Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
Pada bagian pendahuluan dipaparkan tentang latar belakang, rumusan masalah dan
tujuan. Paparan lebih lanjut adalah sebagai berikut :
1.1 Latar Belakang
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, maka Indonesia segera dihadapkan pada
berbagai persoalan yang sulit, terutama harus menghadapi kedatangan Sekutu. Pendaratan
pertama tentara Sekutu akhir September 1945 yang diboncengi oleh NICA dan KNIL
menyebabkan terjadinya ketegangan antara Indonesia dan Sekutu yang berakhir pada
pertempuran di beberapa wilayah.
Persoalannya makin rumit ketika masa tugas pasukan Sekutu (Inggris) di Indonesia berakhir
pada bulan Oktober 1946. Sebelum meninggalkan Indonesia, Inggris ingin mempertemukan
pihak RI dengan Belanda di meja perundingan. Namun Inggris dihadapkan pada dua pilihan
yang sulit. Pertama, ia harus menepati amanat Potsdam, yakni mengembalikan Indonesia kepada
Belanda dan terikat pada Civil Affair Agreement yang dibuat bersama Belanda tahun 1944.
Kedua, Sekutu terlanjur memberikan pengakuan de facto kepada RI, seperti yang dinyatakan
oleh Jenderal Sir Philip Christison pada tanggal 1 Oktober 1945.
Untuk mewujudkan keinginannya itu, Inggris meninggalkan seorang diplomatnya, Sir
Archibeld Clark Kern, yang akan menjadi perantara perundingan antara Indonesia dengan
Belanda. Berkat upayanya, maka dimulailah perundingan-perundingan antara kedua belah pihak
yang dilakukan di Jakarta dan kemudian dilanjutkan di Hoge Veluwe, Belanda tanggal 14-24
April 1946, namun perundingan ini mengalami kegagalan karena Belanda hanya mengakui
tuntutan RI berupa pengakuan de facto atas Jawa dan Madura, sedangkan Sumatera tidak diakui.
Kegagalan di Hoge Veluwe dan keberatan-keberatan Belanda mengenai usuk gencatan
senjata dan persoalan politik, tidak menyebabkan Inggris putus asa. Untuk melanjutkan upaya
penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda, diutuslah duta yang baru, yaitu Lord Killearn yang
tiba tanggal 29 April 1946 yang berhasil memutar kembali roda perundingan yang macet setelah
kegagalan di Hoge Veluwe.

Perundingan gencatan senjata tingkat militer yang diadakan tanggal 20 dan tanggal 26
September 1946 mengalami kegagalan, karena Sekutu dan Belanda menolak usul lima pasal, dan
menganggap bahwa usul tersebut terlalu luas dan menyangkut politik, bukan militer.
Setelah kegagalan perundingan gencatan senjata tingkat militer, maka dilanjutkan dengan
perundingan-perundingan politik yang dimulai dari tanggal 7 Oktober hingga 15 Nopember 1946
berlangsung di Jakarta dan Linggarjati. Perundingan itu di samping membicarakan mengenai
politik juga masalah militer, dan berhasil mencapai suatu persetujuan antara RI dan Belanda yang
dikenal dengan Persetujuan Linggarjati.
Kemerdekaan yang diikrarkan bangsa Indonesia bukanlah pemberian dari penjajah, akan
tetapi merupakan hasil dari perjuangan berat yang telah dilalui dalam kurun waktu yang lama.
Proklamasi 17 Agustus 1945 juga bukanlah perhentian perjuangan, tetapi justru merupakan awal
perjuangan untuk tantangan baru membangun tatanan berbangsa dan bernegara. Dalam
mempertahankan kemerdekaan, negara yang baru berdiri akan mengupayakan kedaulatannya
dengan melakukan perjuangan fisik dan non fisik. Begitu pula dengan Indonesia pada masa
mempertahankan kemerdekaan.
Perjuangan fisik dilakukan dengan jalan menggunakan senjata atau perang menghadapi
rongrongan asing. Sementara perjuangan non fisik adalah berdiplomasi dengan mengusahakan
jatuhnya korban seminimalisir mungkin. Diplomasi adalah melakukan perundingan-perundingan
dengan pihak yang pernah menjajah untuk kesepakatan tertentu yang pada intinya mengakui
negara yang pernah dijajahnya merdeka secara utuh. Di Indonesia, terdapat berbagai
perundingan. Salah satunya adalah perundingan Linggarjati. Perundingan ini banyak menuai pro
dan kontra karena perbedaan perspektif terhadap isi yang dihasilkan. Namun perlu diketahui
bahwa perundingan ini memiliki dampak utuh terhadap pertahanan kemerdekaan Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan di bahas dalam makalah
ini adalah :
1. Apa saja isi dari perundingan Linggarjati?
2. Bagaimana dampak dan pengaruh yang ditimbulkan akibat perundingan Linggarjati?
3. Mengapa Inggris dilibatkan dalam perundingan Lingggarjati?
1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :


1. Mengetahui isi perundingan Linggarjati
2. Mengetahui dampak dan pengaruh yang di timbulkan akibat perundingan Linggarjati
3. Mengetahui keterlibatan Inggris dalam perundingan Linggajati

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Perundingan


Pemerintahan awal yang dibentuk oleh Soekarno-Hatta adalah pemerintahan dengan
sistem Kabinet-Presidensial. Ternyata sistem pemerintahan ini memiliki kelemahan. Indonesia
dianggap sebagai negara fasis buatan Jepang, sehingga sulit memperoleh pengakuan dari pihak
sekutu dan Belanda. Selain itu, Presiden Soekarno memiliki citra yang kurang baik di luar negeri
karena ia dicap sebagai kolaborator Jepang.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka dikeluarkanlah Maklumat Negara RI No.X tahun
1945. Maklumat ini berisi tentang perubahan KNIP menjadi badan legislatif dan mempunyai hak
ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara. Untuk melaksanakan maklumat tersebut
dibutuhkan seorang pemimpin yang berjiwa revolusioner (Soebadio, 1987: 63-64), dan untuk itu
ditunjuklah Sjahrir tokoh yang bersih dari pengaruh Jepang dan memiliki tempat istimewa di
kalangan pemuda Indonesia. Kabinet presidensial Sukarno kemudian diganti oleh kabinet
parlementer, dan Sjahrir diangkat sebagai Perdana Menteri Indonesia yang pertama (Raliby,
1953: 94). Kabinet Parlementer ini merupakan perwujudan perjuangan demokrasi melawan
fasisme, sehingga diharapkan Republik Indonesia akan memiliki kedudukan yang kuat karena
pemerintahannya dipimpin oleh seorang pejuang demokrasi yang bebas dari fasisme.
Dalam kepemimpinannya ia memilih cara elegan dalam menghalau penjajah, yakni
melalui diplomasi, cara yang pada masa itu ditentang oleh tokoh revolusi lainnya yang lebih
mengutamakan perjuangan fisik. Banyak pihak yang menganggap jalan yang dipilih Sjahrir
terlalu jauh memberi konsesi pada pihak Belanda.
Salah satu cara mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mendapatkan pengakuan
dari luar negeri yaitu dengan cara melakukan perundingan, mulanya Pemerintah Inggris yang
ingin secepatnya melepaskan diri dari kesulitan pelaksanaan tugasnya di Indonesia mengirimkan
Sir A. Clark Kerr, sedangkan pemerintah Belanda diwakili oleh Gubernur Jendral van Mook.
Selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggungjawab untuk menyelesaikan konflik politik
dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat dari Inggris mengundang
Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hoogwe Veluwe dari tanggal 14-25 April 1946,
namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya
atas Jawa, Sumatera, dan Madura, namun Belanda hanya mengakui Indonesia atas Jawa dan

Madura saja. Sehingga dengan gagalnya perundingan di Hoogwe Veluwe ini, maka kemudian
diselenggarakan kembali perundingan di Linggarjati, Jawa Barat.
Perundingan Linggarjati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di
Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan status kemerdekaan Indonesia. Bermula ketika
masuknya AFNEI yang datang dengan memboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang
menetapkan status quo di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan
Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10 November.
Perundingan Linggarjati diadakan pada tanggal 11 November samapai 13 November
1946, tetapi para delegasi sudah berada di Linggarjati pada tanggal 10 November. Tetapi hasil
dari perundingan Linggarjati baru bisa di tandatangan pada bulan Maret 1947, dalam senggang
waktu tersebut, para delegasi memperbaiki isi-isi dari perjanjian agar kedua belah pihak
menemui titik temu untuk menyetujui perjanjian Linggarjati. Pada mulanya gedung yang di
jadikan lokasi perundingan di Linggarjati adalah sebuah penginapan, kemudian berdasarkan
keterangan dari Soebadio Sastrosatomo dan Mr. Ali Boediardjo bahwa mengusulkan Linggarjati
sebagai lokasi perundingan kepada Sutan Sjahrir adalah Ibu Mrs. Maria Ulfah Santoso, yang
pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Sosial RI.
Kemudian terpilihnya lokasi di Linggarjati adalah dari pengusulan Ibu Mrs. Maria, lalu
ayahnya pernah menjabat sebagai Bupati Kuningan, sehingga ia mengenal betul daerah tersebut.
Lokasi Linggarjati ini terletak dilereng gunung Ciremai yang memiliki hawa sejuk dan indah.
Selain itu Residen Cirebon Hamdani maupun Bupati Cirebon Makmun Sumadipradja, kedua
pejabat tersebut kebetulan dari partai Sosialis. Sehingga keamanannya terjamin. Selain faktorfaktor tersebut. Dipilihnya Linggarjati sebgai lokasi perundingan adalah pada saat itu
menghindari pengaruh dari Belanda di Jakarta, dan lokasi Ibu Kota negara dipindahkan ke
Yogjakarta, sehingga dipilihnya Linggarjati adalah dilihat dari lokasi Linggarjati terletak di
tengah-tengah antara Jakarta dan Yogjakarta. Selain itu faktor alam yang ketika itu daerah
Linggarjati masih sepi, sekitar 10 rumah yang berada di sekitar gedung tempat perundingan,
sehingga lingkungan sekitar juga mempengaruhi perundingan Linggarjati.
Delegasi-delegasi Belanda dan Indonesia dalam rapat pada saat itu telah mendapatkan
kata sepakat tentang persetujuan di bawah ini, hal mana terbukti dari pemarapan naskah tersebut
dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Pemerintah Belanda, dalam hal ini berwakilkan
Komisi Jenderal, dan Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini berwakilkan Delegasi

Indonesia, atas dasar keinginan yang ikhlas hendak menetapkan perhubungan yang baik antara
kedua bangsa, Belanda dan Indonesia. Dengan mengadakan cara dan bentuk-bangun yang baru,
bagi kerja-sama dengan sukarela, yang merupakan jaminan sebaik-baiknya bagi kemajuan yang
baik, serta dengan kukuh-teguhnya dari pada kedua negeri itu, di dalam masa datang, dan yang
membukakan jalan kepada kedua bangsa itu untuk mendasarkan perhubungan antara kedua belah
pihak atas dasar-dasar yang baru, menetapkan mufakat seperti berikut, dengan ketentuan akan
menganjurkan persetujuan ini selekas-lekasnya untuk memperoleh kebenaran dari pada majelismajelis perwakilan rakyatnya masing-masing.
2.2 Tokoh yang Terlibat
Tokoh yang berasal dari Indonesia:
1. Sutan Sjahrir
Sebagai orang yang pernah menjadi ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat (BP KNIP), ia merupakan arsitek perubahan kabinet Presidensial menjadi kabinet
Parlementer. Sjahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan. Ia selalu
berkata bahwa cara mencapai kemerdekaan tidak selalu mesti menggunakan senjata. Sjahrir
ingin menunjukan kepada dunia Internasional bahwa revolusi Indonesia adalah perjuangan suatu
bangsa yang beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa melepaskan
diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-perang dunia II. Dibuktikan dengan mengadakan
hubungan dengan luar negeri agar Indonesia mendapat dukungan, seperti India dan Australia
contohnya. Sementara dalam negeri dibuktikan dengan mengadakan diplomasi terhadap Belanda
yang pernah menjajah untuk mengakui Indonesia telah merdeka. Contohnya dengan menjadi
ketua delegasi Indonesia dalam perundingan Linggarjati saat ia menjadi perdana menteri.
2. Mr. Soesanto Tirtoprodjo
Mr. Soesanto Tirtoprodjo merupakan seorang kelahiran Solo, Jawa Tengah 1900-1969).
Ia pernah menjadi menteri kehakiman dan menteri dalam negeri dalam enam kabinet yang
berbeda, termasuk saat kabinet Sjahrir. Karena itulah dalam perundingan Linggarjati ia turut
andil sebagai delegasi dari Indonesia. Mr. Soesanto juga ikut menandatangani perundingan ini
sebagai bukti tanggung jawab pemenuhan tugasnya terhadap negara.
3. Dr. A. K. Gani

A.K Gani merupakan seorang kelahiran Sumatra Barat. Ia merupakan bagian dari
susunan kabinet Syahrir, saat itu menjabat sebagai anggota konstituante dan sekaligus delegasi
Indonesia dalam perundingan Linggarjati. Sebagai delegasi ia memberikan sumbangan
pemikiran dalam isi perundingan. Ketika penandatanganan isi perjanjian di Jakarta, A. K. Gani
ikut menandatanganinya.
4. Mr. Mohammad Roem
Mr. Mohammad Roem merupakan delegasi Indonesia dalam perundingan Linggarjati.
Keterlibatannya dalam perundingan ini adalah karena ia menjabat sebagai menteri luar negeri
Indonesia dalam kabinet Sjahrir III. (Natsir, 2009)
Adapun tokoh lainnya dari Indonesia yang berperan penting dalam perundingan
Linggarjati ini adalah Dr. Leimena, Dr. Soedarsono, Mr. Amir Syarifuddin (menteri pertahanan),
Mr. Ali Boediardjo (sekretaris). Semuanya merupakan notulen sekaligus para saksi dari
Indonesia dalam perjanjian ini. Terdapat pula Lord Killearn yang merupakan seorang tokoh yang
berasal dari Inggris. Ia merupakan pemimpin perundingan sekaligus penengah atau mediator
dalam perundingan Linggarjati. Secara tegas perundingan Linggarjati berada dibawah
pengawasan Killearn. Killearn merupakan commissioner khusus Inggris untuk Asia Tenggara.
Adapun Tokoh yang berasal dari Belanda yaitu Prof. Mr. Schermerhorn sebagai ketua
delegasi Belanda, Dr. Van Mook sebagai anggota, Mr. Van Pool sebagai anggota, dan Dr. F. De
Boer sebagai anggota.
2.3 Isi Perundingan Linggarjati
Sebagai kelanjutan perundingan sebelumnya, sejak tanggal 10 November 1946 di
Linggajati diadakan perundingan yang menghasilkan pokok-pokok sebagai berikut:
1. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang
meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda harus meninggalkan daerah tersebut
paling lambat 1 Januari 1949.
2. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia
Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya
adalah Republik Indonesia.
3. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan
Ratu Belanda sebagai ketuanya (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1981:119).

Adapun isi dari Perundingan Linggarjati secara lengkap terdiri dari 17 Pasal dan 1 Pasal
Penutup, yaitu:
Pasal 1
Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah Republik
Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatra.
Adapun daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Serikat atau tentara Belanda dengan
berangsur-angsur dan dengan kerja-sama antara kedua belah pihak akan dimasukkan pula ke
dalam Daerah Republik. Untuk menyelenggarakan yang demikian itu, maka dengan segera akan
dimulai melakukan tindakan yang perlu-perlu, supaya, selambatnya pada waktu yang disebutkan
dalam pasal 12, termasuknya daerah-daerah yang terserbut itu telah selesai.
Pasal 2
Pemerintah

Belanda

dan

Pemerintah

Republik

Indonesia

bersama-sama

menyelenggarakan segera berdirinya sebuah negara berdaulat dan berdemokrasi, yang


berdasarkan perserikatan, dan dinamai Negara Indonesia Serikat.
Pasal 3
Negara Indonesia Serikat itu akan meliputi daerah Hindia Belanda seluruhnya, dengan
ketentuan, bahwa, jika kaum penduduk dari pada sesuatu bagian daerah, setelah
dimusyawaratkan dengan lain-lain bagian daerah pun juga, menyatakan menurut aturan
demokratis, tidak atau masih belum suka masuk ke dalam perserikatan Negara Indonesia Serikat
itu, maka untuk bagian daerah itu bolehlah diwujudkan semacam kedudukan istimewa terhadap
Negara Indonesia Serikat itu terhadap Kerajaan Belanda.
Pasal 4
(1) Adapun negara-negara yang kelak merupakan Negara Indonesia Serikat itu, ialah
Republik Indonesia, Borneo dan Timur-Besar, yaitu dengan tidak mengurangi hak kaum
penduduk dari pada sesuatu bagian daerah, untuk menyatakan kehendaknya, menurut aturan
demokratis, supaya kedudukannya dalam Negara Indonesia Serikat itu diatur dengan cara lain.
(2) Dengan tidak menyalahi ketentuan di dalam pasal 3 tadi dan di dalam ayat ke (1)
pasal ini, Negara Indonesia Serikat boleh mengadakan aturan istimewa tentang daerah ibunegerinya.
Pasal 5

(1) Undang-undang Dasar dari pada Negara Indonesia Serikat itu ditetapkan nanti oleh
sebuah persidangan pembentuk negara, yang akan didirikan dari pada wakil-wakil Republik
Indonesia dan wakil-wakil sekutu lain-lain yang akan termasuk kelak dalam Negara Indonesia
Serikat itu, yang wakil-wakil itu ditunjukkan dengan jalan demokratis, serta dengan mengingat
ketentuan ayat yang berikut dalam pasal ini.
(2) Kedua belah pihak akan bermusyawarat tentang cara turut campurnya dalam
persidangan pembentuk negara itu oleh Republik Indonesia, oleh daerah-daerah yang tidak
termasuk dalam daerah kekuasaan Republik itu dan oleh golongan-golongan penduduk yang
tidak ada atau tidak cukup perwakilannya, segala itu dengan mengingat tanggung-jawab dari
pada Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia masing-masing.
Pasal 6
(1) Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia untuk membela-perliharakan
kepentingan-kepentingan bersama daripada Negeri Belanda dan Indonesia akan bekerja bersama
untuk membentuk Persekutuan Belanda-Indonesia, yang dengan terbentuknya itu Kerajaan
Belanda, yang meliputi Negeri Belanda, Hindia Belanda, Suriname dan Curacao ditukar sifatnya
menjadi persetujuan itu, yang terdiri pada satu pihak dari pada Kerajaan Belanda, yang meliputi
Negeri Belanda, Suriname dan Curacao dan pada pihak lainnya dari pada Negara Indonesia
Serikat.
(2) Yang tersebut di atas ini tidaklah mengurangi kemungkinan untuk mengadakan pula
aturan kelak kemudian, berkenaan kedudukan antara Negeri Belanda dengan Suriname dan
Curacao satu dengan lainnya.
Pasal 7
(1) Untuk membela peliharakan kepentingan-kepentingan yang tersebut di dalam pasal di
atas ini, Persekutuan Belanda-Indonesia itu akan mempunyai alat-alat kelengkapan sendiri.
(2) Alat-alat kelengkapan itu akan dibentuk kelak oleh Pemerintah Kerajaan Belanda dan
Pemerintah Negeri Indonesia Serikat; mungkin juga oleh majlis-majlis perwakilan negara-negara
itu.
(3) Adapun yang akan dianggap kepentingan-kepentingan bersama itu ialah kerjabersama dalam hal perhubungan luar-negeri, pertahanan dan, seberapa perlu keuangan, serta juga
hal-hal ekonomi dan kebudayaan.
Pasal 8

Di pucuk Persekutuan Belanda-Indonesia itu duduk Raja Belanda. Keputusan-keputusan


bagi mengusahakan kepentingan-kepentingan bersama itu ditetapkan oleh kelengkapan
Persekutuan itu atas nama Baginda Raja.
Pasal 9
Untuk membela-peliharakan kepentingan-kepentingan Negara Indonesia Serikat di
Negeri Belanda dan kepentingan-kepentingan Kerajaan Belanda di Indonesia, maka Pemerintah
masing-masingnya kelak mengangkat Komisaris Luhur.
Pasal 10
Anggar-anggar Persekutuan Belanda-Indonesia itu antara lain-lain akan mengandung
ketentuan-ketentuan tentang:
a). pertanggungan hak-hak kedua belah pihak yang satu terhadap yang lain dan jaminanjaminan kepastian kedua belah pihak menetapi kewajiban-kewajiban yang satu kepada yang lain;
b). hal kewarganegaraan untuk warganegara Belanda dan warganegara Indonesia,
masing-masing di daerah lainnya;
c). aturan cara bagaimana menyelesaikannya, apabila dalam alat-alat kelengkapan
Kerajaan Belanda memberi bantuan kepada Negara Indonesia Serikat, untuk selama masa
Negara Indonesia Serikat itu tidak akan cukup mempunyai alat-alat kelengkapan sendiri;
d). pertanggungan dalam kedua bagian Persekutuan itu, akan ketentuan hak-hak dasar
kemanusiaan dan kebebasan-kebebasan, yang dimaksudkan juga oleh Piagam Persekutuan
Bangsa-Bangsa.
Pasal 11
(1) Anggar-anggar itu akan direncanakan kelak oleh suatu permusyawaratan antara wakilwakil Kerajaan Belanda dan Negara Indonesia Serikat yang hendak dibentuk itu.
(2) Anggar-anggar itu terus berlaku, setelah dibenarkan oleh majlis-majlis perwakilan
rakyat kedua belah pihak masing-masingnya.
Pasal 12
Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia akan mengusahakan, supaya
berwujudnya Negara Indonesia Serikat dan Persekutuan Belanda-Indonesia itu telah selesai,
sebelum tanggal 1 Januari 1949.
Pasal 13

Pemerintah Belanda dengan segera akan melakukan tindakan-tindakan agar supaya,


setelah terbentuknya Persekutuan Belanda Indonesia itu, dapatlah Negara Indonesia Serikat
diterima menjadi anggauta di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 14
Pemerintah Republik Indonesia mengakui hak orang-orang bukan bansa Indonesia akan
menuntut dipulihkan hak-hak mereka yang dibekukan dan dikembalikan barang-barang milik
mereka, yang lagi berada di dalam daerah kekuasaannya de facto. Sebuah panitya bersama akan
dibentuk untuk menyelenggarakan pemulihan atau pengembalian itu.
Pasal 15
Untuk mengubah sifat Pemerintah Hindia, sehingga susunannya dan cara bekerjanya
seboleh-bolehnya sesuai dengan pengakuan Republik Indonesia dan dengan bentuk-susunan
menurut hukum negara, yang direkakan itu, maka Pemerintah Belanda akan mengusahakan,
supaya dengan segera dilakukan aturan-aturan undang-undang, akan supaya sementara
menantikan berwujudnya Negara Indonesia Serikat dan Persekutuan Belanda-Indonesia itu,
kedudukan Kerajaan Belanda dalam hukum negara dan hukum bangsa-bangsa disesuaikan
dengan keadaan itu.
Pasal 16
Dengan segera setelah persetujuan itu menjadi, maka kedua belah pihak melakukan
pengurangan kekuatan balatentaranya masing-masing.
Kedua belah pihak akan bermusyawarat tentang sampai seberapa dan lambat-cepatnya
melakukan pengurangan itu; demikian juga tentang kerja-bersama dalam hal ketentaraan.
Pasal 17
(1) Untuk kerja-bersama yang dimaksudkan dalam persetujuan ini antara Pemerintah
Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia, hendak diwujudakan sebuah badan, yang terdiri
dari pada delegasi-delegasi yang ditunjukkan oleh tiap-tiap pemerintah itu masing-masingnya,
dengan sebuah sekretariat bersama.
(2) Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia, bila ada tumbuh
perselisihan berhubung dengan persetujuan ini, yang tidak dapat diselesaikan denga perundingan
antara dua delegasi yang terserbut itu, maka menyerahkan keputusan kepada arbitrage. Dalam
hal itu persidangan delegasi-delegasi itu akan ditambah dengan seorang ketua bangsa lain,

dengan suara memutuskan, yang diangkat dengan semupakat antara dua pihak delegasi itu, atau,
jika tidak berhasil semupakat itu, diangkat oleh ketua Dewan Pengadilan Internasional.
Pasal Penutup
Persetujuan ini dikarangkan dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia.
Kedua-duanya naskah itu sama kekuatannya. (Natsir, 2010).
2.4 Kendala dalam Pembuatan Perundingan
Pada akhirnya Persetujuan Linggarjati kemudian diparaf oleh Schermerhorn dan Sutan
Sjahrir di kediaman Sjahrir di Jakarta pada tanggal 15 November 1946. KNIP sendiri kemudian
meratifikasi perjanjian tersebut pada bulan Februari 1947, setelah memperbanyak jumlah
anggotanya dari 200 menjadi 514 orang, (Ricklefs, 2008; 472) karena sebagian besar anggota
KNIP yang lama menolak isi persetujuan tersebut.
Ditambah atas campur tangan Soekarno-Hatta yang akan meletakan jabatan jika
persetujuan Linggarjati tidak disetujui. Dan akhirnya Persetujuan Linggarjati ditandatangani
dengan khidmat di Istana Rijswijk (kini Istana Negara) pada tanggal 25 Maret 1947.
Secara umum dikalangan Republik, baik politisi maupun pejuang kemerdekaan,
persetujuan Linggarjati ditolak karena dianggap terlalu menguntungkan pihak Belanda.
Penolakan diantaranya datang dari kalangan nasionalis seperti dari Partai Nasional Indonesia
(PNI), Masyumi, Partai Rakyat dan laskar-laskar rakyat. Bahkan di suatu majalah laskar rakyat
bernama Godam Jelata ada sebuah puisi dengan kalimat tertulis Anti Linggarjati sampai
mati. Persetujuan Linggarjati hanya didukung secara nyata oleh partainya Sjahrir, Partai Sosialis
yang tergabung dalam sayap kiri, dan oleh Soekarno-Hatta.
Dalam pelaksanaan persetujuan Linggarjati bulan Mei 1947, Komisi Jenderal
mengultimatum Pemerintah Indonesia untuk mengakui kedaulatan Kerajaan Belanda atas
Indonesia secara de jure sebelum tanggal 1 Januari 1949 dan sebelum itu Indonesia di bawah
suatu pemerintahan sementara (interim) dimana Raja/Ratu Belanda sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi. Pemerintahan sementara ini secara prinsip diterima oleh Sjahrir pada tanggal 8 Juni
1947 dan disetujui dalam rapat kabinet tanggal 20 Juni 1947.
Rupanya hal ini membawa dampak kurang baik bagi Sjahrir. Ia dianggap terlalu banyak
memberikan konsensi kepada Belanda terutama oleh anggota partainya sendiri. Pada akhirnya

sebagian besar anggota Partai Sosialis di kabinet dan KNIP pun menarik dukungan terhadap
Sjahrir pada tanggal 26 Juni 1947. (Ricklefs, 2008).
2.5 Dampak Perundingan terhadap Asing
Dampak perundingan terhadap asing, dalam hal ini adalah Belanda, hasil perundingan ini
tetap memberikan kesempatan untuk Belanda membangun kembali kekuatannya di Indonesia.
Pada dasarnya pihak Belanda terpaksa untuk mengakui kedaulatan wilayah Indonesia. Belanda
mengharapkan bahwa adanya pelanggaran yang dilakukan Indonesia, sebagai dalih atau
kesempatan untuk bisa membangun kekuatan Belanda di Indonesia lagi (Fattah, 2009).
2.6 Dampak Perundingan terhadap Indonesia
Secara langsung, perundingan Linggarjati berisikan tentang pemindahan kekuasaan dari
daerah yang diduduki oleh tentara sekutu dan Belanda secara berangsur-angsur. Namun hasil
yang paling diingat dari perundingan ini adalah adanya pengakuan oleh Belanda secara de facto
terhadap kekuasaan pemerintah RI atas Jawa, Madura, dan Sumatera. Karena ini merupakan titik
tolak eksistensi Indonesia dalam pandangan asing. Bukan hanya Belanda, perundingan
linggarjati juga berdampak terhadap negara asing lainnya yang berangsur-angsur mengakui
kekuasaan RI, diantaranya:
1. Inggris : 31 Maret 1947
2. Amerika Serikat : 17 April 1947
3. Mesir : 11 Juni 1947
4. Lebanon : 29 Juni 1947
5. Suriah : 2 Juli 1947
6. Afganistan : 23 September 1947
7. Burma : 23 november 1947
8. Saudi Arabia : 24 November 1947
9. Yaman : 3 Mei 1948
10. Rusia : 26 Mei 1948

Kesepakatan pembentukan RIS yang membuat Indonesia harus menjadi bagian


pesemakmuran kerajaan Belanda, tetap memberikan angin segar kepada Indonesia yang
menginginkan kedaulatan. Perundingan Linggarjati ini membuat Indonesia terhindar dari
banyaknya korban jiwa yang jatuh. Dimana dengan adanya perundingan tersebut
dimaksudkan untuk mencegah peperangan. Perundingan Linggarjati yang diketuai Sjahrir ini
didasari keyakinan bahwa bagaimanapun juga jalan damai untuk mencapai tujuan adalah
yang paling baik dan paling aman bagi Indonesia karena kelemahannya di bidang militer
(Moedjanto, 1988:183).
Selain dampak positif, terdapat pula dampak negatif yaitu adanya gejolak dalam tubuh
pemerintahan Indonesia. Hal tersebut dikarenakan KNIP tidak secepatnya mengesahkan
perjanjian linggarjati karena dianggap terlalu menguntungkan pihak Hindia belanda
ketimbang pihak Indonesia sendiri yang dimana Indonesia menghendaki kemerdekaan
sepenuhnya. Beberapa partai seperti Masyumi, PNI dan pengikut Tan Malaka begitu keras
menentang perjanjian Linggarjati. Kelompok yang berseberangan menilai apa yang dilakukan
Sjahrir adalah demi memperoleh kekuasaan. Namun pada dasarnya keberadaan Sjahrir
bukanlah sebagai pengganti, akan tetapi pelengkap dan vital bagi Soekarno-Hatta. Pimpinan
revolusi kemerdekaan Indonesiapun ada dalam tangan ketiga pimpinan yang saling
mendukung dan sering disebut triumvirat de facto, Soekarno-Hatta-Sjahrir (Loebis, 1992:
314-316). Walaupun pada akhirnya KNIP mengesahkan perjanjian linggarjati pada tanggal 25
Maret 1947 setelah Hatta mengancam Soekarno dan ia akan mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia.
Dampak yang lebih terasa lagi, adanya Agresi Militer Belanda I terhadap Indonesia.
Hal ini diakibatkan karena Belanda menganggap Indonesia tidak patuh terhadap perjanjian
linggarjati. Dikarenakan Indonesia mengadakan hubungan diplomatik dengan negara lain,
padahal itu bukan wewenangnya. Pada tanggal 20 Juli 1947 Belanda menyatakan tidak terikat
lagi dengan perjanjian Linggarjati. Agresi pun dilakukan keesokan harinya pada tanggal 21
Juli 1947 dimana Belanda melancarkan serangan ke daerah Jawa dan Sumatera dengan
pesawat terbang melakukan pemboman dan penculikan petinggi negara Indonesia.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pokok atau inti dari Perundingan Linggarjati adalah Belanda mengakui secara de
facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan
Madura. Belanda harus meninggalkan daerah tersebut paling lambat 1 Januari 1949. Republik
Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat
dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik
Indonesia. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda
dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Dari pokok tersebut memiliki dampak yang positif maupun negatif bagi kedua belah
pihak. Bagi Indonesia perundingan Linggarjati adalah usaha untuk menancapkan eksistensi
Indonesia dalam kehidupan bernegara serta kedaulatan wilayah yang utuh. Sementara
Belanda ingin kembali mengumpulkan pundi-pundi kekuasaan di Indonesia yang sempat
hilang. Sebab Inggris dilibatkan dalam perundingan ini adalah sebagai penengah agar tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan antara Belanda dan Indonesia.
3.2 Saran
Dalam pengambilan suatu kebijakan, dapat dipastikan terdapat pro dan kontra di
dalamnya. Tergambar pada perundingan Linggarjati ini. Terdapat resiko dari setiap manfaat
yang ada. Maka berpikir berulang-ulang sebelum bertindak merupakan hal utama untuk
mengurangi adanya resiko. Hargailah yang telah pemimpin kita lakukan sebelumnya.
Contohlah yang baik, dan buanglah yang buruk.

DAFTAR PUSTAKA
Fattah, S.2009.Usaha Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, (Online).
http://www.crayonpedia.org/mw/USAHA_PERJUANGAN_MEMPERTAHANKAN_KEME
RDEKAAN_INDONESIA_9.1_SANUSI_FATTAH.
Loebis, Aboe. B. (1992). Kilas Balik Revolusi Kenangan, Pelaku, dan Saksi. Jakarta: UI
Press.
Moedjanto, G. (1988). Indonesia Abad ke-20 Jilid 1: Dari Kebangkitan Nasional sampai
Linggarjati. Yogyakarta: Kanisius.
Museum Indonesia.2009.Gedung Perundingan Linggarjati, (Online).
http://www.museumindonesia.com/museum/7/1/Gedung_Perundingan_Linggarjati_Linggarja
ti,_Kuningan
Natsir, A.2010.Perundingan Linggarjati, (Online).
http://alwienatsir.wordpress.com/2010/08/24/14/
Natsir, B. M.2009.Mengenang Kembali Mr. Mohammad Roem (Bagian Kedua:
Roem Seorang Diplomat), (Online).
http://pustakadigital-buyanatsir.blogspot.com/2009/11/mengenang-kembali-mr-mohammadroem_10.html
Prihartanti, B.2010. Peranan Sutan Sjahrir Dalam Pemerintahan Indonesia (1945-1947).
Universitas Sanata Dharma Yogkarta. (Jurnal)
Raliby, O. (1953). Documenta Historica Sejarah Dokumenter dari
Pertumbuhan dan Perjuangan Negara Republik Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.
Ricklefs, M. C. (2008) Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi.
Sastrosatomo, Soebadio. (1987). Perjuangan Revolusi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. (1981). 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949.
Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia

Anda mungkin juga menyukai