Anda di halaman 1dari 12

“ANTARA PERANG DAN DIPLOMASI”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK :

1. Kayla Salsabilla
2. Mulyadi Saputra
3. Dilla Eka Fitria
4. Putri Rahmatun Nisa
5. Tias Bagus Segala Rahmat

KELAS : XI IPA 4
“ANTARA PERANG DAN DIPLOMASI”

Bangsa Indonesia juga sadar bahwa kekuatan senjata bukan satu-


satunya jalan untuk mencapai kemerdekaan. Jalur diplomasi atau
perundingan adalah jalan lain yang perlu ditempuh bangsa
Indonesia. Hal ini juga menunjukkan bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa yang cinta damai, tetapi lebih mencintai
kemerdekaan. Mengapa demikian? Sebab langkah diplomasi
kadang tidak selamanya menguntungkan bangsa Indonesia,
demikian sebaliknya. Maka dalam kajian di bawah ini kamu akan
menelaah bagaimana bangsa kita berusaha menjalankan politik
damai untuk mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga tidak
mengesampingkan dengan kekuatan senjata.
Rangkaian Perjanjian Linggarjati

Perjanjian Linggarjati merupakan langkah-langkah yang diambil oleh


pemerintah Republik Indonesia untuk memperoleh pengakuan
kedaulatan dari pemerintah Belanda dengan jalan diplomatik. Perjanjian
itu melibatkan pihak Indonesia dan Belanda, serta Inggris sebagai
penengah.

Bentuk-bentuk perundingan Perjanjian Linggarjati :


a. Perundingan Awal di Jakarta
b. Perundingan Hooge Veluwe
c. Pelaksanaan Perundingan Linggarjati
d. Konferensi Malino
Agresi Militer I

Belanda pada tanggal 27 Mei 1947 mengirim nota ultimatum yang


isinya antara lain sebagai berikut.
a. Pembentukan Pemerintahan Federal Sementara (Pemerintahan
Darurat) secara bersama.
b. Pembentukan Dewan Urusan Luar Negeri.
c. Dewan Urusan Luar Negeri, bertanggung jawab atas
pelaksanaan ekspor, impor, dan devisa; dan
d. Pembentukan Pasukan Keamanan dan Ketertiban Bersama
(gendarmerie),
Peran Komisi Tiga Negara

Masalah Indonesia-Belanda telah dibawa dalam sidang-


sidang PBB. Hal ini menunjukkan bahwa masalah Indonesia
telah menjadi perhatian bangsa- bangsa dunia. Kekuatan
Indonesia di forum internasional pun semakin kuat dengan
kecakapan para diplomator Indonesia yang meyakinkan
negara-negara lain bahwa kedaulatan Indonesia sudah
sepantasnya dimiliki bangsa Indonesia.
Perjanjian Renville
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Indonesia menyetujui
isi Perundingan Renville yang terdiri atas tiga hal sebagai
berikut:
a. Persetujuan tentang gencatan senjata yang antara lain
diterimanya garis demarkasi Van Mook (10 pasal).
b. Dasar-dasar politik Renville, yang berisi tentang kesediaan
kedua pihak untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan
cara damai (12 pasal).
c. Enam pasal tambahan dari KTN yang berisi, antara lain
tentang kedaulatan Indonesia yang berada di tangan
Belanda selama masa peralihan sampai penyerahan
kedaulatan (6 pasal).
Agresi Militer II dan Penangkapan Pimpinan Negara

Sebelum macetnya perundingan Renville sudah ada tanda-tanda


bahwa Belanda akan melanggar persetujuan Renville. Oleh karena
itu, pemerintah RI dan TNI sudah memperhitungkan bahwa
sewaktu-waktu Belanda akan melakukan aksi militernya untuk
menghancurkan RI dengan kekuatan senjata. Untuk menghadapi
kekuatan Belanda, maka dibentuk Markas Besar Komando Djawa
(MBKD) yang dipimpin oleh A.H. Nasution dan Hidayat.
Peran PDRI Sebagai Penjaga Eksistensi RI

Pada saat terjadi agresi militer Belanda II, Presiden Sukarno


telah membuat mandat kepada Syafruddin Prawiranegara yang
ketika itu berada di Bukittinggi untuk membentuk pemerintah
darurat. Sukarno mengirimkan mandat serupa kepada Mr.
Maramis dan Dr. Sudarsono yang sedang berada di New Delhi,
India apabila pembentukan PDRI di Sumatra mengalami
kegagalan. Namun, Syafruddin berhasil mendeklarasi berdirinya
Pemerintah Darurat Republik Indonesia ini dilakukan di
Kabupaten Lima Puluh Kota pada tanggal 19 Desember 1948.
Susunan pemerintahannya antara lain sebagai berikut:

1. Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua merangkap Perdana


Menteri, Menteri Pertahanan dan Menteri Penerangan;
2. Mr. T.M. Hassan sebagai wakil ketua merangkap Menteri Dalam
Negeri, Menteri Pendidikan, dan Menteri Agama;
3. Ir. S.M. Rasyid sebagai Menteri Keamanan merangkap Menteri
Sosial, Pembangunan dan Pemuda;
4. Mr. Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan merangkap
Menteri Kehakiman;
5. Ir. Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum merangkap
Menteri Kesehatan;
6. Maryono Danubroto sebagai Sekretaris PDRI;
7. Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar;
8. Kolonel A.H. Nasution sebagai Panglima Tentara Teritorial Jawa;
dan
9. Kolonel Hidayat sebagai Panglima Tentara Teritorial Sumatra.
UNCI memiliki tugas dan kekuasaan sebagai berikut:

1. Memberi rekomendasi kepada DK PBB dan pihak-pihak yang


bersengketa (Indonesia dan Belanda);
2. Membantu mereka yang bersengketa untuk mengambil keputusan
dan melaksanakan resolusi DK PBB;
3. Mengajukan saran kepada DK PBB mengenai cara-cara yang dianggap
terbaik untuk mengalihkan kekuasaan di Indonesia berlangsung
secara aman dan tenteram;
4. Membantu memulihkan kekuasaan pemerintah RI dengan segera;
5. Mengajukan rekomendasi kepada DK PBB mengenai bantuan yang
dapat diberikan untuk membantu keadaan ekonomi penduduk di
daerah-daerah yang diserahkan kembali kepada RI;
6. Memberikan saran tentang pemakaian tentara Belanda di daerah-
daerah yang dianggap perlu demi ketenteraman rakyat; dan
7. Mengawasi pemilihan umum, bila di wilayah Indonesia diadakan
pemilihan.
Tetap Memimpin Gerilya

Kalau para pemimpin pemerintahan seperti Presiden Sukarno,


Wakil Presiden Moh. Hatta dan beberapa menteri ditangkap
Belanda, Panglima Besar Sudirman yang dalam kondisi sakit
hanya dengan satu paru-paru justru tetap teguh untuk
memimpin perang gerilya. Ia dan rombongan melakukan
perjalanan dan pergerakan dari Yogyakarta menuju
Gunungkidul dengan melewati beberapa kecamatan, menuju
Pracimantoro, Wonogiri, Ponorogo, Trenggalek dan Kediri.
THANK YOU…

Anda mungkin juga menyukai