Perjuangan
Saat berusia 15 tahun, Hatta merintis karir sebagai aktivis
organisasi, sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond (JSB)
Cabang Padang. Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan
perihal perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya
lewat membaca berbagai koran, bukan saja koran terbitan
Padang tetapi juga Batavia. Lewat itulah Hatta mengenal
pemikiran Tjokroaminoto dalam surat kabar Utusan Hindia, dan
Agus Salim dalam Neratja
Asal-usul Diponegoro
Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja
Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di
Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A.
Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang
berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas
Mustahar,[rujukan?] lalu diubah namanya oleh Hamengkubuwono II tahun
1805 menjadi Bendoro Raden Mas Ontowiryo.
Riwayat perjuangan
Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan
heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar
20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang
berbunuhan adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau
Batak umumnya.
Kapitan Pattimura (lahir di Negeri Haria, Porto, Pulau Saparua, Maluku, 8 Juni 1783
– meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), atau
dikenal dengan nama Thomas Matulessy atau Thomas Matulessia, adalah Pahlawan
Nasional Indonesia. Ia adalah putra Frans Matulessia dengan Fransina Silahoi.
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarir dalam militer
sebagai mantan sersan Militer Inggris.[1] Kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab
Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja.[2]
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda
dan kemudian Belanda menetrapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah
(landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta
mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan
bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs
Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan
jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-
serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk
memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi
dalam pratiknya pemindahn dinas militer ini dipaksakan [3] Kedatangan kembali
kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini
disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang
buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di
bawah pimpinan Thomas Matulessy yang diberi gelar Kapitan Pattimura [2] Maka
pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih,
Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan
panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria
(kabaressi). Sebagai panglima perang, Thomas Matulessy mengatur strategi perang
bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja
Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur
pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan.
Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun
rakyat biasa. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan
dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa.
Mahmud Badaruddin II