Anda di halaman 1dari 3

Kapitan Pattimura

Lahir : 8 Juni 1783 di Haria, Saparua, Maluku, Indonesia


Meninggal : 16 Desember 1817 di New Victoria, Ambon, Maluku, Indonesia (usia 34 tahun)
Makam : tidak diketahui
Pahlawan nasional: SK 087/TK/1973 dan tanggal SK 06 November 1973

Pattimura atau Thomas Matulessy adalah pahlawan yang berjuang menentang Belanda. Pada 7 Mei 1817, dalam rapat
umum di Baileu negeri Haria, Pattimura dikukuhkan dalam upacara adat sebagai 'Kapitan Besar'. Dia memimpin
penyerbuan ke benteng Duurstede dan menguasainya dari tangan Belanda. Selanjutnya, dia memimpin pasukan bertempur
melawan pasukan Mayor Beetjes.

Pattimura dan para pejuang ditangkap Belanda pada 11 November 1917. Pattimura dihukum gantung di Ambon pada 16
Desember 1817.

membuka buku 'Kapitan Pattimura' karya IO Nanulaita. Buku ini diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Jakarta,
tahun 1985.

Di buku itu, tertulis bahwa leluhur keluarga Matulessia berasal dari Pulau Seram (sekarang Provinsi Maluku). Leluhur
Matulessia kemudian berpindah ke Haturessi (sekarang Negeri Hulaliu). Kemudian, seorang moyang Thomas Matulessy
berpindah ke Titawaka (sekarang Negeri Itawaka). Di antara keturunannya ada yang menetap di Itawaka dan ada yang
berpindah ke Ulath, ada yang kembali menetap di Hulaliu, dan ada yang berpindah ke Haria.

Thomas Matulessy punya satu saudara kandung, yakni Johannis Thomas. Thomas tidak kawin dan tidak berketurunan,
sedangkan Johannis menurunkan keluarga Matulessy yang sekarang berdiam di Haria. Ahli waris yang memegang surat
pengangkatan Kapitan Pattimura sebagai pahlawan nasional selepas Indonesia merdeka.

"Di rumah keluarga itu pula disimpan pakaian, parang, dan salawaku dari pahlawan Pattimura," tulis IO Nanulita.

Kapitan Pattimura atau Thomas Matulessy menyusun 'Proklamasi Haria' untuk menolak tegas kedatangan Belanda ke
wilayah Maluku. Belanda berusaha menguasai Maluku sejak berakhirnya kedudukan Inggris di Indonesia pada tanggal 25
Maret 1817.

Di dalam 'Proklamasi Haria' tertera nama Thomas Matulessia. Sepucuk surat dikirim Thomas kepada raja-raja di Seram,
ditandatanganinya dengan nama Thomas Matulessia.
Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol lahir di i Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, Indonesia 1 Januari 1772 dan wafat dalam pengasingan
dan dimakamkan di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864. Ia merupakan seorang ulama yang berjuang melawan
Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri tahun 1803-1838.
Tuanku Imam Bonjol bernama asli Muhammad Shahab, dan merupakan putra dari pasangan Bayanuddin Shahab (ayah)
dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin Shahab, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai
Rimbang.

Kisah Tuanku Imam Bonjol di Perang Padri


Melansir dari laman resmi Kabupaten Banjarnegara, Tuanku Imam Bonjol adalah pahlawan yang dikenal berjuang di
Perang Padri. Perang tersebut terjadi selama 18 tahun dan meninggalkan luka bagi orang Minang dan Mandailing atau
Batak pada umumnya.

Perang ini terjadi karena keinginan di kalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan
menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan
sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam.

Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang
Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam
(bid'ah).

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri(penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum Adat.
Seiring itu di beberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri di bawah
pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu
Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubuk Jambi.

Pada tanggal 21 Februari 1821, kaum Adat kemudian bekerja sama dengan pemerintahan Hindia Belanda berperang
melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang. Dari hasil perjanjian tersebut Belanda
mendapatkan kompensasi atas penguasaan wilayah di pedalaman Minangkabau.

Karena hasil perjanjian tersebut, pasukan padri melawan dengan tangguh. Kesulitan melawan pasukan Padri, Belanda
melalui Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh
Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824.

Terjadi perubahan perang pada tahun 1833 dimana perang berubah menjadi antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan
Belanda. Kedua pihak bahu membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu
melawan Belanda.

Semakin lama Belanda semakin kuat dalam Perang Padri hingga pada Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol menyerah
kepada Belanda. Menyerahnya Imam Bonjol diikuti dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini,
Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.

Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotta, Minahasa, dekat
Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di
tempat pengasingannya tersebut.

Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro merupakan sosok pahlawan nasional yang dikenal sebagai pemimpin Perang Jawa
selama 5 tahun untuk melawan penjajahan Belanda. Apakah kalian tahu sejarah Pangeran Diponegoro?
Perlu diketahui, Perang Jawa atau Perang Diponegoro berlangsung mulai tahun 1825 hingga 1830. Sejarah
Pangeran Diponegoro banyak diketahui masyarakat dari perang ini.
Perang ini tercatat sebagai perang yang menelan paling banyak korban dalam sejarah Indonesia yakni 8.000
korban Belanda dan 7.000 korban pribumi dan 200 ribu orang mengalami kerugian materi sejumlah 25 juta
Gulden.

Pangeran Diponegoro merupakan putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III dan R.A. Mangkarawati yang
lahir dengan nama asli Raden Mas Ontowiryo pada 11 November 1785 di Yogyakarta.
merupakan sosok pahlawan nasional yang dikenal sebagai pemimpin Perang Jawa selama 5 tahun untuk
melawan penjajahan Belanda. Apakah kalian tahu sejarah Pangeran Diponegoro?
Perlu diketahui, Perang Jawa atau Perang Diponegoro berlangsung mulai tahun 1825 hingga 1830. Sejarah
Pangeran Diponegoro banyak diketahui masyarakat dari perang ini.
Perang ini tercatat sebagai perang yang menelan paling banyak korban dalam sejarah Indonesia yakni 8.000
korban Belanda dan 7.000 korban pribumi dan 200 ribu orang mengalami kerugian materi sejumlah 25 juta
Gulden.

Pangeran Diponegoro merupakan putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III dan R.A. Mangkarawati yang
lahir dengan nama asli Raden Mas Ontowiryo pada 11 November 1785 di Yogyakarta.

Awal Mula Perang Diponegoro


Awal mula terjadinya Perang Diponegoro adalah ketika sang Pangeran tidak menyetujui campur tangan
Belanda dalam urusan kerajaan. Pada tahun 1821 para petani lokal menderita diakibatkan penyalahgunaan
penyewaan tanah oleh Belanda, Prancis, Jerman, dan Inggris.

Gubernur Hindia Belanda, Godert van der Capellen mengeluarkan dekrit pada 6 Mei 1823 yang menyatakan
bahwa tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada para pemiliknya pada 31
Januari 1824, namun sang pemilik wajib memberikan kompensasi kepada para penyewa lahan.

Pangeran Diponegoro memutuskan untuk melakukan perlawanan agar para petani di Tegalrejo dapat
membeli senjata dan makanan. Amarah Pangeran Diponegoro memuncak setelah Patih Danureja atas
perintah Belanda memasang tonggak untuk membuat rel kereta api di atas makam leluhurnya.

Anda mungkin juga menyukai