Peristiwa Indramayu
Peristiwa Indramayu adalah aksi sepihak yang terjadi pada 15-16 Oktober 1964.
Peristiwa ini terjadi akibat pendudukan hutan kayu jati milik pemerintah oleh penebang liar.
Ketika para polisi hendak mengusir pendudukan liar ini, mereka dikeroyok dan akibantnya
seorang polisi tewas.
Pada 1942, Jepang mendarat di Indonesia dan ingin berkuasa karena mengincar
kekayaan sumber-sumber bahan mentah, terutama minyak bumi, yang dimanfaatkan untuk
kepentingan perangnya. Jepang pun berhasil merebut Indonesia dari tangan Belanda pada
Maret 1942. Daerah Indramayu juga tidak luput dari perhatian mereka. Pada 3 Maret 1942,
Jepang mendarat di Eretan, Indramayu, tepatnya di Kampung Sumur Sereh.
Pada saat itu, para serdadu Jepang yang umumnya berpangkat jenderal datang ke
sebuah pendopo yang ada di Indramayu. Mereka pun menuntut penduduk setempat memberi
hormat. Siapa pun yang menolak, maka akan dipukul atau diteriaki bagero yang berarti
bodoh. Sejak saat itu, rakyat menjadi sangat murka terhadap Jepang. Kemarahan mereka
memuncak saat penduduk Indramayu yang mayoritas bekerja sebagai buruh tani diwajibkan
untuk menyerahkan hasil panen padi. Peristiwa inilah yang melatarbelakangi pemberontakan
petani di Indramayu terhadap Jepang.
Lembaga Kebudayan Buatan Jepang Jalannya perlawanan Perlawanan rakyat
Indramayu diprakarsai oleh petani dan dipimpin oleh para ulama. Beberapa tokoh Indramayu
dalam perlawanan rakyat terhadap Jepang adalah Haji Madriyas, Haji Kartiwa, dan Kyai
Srengseng. Pada Maret 1944, petani yang ada di Desa Kaplongan melancarkan protes karena
masalah kewajiban serah padi. Tentara Jepang yang ada di Cirebon setelah mendengar
masalah itu segera datang dengan membawa satu kompi truk melalui Desa Kedungbunder.
Setelah itu, ditambah lagi satu truk polisi berisi senjata lengkap menuju ke Desa Kaplongan.
Sebelumnya, para petani di Desa Kaplongan sudah memperhitungkan segala kemungkinan
yang akan terjadi, sehingga begitu pasukan Jepang datang mereka sudah siap. Para petani
sudah mempersenjatai diri dengan aneka senjata, seperti bambu runcing, golok, tombak, dan
keris. Pertempuran pun terjadi yang menewaskan banyak korban dari kedua belah pihak.
Dari Desa Kaplongan sendiri ada empat orang yang meninggal karena ditembak
tentara Jepang, yakni Abu Hasan, Tobur, Abdul Kadir, dan Khozin. Adanya aksi protes dari
rakyat Indramayu di Desa Kaplongan mengobarkan semangat perlawanan juga di desa-desa
lain, seperti di Desa Cidempet. Pada 6 Mei 1944, pemberontakan pun meletus di Cidempet,
dengan sebab perlawanan yang sama. Tokoh-tokoh yang memelopori protes sosial di Desa
Cidempet sendiri adalah Haji Madriyas, Haji Dulkarim, Sura, Karsina, Sliyeg, dan Tasiah.
Mereka lah yag memimpin ratusan hingga ribuan rakyat dari desa-desa di Kecamatan
Lohbener, Sindang, dan Losarang untuk melawan Jepang. Akhir perlawanan rakyat
Indramayu Setelah pecah pertempuran di Desa Cidempet yang merembet hingga ke daerah-
daerah lainnya, tidak lagi terlihat aparat pemerintah Jepang, baik sipil maupun militer, datang
ke sana. Pihak Jepang memilih mengirimkan Haji Abdullah Fakih untuk bernegosiasi dengan
rakyat Indramayu. Namun, Haji Abdullah ternyata hanya bagian taktik Jepang untuk bisa
menangkap para pemimpin Indramayu.
pada Masa Pendudukan Jepang Akibat strategi itu, banyak pemimpin yang berhasil
ditangkap dan ditahan di sel tahanan pendopo Indramayu. Belum berhenti di situ, Jepang
melanjutkan siasat mereka dengan menyebarkan pamflet ke daerah-daerah. Isi pamflet
tersebut adalah rakyat Indramayu diminta untuk menyerahkan diri ke pendopo dan tidak perlu
khawatir karena semua akan dijaga dan dilindungi. Rakyat yang tidak curiga pun mulai
berdatangan ke pendopo. Perlawanan dari rakyat Indramayu terhadap Jepang berakhir karena
banyaknya para kiai dan ulama desa yang ditangkap. Selain itu, peristiwa proklamasi
kemerdekaan Indonesia membuat Jepang angkat kaki dari Indramayu.
Dampak Pemberontakan petani Indramayu yang berakhir pada bentrok fisik membuat
korban jiwa berjatuhan. Banyak tentara Jepang yang tewas, begitu pula dengan para petani
dan ulama yang gugur atau dipenjara oleh Jepang. Kendati demikian, pasca-perlawanan
berlangsung, rakyat Indramayu justru semakin giat bekerja karena hasil panen tidak lagi
disetor kepada Jepang, yang telah angkat kaki dari Indonesia.
Peristiwa Jengkol
Peristiwa ini terjadi pada 13 Januari 1965 di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kediri,
Jawa Timur. Pelatihan pelajar Islam di Kanigoro diserang oleh orang yang diduga simpatisan
PKI dan BTI. Para penyerang ini memukuli para pelajar dan merusak pesantren tempat
pelatihan. Kanigoro adalah desa yang dikenal sebagai basis PKI, dengan sebagian besar
buruh tani di sana berafiliasi dengan BTI. Pada masa tersebut, gerakan dan mobilisasi partai
politik makin meningkat, termasuk PKI. Sejak 9 Januari 1965, Pelajar Islam Indonesia Jawa
Timur mengadakan kegiatan pelatihan mental di sana dan memiliki peserta berjumlah 127
serta panitia 36 orang. Meskipun izin kegiatan telah dikantongi, ada larangan mengadakan
kegiatan dari Komandan Kodim Kediri khususnya pada acara ceramah yang menghadirkan
salah satu mantan aktivis Masyumi, M. Samelan. Namun, salah satu panitia yang merupakan
Pengurus PII Jawa Timur, Anis Abiyoso, tetap memaksa Samelan untuk berceramah.
Peristiwa terjadi pada waktu subuh, sekitar pukul 04.30 WIB. Menurut TNI,
penggeruduk pada Peristiwa Kanigoro berjumlah 2.000 orang dan membawa senjata tajam.
BTI dan PR menyerbu masjid dengan alas kaki, sandal, dan kaki telanjang, sebuah perbuatan
yang menyinggung umat muslim. Karena kalah jumlah, panitia keamanan tersebut tidak
dapat menghadapi mereka. Abiyoso mengatakan bahwa beberapa di antara mereka ada yang
menginjak-injak, merobek, dan membanting Alquran.[1] Setelah semua peserta acara tersebut
dapat dikuasai, KH. Jauhari beserta para panitia dan peserta diarak sejauh 7 kilometer ke
Kantor Polisi Sektor Kras. Mereka tiba di kantor polisi pada pukul 07.00 WIB.[2]
Kabar tentang Peristiwa Kanigoro tersebut menyebar dengan cepat. Putra KH.
Jauhari, Gus Maksum Jauhari segera bersiap memegang kendali organisasi Barisan Ansor
Serbaguna (Banser) Kediri, salah satu badan otonom Nahdlatul Ulama (NU). Pada tanggal 18
Januari 1965, delapan truk yang membawa Banser bergerak ke Desa Kanigoro. Karena hal
tersebut, polisi mengambil langkah-langkah pengamanan. Salah satu langkah yang diambil
polisi adalah menangkap Suryadi dan Harmono sebagai pihak yang bertanggung jawab atas
kejadian tersebut.
Sebulan setelah kejadian itu, tepatnya pada 1 Februari 1965, ratusan anggota PII
menggelar rapat guna menyikapi peristiwa tersebut. Seusai rapat selesai, mereka mendatangi
dan melakukan pelemparan kantor PKI sebagai induk organisasi PR dan BTI. Pengurus PII
Jawa Timur Anis Abiyoso pun menjadi buronan polisi akibat kejadian ini. Polisi akhirnya
menganggap kasus Peristiwa Kanigoro ini selesai ketika Anis menyerahkan diri di Malang,
12 Februari 1965.
Peristiwa Kanigoro diabadikan sebagai adegan pertama pada Film Penumpasan
Penghianatan G30S/PKI yang diproduksi tahun 1984 oleh Sutradara Arifin C. Noer dan
disponsori oleh pemerintah Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto.