Anda di halaman 1dari 6

DAFTAR ISI

Kata penganta.............................1

Daftar isi......................................2

BAB I Pendahuluan :....................3

A. Latar Belakang.........................3

B. Rumusan masalah......................3

C. Tujuan Penulisan.......................3

D. Manfaat penulisan.....................3

E. Metode Penulisan......................3

BAB II Pembahasan :.....................4

A. Puputan margarana....................4

B. Proses puputan margarana..........6

C. Puncak Peristiwa Perang Puputan Margarana .....7

BAB III Penutup :...8

A. Kesimpulan ...............................8

B. Saran.........................................8

C. Kritik.........................................8

D. Daftar Pustakan..........................9
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Sebagai generasi muda yang menjadi ujung tombak suatu negara sepantasnya jangan
sampai melupakan sejarah karena sejarah merupakan bagian dari masa lalu yang tidak
bisa dilepaskan dari kehidupan sehari hari kita yang sekarang dan di masa depan.

Jangan sekali-kali melupakan sejarah atau yang lebih dikenal dengan Jas Merah
adalah salah satu seruan dari salah satu putra terbaik bangsa, Ir. Soekarno yang patut
kita pahami dan resapi maknanya. Indonesia tidak akan ada tanpa sejarah, maka dari
itu kita harus mempelajari sejarah dengan baik sebagai pedoman hidup di masa
depan.

Salah satu sejarah yang masih bisa kita kenang sampai saat ini terutama di Bali
khususnya di kabupaten Tabanan adalah peristiwa Perang Puputan Margarana yang
sangat cocok untuk dijadikan objek dalam karya tulis ini.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan bahan permasalahan
sebagai berikut :
a) Bagaimana peristiwa perang Puputan Margarana Bisa Terjadi?
b) Apa penyebab Perang Puputan Margarana?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut :
a) Mengetahui sejarah peristiwa Perang Puputan Margarana
b) Mengetahui Penyebab Perang Puputan Margarana
c) Menumbuhkan rasa cinta dan rasa memiliki terhadap sejarah khusunya peristiwa-
peristiwa bersejarah yang terjadi di Bali

D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari Penulisan karya tulis ini sebagai berikut :
- Bagi Masyarakat luas : Agar mengetahui bagaimana kronolgi kejadian Perang Puputan
Margarana agar tidak terjadi kesimpangan terhadap suatu asumsi masyarakat.

E. Metode

Metode yang dilakukan dalam membuat karya tulis ini adalah :

a) Metode Deskriptif yang artinya penulishanya menguraikan dalam bentuk kata-kata


kalimat.
b) Metode Library Research yaitu riset perpustakaan untuk mendapatkan informasi lain.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Awal Terjadinya Perang Puputan Margarana


Puputan adalah tradisi perang masyarakat Bali. Puputan berasal dari kata puput.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata puput bermakna terlepas dan tanggal.
Adapun yang dimaksud dengan kata puputan versi pribumi bali adalah perang sampai
nyawa lepas atau tanggal dari badan. Dapat dikatakan kalau puputan adalah perang
sampai game over atau titik darahterakhir. Istilah Margarana diambil dari lokasi
pertempuran hebat yang saat itu berlangsung di daerah Marga, Tababan-Bali.

Menurut sejarah, ada sejumlah puputan yang meletus di Bali. Namun, yang terkenal
dan termasuk hebat, terdapat sekitar dua puputan. Pertama, Puputan Jagaraga yang
dipimpin oleh Kerajaan Buleleng melawan imprealis Belanda. Strategi puputan yang
diterapkan ketika itu adalah sistem tawan karang dengan menyita transportasi laut
imprealis Belanda yang bersandar ke pelabuhan Buleleng. Kedua, puputan Margarana
yang berpusat di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tababan, Bali. Tokoh perang ini
adalah Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai. I Gusti Ngurah Rai dilahirkan di Desa
Carangsari, Kabupaten Badung, Bali, 30 Januari 1917.

Puputan Margarana dianggap banyak pihak sebagai perang sengit yang pernah bergulir
di Pulau Dewata, Bali. Terdahap beberapa versi yang melatarbelakangi meledaknya
Puputan Margarana. Namun, jika kembali membalik lembaran sejarah Indonesia, maka
dapat ditarik sebuah benang merah bahwa perang ini terjadi akibat ketidakpuasan yang
lahir pasca Perjanjian Linggarjati. Perundingan itu terjadi pada 10 November 1945,
antara Belanda dan pemerintahan Indonesia. Salah satu poin Linggarjati membuat hati
rakyat Bali terasa tercabik hatinya adalah tidak masuknya daerah Bali menjadi bagian
dari daerah teritorial Indonesia.

Linggar jadi sangat menguntungkan Belanda. Melalui Linggarjati Belanda hanya


mengakui Sumatera, Jawa dan Madura sebagai wilayah teritorial Indonesia secara de
facto, sementara tidak untuk pulau seribu idaman, Dewata, Bali. Niat menjadikan bali
sebagai Negara Indonesia Timur, Belanda menambah kekuatan militernya untuk
menacapkan kuku imprealis lebih dalam di Bali. Pasca Linggarjati sejumlah kapal
banyak mendarat di pelabuah lepas pantai Baling. Ini juga barangkali yang
menyebabkan meletusnya Puputan Jagarana yang dipimpin oleh Kerajaan Buleleng.

Keadaan ini membuat suhu perpolitikan dalam negeri sedikit tidak stabil, goyah
Sebagian pihak menilai perjanjian Linggarjati merugikan RI. Rakyat bali kecewa karena
berhak menjadi bagian dari kesatuan RI. I Gusti Ngurah Rai yang saat itu menjabat
sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara digoda oleh Belanda. Sejumlah tawaran
menggiurkan disodorkan untuk meluluhkan hati Sang Kolonel agar membentuk Negara
Indonesia Timur. Gusti Ngurah Rai yang saat itu berusia 29 tahun lebih memilih
Indonesia sebagai Tanah Airnya.

Alur Puputan Margarana bermula dari perintah I Gusti Ngurah Rai kepada pasukan
Ciung Wanara untuk melucuti persenjata polisi Nica yang menduduki Kota Tabanan.
Perintah yang keluar sekitar pertengahan November 1946, baru berhasil mulus
dilaksakan tiga hari kemudian. Puluhan senjata lengkap dengan alterinya berhasil
direbut oleh pasukan Ciung Wanara.
Pasca pelucutan senjata Nica, semua pasukan khusus Gusti Ngurah Rai kembali dengan
penuh bangga ke Desa Adeng-Marga. Perebutan sejumlah senjata api pada malam 18
November 1946 telah membakar kemarahan Belanda. Belanda mengumpulkan
sejumlah informasi guna mendeteksi peristiwa misterius malam itu. Tidak lama,
Belanda pun menyusun strategi penyerangan. Tampaknya tidak mau kecolongan kedua
kalinya, pagi-pagi buta dua hari pasca peristiwa itu (20 November 1946) Belanda mulai
mengisolasi Desa Adeng, Marga.

Batalion Ciung Wanara pagi itu memang tengah mengadakan longmarch ke Gunung
Agung, ujung timur Pulau Bali. Selain penjagaan, patroli juga untuk melihat sejuah
mana aktivitas Belanda. Tidak berselang lama setelah matahari menyinsing (sekitar
pukul 09.00-10.00 WIT), pasukan Ciung Wanara baru sadar kalau perjalanan mereka
sudah diawasi dan dikepung oleh serdadu Belanda. Melihat kondisi yang cukup
mengkhawatirkan ketika itu, pasukan Ciung Wanara memilih untuk bertahanan di
sekitar perkebunan di daerah perbukitan Gunung Agung.

Benar saja, tiba-tiba rentetan serangan bruntun mengarah ke pasukan Ciung Wanara. I
Gusti Ngurah Rai saat itu memang sudah gerah dengan tindak-tanduk Belanda
mengobarkan api perlawanan. Aksi tembak-menembak pun tak terelakkan. Pagi yang
tenang seketika berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan sekaligus
mendebarkan. Ciung Wanara saat ini memang cukup terkejut, sebab tidak mengira
akan terjadi pertempuran hebat semacam itu.

Letupan senjata terdengar di segala sisi daerah marga. Pasukan Indische Civil
Administration (NICA) bentukan Belanda, yang merasa sangatmerasa terhina dengan
peristiwa malam itu sangat ambisius dan brutal mengemur Desa Marga dari berbagai
arah. Serangan hebat pagi itu tak kunjung membuat Ciung Wanara dan Gusti Ngurah
Rai Menyerah. Serangan balik dan terarah membuah Belanda kewalahan.

Sederetan pasukan lapis pertama Belanda pun tewas dengan tragis. Strategi perang
yang digunakan Gusti Ngurah Rai saat itu tidak begitu jelas. Namun, kobaran semangat
juang begitu terasa. Pantang menyerah, biarlah gugur di medan perang, menjadi
prinsip mendarah daging di tubuh pasukan Gusti Ngurah Rai. Seketika itu, kebun
jagung dan palawija berubah menjadi genosida manusia. Ada yang menyebutkan, saat
itulah Gusti Ngurah Rai menerapkan puputan, atau prinsip perang habis-habisan hingga
nyawa melayang.

Demi pemberangusan Desa Marga, Belanda terpaksa meminta semua militer di daerah
Bali untuk datang membantu. Belanda juga mengerahkan sejulah jet tempur untuk
membom-bardir kota Marga. Kawasan marga yang permai berganti kepulan asap, dan
bau darah terbakar akibat seranga udara Belang. Perang sengit di Desa Marga berakhir
dengan gugurnya Gusti Ngurah Rai dan semua pasukannya. Puputan Margarana
menyebabkan sekitar 96 gugur sebagai pahlawan bangsa, sementara di pihak Belanda,
lebih kurang sekitar 400 orang tewas. Mengenang perperangan hebat di desa Marga
maka didirikan sebuah Tuguh Pahlawan Taman Pujaan Bangsa. Tanggal 20 November
1946 juga dijadikan hari perang Puputan Margarana. Perang ini tercatat sebagai salah
satu perang hebat di Pulau Dewata dan Indonesia.

B. Latar Belakang Perang Puputan Margarana


Latar belakang munculnya puputan Margarana sendiri bermula dari Perundingan
Linggarjati. Pada tanggal 10 November 1946, Belanda melakukan perundingan
linggarjati dengan pemerintah Indonesia. Dijelaskan bahwa salah satu isi dari
perundingan Linggajati adalah Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia
dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Dan
selanjutnya Belanda diharuskan sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat
tanggal 1 Januari 1949. Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkan
pasukannya kurang lebih 2000 tentara di Bali yang diikuti oleh tokoh-tokoh yang
memihak Belanda. Tujuan dari pendaratan Belanda ke Bali sendiri adalah untuk
menegakkan berdirinya Negara Indonesia Timur. Pada waktu itu Letnan Kolonel I Gusti
Ngurah Rai yang menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara sedang pergi ke
Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan Markas tertinggi TRI, sehingga dia
tidak mengetahui tentang pendaratan Belanda tersebut.

Di saat pasukan Belanda sudah berhasil mendarat di Bali, perkembangan politik di


pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang menguntungkan akibat perundingan
Linggajati, di mana pulau Bali tidak diakui sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.
Pada umumnya Rakyat Bali sendiri merasa kecewa terhadap isi perundingan tersebut
karena mereka merasa berhak masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Terlebih lagi ketika Belanda berusaha membujuk Letnan Kolonel I
Gusti Ngurah Rai untuk diajak membentuk Negara Indonesia Timur. Untung saja ajakan
tersebut ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai, bahkan dijawab dengan
perlawanan bersenjata Pada tanggal 18 November 1946. Pada saat itu I Gusti Ngurah
Rai bersama pasukannya Ciung Wanara Berhasil memperoleh kemenangan dalam
penyerbuan ke tangsi NICA di Tabanan. Karena geram, kemudian Belanda
mengerahkan seluruh kekuatannya di Bali dan Lombok untuk menghadapi perlawanan I
Gusti Ngurah Rai dan Rakyat Bali. Selain merasa geram terhadap kekalahan pada
pertempuran pertama, ternyata pasukan Belanda juga kesal karena adanya konsolidasi
dan pemusatan pasukan Ngurah Rai yang ditempatkan di Desa Adeng, Kecamatan
Marga, Tabanan, Bali. Setelah berhasil mengumpulkan pasukannya dari Bali dan
Lombok, kemudian Belanda berusaha mencari pusat kedudukan pasukan Ciung
Wanara.

C. Puncak Peristiwa Perang Puputan Margarana


Pada tanggal 20 November 1946 I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya (Ciung Wanara),
melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Tetapi tiba-tiba
ditengah perjalanan, pasukan ini dicegat oleh serdadu Belanda di Desa Marga, Tabanan,
Bali.

Tak pelak, pertempuran sengit pun tidak dapat diindahkan. Sehingga sontak daerah
Marga yang saat itu masih dikelilingi ladang jagung yang tenang, berubah menjadi
pertempuran yang menggemparkan dan mendebarkan bagi warga sekitar. Bunyi
letupan senjata tiba-tiba serentak mengepung ladang jagung di daerah perbukitan yang
terletak sekitar 40 kilometer dari Denpasar itu.

Pasukan pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan
persenjataannya, tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda. Mereka masih
berfokus dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I Gusti Ngoerah Rai
untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang diletuskan, puluhan
pemuda menyeruak dari ladang jagung dan membalas sergapan tentara Indische Civil
Administration (NICA) bentukan Belanda. Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung
Wanara berhasil memukul mundur serdadu Belanda.

Namun ternyata pertempuran belum usai. Kali ini serdadu Belanda yang sudah
terpancing emosi berubah menjadi semakin brutal. Kali ini, bukan hanya letupan
senjata yang terdengar, namun NICA menggempur pasukan muda I Gusti Ngoerah Rai
ini dengan bom dari pesawat udara. Hamparan sawah dan ladang jagung yang subur itu
kini menjadi ladang pembantaian penuh asap dan darah.

Perang sampai habis atau puputan inilah yang kemudian mengakhiri hidup I Gusti
Ngurah Rai. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan
Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah sejarah penting
tonggak perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial Belanda demi Nusa dan
Bangsa.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perang Puputan Margarana Adalah Perang habis-habisan yang terjadi pada tanggal 20
November 1946. Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya (Ciung Wanara),
melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Pasukan pemuda
Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan persenjataannya, tidak terlalu
terburu-buru menyerang serdadu Belanda. Mereka masih berfokus dengan
pertahanannya dan menunggu komando dari I Gusti Ngoerah Rai untuk membalas
serangan. Begitu tembakan tanda menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak
dari ladang jagung dan membalas sergapan tentara Indische Civil Administration
(NICA) bentukan Belanda. Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil
memukul mundur serdadu Belanda. Perang sampai habis atau puputan inilah yang
kemudian mengakhiri hidup I Gusti Ngurah Rai. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat
sebagai peristiwa Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga.

Anda mungkin juga menyukai