Bangsa Indonesia juga sadar bahwa kekuatan senjata bukan satu-
satunya jalan untuk mencapai kemerdekaan. Jalur diplomasi atau perundingan adalah jalan lain yang perlu ditempuh bangsa Indonesia. Hal ini juga menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai, tetapi lebih mencintai kemerdekaan. Mengapa demikian? Sebab langkah diplomasi kadang tidak selamanya menguntungkan bangsa Indonesia, demikian sebaliknya. Maka dalam kajian di bawah ini kamu akan menelaah bagaimana bangsa kita berusaha menjalankan politik damai untuk mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga tidak mengesampingkan dengan kekuatan senjata. Rangkaian Perjanjian Linggarjati
Perjanjian Linggarjati merupakan langkah-langkah yang diambil oleh
pemerintah Republik Indonesia untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda dengan jalan diplomatik. Perjanjian itu melibatkan pihak Indonesia dan Belanda, serta Inggris sebagai penengah.
a. Perundingan Awal di Jakarta b. Perundingan Hooge Veluwe c. Pelaksanaan Perundingan Linggarjati d. Konferensi Malino Agresi Militer I
Belanda pada tanggal 27 Mei 1947 mengirim nota ultimatum yang
isinya antara lain sebagai berikut. a. Pembentukan Pemerintahan Federal Sementara (Pemerintahan Darurat) secara bersama. b. Pembentukan Dewan Urusan Luar Negeri. c. Dewan Urusan Luar Negeri, bertanggung jawab atas pelaksanaan ekspor, impor, dan devisa; dan d. Pembentukan Pasukan Keamanan dan Ketertiban Bersama (gendarmerie), Peran Komisi Tiga Negara
Masalah Indonesia-Belanda telah dibawa dalam sidang-
sidang PBB. Hal ini menunjukkan bahwa masalah Indonesia telah menjadi perhatian bangsa- bangsa dunia. Kekuatan Indonesia di forum internasional pun semakin kuat dengan kecakapan para diplomator Indonesia yang meyakinkan negara-negara lain bahwa kedaulatan Indonesia sudah sepantasnya dimiliki bangsa Indonesia. Perjanjian Renville Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Indonesia menyetujui isi Perundingan Renville yang terdiri atas tiga hal sebagai berikut: a. Persetujuan tentang gencatan senjata yang antara lain diterimanya garis demarkasi Van Mook (10 pasal). b. Dasar-dasar politik Renville, yang berisi tentang kesediaan kedua pihak untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara damai (12 pasal). c. Enam pasal tambahan dari KTN yang berisi, antara lain tentang kedaulatan Indonesia yang berada di tangan Belanda selama masa peralihan sampai penyerahan kedaulatan (6 pasal). Agresi Militer II dan Penangkapan Pimpinan Negara
Sebelum macetnya perundingan Renville sudah ada tanda-tanda
bahwa Belanda akan melanggar persetujuan Renville. Oleh karena itu, pemerintah RI dan TNI sudah memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu Belanda akan melakukan aksi militernya untuk menghancurkan RI dengan kekuatan senjata. Untuk menghadapi kekuatan Belanda, maka dibentuk Markas Besar Komando Djawa (MBKD) yang dipimpin oleh A.H. Nasution dan Hidayat. Peran PDRI Sebagai Penjaga Eksistensi RI
Pada saat terjadi agresi militer Belanda II, Presiden Sukarno
telah membuat mandat kepada Syafruddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukittinggi untuk membentuk pemerintah darurat. Sukarno mengirimkan mandat serupa kepada Mr. Maramis dan Dr. Sudarsono yang sedang berada di New Delhi, India apabila pembentukan PDRI di Sumatra mengalami kegagalan. Namun, Syafruddin berhasil mendeklarasi berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia ini dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tanggal 19 Desember 1948. Susunan pemerintahannya antara lain sebagai berikut:
1. Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua merangkap Perdana
Menteri, Menteri Pertahanan dan Menteri Penerangan; 2. Mr. T.M. Hassan sebagai wakil ketua merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan, dan Menteri Agama; 3. Ir. S.M. Rasyid sebagai Menteri Keamanan merangkap Menteri Sosial, Pembangunan dan Pemuda; 4. Mr. Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman; 5. Ir. Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Kesehatan; 6. Maryono Danubroto sebagai Sekretaris PDRI; 7. Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar; 8. Kolonel A.H. Nasution sebagai Panglima Tentara Teritorial Jawa; dan 9. Kolonel Hidayat sebagai Panglima Tentara Teritorial Sumatra. UNCI memiliki tugas dan kekuasaan sebagai berikut:
1. Memberi rekomendasi kepada DK PBB dan pihak-pihak yang
bersengketa (Indonesia dan Belanda); 2. Membantu mereka yang bersengketa untuk mengambil keputusan dan melaksanakan resolusi DK PBB; 3. Mengajukan saran kepada DK PBB mengenai cara-cara yang dianggap terbaik untuk mengalihkan kekuasaan di Indonesia berlangsung secara aman dan tenteram; 4. Membantu memulihkan kekuasaan pemerintah RI dengan segera; 5. Mengajukan rekomendasi kepada DK PBB mengenai bantuan yang dapat diberikan untuk membantu keadaan ekonomi penduduk di daerah-daerah yang diserahkan kembali kepada RI; 6. Memberikan saran tentang pemakaian tentara Belanda di daerah- daerah yang dianggap perlu demi ketenteraman rakyat; dan 7. Mengawasi pemilihan umum, bila di wilayah Indonesia diadakan pemilihan. Tetap Memimpin Gerilya
Kalau para pemimpin pemerintahan seperti Presiden Sukarno,
Wakil Presiden Moh. Hatta dan beberapa menteri ditangkap Belanda, Panglima Besar Sudirman yang dalam kondisi sakit hanya dengan satu paru-paru justru tetap teguh untuk memimpin perang gerilya. Ia dan rombongan melakukan perjalanan dan pergerakan dari Yogyakarta menuju Gunungkidul dengan melewati beberapa kecamatan, menuju Pracimantoro, Wonogiri, Ponorogo, Trenggalek dan Kediri. THANK YOU…