Anda di halaman 1dari 7

Nama : Chindi Amelia Putri

Kelas : XII MIPA 3


No. Absen : 08

AKSI-AKSI SEPIHAK PKI


“Aksi sepihak” adalah aksi-aksi yang dilakukan oleh PKI atau organisasi
pendukungnya seperti BTI (Barisan Tani Indonesia) dan Pemuda Rakyat, yang dilakukan
dengan perebutan dan pendudukan tanah milik negara, orang kaya dan perkebunan besar.
Namun PKI juga melakukan penyerangan terhadap kegiatan keagamaan.
Peristiwa aksi sepihak ini antara lain adalah:
Peristiwa Bandar Betsi

Peristiwa Bandar Betsi adalah penyerangan yang dilakukan oleh BTI ke


perkebunan PTPN Bandar Betsi di kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Peristiwa
ini terjadi pada 14 Mei 1965. Peristiwa ini menewaskan prajurit Angkatan Darat Letda
Sudjono. Dalam upaya perebutan areal tersebut, dia tewas dikeroyok ratusan massa
dengan menggunakan peralatan tani, seperti cangkul, golok, dan arit. Sebelum
penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu perwira TNI AD, ada satu
peristiwa keji yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965 silam. Kala
itu, seorang anggota TNI berpangkat Pembantu Letnan Satu (Peltu) gugur dibantai
ratusan anggota PKI di perkebunan karet Bandar Betsy, Simalungun, Sumatera Utara.
Pembantaian yang terjadi 14 Mei 1965 itu dikenal dengan nama ‘Peristiwa
Bandar Betsy’. Tugu Letda Sudjono yang berdiri di tengah kebun Bandar Betsy,
Kecamatan Bandar Huluan, Kabupaten Simalungun itu kini menjadi saksi bisu
kekejaman PKI di Sumatera Utara. 52 tahun silam, tiga sayap organisasi PKI yaitu
BTI, PR dan Gerwani menduduki paksa perkebunan negara yang terletak di Bandar
Betsy, Sumatera Utara. Mereka menangkap, menyiksa dan membunuh Pelda Sudjono,
anggota TNI yang merupakan penjaga PPN (Perusahaan Perkebunan Negara) Karet IX
Bandar Betsy. Ketika itu, Letda Sudjono berusaha mempertahankan lahan perkebunan
Negara dari penjarahan ratusan massa PKI.
Barisan PKI dan organisasi sayapnya melancarkan aksi sepihak karena
keinginan menguasai tanah negara di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu
targetnya adalah lahan kebun karet milik Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) IX
Bandar Betsy. Untuk menguasai kebun itu, PKI mempersenjatai ratusan anggota
Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat (PR) dan Gerakan Wanita Indonesia
(Gerwani). Kala itu, Letda Sudjono bertugas di kebun itu dibantu sebuah traktor yang
sering dioperasikannya. Kisah kematian tragis Letda Sudjono bermula saat anggota
BTI berkumpul di tanah perkebunan Bandar Betsy tepatnya di Balai Sumber Sari.
Anggota BTI yang berjumlah 200 orang lebih berkumpul dan sepakat merebut kembali
lahan perkebunan.
Upaya yang mereka lakukan hari itu juga yaitu dengan menanami lahan
dengan berbagai tanaman seperti ubi, pisang dan jagung. Ketika proses penanaman,
Letda Sudjono dan tiga orang anggotanya datang ke kebun tersebut untuk mengecek
traktornya yang terjebak kubangan lumpur. Setelah mengecek alat beratnya, Letda
Sudjono kembali melakukan patroli. Pada saat bersamaan, anggota BTI sedang
melakukan penanaman di lahan yang kini menjadi milik PTPN III itu.
Saat itu, Letda Sudjono melarang BTI menanami lahan. Ketika Letda Sudjono
melarang penggarapan lahan, salah satu anggota BTI berupaya merampas helmnya.
Melihat adanya rebutan helm, Letda Sudjono memukul anggota BTI itu dengan
tongkatnya. Tidak terima dengan sikap itu, anggota BTI marah dan kemudian balik
menyerang Letda Sudjono. Letda Sudjono dipukul dari belakang dan terjatuh. Dalam
situasi itu, para anggota BTI kemudian mencangkul dan menghujamkan berbagai
peralatan tani ke tubuh Letda Sudjono.
Letda Sudjono tewas mengenaskan di tengah kebun Negara yang dijaganya.
Melihat Letda Sudjono jadi bulan-bulanan anggota BTI, tiga anggota Letda Sudjono
melarikan diri. Sementara BTI bersorak-sorak atas kematian Letda Sudjono. Tak lama
kemudian, polisi datang ke lokasi dan mengamankan anggota BTI yang berada di
perkebunan tersebut. Jasad Letda Sudjono kemudian dibawa ke RSU Kebun Laras
untuk selanjutnya dimakamkan.
Kematian tragis Letda Sudjono ini ternyata tersiar hingga ke ibukota.
Mendengar kabar itu, Jenderal Ahmad Yani marah besar. Ahmad Yani memerintahkan
kasus itu diusut tuntas. Kemarahan itu diungkapkannya saat menghadiri HUT Resimen
Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) tanggal 15 Juli 1965 di Jakarta. "Bisa timbul
anarki dalam negara kalau kasus ini dibiarkan!" ujar Jenderal Ahmad Yani kala itu.
Tiga bulan kemudian, G30S PKI yang dikomandoi Letkol Untung menculik
dan membunuh enam jenderal dan satu perwira TNI AD. Jenderal Ahmad Yani
menjadi salah satu korbannya. Aksi PKI yang menunggangi kaum tani dan buruh
ternyata telah banyak memakan korban jiwa. Tak hanya jenderal TNI AD dan anggota
TNI, ulama di berbagai daerah di Indonesia juga banyak menjadi korban. Jenderal
Ahmad Yani dan Letda Sudjono kini menjadi Pahlawan Revolusi bersama lima
jenderal lainnya dan satu perwira TNI AD. Mereka menjadi korban keganasan PKI
pada tahun 1965.

Peristiwa Indramayu

Peristiwa Indramayu adalah aksi sepihak yang terjadi pada 15-16 Oktober 1964.
Peristiwa ini terjadi akibat pendudukan hutan kayu jati milik pemerintah oleh penebang liar.
Ketika para polisi hendak mengusir pendudukan liar ini, mereka dikeroyok dan akibantnya
seorang polisi tewas.
Pada 1942, Jepang mendarat di Indonesia dan ingin berkuasa karena mengincar
kekayaan sumber-sumber bahan mentah, terutama minyak bumi, yang dimanfaatkan untuk
kepentingan perangnya. Jepang pun berhasil merebut Indonesia dari tangan Belanda pada
Maret 1942. Daerah Indramayu juga tidak luput dari perhatian mereka. Pada 3 Maret 1942,
Jepang mendarat di Eretan, Indramayu, tepatnya di Kampung Sumur Sereh.
Pada saat itu, para serdadu Jepang yang umumnya berpangkat jenderal datang ke
sebuah pendopo yang ada di Indramayu. Mereka pun menuntut penduduk setempat memberi
hormat. Siapa pun yang menolak, maka akan dipukul atau diteriaki bagero yang berarti
bodoh. Sejak saat itu, rakyat menjadi sangat murka terhadap Jepang. Kemarahan mereka
memuncak saat penduduk Indramayu yang mayoritas bekerja sebagai buruh tani diwajibkan
untuk menyerahkan hasil panen padi. Peristiwa inilah yang melatarbelakangi pemberontakan
petani di Indramayu terhadap Jepang.
Lembaga Kebudayan Buatan Jepang Jalannya perlawanan Perlawanan rakyat
Indramayu diprakarsai oleh petani dan dipimpin oleh para ulama. Beberapa tokoh Indramayu
dalam perlawanan rakyat terhadap Jepang adalah Haji Madriyas, Haji Kartiwa, dan Kyai
Srengseng. Pada Maret 1944, petani yang ada di Desa Kaplongan melancarkan protes karena
masalah kewajiban serah padi. Tentara Jepang yang ada di Cirebon setelah mendengar
masalah itu segera datang dengan membawa satu kompi truk melalui Desa Kedungbunder.
Setelah itu, ditambah lagi satu truk polisi berisi senjata lengkap menuju ke Desa Kaplongan.
Sebelumnya, para petani di Desa Kaplongan sudah memperhitungkan segala kemungkinan
yang akan terjadi, sehingga begitu pasukan Jepang datang mereka sudah siap. Para petani
sudah mempersenjatai diri dengan aneka senjata, seperti bambu runcing, golok, tombak, dan
keris. Pertempuran pun terjadi yang menewaskan banyak korban dari kedua belah pihak.
Dari Desa Kaplongan sendiri ada empat orang yang meninggal karena ditembak
tentara Jepang, yakni Abu Hasan, Tobur, Abdul Kadir, dan Khozin. Adanya aksi protes dari
rakyat Indramayu di Desa Kaplongan mengobarkan semangat perlawanan juga di desa-desa
lain, seperti di Desa Cidempet. Pada 6 Mei 1944, pemberontakan pun meletus di Cidempet,
dengan sebab perlawanan yang sama. Tokoh-tokoh yang memelopori protes sosial di Desa
Cidempet sendiri adalah Haji Madriyas, Haji Dulkarim, Sura, Karsina, Sliyeg, dan Tasiah.
Mereka lah yag memimpin ratusan hingga ribuan rakyat dari desa-desa di Kecamatan
Lohbener, Sindang, dan Losarang untuk melawan Jepang. Akhir perlawanan rakyat
Indramayu Setelah pecah pertempuran di Desa Cidempet yang merembet hingga ke daerah-
daerah lainnya, tidak lagi terlihat aparat pemerintah Jepang, baik sipil maupun militer, datang
ke sana. Pihak Jepang memilih mengirimkan Haji Abdullah Fakih untuk bernegosiasi dengan
rakyat Indramayu. Namun, Haji Abdullah ternyata hanya bagian taktik Jepang untuk bisa
menangkap para pemimpin Indramayu.
pada Masa Pendudukan Jepang Akibat strategi itu, banyak pemimpin yang berhasil
ditangkap dan ditahan di sel tahanan pendopo Indramayu. Belum berhenti di situ, Jepang
melanjutkan siasat mereka dengan menyebarkan pamflet ke daerah-daerah. Isi pamflet
tersebut adalah rakyat Indramayu diminta untuk menyerahkan diri ke pendopo dan tidak perlu
khawatir karena semua akan dijaga dan dilindungi. Rakyat yang tidak curiga pun mulai
berdatangan ke pendopo. Perlawanan dari rakyat Indramayu terhadap Jepang berakhir karena
banyaknya para kiai dan ulama desa yang ditangkap. Selain itu, peristiwa proklamasi
kemerdekaan Indonesia membuat Jepang angkat kaki dari Indramayu.
Dampak Pemberontakan petani Indramayu yang berakhir pada bentrok fisik membuat
korban jiwa berjatuhan. Banyak tentara Jepang yang tewas, begitu pula dengan para petani
dan ulama yang gugur atau dipenjara oleh Jepang. Kendati demikian, pasca-perlawanan
berlangsung, rakyat Indramayu justru semakin giat bekerja karena hasil panen tidak lagi
disetor kepada Jepang, yang telah angkat kaki dari Indonesia.
Peristiwa Jengkol

Peristiwa Jengkol adalah pendudukan lahan perkebunan di Kediri, Jawa Timur.


Menyikapi pendudukan tersebut dilakukan pemindahan para penghuni liar perkubunan.
Namun terjadi kerusuhan ketika polisi hendak memindahkan, sehingga terjadi tembakan dan
peneroyokan yang mengakibatkan 18 orang tewas. peristiwa G.30 S/PKI di Kediri telah
terjadi suatu peristiwa yang disebut peristiwa jengkol, peristiwa ini bermula dari
kebijaksanaan Pemerintah yang tertuang dalam SK bersama lima Menteri, dalam SK bersama
ini diputuskan bahwa tanah milik perkebunan seluas 13.000 Ha, yang terletak di daerah
sekitar JENGKOL pada waktu itu kurang lebih 9.000 Ha secara liar dihaki oleh orang-orang
yang tidak berhak, SK bersama mengatur agar para penghuni liar ini dipindahkan disuatu
tempat sehingga mempermudah pengunaannya oleh fihak perkebunan. Untuk keperluan itu
Pemerintah telah memberi penjelasan kepada penghuni liar tersebut, dijelaskan dalam
pemindahan ini pemerintah akan memberi jaminan untuk beberapa waktu dan uang biaya
pemindahan. Mereka telah mengerti dan mau melaksanakan. Atas pengertian masyarakat ini,
maka dimulailah pentraktoran daerah tersebut dengan pengawalan satu peleton Kepolisisan
yang dipimpin LETNAN POLISI SUMARMAN.
Pada waktu pertraktoran sedang akan dimulai datanglah ribuan masa yang dipelopori
oleh orang PKI/BTI dengan bersenjatakan linggis, clurit, tumbak dan lain-lain menghalang-
halangi dan mecaci serta mencemooh para petugas, maka pentraktoran pada hari itu
ditangguhkan, situasi ini dilaporkan ke pimpinan di Kediri. Selanjutnya KOMANDAN
RESIMEN 16 LETKOL SUKERTIYO memerintahkan Perwira PDM Kediri Mayor
CHAMBALI untuk mengatasai hal tersebut. Penjelasan dari para pejabat ini tidak dihiraukan
bahkan mereka menyerang para pejabat tersebut, maka pasukan pengawal yang dipimpin
Sersan Mayor Suparno terpaksa melepaskan tembakan peringatan, tetapi karena mereka terus
maju menyerang, maka tembakan diarahkan kemasa tersebut. Sehingga 18 orang mati dan
kurang lebih 50 orang menderita luka-luka. Mereka yang luka-luka dibawa ke Kediri untuk
mendapatkan perawatan dan tokoh-tokohnya ditahan untuk pengusutan.
Peristiwa Kanigoro

Peristiwa ini terjadi pada 13 Januari 1965 di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kediri,
Jawa Timur. Pelatihan pelajar Islam di Kanigoro diserang oleh orang yang diduga simpatisan
PKI dan BTI. Para penyerang ini memukuli para pelajar dan merusak pesantren tempat
pelatihan. Kanigoro adalah desa yang dikenal sebagai basis PKI, dengan sebagian besar
buruh tani di sana berafiliasi dengan BTI. Pada masa tersebut, gerakan dan mobilisasi partai
politik makin meningkat, termasuk PKI. Sejak 9 Januari 1965, Pelajar Islam Indonesia Jawa
Timur mengadakan kegiatan pelatihan mental di sana dan memiliki peserta berjumlah 127
serta panitia 36 orang. Meskipun izin kegiatan telah dikantongi, ada larangan mengadakan
kegiatan dari Komandan Kodim Kediri khususnya pada acara ceramah yang menghadirkan
salah satu mantan aktivis Masyumi, M. Samelan. Namun, salah satu panitia yang merupakan
Pengurus PII Jawa Timur, Anis Abiyoso, tetap memaksa Samelan untuk berceramah.
Peristiwa terjadi pada waktu subuh, sekitar pukul 04.30 WIB. Menurut TNI,
penggeruduk pada Peristiwa Kanigoro berjumlah 2.000 orang dan membawa senjata tajam.
BTI dan PR menyerbu masjid dengan alas kaki, sandal, dan kaki telanjang, sebuah perbuatan
yang menyinggung umat muslim. Karena kalah jumlah, panitia keamanan tersebut tidak
dapat menghadapi mereka. Abiyoso mengatakan bahwa beberapa di antara mereka ada yang
menginjak-injak, merobek, dan membanting Alquran.[1] Setelah semua peserta acara tersebut
dapat dikuasai, KH. Jauhari beserta para panitia dan peserta diarak sejauh 7 kilometer ke
Kantor Polisi Sektor Kras. Mereka tiba di kantor polisi pada pukul 07.00 WIB.[2]
Kabar tentang Peristiwa Kanigoro tersebut menyebar dengan cepat. Putra KH.
Jauhari, Gus Maksum Jauhari segera bersiap memegang kendali organisasi Barisan Ansor
Serbaguna (Banser) Kediri, salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama (NU). Pada tanggal 18
Januari 1965, delapan truk yang membawa Banser bergerak ke Desa Kanigoro. Karena hal
tersebut, polisi mengambil langkah-langkah pengamanan. Salah satu langkah yang diambil
polisi adalah menangkap Suryadi dan Harmono sebagai pihak yang bertanggung jawab atas
kejadian tersebut.
Sebulan setelah kejadian itu, tepatnya pada 1 Februari 1965, ratusan anggota PII
menggelar rapat guna menyikapi peristiwa tersebut. Seusai rapat selesai, mereka mendatangi
dan melakukan pelemparan kantor PKI sebagai induk organisasi PR dan BTI. Pengurus PII
Jawa Timur Anis Abiyoso pun menjadi buronan polisi akibat kejadian ini. Polisi akhirnya
menganggap kasus Peristiwa Kanigoro ini selesai ketika Anis menyerahkan diri di Malang,
12 Februari 1965.
Peristiwa Kanigoro diabadikan sebagai adegan pertama pada Film Penumpasan
Penghianatan G30S/PKI yang diproduksi tahun 1984 oleh Sutradara Arifin C. Noer dan
disponsori oleh pemerintah Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto.

Anda mungkin juga menyukai