Anda di halaman 1dari 5

1.

Biografi :Tengku Abdul Jalil lahir pada awal abad ke-20 di Desa Blang Ado Buloh,
Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara. Ibunya bernama Nyak Cut Buleun, yang merupakan
seorang guru agama yang juga masih keturunan dari seorang ulama. Sejak remaja, Tengku
Abdul Jalil sangat aktif dalam belajar ilmu agama. Di samping menjalani pendidikan di Volk
School, sekolah kolonial bagi anak-anak pribumi yang tinggal di desa, ia juga belajar agama
kepada ulama. Tengku Abdul Jalil bahkan mendalami ilmu agama di berbagai tempat,
seperti di Bireuenghang, Ie Rot Bungkaih (Muara Batu), Tanjong Samalanga, Mon Geudong,
Cot Plieng, dan Krueng Kale (Banda Aceh).
Perjuangan : Pada Juli 1942, Tengku Abdul Jalil mengadakan pengajian bersama 400
pengikutnya, yang sekaligus menyuarakan kritik tajam terhadap penjajahan Jepang.
Keesokan harinya, ia langsung diundang menghadap polisi Jepang karena dengan sangat
terbuka menghimpun kekuatan untuk melakukan perlawanan. Namun, undangan tersebut
tidak dipenuhi, sehingga membuat hubungannya dengan Jepang semakin meruncing.
Puncaknya adalah saat polisi Jepang bernama Hayasi datang untuk menjemput Tengku
Abdul Jalil di Dayah Cot Plieng. Namun, Hayasi justru berakhir terluka setelah memaksa
Tengku Abdul Jalil untuk berhenti menyuarakan sikap perlawanan terhadap Jepang.
Menanggapi hal itu, pada 7 November 1942, pasukan Jepang dikerahkan untuk menangkap
Tengku Abdul Jalil. Peristiwa itulah yang menandai awal mula Tengku Abdul Jalil melakukan
perlawanan terhadap Jepang. Pada pertempuran itu, Tengku Abdul Jalil berhasil lolos,
meski pesantrennya dibakar oleh Jepang dan beberapa pengikutnya gugur.
2. Biografi : K.H. Zainal Mustafa berasal dari Singaparna, Jawa Barat, yang lahir pada 1899 dengan
nama Hudaemi. (lahir di Bageur, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, 1899 – meninggal di Jakarta,
28 Oktober 1944) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Tasikmalaya. Zaenal Mustofa adalah pemimpin sebuah pesantren di
Tasikmalaya dan pejuang Islam pertama dari Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan
terhadap pemerintahan Jepang. Nama kecilnya Hudaemi. Lahir dari keluarga petani
berkecukupan, putra pasangan Nawapi dan Ny. Ratmah, di kampung Bageur, Desa Cimerah,
Kecamatan Singaparna (kini termasuk wilayah Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame) Kabupaten
Tasikmalaya (ada yang menyebut ia lahir tahun 1901 dan Ensiklopedia Islam menyebutnya tahun
1907, sementara tahun yang tertera di atas diperoleh dari catatan Nina Herlina Lubis, Ketua
Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat). Namanya menjadi Zaenal Mustofa setelah
ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1927.
Perjuangan : Zainal Mustafa tumbuh sebagai sosok ulama yang sangat menentang kolonialisme
Belanda. Ia beberapa kali didekati oleh Belanda dan diminta untuk bekerja sama dengan
mereka, tetapi selalu tegas menolak. Pada 17 November 1941, setelah kerap dibuntuti oleh
polisi rahasia, Zainal Mustafa sempat ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda karena
dianggap memberontak. Ia dipenjara selama kurang lebih dua bulan di Sukamiskin, Bandung.
Usai memberontak terhadap Belanda, Zainal Mustafa menghadapi Jepang, yang masuk ke
Indonesia pada 1942. Pada awalnya, Jepang membebaskan KH Zainal Mustafa karena
diharapkan dapat membantu dalam mewujudkan semangat fasis, yakni menciptakan Kawasan
Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Akan tetapi, Zainal Mustafa menolak tegas permintaan
Jepang. Bahkan, ia menekankan kepada para santrinya untuk tidak tergoda pada propaganda
asing dan memperingatkan bahwa fasisme Jepang itu berbahaya.
3. Biografi : Haji madriyas adalah tokoh pemimpin perlawanan rakyak terhadap jepang di daerah
indramayu
Perjuangan : Perlawanan rakyat Indramayu diprakarsai oleh petani dan dipimpin tokoh ulama
yaitu Haji Madriyas yang terjadi di desa Karang Ampel, Sindang, Kabupaten Indramayu. Petani
mempersenjatai diri dengan banyak senjata yaitu bambu runcing, golok, tombak, dan keris
4. Biografi : Pang Suma alias Menera lahir pada tahun 1911, di Kampung Nek Bindnag
Ketemenggungan Embuan, Distrik atau sekarang Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau anak
dari Dulung, asal suku bangsa dayak Desa Kewarganegaraan Hindia Belanda atau sebagai warga
In lander (Indonesia) yang gugur di Meliau pada tanggal 17 Juli 1945. Kawin dengan Ranca dan
mengangkat anak Suma bin Ayai bin Dulung alias (Ayai alias Pang Laya). Wafat
Perjuangan : Momentum perlawanan Pang Suma dimulai dengan adanya kejadian pemukulan
terhadap seorang tenaga kerja Dayak yang dilakukan oleh pengawas Jepang. Serta adanya
perlakuan lainnya yang tidak manusiawi bila tidak bekerja secara maksimal. Dengan latar
belakang tersebut maka Pang Suma bertekad melawan ketidakadilan dan mendapat dukungan
dari rakyat Kalimantan. Rasa ingin membebaskan dari belenggu penjajah saat itu hanya dengan
berbekal keberanian dan sebilah sabur (sejenis mandau/ parang panjang). Namun dengan
adanya kejadian penganiayaan tersebut memicu rangkaian perlawanan yang puncaknya berupa
serangan balasan Dayak yang disebut dengan perang Majang Desa. Adapun perang Majang Desa
tersebut berlangsung pada April-Agustus 1944 dan terjadi di daerah Tayan-Maliau-Batang
Tarang (kab Sanggau). Dalam perang ini sekitar 600 orang pejuang kemerdekaan gugur dibunuh
oleh Jepang.
5. Biografi : Rumkorem lahir di Biak pada 05 Juni 1933, dan punya sembilan orang anak. Bernama
lengkap Seth Jafeth Rumkorem (nama Seth kadang ditulis menjadi Zeth, sementara Rumkorem
biasa ditulis Roemkorem).
Perjuangan : L Rumkorem adalah pemimpin perlawanan terhadap Jepang di Biak, Papua, pada
1943. Pada 1942, Jepang masuk ke Indonesia dengan tujuan untuk menguasai seluruh wilayah
Asia Tenggara. Salah satu wilayah yang dijajaki Jepang adalah Papua, yang menyebabkan
penderitaan pada rakyatnya. Pasalnya, rakyat Papua dijadikan budak, dipukuli, bahkan dianiaya
secara kejam. Pada akhirnya, rakyat Papua berani melakukan perlawanan terhadap Jepang.
Salah satu perlawanan rakyat Papua terhadap Jepang terjadi di Biak, yang dipimpin oleh L
Rumkorem. Pada 1943, rakyat Biak melakukan perlawanan dengan menggunakan gerakan
Koreri. Koreri adalah sebuah gerakan rakyat Biak dalam melakukan perlawanan terhadap Jepang
yang berarti "kita berganti kulit".Pada September 1945, Rumkorem diketahui mendirikan
Perserikatan Indonesia Merdeka (PIM), sebuah gerakan partai politik pertama di Pulau Biak.
Partai tersebut pertama berpusat di Nusi dimana diadakan pertemuan pada bulan September
dan November 1945. Namun sejar Januari 1946 berpusat di Bosnek, Biak Timur. Pertengahan
tahun 1947, Rumkorem ditangkap otoritas Belanda karena dituduh akan membunuh Frans
Kaisiepo dan Marcus Kaisiepo. PIM baru aktif kembali pada tahun 1949 setelah datangnya
Corinus Krey dari Hollandia pada tanggal 7 September 1949. Diadakan pertemuan PIM pada
tanggal 1 Oktober 1949, di rumah kepala kampung Yenures, David Rumaropen. Pada tanggal 5
Oktober 1949, PIM kembali diaktifkan dengan Lukas Rumkorem, sebagai ketua, Corinus Krey
sebagai wakil, J. Tarumaselly sebagai penasihat dan Petrus Warikar sebagai sekertaris. Pada
tahun 1958, gerakan baru dibentuk Lukas Rumkorem dengan nama Tentara Tjadangan
Tjenderawasih (TTT), berdasarkan pengakuan J. Tarumaselly, TTT juga memiliki cabang di daerah
lain di Papua. Organisasi ini melatih pemuda Biak diluar Papua dan untuk membantu operasi
Trikora. TTT berhubungan langsung dengan konsulat jendral Indonesia di Singapura dan
menggunakan perantara keturunan Tionghoa, karena pergerakannya lebih bebas menggunakan
kapal KPM. Beberapa informasi yang berhasil diselundupkan berupa beberapa foto lokasi
potensial di Pulau Biak oleh J. Tarumaselly dan T. Rumngeur yang diberikan pada wakil
pemerintah Indonesia di Singapura, Ambon, Hollandia, dan Serui. Aktivitas TTT mulai terhambat
dengan ditangkapnya David Woisiri, Rafael Maselkosu, J. Tarumaselly, Jonathan Saroy dan Fritz
Werluken yang merupakan anggota TTT di Serui.[2] Atas jasa-jasanya, L Rumkorem mendapat
gelar kehormatan dari Pemerintah Indonesia dan diberi pangkat Mayor Tituler Angkatan Darat.
Putranya yang bernama Seth Rumkorem berkesempatan untuk mengikuti pendidikan Bintara di
Cimahi, Bandung. Walau kemudian putranya membelot menjadi pendiri Markas Victoria, salah
satu fraksi OPM.
6. Silas Papare
Silas Papare (18 Desember 1918 – 7 Maret 1978[1][2]) adalah seorang pejuang penyatuan Irian
Jaya (Papua) ke dalam wilayah Indonesia. Ia adalah seorang pahlawan nasional Indonesia.
Namanya diabadikan menjadi salah satu Kapal Perang Korvet kelas Parchim TNI AL KRI Silas
Papare dengan nomor lambung 386, dan juga namanya diabadikan menjadi nama Pangkalan
Udara TNI Angkatan Udara di Sentani, Jayapura menjadi Lanud Silas Papare Jayapura. Selain itu
didirikan Monumen Silas Papare di dekat pantai dan pelabuhan laut Serui. Sementara di
Jayapura, namanya diabadikan sebagai nama Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik (STISIPOL) Silas
Papare, yang berada di Jalan Diponegoro dan Pangkalan TNI AU Silas Papare, Sedangkan di kota
Nabire, nama Silas Papare dikenang dalam wujud nama jalan. Belanda yang tadinya akan
mengirim Silas Papare karena terkenal anti-Indonesia sebelumnya mengganti dengan Frans
Kaisiepo pada Konferensi Malino, walau ternyata Kaisiepo menggunakan kesempatannya untuk
mempopulerkan nama "Irian". Papare dipindahkan ke Serui dari Hollandia dikarenakan terjadi
beberapa pemberontakan lanjutan oleh kelompok Sugoro agar mereka tidak bisa
berhubungan.Semasa menjalani masa tahanan di Serui, Silas berkenalan dengan Dr. Sam
Ratulangi, Gubernur Sulawesi yang diasingkan oleh Belanda ke tempat tersebut. Perkenalannya
tersebut semakin menambah keyakinan ia bahwa Papua harus bebas dan bergabung dengan
Republik Indonesia. Akhirnya, ia mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) pada
November 1946.Pada tahun 1949, jumlah anggota PKII terus meningkat hingga mencapai 4.000
orang, walau PKII dinyatakan ilegal oleh Belanda dan bergerak secara diam-diam. Silas kembali
ditangkap oleh otoritas Belanda karena mendirikan PKII dan dipenjarakan di Biak dengan alasan
hilang ingatan. Menggunakan alasan yang sama, Silas Papare berhasil melarikan diri dan pergi
menuju Yogyakarta.Pada bulan Oktober 1949 di Yogyakarta, ia mendirikan Badan Perjuangan
Irian di Yogyakarta dalam rangka membantu pemerintah Republik Indonesia untuk memasukkan
wilayah Irian Barat ke dalam wilayah RI. Silas Papare yang ketika itu aktif dalam Front Nasional
Pembebasan Irian Barat (FNPIB) dan juga ikut dalam Konferensi Cibogo, Bogor yang
dilaksanakan pada tanggal 13-15 April 1961 oleh pemuda-pemuda Papua yang kabur dari Nugini
Belanda untuk upaya pembebasan Irian Barat.Ia juga diminta oleh Presiden Soekarno menjadi
delegasi Indonesia dalam Perjanjian New York bersama Albert Karubuy sebagai perwakilan PKII,
delegasi yang asal Papua lainnya adalah Johannes Abraham Dimara, Marthen Indey, Frits Kirihio,
dan Efraim Somisu.Perjanjian tersebut ditandatangani pada 15 Agustus 1962, yang mengakhiri
konfrontasi Indonesia dengan Belanda perihal Irian Barat. Setelah penyatuan Irian Barat, ia
kemudian diangkat menjadi anggota MPRS. berkat perjuangan dan jasa-jasanya tersebut dalam
mengusahakan Irian Jaya masuk kedalam NKRI dan membantu mengusir penjajah maka
pemerintah Indonesia menganugrahkan gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 14 September
1993 dengan Keppres
7. Supriyadi
Supriyadi lahir di Trenggalek pada tanggal 13 April 1923. Ia bersekolah di SMP, kemudian
menjadi sekolah latihan pamong praja di Magelang . Namun, Jepang menginvasi Indonesia
sebelum dia lulus. Ia kemudian melanjutkan ke SMA dan menjalani pembinaan kepemudaan
( Seimendoyo ) di Tangerang , Jawa Barat .Pada bulan Oktober 1943, Jepang membentuk milisi,
PETA untuk membantu pasukan Jepang melawan Sekutu. Supriyadi bergabung dengan PETA,
dan setelah pelatihan ditempatkan di Blitar. Dia bertugas mengawasi pekerjaan para pekerja
paksa Romusha . Penderitaan para pekerja ini mengilhami dia untuk memberontak melawan
Jepang. Ketika Supriyadi bergabung dengan PETA, ia diberi pangkat shodancho atau komandan
peleton. Ketika pemimpin nasionalis Sukarno mengunjungi orang tuanya di Blitar, petugas PETA
memberitahunya bahwa mereka telah mulai merencanakan pemberontakan dan meminta
pendapat Sukarno. Dia mengatakan kepada mereka untuk mempertimbangkan konsekuensinya,
tetapi Supriyadi, pemimpin pemberontak, yakin pemberontakan itu akan berhasil Pada dini hari
tanggal 14 Februari 1945, pemberontak menyerang pasukan Jepang, menyebabkan banyak
korban. Namun, Jepang mengalahkan pemberontakan tersebut dan mengadili para biang
keladinya. Enam atau delapan orang dijatuhi hukuman mati dan sisanya dijatuhi hukuman
penjara mulai dari tiga tahun hingga seumur hidup. Namun, kabarnya Supriyadi tidak dieksekusi.
Ada yang mengatakan Supriyadi kabur dan bersembunyi dari Jepang. Dia tidak terlihat lagi
setelah kegagalan pemberontakan.
8. Radjiman Wediodiningrat
Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat (21 April 1879 – 20
September 1952) adalah seorang dokter yang juga merupakan salah satu tokoh pendiri Republik
Indonesia. Ia adalah anggota organisasi Budi Utomo, pada tahun 1945 terpilih untuk memimpin
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Radjiman memiliki
darah Gorontalo dari ibunya. Ayah dari Dr. Radjiman bernama Sutodrono. Pamannya Wahidin
Soedirohoesodo membiayai pendidikannya di Batavia. Dimulai dengan model pembelajaran
hanya dengan mendengarkan pelajaran di bawah jendela kelas saat mengantarkan putra Dr.
Wahidin Soedirohoesodo ke sekolah, kemudian atas belas kasihan guru Belanda disuruh
mengikuti pelajaran di dalam kelas sampai akhirnya di usia 20 tahun ia sudah berhasil
mendapatkan gelar dokter dan mendapat gelar Master of Art pada usia 24 tahun. Ia juga pernah
belajar di Belanda, Prancis, Inggris dan Amerika.Pilihan belajar ilmu kedokteran yang diambil
berangkat dari keprihatinannya ketika melihat masyarakat Ngawi saat itu dilanda penyakit pes,
begitu pula ia secara khusus belajar ilmu kandungan untuk menyelamatkan generasi ke depan di
mana saat itu banyak ibu-ibu yang meninggal karena melahirkan.sejak tahun 1934 ia memilih
tinggal di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi dan mengabdikan dirinya
sebagai dokter ahli penyakit pes, ketika banyak warga Ngawi yang meninggal dunia karena
dilanda wabah penyakit tersebut. Rumah kediamannya yang sekarang telah menjadi situs sudah
berusia 134 tahun. Begitu dekatnya Radjiman dengan Bung Karno sampai-sampai Bung Karno
pun telah bertandang dua kali ke rumah tersebut.Pada tanggal 9 Agustus 1945, ia membawa
Bung Karno dan Bung Hatta ke Saigon dan Da Lat untuk menemui pimpinan tentara Jepang
untuk Asia Timur Raya terkait dengan pengeboman Hiroshima dan Nagasaki yang menyebabkan
Jepang berencana menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, yang akan menciptakan kekosongan
kekuasaan di Indonesia.
9. Sutan Sjahrir
Sjahrir lahir di Padang Panjang dari pasangan Mohammad Rasad dengan gelar Maharaja Soetan
bin Leman dan gelar Soetan Palindih dari Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat dan Puti Siti Rabiah
yang berasal dari negeri Natal, Mandailing Natal, Sumatra Utara. Ayahnya menjabat sebagai
penasehat sultan Deli dan kepala jaksa (landraad) di Medan. Sjahrir bersaudara seayah dengan
Rohana Kudus, aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka. Sjahrir bersaudara kandung
dengan Soetan Sjahsam, seorang makelar saham pribumi paling berpengalaman pada masanya
dan Soetan Noeralamsjah, seorang jaksa dan politikus Partai Indonesia Raya (Parindra). Peran
Sutan Syahrir dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia salah satunya terdapat dalam bidang
diplomasi. Sepak terjang Sutan Syahrir dalam bidang diplomasi bermula saat Belanda
melancarkan Agresi Militer Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947, dimana Belanda berhasil
memblokade wilayah Indonesia dari dunia luar. Namun dengan kecerdikan dan keberaniannya,
Sutan Syahrir mampu meloloskan diri ke India untuk menghadiri Inter-Asian Relations
Conference. Dalam konferensi yang diadakan pada 23 Maret – 2 April 1947 tersebut, Sutan
Syahrir menggalang simpati dari negara-negara Asia untuk mendukung perjuangan
Indonesia.Setelah menghadiri konferensi tersebut, Sutan Syahrir kemudian ditunjuk menjadi
delegasi Indonesia dalam sidang Dewan Keamanan PBB pada Agustus 1947. Pada sidang yang
berlangsung di Lake Success, Amerika Serikat tersebut, Sutan Syahrir kembali mengemban misi
untuk menghimpun simpati masyarat dunia terhadap kemerdekaan Indonesia. Perjuangan Sutan
Syahrir di dalam forum PBB mendapat tanggapan sinis dari Menteri Luar Negeri Belanda, E.N.
Van Kleffens. Sikap sini tersebut dilawan dengan fakta bahwa Indonesia sudah memiliki
kelangkapan negara yang sah seperti pemerintahan, wilayah, dan tentara Keberanian Sutan
Syahrir dalam forum PBB tersebut membuka mata dunia. Bahkan surat kabar The New York
Herald Tribune mengulas pidato Sutan Syahrir sebagai salah satu pernyataan yang paling
mengesankan di forum PBB yang diadakan di Lake Success.Setelah itu Sutan Syahrir sering
ditunjukan menjadi perwakilan Indonesia dalam sidang PBB, dimana beliau selalu menyuarakan
eksistensi Republik indonesia. Bahkan, dalam beberapa kesempatan Sutan Syahrir mampu
mematahkan arogansi perwakilan Belanda yang masih bersikukuh untuk tidak mengakui
keberadaan negara Indonesia.Perjuangan Sutan Syahrir tidak sia-sia setelah mendapat respons
positif setelah banyak negara PBB yang mendukung kedaulatan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai