Anda di halaman 1dari 3

Organisasi Sosial Kemasyarakatan

pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia

Organisasi sosial kemasyarakatan yang dibentuk pada masa pendudukan Jepang sebagai berikut.
1. Gerakan Tiga A
Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Pemimpin Asia. Demikianlah semboyan
Jepang yang dipropagandakan melalui Gerakan Tiga A. Pemerintah Jepang membentuk Gerakan
Tiga A pada 29 April 1942. Gerakan ini dipimpin oleh Hiroshi Shimizu dan Mr. Samsuddin. Dalam
menjalankan tugasnya, Samsuddin dibantu K. Sutan Pamuntjak dan Mohammad Saleh. Tugas utama
Gerakan Tiga A adalah melakukan propaganda agar seluruh penduduk Indonesia berdiri
sepenuhnya di belakang pemerintah Jepang untuk mendukung kepentingan perang. Oleh karena
itu, seluruh anggotanya sering berkeliling ke daerah untuk mempropagandakan Gerangan Tiga A.
Tujuan Gerakan Tiga A sebagai berikut.
a. Menghimpun potensi bangsa Indonesia untuk membantu Jepang dalam Perang Asia Timur
Raya.
b. Mempropagandakan kemenangan Jepang.
c. Menanamkan anti-Barat, terutama Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat.

Dalam perkembangannya, Gerakan Tiga A tidak bertahan lama. Gerakan Tiga A kurang
mendapat simpati masyarakat Indonesia. Pemerintah Jepang juga menganggap Gerakan Tiga A
kurang efektif dalam usahanya mengerahkan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pada akhir 1942
pemerintah Jepang membubarkan Gerakan Tiga A.
2. Pusat Tenaga Rakyat (Putera)
Kegagalan Gerakan Tiga A mencapai tujuannya dalam menarik simpati dan dukungan rakyat
Indonesia mendorong pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) pada 9 Maret
1943. Melalui pembentukan Putera, Jepang berharap agar rakyat Indonesia tetap mendukung
Jepang. Oleh karena itu, Jepang menunjuk tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Soekarno,
Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansur untuk memimpin Putera. Keempat
tokoh ini mendapat sebutan Empat Serangkai.

Gambar
Sumber: Sejarah Indonesia Jilid 6: Zaman Pendudukan Jepang dan Kemerdekaan Indonesia

Bagi Jepang, pembentukan Putera bertujuan memusatkan segala potensi masyarakat Indonesia
dalam rangka membantu usaha Perang Asia Timur Raya. Berdasarkan tujuan tersebut, Putera
memiliki kewajiban sebagai berikut.
a. Memimpin rakyat untuk bersama-sama menghapus pengaruh Amerika, Inggris, dan Belanda.
b. Mengambil bagian dalam usaha mempertahankan Asia Raya.
c. Memperkuat rasa persaudaraan antara Jepang dan Indonesia.
d. Mengintensifkan pelajaran-pelajaran bahasa Jepang.
e. Membina dan memusatkan potensi bangsa Indonesia untuk kepentingan Perang Jepang.

Dalam melaksanakan tugasnya, Putera mendapat pengawasan ketat dari pemerintah Jepang.
Meskipun mendapat pengawasan ketat, para pemimpin Putera memanfaatkan organisasi ini untuk
mempersiapkan bangsa Indonesia mewujudkan kemerdekaannya. Upaya para pemimpin Putera ini
berhasil mempersiapkan rakyat secara mental untuk kemerdekaan Indonesia sesuai yang dicita-
citakan. Keberhasilan para pemimpin Putera ini menyadarkan pemerintah Jepang bahwa Putera
lebih bermanfaat bagi Indonesia. Jepang menganggap Putera gagal membantu Jepang dalam usaha
mengerahkan bangsa Indonesia. Akhirnya, pada 1944 pemerintah Jepang membubarkan Putera.

3. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) merupakan
satu-satunya organisasi yang tidak dibubarkan oleh
Jepang meskipun sudah ada sejak zaman kolonial
Belanda. Organisasi ini didirikan pada 1937 oleh K.H.
Mas Mansur di Surabaya. Pada masa
pemerintahannya di Indonesia, Jepang tidak
membubarkan organisasi ini karena MIAI dinilai anti-
Barat. Selain itu, melalui organisasi ini Jepang
berusaha menarik simpati masyarakat Indonesia
yang mayoritas beragama Islam. Oleh karena itu, MIAI
tetap diizinkan melakukan pergerakan.
Gambar
MIAI merupakan organisasi pergerakan yang Sumber: Sejarah Nasional
Indonesia Jilid VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik
memiliki peran penting pada masa pendudukan
Jepang. Adapun tugas MIAI sebagai berikut.
a. Menempatkan umat Islam pada kedudukan yang layak dalam masyarakat Indonesia.
b. Mengharmoniskan Islam dengan tuntutan perkembangan zaman.
c. Ikut membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.

Program kerja MIAI yang paling terlihat adalah mendirikan baitul mal. Pada masa itu baitul mal
yang dibentuk MIAI mampu berkembang pesat sampai daerah-daerah. Jaringan MIAI pun semakin
berkembang seiring dengan perkembangan baitu mal. Hasil dari baitul mal digunakan untuk
membiayai perjuangan dakwah Islam. Selain baitul mal, MIAI menerbitkan majalah Soeara MIAI
sebagai sarana komunikasi.
Dalam perkembangannya, MIAI semakin sulit dikendalikan oleh Jepang. MIAI tidak
berkoordinasi dengan shumubu (kantor urusan agama yang dibentuk Jepang) ketika menjalankan
baitul mal. Oleh karena itu, Jepang menganggap MIAI tidak terlalu berperan penting dalam
membantu perang. MIAI akhirnya dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Moeslimin
Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi diharapkan dapat mengumpulkan dana dan
menggerakkan umat Islam untuk membantu Jepang dalam Perang Pasifik.
Masyumi resmi disahkan oleh gunseikan pada 22 November 1943. Kepengurusan Masyumi
mendapatkan dukungan dari dua organisasi besar pada masa itu, Muhammadiyah dan Nahdatul
Ulama. Masyumi diketuai oleh K.H. Hasyim Asyhari. Wakil Muhammadiyah di Masyumi adalah K.H.
Mas Mansur, K.H. Farid Ma’ruf, K.H. Mukti, dan Katosudarmo. Sementara itu, Nahdatul Ulama
mengirimkan K.H. Hachrowi, Zainul Arifin, K.H. Wahid Hasjim, dan K.H. Muchtar sebagai wakilnya
di Masyumi.
Dalam perkembangannya, Masyumi menolak pelaksanaan budaya Jepang yang bertentangan
dengan nilai-nilai Islam. Salah satu budaya Jepang yang ditolak oleh Masyumi adalah seikeirei.
Seikeirei dilakukan dengan membungkuk ke arah matahari. Gerakan seikeirei yang mirip dengan
gerakan rukuk saat salat membuat umat Islam tidak mau melaksanakannya. Akhirnya, Jepang
memberi kebebasan orang Islam untuk tidak melaksanakan seikeirei.
4. Jawa Hokokai
Setelah organisasi-organisasi yang dibentuk Jepang dinilai gagal dalam membantu
mewujudkan tujuan Jepang, pemerintah Jepang membentuk Jawa Hokokai pada 8 Januari 1944.
Pembentukan Jawa Hokokai diprakarsai oleh Panglima Tentara ke-16, Jenderal Kumakichi Harada.
Latar belakang pembentukan Jawa Hokokai adalah kedudukan Jepang yang semakin terdesak dalam
Perang Pasifik.
Berbeda dengan Putera dan Gerakan 3A, Jawa Hokokai tidak dipimpin oleh orang-orang
Indonesia, tetapi dipimpin langsung oleh Gunseikan (kepala pemerintahan militer). Jawa Hokokai
terdiri atas berbagai profesi sesuai bidang masing-masing. Potensi sosial-ekonomi masyarakat
dimobilisasi melalui Jawa Hokokai untuk mencapai jumlah yang telah ditentukan dalam rangka
memenangi Perang Pasifik.

Sumber:
 Taufik Abdullah dan A.B. lapian (ed.). 2012. Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 6: Perang dan Revolusi. Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve.
 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (ed.). 2009. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI:
Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai