Anda di halaman 1dari 3

Sultan Hamengkubuwno IX

Tanggal: Friday, 21 October 2005


Topik: Tokoh Pramuka

Dilahirkan di nDalem Pakuningratan kampung Sompilan Ngasem pada hari


Sabtu Paing tanggal 12 April 1912 atau menurut tarikh Jawa Islam pada
tanggal Rabingulakir tahun Jimakir 1842 dengan nama Dorodjatun.
Ayahnya adalah Gusti Pangeran Haryo Puruboyo, yang kemudian hari
ketika Dorodjatun berusia 3 tahun Beliau diangkat menjadi putera mahkota
(calon raja) dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku
Negara Sudibya Raja Putera Narendra ing Mataram. Sedangkan ibunya
bernama Raden Ajeng Kustilah, puteri Pangeran Mangkubumi yang
kemudian bergelar Raden Ayu Adipati Anom.

Sejak usia 4 tahun Dorodjatun sudah hidup terpisah dari keluarganya, dititipkan pada
keluarga Mulder seorang Belanda yang tinggal di Gondokusuman untuk mendapat
pendidikan yang penuh disiplin dan gaya hidup yang sederhana sekalipun ia putra seorang
raja.

Dalam keluarga Mulder itu Dorodjatun diberi nama panggilan Henkie yang diambil dari
nama Pangeran Hendrik, suami Ratu Wilhelmina dari Negeri Belanda.
Henkie mulai bersekolah di taman kanak-kanak atau Frobel School asuhan Juffrouw Willer
yang terletak di Bintaran Kidul. Pada usia 6 tahun Dorodjatun masuk sekolah dasar Eerste
Europese Lagere School dan tamat pada tahun 1925. Kemudian Dorodjatun melanjutkan
pendidikan ke Hogere Burger School (HBS, setingkat SMP dan SMU) di Semarang dan
kemudian di Bandung. Pada tahun 1931 ia berangkat ke Belanda untuk kuliah di
Rijkuniversiteit Leiden, mengambil jurusan Indologie (ilmu tentang Indonesia) kemudian
ekonomi. Ia kembali ke Indonesia tahun 1939.

Setahun kemudian, tepatnya pada hari Senin Pon tanggal 18 Maret 1940 atau tanggal 8 bulan
Sapar tahun Jawa Dal 1871, Dorodjatun dinobatkan sebagai raja Ngayogyakarta Hadiningrat
dengan gelar Sampeyandalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono,
Senopati Ing Ngalogo, Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo, Kalifatullah Ingkang Kaping
IX. Arti gelar tersebut ialah bahwa sultanlah penguasa yang sah dunia yang fana ini, dia juga
Senopati Ing Ngalogo yang berarti mempunyai kekuasaan untuk menentukan perdamaian
atau peperangan dan bahwa dia pulalah panglima tertinggi angkatan perang pada saat terjadi
peperangan. Sultan juga Abdurrahman Sayidin Panoto Gomo atau penata agama yang
pemurah, sebab dia diakui sebagai Kalifatullah, pengganti Muhammad Rasul Allah.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX merupakan contoh bangsawan yang demokratis.


Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta mengalami banyak perubahan di bawah pimpinannya.
Pendidikan Barat yang dijalaninya sejak usia 4 tahun membuat HB IX menemukan banyak
alternatif budaya untuk menyelenggarakan Keraton Yogyakarta di kemudian hari. Berbagai
tradisi keraton yang kurang menguntungkan dihapusnya dan dengan alternatif budaya baru
HB IX menghapusnya. Meski begitu bukan berarti ia menghilangkan substansi sendiri sejauh
itu perlu dipertahankan. Bahkan wawasan budayanya yang luas mempu menemukan
terobosan baru untuk memulihkan kejayaan kerajaan Yogyakarta. Bila dalam masa kejayaan
Mataram pernah berhasil mengembangkan konsep politik keagungbinataraan yaitu bahwa
kekuasaan raja adalah agung binathara bahu dhenda nyakrawati, berbudi bawa leksana
ambeg adil para marta (besar laksana kekuasaan dewa, pemeliharaan hukum dan penguasa
dunia, meluap budi luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama), maka HB IX dengan
wawasan barunya menunjukkan bahwa raja bukan lagi gung binathara, melainkan
demokratis. Raja berprinsip kedaulatan rakyat tetapi tetap berbudi bawa leksana.

Di samping itu HB IX juga memiliki paham kebangsaan yang tinggi. Dalam pidato
penobatannya sebagai Sri Sultan HB IX ada dua hal penting yang menunjukkan sikap
tersebut. Pertama, adalah kalimat yang berbunyi: "Walaupun saya telah mengenyam
pendidikan Barat yang sebenarnya, namun pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang
Jawa." Kedua, adalah ucapannya yang berisi janji perjuangan: "Izinkanlah saya mengakhiri
pidato saya ini dengan berjanji, semoga saya dapat bekerja untuk memuhi kepentingan nusa
dan bangsa, sebatas pengetahuan dan kemampuan yang ada pada saya."

Wawasan kebangsaan HB IX juga terlihat dari sikap tegasnya yang mendukung Republik
Indonesia dengan sangat konsekuen. Segera setelah Proklamasi RI ia mengirimkan amanat
kepada Presiden RI yang menyataak keinginan kerajaan Yogyakarta untuk mendukung
pemerintahan RI. Ketika Jakarta sebagai ibukota RI mengalami situasi gawat, HB IX tidak
keberatan ibukota RI dipindahkan ke Yogyakarta. Begitu juga ketika ibukota RI diduduki
musuh, ia bukan saja tidak mau menerima bujukan Belanda untuk berpihak pada mereka,
namun juga mengambil inisatif yang sebenarnya dapat membahayakan dirinya, termasuk
mengijinkan para gerilyawan bersembunyi di kompleks keraton pada serangan oemoem 1
Maret 1949. Jelaslah bahwa ia seorang raja yang republiken. Setelah bergabung dengan RI,
HB IX terjun dalam dunia politik nasional.

Jabatan yang pernah diemban oleh HB IX


Selepas Proklamasi 1945 Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur Militer DIY
Kabinet Syahrir (2 Oktober 1946 sampai 27 Juni 1947) Menteri Negara
Kabinet Amirsyarifuddin I & II (3 juli 1947 s.d. 11 November 1947 dan 11 November 1947
s.d. 28 Januari 1948) Menteri Negara
Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 s/d 4 Agustus 1949) Menteri Negara
Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949 s/d 20 Desember 1949) Menteri Pertahanan/Koordinator
Keamanan Dalam Negeri
Pada masa RIS (20 Desember 1949 s.d. 6 September 1950) Menteri Pertahanan
Kabinet Natsir (6 September 1950 s.d. 27 April 1951) Wakil Perdana Menteri
Tahun 1951 Ketua Dewan Kurator UGM Yogyakarta
Tahun 1956 Ketua Dewan Pariwisata Indonesia
Tahun 1957 Ketua Sidang ke-4 ECAFE (Economic Commision for Asia and the Far East)
dan menjadi Ketua Pertemuan Regional ke-11 Panitia Konsultatif Colombo Plan
Tahun 1958 Ketua Federasi Asean Games
5 Juli 1959 Menteri/Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Tahun 1963 Ketua Delegasi Indonesia dalam pertemuan PBB tentang Perjalanan dan
Pariwisata
21 Februari 1966 Menteri Koordinator Pembangunan
11 Maret 1966 Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi (Ekubang)
Tahun 1968 Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka
Tahun 1968 Ketua Umum KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia)
Tahun 1968 Ketua Delegasi Indonesia ke Konferensi PATA (PAsific Area Travel
Association) di California, Amerika Serikat
25 Maret 1973 Wakil Presiden RI
23 Maret 1978 Mengundurkan diri sebagai Wapres RI dengan alasan kesehatan
1 Oktober 1988 Kembali ke Rahmatullah di RS George Washington University Amerika
Serikat pukul 04.30 waktu setempat
8 Oktober 1988 Jenasah Sri Sultan Hamengku Buwono IX dimakamkan di Astana
Saptarengga, Komplek Pemakaman Raja Mataram di Imogiri, 17 km Selatan Kota
Yogyakarta.

sumber : Tokoh Indonesia.com

Artikel dari Indonesian Forum for Scouting Development


http://www.scout.or.id

URL:
http://www.scout.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=110

Anda mungkin juga menyukai