK/1998, Pemerintah RI memberi gelar Pahlawan Nasional kepada Almarhum
Sultan Syarif Kasim II (Sultan Siak XII) dengan anugerah tanda jasa Bintang Mahaputra
Adipradana.
Nama lengkap: Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin (Sultan Syarif Kasim II)
Saat menjalani masa tahanan di Jayapura, Silas Papare berkenalan dengan Dr. Sam
Ratulangi. Perkenalannya dengan Sam Ratulangi membuat Silas Papare semakin yakin
bahwa Papua adalah bagian tak terpisahkan dari Republik Indonesia. Hal tersebut membuat
beliau akhirnya mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Akibatnya, Silas
Papare kembali di tangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di Biak. Namun, Silas berhasil
melarikan diri menuju Yogyakarta.
Di Yogyakarta, Silas Papare membentuk badan Perjuangan Irian yang berusaha keras
untuk memasukkan wilayah Irian Jaya ke Indonesia. Silas Papare kemudian di tunjuk
menjadi salah seorang delegasi Indonesia dalam Perjanjian New York pada tanggal 15
Agustus 1962 yang mengakhiri perseteruan antara Indonesia dan Belanda perihal Irian Barat.
Perjanjian itu di tindaklanjuti dengan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun
1969 di mana rakyat Irian Barat memilih bergabung dengan NKRI. Silas Papare wafat dan
dimakamkan di Seru pada tanggal 7 Maret 1978. Salah satu kapal perang milik TNI AL
mendapat kehormatan menggunakan nama KRI Silas Papare yaitu sebuah korvet kelas
Parchim.
Frans Kaisiepo lahir di Wardo, Biak, Papua pada tanggal 10 April 1921, beliau adalah
pahlawan nasional Indonesia dari Papua. Masa kecilnya dihiasi dengan kehidupan Kolonial
Belanda di Papua. Frans kecil aktif mengikuti kursus Pamongpraja di Hollandia/Jayapura saat
Perang Dunia II. Ketika Frans ikut Kursus Pamongpraja di Hollandia, beliau berkenalan
dengan Soegoro Atmoprasodjo, mantan guru Taman Siswa Yogya. Melalui perkenalannya
dengan Soegoro Atmoprasodjo inilah, Jiwa Nasionalisme Frans Kaisiepo menggelora dan
ikut berjuang demi Indonesia
Frans terlibat dalam Konferensi Malino tahun 1946 yang membicarakan mengenai
pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua. Frans juga yang
memastikan Papua agar ikut ke Repubkik Indonesia, ia mengusulkan nama IRIAN (Ikut
Republik Indonesia Anti Netherland), kata dalam bahasa Biak yang berarti tempat yang
panas. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Gubernur Papua antara tahun 1946-1973.
Frans Kaisiepo wafat di Jayapura, Papua pada tanggal 10 April 1979 pada umur 57 tahun. Ia
di makamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Jayapura. Untuk mengenang
jasanya, namanya juga diabadikan di salah satu KRI yaitu KRI Frans Kaisiepo.
3. Marthen Indey
Marthen Indey dilahirkan di Doromena, Jayapura pada tanggal 16 Maret 1912. Marthen
menyelesaikan pendidikan polisi di Sukabumi. Selanjutnya Marthen bekerja sebagai polisis
yang bertugas mengawasi para tahanan politik di Boyen Digul. Di sini ia berkenalan dengan
para tahanan, termasuk Sugoro Atmoprasojo. Para tahanan tersebut menceritakan perjuangan
merebut kemerdekaan Indonesia yang juga mencakup wilayah Papua dari tangan Belanda.
Rasa nasionalisme Marthen pun mulai tumbuh. Semangat pasukan Jepang membuat Belanda
lari ke Autralia. Marthen yang masih bertugas sebagai polisi Belanda ikut di bawa.
Pada tahun 1944, sekembalinya dari penungsian di Australia selama tiga tahun,
Marthen Indey ditunjuk sekutu untuk melatih anggota Batalyon Papua yang nantinya akan
digunakan melawan Jepang. Setahun berikutnya, ia di angkat sebagai Kepala Distrik Arso
Yamai dan Waris selama dua tahun. Marthen tetap melakukan kontak dengan para pejuang
Indonesia yang pernah diatahan di Digul.
Pada tahun 1946 Marthen ikut bergabung dengan Komite Indonesia Merdeka (KIM)
yang kemudian di kenal dengan sebutan Partai Indonesia Merdeka (PIM). Saat menjabat
sebagai ketua, Marthen dan beberapa kepala suku di Papua meyampaikan protes terhadap
Belanda yang berencana yang berencana memisahkan wilayah Irian Barat dari wilayah
Kesatuan Indonesia, akibatnya Marthen Indey di penjara tiga tahun di Digul.
Marthen Indey tak putus asa, Pada tahun 1962 bergerilya membantu anggota RPKAD
yang didaratkan di Papua sealama masa Tri Komando Rakyat (Trikora). Di tahun yang sama,
Marthen menyampaikan Piagam Kota Baru yang berisi mengenai keinginan kuat penduduk
Papua untuk tetap setia pada Indonesia. Marthen lalu dikirim ke New York untuk ikut
melakukan perundingan tentang pengembalian Irian Barat yang selama ini berada di bawah
pemerintahan sementara PBB.
Melalui perundingan tersebut Irian Barat resmi bergabung dengan wilayah kesatuan
Indonesia dan berganti nama menjadi Irian Jaya. Marthen lantas menjadi anggota MPRS
(Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) sejak tahun 1963 hingga 1968. Tak hanya itu,
ia juga diangkat sebagai kontrolir diperbantukan pada Residen Jayapura dan berpangkat
mayor tituler selama dua puluh tahun. Belia meninggal pada usia 74 tahun
Lagu-lagu Ismail Marzuki yang sarat dengan nilai-nilai perjuangan menggugah rasa
kecintaan terhadap tanah air dan bangsa, anatara lain Rayuan Pulau Kelapa (1944), Halo-
Halo Bandung (1946), yang diciptakan ketika terjadi peristiwa Bandung Lautan Api,
Selendang Sutera (1946) yang diciptakan saat revolusi kemerdekaan untuk membangkitkan
semangat juang pada waktu itu dan Sepasang Mata Bola (1946) yang menggambarkan
harapan untuk merdeka. Ismail Marzuki telah menciptakan banyak lagu, jasanya begitu besar
untuk Indonesia. Sang maestro ini akhirnya berpulan ke Rahmatullah pada tanggal 25 Mei
1958.
DAFTAR PUSTAKA:
https://www.pahlawanindonesia.com/biografi-marthen-indey-pahlawan-papua/
https://www.pahlawanindonesia.com/biografi-silas-papare-pahlawan-papua/
https://perpustakaanbiografi.blogspot.co.id/2014/07/biografi-sultan-syarif-kasim.html?m=1
Sumber tribunnews.com