2. Frans Kaisiepo
Frans Kaisiepo lahir di Pulau Biak pada 10 Oktober 1921. Dia pernah
mengenyam pendidikan di sebuah sekolah guru agama Kristen
di Manokwari dan Sekolah kursus Pegawai Papua (Papua Bestuur School)
di kota NICA, sekarang Kampung Harapan, Kabupaten Jayapura.
Riwayat Nasionalisme
Frans Kaisiepo (10 Oktober 1921 – 10 April 1979) adalah seorang
politikus Papua dan nasionalis Indonesia. Ia menjabat
sebagai Gubernur Provinsi Papua keempat. Pada tahun 1993, Frans
secara anumerta dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia atas usahanya seumur
hidup untuk mempersatukan Irian Barat dengan Indonesia. Sebagai wakil Provinsi Papua, ia
terlibat dalam Konferensi Malino, di mana pembentukan Republik Indonesia Serikat.
Pada 1945, Frans bertemu Sugoro Atmoprasodjo di Sekolah Kursus Pegawai. Mereka
dengan cepat menemukan titik temu karena dukungan bersama mereka untuk kemerdekaan
1
Indonesia. Kaisiepo sering mengadakan pertemuan rahasia untuk membahas
aneksasi Nugini Belanda oleh Republik Indonesia.
Pada 31 Agustus 1945, ketika Papua masih diduduki Belanda, Frans termasuk salah satu
orang menegakkan eksistensi Republik Indonesia dan orang pertama yang
mengibarkan Bendera Merah Putih dan menyayikan lagu Indonesia Raya di Papua.
Pada Juli 1946, Frans menjadi utusan Nugini Belanda dan satu-satunya orang asli Papua
pada Konferensi Malino di Sulawesi Selatan. Sebagai Juru Bicara, dia menyarankan wilayah
itu disebut "Irian", menjelaskan kata itu berarti "tempat yang panas" dalam bahasa
aslinya, Biak.[2] Pada bulan yang sama, Partai Indonesia Merdeka didirikan oleh Frans di
Biak, dengan Lukas Rumkoren sebagai pemimpin terpilih partai tersebut.[3]
Pada Agustus 1947, Silas Papare memimpin pengibaran bendera merah putih Indonesia
untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Tindakan ini mengakibatkan
penangkapan semua peserta oleh polisi Belanda. Mereka dikurung selama lebih dari tiga
bulan. Selama itu Frans dan Johans Ariks mengambil peran Papare. Johans kemudian
mengetahui rencana untuk mengintegrasikan Irian Barat sebagai wilayah Indonesia, alih-alih
mengembangkan otonominya.
Frans terlibat dalam pemberontakan di Biak pada Maret 1948, memprotes pemerintahan
Belanda. Pada tahun 1949, ia menolak penunjukan sebagai pemimpin delegasi Nugini
Belanda dalam Konferensi Meja Bundar Belanda-Indonesia, karena ia merasa Belanda
berusaha mendikte dia. Karena perlawanannya, dia dipenjarakan dari tahun 1954 hingga
1961.
Biografi
Sosoknya dikenal sebagai tokoh ulama pemikir dan pejuang, serta pahlawan
nasional yang menjadi salah satu tokoh besar Indonesia abad ke-20.
Hadratussyaikh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy'ari adalah seorang ulama
besar bergelar pahlawan nasional dan merupakan pendiri sekaligus Rais Akbar (pimpinan
tertinggi pertama) Nahdlatul Ulama. Beliau memiliki julukan Hadratussyaikh yang berarti Maha
Guru dan telah hafal Kutubus Sittah (Hadits 6 Riwayat), serta memiliki gelar Syaikhul
Masyayikh yang berarti Gurunya Para Guru. [1] Beliau adalah putra dari pasangan KH. Asy'ari
dengan Nyai Halimah, dilahirkan di Desa Tambakrejo, Jombang, Jawa Timur, dan memiliki anak
bernama KH. A Wahid Hasyim yang merupakan salah satu pahlawan nasional perumus Piagam
Jakarta, serta cucunya yakni KH. Abdurrahman Wahid, merupakan Presiden RI ke-4.
Pemikiran KH. Hasjim Asy'ari tentang Ahlussunnah wal Jama’ah adalah ulama dalam bidang
tafsir Al Qur'an, Sunnah Nabi Muhammad, dan Fiqih yang tunduk pada
tradisi Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa sampai
sekarang ulama tersebut termasuk "mereka yang mengikuti Mazhab Imam Abu Hanifah, Imam
Maliki, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali". Pemikiran inilah yang diterapkan oleh
Jam'iyah Nahdlatul Ulama yang menyatakan sebagai pengikut, penjaga, pelestari, dan penyebar
paham Ahlussunnah wal Jama’ah
Terbentuknya Nahdlatul Ulama sebagai wadah Ahlussunnah wal Jama’ah bukan semata-mata
karena KH. Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama lainnya ingin melakukan inovasi, namun memang
kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi genting dan wajib mendirikan sebuah wadah.
Di mana saat itu, di Timur Tengah telah terjadi momentum besar yang dapat mengancam
kelestarian Ahlussunnah wal Jama’ah terkait penghapusan sistem khalifah oleh Republik Turki
Modern dan ditambah berkuasanya rezim Mazhab Wahabi di Arab Saudi yang sama sekali
menutup pintu untuk berkembangnya mazhab lain di tanah Arab saat itu. Menjelang berdirinya
NU, beberapa ulama masyhur berkumpul di Masjidil Haram dan sangat mendesak berdirinya
orgasnisasi untuk menjaga kelestarian Ahlussunnah wal Jama’ah.
2
4. Jendral Gatot Subroto
Jenderal Gatot Soebroto lahir di Banyumas, Jawa Tengah, 10 Oktober
1907. Beliau adalah tokoh perjuangan militer Indonesia dalam merebut
kemerdekaan dan juga pahlawan nasional Indonesia. Pada tahun 1962. Ia
juga merupakan ayah angkat dari Bob Hasan, seorang pengusaha ternama
dan mantan menteri Indonesia pada era Soeharto.
Biografi
3
Biografi
Yos Sudarso adalah orang nomor dua di TNI AL. Sebagai perwira tinggi, hal yang aneh
dia ikut dalam kapal dan mengikuti operasi rahasia dengan risiko kematian tinggi. Tapi
demi solidaritas pada anak buah dan keinginan untuk mengibarkan merah putih di Irian,
Yos turut dalam misi itu.
Penghargaan:
Untuk menghargai jasa-jasa atas keikutsertaannya dalam memperjuangkan merebut Irian
Barat, ia dianugerahi sebagai pahlawan Pembela Kemerdekaan pada 6 November 1973
dengan dikeluarkannya Keppres No. 88/TK/1973.
Kini namanya diabadikan sebagai nama armada angkatan laut Indonesia, nama pulau, dan
nama jalan-jalan protokol di kota-kota besar Indonesia.
Untuk menghormati para pahlawan yang gugur pada tanggal 15 Januari 1962, maka
setiap tanggal tersebut, TNI AL memperingati Hari Darma Samudera.
1. CUT MUTIA
Cut Nyak Meutia dilahirkan di Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, tahun 1870,
beliau adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari
Aceh selain Cut nyak dhien.
Cut Meutia wafat di Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910, dinobatkan
menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional pada 2 Mei 1964 berdasarkan
Keppres No. 106 Tahun 1964.
Biografi
Tjoet Njak Meutia merupakan salah satu pejuang wanita dari Aceh yang telah diakui
sebagai pahlawan nasional Indonesia. Sama halnya dengan para pejuang dari Tanah
Rencong lainnya seperti Tjoet Njak Dhien, Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro, dan tokoh
pejuang Aceh lainnya, Tjoet Njak Meutia dikenal sebagai sosok pemberani dan memiliki
semangat juang yang tinggi serta tekad kuat untuk mengenyahkan para penjajah.
Tjoet Njak Meutia bertempur melawan Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad
atau lebih dikenal sebagai Teuku Tjik Tunong. Mereka bersama-sama melalui perjuangan
yang panjang, namun pada akhirnya Teuku Tjik Tunong ditangkap oleh pihak Belanda
pada bulan Maret tahun 1905. Teuku Tjik Tunong kemudian dijatuhi hukuman mati oleh
Belanda di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, ia berpesan pada sahabatnya
Pang Nagroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya sepeninggal dirinya
kelak.
Sesuai pesan mendiang suaminya, Tjoet Njak Meutia pun menikah dengan Pang Nagroe
lalu bergabung bersama pasukan pimpinan Teuku Muda Gantoe. Dalam suatu
pertempuran melawan Korps Marechausée di Paya Cicem, Pang Nagroe tewas dalam
peperangan pada tanggal 26 September 1910 sedangkan Tjoet Njak Meutia berhasil
selamat. Ia bersama para wanita lainnya yang masih selamat kemudian melarikan diri ke
dalam hutan.
Pada pertempuran di Alue Kurieng tanggal 24 Oktober 1910 Tjoet Njak Meutia akhirnya
gugur akibat tembakan peluru tentara Belanda. Atas jasa-jasanya, pemerintah
menganugerahi gelar Pahlawan Nasional pada Tjoet Njak Meutia di tahun 1964.
2. DEWI SARTIKA
Dewi Sartika lahir pada 4 Desember 1948 dari keluarga Sunda ternama,
yaitu Raden Rangga Somanegara dan R.A. Rajapermas dari Cicalengka.
Seorang advokat dan tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita. Ia
juga merupakan salah satu tokoh perempuan Indonesia paling terkenal. Ia
diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada
tahun 1966.
4
Riwayat kehidupan
Dewi hanya sempat bersekolah di Eerste Klasse School atau Sekolah Kelas Satu untuk
penduduk non-Eropa sampai kelas dua. Pada 1893, Raden Somanegara diasingkan ke
Ternate oleh pemerintah kolonial. Ia dituduh terlibat dalam sabotase acara pacuan kuda
di Tegallega untuk mencelakai bupati Bandung yang baru, R.A.A Martanegara. Sejak
saat itu, Dewi tinggal bersama pamannya. Pamannya ini seorang Patih Cicalengka,
bernama Raden Demang Suria Kartahadiningrat. Ia pun menerima pendidikan yang
sesuai dengan budaya Sunda. Dalam keluarga pamannya, Dewi disambut dengan dingin
dan diperlakukan berbeda. Salah satunya adalah ia diberi banyak pekerjaan rumah tangga
dan harus rela menempati kamar belakang sebagaimana pelayan. Alasan Dewi mendapat
perlakuan berbeda karena hukuman buang yang diterima ayahnya dianggap sebagai aib
bagi golongannya.
Menyelenggarakan pendidikan yang layak untuk perempuan menjadi tujuan utama Dewi
Sartika. Pendidikan untuk anak perempuan pada masa kolonial sangatlah terbatas, untuk
bangsawan dan orang Eropa. Pada 1902, Dewi kembali ke Bandung. Ia masih melihat
kehidupan kolot di Cicalengka yang dianggap tidak akan memberi kemajuan apa-apa
untuk cita-citanya. Dewi pun memberanikan diri bertemu Bupati Bandung Martanegara.
Ia meminta izin untuk mendirikan sekolah bagi gadis remaja. Bupati Martanegara pun
merestui. Ia menyarankan agar sekolah tersebut pertama dibuka di Pendopo Kabupaten
Bandung.
Sekolah Raden Dewi berkembang dengan pesat. Namun, masa pendudukan Jepang
membuat sekolah tersebut mengalami krisis keuangan dan peralatan.
Pasca kemerdekaan, kesehatan Dewi Sartika mulai menurun. Ketika terjadi Agresi
Militer Belanda dalam masa perang kemerdekaan, ia terpaksa ikut mengungsi
ke Tasikmalaya. Dewi Sartika meninggal pada 11 September 1947 di Cineam dan
dimakamkan di sana. Setelah keadaan aman, makamnya dipindahkan ke Jalan Karang
Anyar, Bandung.
5
Indonesia, dan pindah ke Padang, di mana pimpinan Permi bermarkas. Di sana, dia
mendirikan sekolah untuk anak perempuan.
Pada tanggal 23 Oktober 1932, dalam rapat umum bagian perempuan Permi di Padang
Panjang, Rasuna menyampaikan pidato publik berjudul "Langkah-Langkah Menuju
Kemerdekaan Rakyat Indonesia" di mana dia mengutuk penghancuran mata pencaharian
rakyat dan kerusakan yang dilakukan pada rakyat Indonesia oleh kolonialisme. Beberapa
minggu kemudian, dalam pidato lain di Payakumbuh di hadapan seribu orang, dia
mengatakan kebijakan Permi adalah memperlakukan imperialisme sebagai musuh. Meski
mendapat peringatan dari seorang pejabat, dia melanjutkan dengan sekali lagi mengatakan
bahwa Al-Qur'an menyebut imperialisme sebagai musuh Islam. Dia memproklamirkan, "Kita
harus mencapai kemerdekaan Indonesia, kemerdekaan harus datang." Tak lama setelah itu
dia ditangkap dan didakwa dengan "menebar kebencian", menjadi wanita Indonesia pertama
yang didakwa dengan Speekdelict — pelanggaran berbicara. Dia kemudian dijatuhi
hukuman 15 bulan penjara, yang membuatnya terkenal secara nasional karena jejak dan
hukumannya dilaporkan secara luas. Dia menggunakan persidangannya untuk menyerukan
kemerdekaan, dan menarik dukungan luas. Dia dipenjara di Semarang, Jawa Tengah. Lebih
dari seribu orang datang untuk menyaksikan keberangkatan kapal yang membawanya ke
Jawa.
4. RA. Kartini
Nama lengkap : Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat (R.A.
Kartini)
Lahir : Jepara, Jawa Tengah
Tanggal : 21 April 1879
Orang Tua :
- Ayah: Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario
Tjondronegoro IV, seorang bangsawan yang menjabat sebagai Bupati
Jepara. Silsilah keluarga Kartini dari garis keturunan ayahnya merupakan
keturunan Sri Sultan Hamengkubuwono VI bahkan jika ditelusuri ke atas merupakan
keturunan dari Kerajaan Majapahit.
- Ibu: M.A. Ngasirah, bukan berasal dari keturunan bangsawan melainkan hanya rakyat
biasa, anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Jepara.
Riwayat kehidupan
R.A Kartini memperoleh pendidikan lantaran mewarisi darah bangsawan dari ayahnya.
Dia disekolahkan di ELS (Europese Lagere School) hingga usia 12 tahun sembari
mempelajari berbagai hal, termasuk bahasa Belanda. Di masa itu, ada kebiasaan yang
turun-temurun dilakukan. Anak perempuan yang sudah berusia 12 tahun harus tinggal di
rumah untuk dipingit.
Dalam keadaan dipingit, keinginan belajar R.A Kartini tak serta-merta surut.
Kemampuan bahasa Belanda yang dimilikinya digunakan untuk membaca buku bahkan
menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda, salah satu
yang kerap dijadikan kawan bercerita adalah Rosa Abendanon. Dari komunikasinya
dengan Abendanon, timbullah ketertarikan untuk berpikir maju seperti perempuan
Eropa. Dia hendak memajukan perempuan pribumi yang kala itu banyak dibatasi oleh
adat istiadat kuno. Pengetahuan Kartini terkait ilmu pengetahuan dan kebudayaan juga
cukup luas.
Pada 12 November 1903, Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang bernama KRM
Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Setelah
menikah, sang suami mendukung penuh mimpi-mimpi Kartini, salah satunya untuk
membangun sebuah sekolah khusus wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks
kantor Kabupaten Rembang.
Pada 13 September 1904, Kartini melahirkan seorang putra bernama Soesalit
Djojoadhiningrat. Hanya berselang empat hari melahirkan, Kartini meninggal dunia pada
17 September 1904. RA Kartini meninggal dunia pada usia 25 tahun dan dimakamkan di
Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Usai kematiannya, surat-surat Kartini dikumpulkan dan diterbitkan dalam sebuah buku
berjudul 'Door Duisternis tot Licht' atau Habis Gelap Terbitlah Terang oleh salah satu
temanya di Belanda, Mr JH Abendanon, yang saat itu menjabat Menteri Kebudayaan,
6
Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku ini diterbitkan pada 1911 dengan bahasa
Belanda sehingga tak banyak warga pribumi yang bisa membacanya.
Kemudian pada 1922, Balai Pustaka menerbitkan versi terjemahan buku Habis Gelap
Terbitlah Terang: Buat Pikiran dengan bahasa Melayu.
Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No 108 Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei
1964, Presiden Sukarno menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Sukarno juga menetapkan hari lahir Kartini, 21 April, diperingati sebagai Hari Kartini
sampai sekarang.
1. WR SUPRATMAN
Wage Rudolf Soepratman (19 Maret 1903 – 17 Agustus 1938) adalah guru, wartawan, violinis, dan
komponis Hindia Belanda. Ia dikenal sebagai pencipta lagu
kebangsaan Indonesia, "Indonesia Raya", serta merupakan anggota dari grup
musik jazz Black and White Jazz Band. Tanggal lahir versi pertamanya, 9
Maret, ditetapkan sebagai hari musik nasional. Atas jasanya, ia diberikan gelar
sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Biografi
7
Wage Rudolf Soepratman adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Ayahnya bernama
Djoemeno Senen Sastrosoehardjo, seorang tentara KNIL Belanda, dan ibunya bernama Siti
Senen.[6] Setelah berusia 6 tahun, ia masuk sekolah Boedi Oetomo di Djakarta. Belum sampai
dapat menamatkan pelajaran, ibunya meninggal dunia. [7]
Pada tahun 1914, Soepratman dibawa oleh kakaknya yang tertua Roekijem Soepratijah dan kakak
iparnya Willem van Eldik ke Makassar. Atas usahanya ia dapat masuk sekolah Belanda
(Europese Lagare School), setelah menambahkan namanya dengan "Rudolf" sebagai suatu siasat,
supaya diterima disekolah tersebut. [8] Karena di jaman penjajahan Belanda dengan adanya politik
diskriminasi atau pandang bulu, anak yang tergolong Inlander seperti Soepratman sukar dapat
diterima masuk sekolah Belanda. Ia tidak lama dapat belajar disitu, dikeluarkan dari sekolah
Belanda, karena diketahui bukan anak kandung Willem van Eldik. Soepratman yang mempunyai
sifat keras hati dan kemauan kuat, dengan diam-diam tanpa sepengetahuan kakaknya, ia masuk
sekolah Melayu. Akhirnya kakak-kakaknya pun menyetujui dan merasa bangga. Soepratman
sangat rajin belajar, tiap tahun naik kelas.
Setelah pulang dari sekolah, Soepratman selalu belajar memetik gitar dan menggesek
biola. Willem van Eldik selalu mendidiknya dalam hal menggesek biola. Melihat bakat adiknya,
biola Willem van Eldik diberikan kepadanya, sebagai kenang-kenangan dan pendorong untuk
mengembangkan bakatnya.[10]
Setelah tamat sekolah Melayu, pada tahun 1917 Soepratman lalu rajin belajar bahasa
Belanda di sekolah malam. Pada tahun 1919 ia berhasil lulus ujian Klein Ambtenaar Examen,
yang saat itu dikenal dengan diploma K.A.E. Setelah itu melanjutkan ke Normaalschool, yaitu
sekolah guru pada waktu itu hingga selesai.
Ketika berumur 20 tahun, ia menjadi guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun selanjutnya ia
mendapat ijazah Klein Ambtenaar.
Beberapa waktu lamanya ia bekerja pada sebuah perusahaan dagang. Dari Makassar, ia pindah
ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Pekerjaan
itu tetap dilakukannya walaupun ia telah pindah ke Jakarta. Dalam masa tersebut, ia mulai tertarik
pada pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Rasa tidak senang
terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku Perawan Desa.
Buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.
Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang. Di situ tidak lama lalu minta berhenti dan pulang ke
Makassar lagi. Roekijem sendiri sangat gemar akan sandiwara dan musik. Banyak karangannya
yang dipertunjukkan di mes militer. Selain itu Roekijem juga senang bermain biola,
kegemarannya ini yang membuat Soepratman juga senang main musik dan membaca-
baca buku musik.
2. Ismail Marzuki
Ismail Marzuki (11 Mei 1914 – 25 Mei 1958) adalah salah seorang komponis besar Indonesia.
Namanya sekarang diabadikan sebagai suatu pusat seni di Jakarta yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM)
di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Ismail Marzuki lahir dan besar di Jakarta dari
keluarga Betawi. Nama sebenarnya adalah Ismail, sedangkan ayahnya bernama
Marzuki, sehingga nama lengkapnya menjadi Ismail bin Marzuki
Biografi
Ismail Marzuki dikenal sebagai komponis yang aktif dan produktif. Dia lahir
di Jakarta, 11 Mei 1914. Karya-karyanya seolah tak akan pernah padam
hingga kini. Kesyahduan, lirik yang penuh jiwa nasionalis-romantis, syair
yang kuat, melodi yang indah, serta memiliki nilai keabadian yang tinggi
adalah ciri khas hasil karya komposer pelopor senior, Ismail Marzuki.
Ada lebih dari 250 karyanya yang beberapa di antaranya masih sering dilantun-dengarkan hingga
kini, di antaranya adalah Indonesia Pusaka, Sabda Alam dan Juwita Malam yang dipopulerkan
oleh Chrisye, Selendang Sutera, dan Sepasang Mata Bola. Tak hanya itu, lagunya yang berjudul
Rayuan Pulau Kelapa yang diciptakan pada tahun 1944 pun beberapa waktu lalu sempat diputar
setiap harinya oleh TVRI.
Memulai karir sebagai komponis, lagu pertama yang dihasilkan pria yang akrab disapa Ismail ini
adalah lagu "O Sarinah" sebuah lagu yang bercerita mengenai kondisi kehidupan bangsa yang
tertindas pada tahun 1931. Dalam bermusik, anak kampung Kwitang ini dikenal mempunyai
8
kebebasan berekspresi, leluasa bergerak dari satu jenis aliran musik ke jenis aliran musik yang
lain. Selain itu, ia juga punya kemampuan menangkap inspirasi lagunya dengan beragam tema. Ia
juga dikenal sebagai pemusik yang mewarnai sejarah dan dinamika musik Indonesia.
Beragam sisi nasionalisme dan romantisme berhasil digabungkan oleh pria yang namanya
diabadikan sebagai pusat taman seni budaya yang ada di Jakarta pada tahun 1968 ini melahirkan
sebuah lagu dengan syair yang kuat dan bermakna sangat dalam jika dilihat dari sisi melodia.
Jenis karyanya memang terkenal sangat beragam, bahkan ia juga menciptakan lagu keroncong
yang ia beri judul Bandung Selatan di Waktu Malam dan Selamat Datang Pahlawan Muda.
Pada tanggal 25 Mei 1958 Ismail meninggal di Kampung Bali, Tanah Abang di usia 44 tahun.
Meski Ismail telah tiada, namun karyanya abadi hingga kini Seperti karyanya yang memberikan
kesan keabadian. Berkat karya-karyanya yang fenomenal, Ismail mendapatkan penghargaan
sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2004 setelah sebelumnya namanya diabadikan sebagai
nama pusat seni yang ada di Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Meski begitu, ada karyanya yang
hingga kini masih diperdebatkan oleh masyarakat yaitu lagu "Halo-halo Bandung".
9
pada 7 Maret 1946. Pada tanggal 20 Maret 1946, orang-orang yang ditangkap itu dihukum mati.
Amir Hamzah wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi. Amir
Hamzah kemudian diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI
Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975
Hingga kematiannya, Amir Hamzah telah mewariskan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18
prosa liris, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa, dan 1 prosa terjemahan. Jumlah keseluruhan karya
itu adalah 160 tulisan. Jumlah karya tersebut masih ditambah dengan
Setanggi Timur yang merupakan puisi terjemahan, dan terjemahan
Bhagawat Gita. Dari jumlah itu, ada juga beberapa tulisan yang tidak sempat
dipublikasikan.
4. Abdoel Moeis
Abdoel Moeis adalah seorang sastrawan, politikus, dan wartawan Indonesia
yang lahir di Sungai Puar, Agam, Sumatera Barat, 3 Juli 1883 – meninggal di
Bandung, Jawa Barat, 17 Juni 1959 pada usia 75 tahun. Dia merupakan
pengurus besar Sarekat Islam dan pernah menjadi anggota Volksraad mewakili
organisasi tersebut. Abdul Muis dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang pertama oleh Presiden
RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959.
Biografi
Karir Abdul dimulai sebagai klerk di Departemen Onderwijs en Eredienst atas bantuan Mr.
Abendanon yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan. Namun pengangkatannya itu
tidak disukai oleh karyawan Belanda lainnya. Setelah dua setengah tahun
bekerja di departemen itu, ia keluar dan menjadi wartawan di Bandung.
Pada tahun 1905, ia diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah
Bintang Hindia. Kemudian ia sempat menjadi mantri lumbung, dan kembali
menjadi wartawan pada surat kabar Belanda Preanger Bode dan majalah
Neraca pimpinan Haji Agus Salim.
Pada tahun 1913 ia bergabung dengan Sarekat Islam, dan menjadi Pemimpin
Redaksi Harian Kaoem Moeda. Setahun kemudian, melalui Komite
Bumiputera yang didirikannya bersama Ki Hadjar Dewantara, Abdul Muis
menentang rencana pemerintah Belanda mengadakan perayaan peringatan
seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis.
Tahun 1917 ia dipercaya sebagai utusan Sarekat Islam pergi ke negeri Belanda untuk
mempropagandakan komite Indie Weerbaar. Dalam kunjungan itu, ia juga mendorong tokoh-
tokoh Belanda untuk mendirikan Technische Hooge School – Institut Teknologi Bandung (ITB)
di Priangan. Pada tahun 1918, Abdul Muis ditunjuk sebagai anggota Volksraad mewakili Central
Sarekat Islam.
Pada Bulan Juni 1919, seorang pengawas Belanda di Toli-Toli, Sulawesi Utara dibunuh setelah ia
berpidato disana. Abdul Muis dituduh telah menghasut rakyat untuk menolak kerja rodi, sehingga
terjadi pembunuhan tersebut. Atas kejadian itu dia dipersalahkan dan dipenjara. Selain berpidato
ia juga berjuang melalui berbagai media cetak. Dalam tulisannya di harian berbahasa Belanda De
Express, Abdul Muis mengecam seorang Belanda yang sangat menghina bumiputera.
Pada tahun 1920, dia terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Perkumpulan Buruh Pegadaian.
Setahun kemudian ia memimpin pemogokan kaum buruh di Yogyakarta. Tahun 1923 ia
mengunjungi Padang, Sumatera Barat. Disana ia mengundang para penghulu adat untuk
bermusyawarah, menentang pajak yang memberatkan masyarakat Minangkabau. Berkat aksinya
tersebut ia dilarang berpolitik. Selain itu ia juga dikenakan passentelsel, yang melarangnya
tinggal di Sumatera Barat dan keluar dari Pulau Jawa.
Abdul Muis diasingkan ke Garut, Jawa Barat. Di kota ini ia menyelesaikan novelnya yang cukup
terkenal : Salah Asuhan.
Tahun 1926 ia terpilih menjadi anggota Regentschapsraad Garut. Dan enam tahun kemudian
diangkat menjadi Regentschapsraad Controleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke
Indonesia (1942).
Setelah kemerdekaan, ia mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan yang fokus pada
pembangunan di Jawa Barat dan masyarakat Sunda. Tahun 1959 ia wafat dan dimakamkan di
TMP Cikutra, Bandung.
10
Februari 1908 – 17 Juli 1994) adalah seorang budayawan, sastrawan dan ahli tata bahasa Indonesia.
Ia juga salah seorang pendiri Universitas Nasional, Jakarta.
Biografi
STA masih keturunan keluarga kerajaan. Ibunya, Puti Samiah adalah
seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatera
Utara. Puti Samiah merupakan keturunan Rajo Putih, salah seorang raja
Kesultanan Indrapura yang mendirikan kerajaan Lingga Pura di Natal.
Ayahnya, Raden Alisyahbana yang bergelar Sutan Arbi, adalah seorang
guru.
Setelah menamatkan sekolah HIS di Bengkulu (1921), STA melanjutkan
pendidikannya ke Kweekschool, Bukittinggi. Kemudian dia meneruskan
HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942),
dan menerima Dr. Honoris Causa dari Universitas Indonesia (1979) dan Universitas Sains
Malaysia, Penang, Malaysia (1987).
Kariernya beraneka ragam dari bidang sastra, bahasa, dan kesenian. STA pernah menjadi redaktur
Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933). Kemudian mendirikan dan memimpin majalah
Poedjangga Baroe (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan
Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa
Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di Universitas Indonesia (1946-1948), guru besar Bahasa
Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958),
guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), guru besar dan
Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
STA merupakan salah satu tokoh pembaharu Indonesia yang berpandangan liberal. Berkat
pemikirannya yang cenderung pro-modernisasi sekaligus pro-Barat, STA sempat berpolemik
dengan cendekiawan Indonesia lainnya. STA sangat gelisah dengan pemikiran cendekiawan
Indonesia yang anti-materialisme, anti-modernisasi, dan anti-Barat. Menurutnya, bangsa
Indonesia haruslah mengejar ketertinggalannya dengan mencari materi, memodernisasi
pemikiran, dan belajar ilmu-ilmu Barat.
Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama
pendudukan Jepang, STA melakukan modernisasi Bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi
bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tata Bahasa Baru
Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, yang mana masih dipakai sampai
sekarang. Serta Kamus Istilah yang berisi istilah-istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru
yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang. Setelah Kantor Bahasa tutup pada akhir
Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan Bahasa Indonesia melalui majalah
Pembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, STA adalah pencetus
Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970, STA menjadi Ketua Gerakan
Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa-bahasa Asia tentang The
Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober 1967).
Selain sebagai ahli tata Bahasa Indonesia, STA juga merupakan seorang sastrawan yang banyak
menulis novel. Beberapa contoh novelnya yang terkenal yaitu Tak Putus Dirundung Malang
(1929), Dian Tak Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1936), Anak Perawan di Sarang
Penyamun (1940), dan Grotta Azzura (1970 & 1971).
STA menghabiskan masa tuanya di rumah, di Indonesia. Rumahnya sangat asri dan penuh dengan
tanaman serta pepohonan. STA membiarkan hewan-hewan ternaknya berkeliaran di halaman
belakang rumahnya yang luas, seperti angsa dan ayam. STA mengisi waktu luangnya dengan
membaca dan menulis, serta berenang di kolam renang yang dibuatkan oleh anak-anaknya untuk
menjaga kesehatan tubuh. STA meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada usia 86 tahun.
11
Markus de Kock dari Batavia.
28 Maret 1830 Dipanegara menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa
mengadakan perundingan dan mendesak Dipanegara agar menghentikan perang. Permintaan itu
ditolak Dipanegara. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga
Dipanegara ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan
Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah).
Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.
30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Dipanegara, Raden Ayu Retnaningsih,
Tumenggung Dipasana dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng
Wereng, dan Nyai Sotaruna akan dibuang ke Manado.
3 Mei 1830 Dipanegara dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan
ditawan di benteng Amsterdam.
1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
8 Januari 1855 Dipanegara wafat dan dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan Diponegoro,
Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar.
Dalam perjuangannya, Pangeran Dipanegara dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau
Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen
Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Dipanegara dengan Raden Ayu
Citrawati . Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo sendiri telah masuk
dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta.
Perjuangan Ki Sadewa untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian
eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak
kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih
Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga
bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan.
Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Dipanegara lalu dititipkan pada
sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-pindah
tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat
membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas
kehendak Pangeran Dipanegara, bayi tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran.
Penghargaan tertinggi justru diberikan oleh Dunia, pada 21 Juni 2013 Organisasi PBB untuk
Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Budaya (UNESCO) menetapkan Babad Diponegoro sebagai
Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). Babad Diponegoro merupakan naskah klasik
yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado, Sulawesi Utara,
pada 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah hidup Pangeran Diponegoro yang memiliki
nama asli Raden Mas Ontowiryo.
12
Karena keberanian dan keteguhannya, pada peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2005
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada
Andi Abdullah Bau Massepe.
Jabatan pada organisasi yang pernah dipimpin oleh dia antara lain:
Panglima Pertama TRI Divisi Hasanuddin dengan pangkat Letnan Jenderal
Ketua Bunken Kanrekan Pare-Pare, Ketua Organisasi SUDARA afderling Pare-Pare
Ketua Pusat Keselamatan Rakyat Penasehat Pemuda/Pandu Nasional Indonesia
Ketua Umum BPRI (Badan Penunjang Republik Indonesia)
Kordinator perjua ngan bersenjata bagi pemuda di Sulawesi Selatan
3. SULTAN HASANUDDIN
Sultan Hasanuddin (Dijuluki Ayam Jantan dari Timur oleh Belanda) (12 Januari
1631 – 12 Juni 1670) adalah Sultan Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang
terlahir dengan nama Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto
Mangape sebagai nama pemberian dari Qadi Islam Kesultanan Gowa yakni Syeikh Sayyid
Jalaludin bin Ahmad Bafaqih Al-Aidid, seorang mursyid tarekat Baharunnur Baalwy
Sulawesi Selatan yang juga adalah gurunya, termasuk guru tarekat dari Syeikh Yusuf Al-
Makassari. Setelah menaiki takhta, ia digelar Sultan Hasanuddin, setelah meninggal ia
digelar Tumenanga Ri Balla Pangkana. Karena keberaniannya, ia dijuluki De Haantjes van
Het Osten oleh Belanda yang artinya Ayam Jantan dari Timur. Ia dimakamkan di Katangka,
Kabupaten Gowa. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden
No. 087/TK/1973, tanggal 6 November 1973.
Biografi
Terkenal dengan sebutan 'Ayam Jantan Dari Timur', Sultan Hasanuddin adalah pahlawan
nasional dari Sulawesi, tepatnya dari Kerajaan Gowa. Sultan
Hasanuddin adalah Raja Gowa ke-16, putra dari I Manuntungi Daeng
Mattola yang bergelar Sultan Malikussaid (ayah) dan ibunya bernama
I Sabbe To'mo Lakuntu.
Ilmu berpolitik, diplomasi, ilmu pemerintahan dan ilmu perang
dipelajari Hasanuddin ketika ikut mendampingi ayahnya melakukan
perundingan-perundingan penting, ditambah dengan bimbingan
Karaeng Pattingaloang, mangkubumi kerajaan Gowa, yang sangat
berpengaruh dan cerdas.
Pergaulan Hasanuddin yang luas dengan rakyat jelata, orang asing dan Melayu
membuatnya sering dipercaya menjadi utusan ayahnya untuk mengunjungi daerah dan
kerajaan lain.
Pada usia 21 tahun, Sultan Hasanuddin ditugaskan untuk menjabat bagian pertahanan
Kerajaan Gowa. Di sinilah Sultan Hasanuddin mulai bermain strategi mengatur
pertahanan untuk melawan serangan Belanda yang ingin memonopoli perdagangan di
Maluku.
Setahun kemudian ayahnya wafat, dan atas titah beliau, Sultan Hasanuddin yang
seharusnya tidak ada dalam garis tahta dinobatkan menjadi raja karena kepintaran dan
keahliannya.
Peperangan dengan Belanda berlangsung alot karena dua kubu memiliki kekuatan armada
yang sebanding. Hingga Belanda menemukan bahwa daerah-daerah di bawah kekuasaan
Gowa mudah dihasu t dan dipecah belah.
Arung Palakka yang merupakan sahabat sepermainan Sultan Hasanuddin saat kecil
memimpin pemberontakan Raja Bone terhadap Kerajaan Gowa.
Tahun 1662, Belanda kembali mengobarkan perang saudara dan di tahun 1664, Sultan
Ternate, Sultan Buton dan Arung Palakka berhasil disatukan di bawah kendali Belanda.
Setelah 16 tahun berperang tidak hanya dengan Belanda namun juga dengan rakyatnya
sendiri (yang memberontak), Sultan Hasanuddin akhirnya kalah dalam peperangan tahun
1669.
Di tahun yang sama Sultan Hasanuddin mundur dari jabatannya sebagai Raja Gowa dan
memilih menjadi pengajar agama Islam sambil tetap menanamkan rasa kebangsaan dan
persatuan. Sultan Hasanuddin wafat tanggal 12 Juni 1670, dan tidak mau bekerja sama
dengan Belanda hingga akhir hayatnya.
13
4. SULTAN ISKANDAR MUDA
Sultan Iskandar Muda (Lahir di Bandar Aceh Darussalam, Kesultanan
Aceh, 1590 atau 1593[1] – wafat di Bandar Aceh Darussalam, Kesultanan
Aceh, 27 Desember 1636) merupakan sultan yang paling besar dalam
masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636.
[2]
Sultan Iskandar Muda masih merupakan garis keturunan laki-laki dari
pendiri Kesultanan Aceh Darussalam yaitu Sultan Ali Mughayat
Syah sekaligus keturunan laki-laki terakhir dari Dinasti Meukuta Alam yang
bertakhta sebagai Sultan Aceh. Aceh mencapai kejayaannya pada masa
kepemimpinan Iskandar Muda, di mana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi
internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam.[1] Beliau juga
pernah melakukan serangan terhadap Portugis, tetapi serangan tersebut tidak berhasil,
meskipun begitu Aceh tetap merupakan kerajaan yang merdeka. Namanya kini diabadikan
untuk Universitas Iskandar Muda, Kodam Iskandar Muda dan Bandar Udara Internasional Sultan
Iskandar Muda di Banda Aceh. beliau dikenal sangat piawai dalam membangun kerajaan aceh
Darussalam
Biografi
Sultan Iskandar Muda adalah putra dari Puteri Raja Indra Bangsa,
keturunan keluarga Raja Darul Kamal dan ayahnya adalah Sultan
Alauddin Mansur Syah yang merupakan putra Sultan Abdul Jalil bin
Sultan 'Alaiddin Ri'ayat Syah Al-Kahhar.
Besar dalam lingkungan istana, ketika telah cukup umur Iskandar Muda
dikirim ayahnya untuk belajar pada Teungku Di Bitai, salah seorang
ulama dari Baitul Mukadis pakal ilmu falak dan ilmu firasat.
Iskandar muda mempelajari ilmu nahu dari beliau. Selanjutnya ayah
Iskandar Muda mulai menerima banyak ulama terkenal dari Mekah dan
dari Gujarat.Di antaranya adalah tiga orang yang sangat berpengaruh
dalam intelektual Iskandar Muda, yaitu Syekh Abdul Khair Ibnu Hajar, Sekh Muhammad
Jamani dari Mekah dan Sekh Muhammad Djailani bin Hasan Ar-Raniry dari Gujarat.
Dinobatkan pada tanggal 29 Juni 1606, Sultan Iskandar Muda memberikan tatanan baru
dalam kerajaannya. Beliau mengangkat pimpinan adat untuk tiap suku dan menyusun tata
negara sekaligus qanun yang menjadi tuntunan penyelenggaraan kerajaan dan hubungan
antara raja dan rakyat.
Selama 30 tahun masa pemerintahannya (1606 - 1636 SM) Sultan Iskandar Muda telah
membawa Kerajaan Aceh Darussalam dalam kejayaan. Saat itu, kerajaan ini telah menjadi
kerajaan Islam kelima terbesar di dunia setelah kerajaan Islam Maroko, Isfahan, Persia dan
Agra.Seluruh wilayah semenanjung Melayu telah disatukan di bawah kerajaannya dan
secara ekonomi kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki hubungan diplomasi perdagangan
yang baik secara internasional.
Rakyat Aceh pun mengalami kemakmuran dengan pengaturan yang mencakup seluruh
aspek kehidupan, yang dibuat oleh Iskandar Muda. Tahun 1993, pada tanggal 14
September, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional
kepada Sultan Iskandar Muda atas jasa dan kejayaannya membangun dasar-dasar penting
hubungan ketatanegaraan dan atas keagungan beliau.
14
1811, Sultan Mahmud justru berhasil membebaskan Palembang dari cengkeraman Belanda pada
tanggal 14 Mei 1811.
Sejak timah ditemukan di Bangka pada pertengahan abad ke-18, Palembang dan wilayahnya
menjadi incaran Britania dan Belanda. Demi menjalin kontrak dagang, bangsa Eropa berniat
menguasai Palembang.
Awal mula penjajahan bangsa Eropa ditandai dengan penempatan Loji (kantor dagang). Di
Palembang, loji pertama Belanda dibangun di Sungai Aur (10 Ulu).
Bersamaan dengan adanya kontak antara
Britania dan Palembang, hal yang sama
juga dilakukan Belanda. Dalam hal ini,
melalui utusannya, Raffles berusaha membujuk
SMB II untuk mengusir Belanda dari
Palembang (surat Raffles tanggal 3 Maret
1811).
Dengan bijaksana, SMB II membalas surat
Raffles yang intinya mengatakan bahwa
Palembang tidak ingin terlibat dalam
permusuhan antara Britania dan Belanda, serta
tidak ada niatan bekerja sama dengan
Belanda. Namun akhirnya terjalin kerja sama
Britania-Palembang, di mana pihak Palembang
lebih diuntungkan.
Melalui perjuangan panjang dalam
membebaskan tanah Palembang dari tangan
Belanda, namun akhirnya pada tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda.
Pada Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam, Sultan mahmud badarudin II beserta
keluarganya menaiki kapal Dageraad dengan tujuan Batavia. Dari Batavia sultan mahmud
badarudin II dan keluarganya diasingkan ke Ternate oleh belanda dan sampai akhir hayatnya 26
September 1852.
Sultan Mahmud Badaruddin adalah salah satu pejuang yang melawan terhadap dua penjajah
yakni Inggris dan Belanda. SK Presiden RI No 063/TK/1984 menganugerahi gelar Pahlawan
Nasional kepada Sultan Mahmud Badaruddin II.
Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang, Bandara Sultan
Mahmud Badaruddin II dan Mata uang rupiah pecahan 10.000 rupiah yang dikeluarkan oleh bank
Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2005.
Penggunaan gambar Sultan Mahmud Badaruddin II di uang kertas ini sempat menjadi kasus
pelanggaran hak cipta, diduga gambar tersebut digunakan tanpa izin pelukisnya, namun kemudian
terungkap bahwa gambar ini telah menjadi hak milik panitia penyelenggara lomba lukis wajah
Sultan Mahmud Badaruddin II.
SEJARAH INDONESIA
15
Di Susun Oleh :
Nama Siswa : Rhegina Putri Nathania (25)
Kelas : XII IPS 3
M A N PEMALANG
Jl. Tentara Pelajar No. 12, Telp. (0284) 321819
16