Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Latar belakang kedatangan Belanda ke Indonesia adalah akibat meletusnya perang
delapan puluh tahun antara Belanda dan Spanyol (1568-1648). Pada awalnya perang antara
Belanda dan Spanyol bersifat agama karena Belanda mayoritas beragama kristen protestan
sedangkan orang Spanyol beragama kristen katolik. Perang tersebut kemudian menjadi
perang ekonomi dan politik. Raja Philip II dari Spanyol memerintahkan kota Lisabon tertutup
bagi kapal Belanda pada tahun 1585 selain karena faktor tersebut juga karena adanya
petunjuk jalan ke Indonesia dari Jan Huygen Van Lischoten, mantan pelaut Belanda yang
bekerja pada Portugis dan pernah sampai di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Perang Padri

Perang Padri adalah sebuah peristiwa sejarah yang melibatkan kelompok ulama yang disebut
Kaum Padri dengan Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Perang
Padri diketahui terjadi di Sumatera Barat, tepatnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung pada
tahun 1803-1838.
Semula Perang Padri adalah perang saudara yang kemudian berakhir menjadi perang
melawan pemerintahan pemerintah kolonial Belanda. satu tokoh dari peristiwa Perang Padri
yang terkenal adalah Tuanku Imam Bonjol.

Penyebab Perang Padri


Perang Padri pada mulanya disebabkan adanya perbedaan prinsip mengenai ajaran agama
antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Pertentangan terjadi karena kaum Padri atau
kelompok ulama ingin mengubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang ada di masyarakat Kaum
Adat. Bermula dari kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji
Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum
sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern,
1200-2004 (2005) karya Merle Calvin Ricklefs, Gerakan pembaruan Islam tersebut dikenal
sebagai gerakan Padri karena mereka telah menunaikan ibadah haji di Makkah. Diketahui
kebiasaan Kaum Adat dalam kesehariannya waktu itu dekat dengan judi, sabung ayam,
minuman keras, tembakau, serta penggunaan hukum matriarkat untuk pembagian warisan.
Sebelum pertentangan ini terjadi, sudah terjadi perundingan antara Kaum Padri dengan Kaum
Adat yang tidak menemukan kata sepakat. Sehingga meskipun Kaum Adat sudah pernah
berkata akan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut, namun nyatanya mereka masih
tetap menjalankannya. Hal tersebut yang membuat Kaum Padri marah dan beberapa nagari
dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak. Perang Padri kemudian meletus sebagai perang
saudara dan melibatkan Suku Minang dan Mandailing. Pada masa perang tersebut, Kaum
Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan sementara kaum Adat dipimpin Sultan Arifin
Muningsyah.

Kronologi Perang Padri


Setelah Kaum Padri melakukan berbagai cara untuk mengajak masyarakat adat meninggalkan
perbuatan maksiat dan mengikuti syariat Islam, meletuslah perang pada tahun 1803. Puncak
perang saudara ini terjadi pada tahun 1815, di mana Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku
Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung sehingga pecah peperangan di Koto Tangah.
Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri
dari ibu kota kerajaan, dan Kaum Padri berhasil menekan kaum adat. Saat itu Kaum Padri
dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai,
Tuanku lintau, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek, dan Tuanku Barumun, atau lebih
dikenal dengan sebutan Harimau nan Salapan. Kepemimpinan Harimau nan Salapan hampir
membawa Kaum Padri kepada kemenangan dalam perang ini.
Namun kemudian pada tahun 1821 Kaum Adat yang terdesak meminta bantuan pada pemerintah Kolonial
Belanda. Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil
memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng
pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun
kekuatan dan bertahan di Lintau.

Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Belanda di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri,
namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam
pertempuran di Baso, yang membuat pemimpin pasukan Belanda yaitu Kapten Goffinet menderita luka
berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda
terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh
Tuanku Nan Renceh.

Pada 13 April 1823, setelah mendapat tambahan pasukan maka Letnan Kolonel Raaff mencoba kembali
menyerang Lintau. Namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16
April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Pada tahun 1824, raja terakhir Minangkabau yaitu
Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan
Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 beliau wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.

Pada 15 November 1825, disepakati Perjanjian Masang yaitu periode gencatan senjata yang disepakati
antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Saat itu memang
posisi Pemerintah Hindia Belanda tegah kewalahan karena menghadapi berbagai perang baik di daerah
Eropa dan Jawa (Perang Diponegoro) yang menguras dana pemerintah. Selama periode gencatan senjata
inilah Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga
akhirnya muncul suatu kesepakatan yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam,
Kabupaten Tanah Datar. Kesepakatan ini berbunyi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah"
yang artinya "adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, dan agama Islam berlandaskan kepada
Al-Qur'an" dan menjadi puncak revolusi Islam dalam adat Minangkabau.
Perang saudara yang berlangsung dari tahun 1803 hingga tahun 1821 dan telah merugikan kedua belah
pihak baik harta maupun korban jiwa pun berakhir. Berakhirnya perang Diponegoro mengembalikan
kekuatan Belanda yang kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Keinginan kuat Belanda untuk
menguasai perkebunan kopi di kawasan pedalaman Minangkabau membuat mereka melanggar perjanjian
yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek. Diketahui nagari Pandai Sikek
adalah daerah yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Belanda juga membangun benteng Fort
de Kock di Bukittinggi untuk memperkuat kedudukannya.

Pada tanggal 11 Januari 1833, Kaum Padri dan Kaum Adat yang telah bersatu melakukan
penyerangan pada beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda. Belanda yang menyadari
keadaan telah berubah kemudian mengeluarkan "Plakat Panjang" berisi pernyataan bahwa
kedatangan Belanda ke Minangkabau tidak bermaksud untuk menguasai nagari tersebut,
melainkan untuk berdagang dan menjaga keamanan.

Sebagai Belanda alasan bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah
akan memerlukan biaya, maka penduduk setempat diwajibkan menanam kopi dan
menjualnya kepada Belanda. Perlahan-lahan Belanda menyusup dan melakukan penyerangan
hingga pada tahun 1837 Benteng pertahanan Tuanku Imam Bonjol dapat dikuasai Belanda.
Bahkan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap.

Peperangan berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri di Dalu-Dalu (Rokan
Hulu) yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh ke tangan Belanda pada 28 Desember
1838. Perang Padri pun dianggap selesai dengan kemenangan jatuh ke pihak Kolonial
Belanda, sementara Tuanku Tambusai bersama sisa-sisa pengikutnya terpaksa pindah ke
Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya. Kerajaan Pagaruyung akhirnya menjadi bagian
Pax Netherlandica di bawah kendali Hindia Belanda.

Dampak Perang Padri


Perang Padri yang berlangsung selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821)
praktis memakan korban dari sesama Kaum Padri dan Kaum Adat yaitu orang Minangkabau
dan Batak Mandailing. Dampak yang langsung dirasakan setelah Perang Padri adalah
jatuhnya Kerajaan Pagaruyung atau wilayah Sumatera Barat ke tangan Kolonial Belanda.
Selain itu, Tuanku Imam Bonjol yang tak sudi untuk menyerah kepada Belanda harus
ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Dalam pengasingan tersebut Tuanku Imam
Bonjol sempat dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado dan
meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Namun dampak Perang Padri bagi
penduduk setempat pada akhirnya adalah lahirnya persatuan para pemimpin tradisional dan
agama.

2. Perang Diponegoro

Perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro terhadap pemerintah kolonial Belanda
menjadi salah satu catatan sejarah yang dikenal dengan sebutan Perang Diponegoro. Sebutan
Perang Diponegoro diberikan karena pemimpin perlawanan ini adalah Pangeran Diponegoro.
Disebut sebagai juga sebagai Perang Jawa karena peristiwa ini terjadi di tanah Jawa.

Perang Diponegoro atau Perang Jawa bahkan disebut sebagai salah satu bagian perubahan
yang besar di dunia pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Sejarah mencatat bahwa
Perang Diponegoro telah menewaskan ratusan ribu rakyat Jawa dan puluhan ribu serdadu
Belanda. Perang Diponegoro juga menjadi satu pertempuran terbesar yang pernah dialami
oleh Belanda selama masa pendudukannya di Indonesia.
Penyebab Perang Diponegoro
Penyebab Perang Diponegoro atau Perang Jawa adalah sikap Pangeran Diponegoro yang
tidak menyetujui campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Di sisi lain, kerajaan seakan
tidak berdaya menghadapi campur tangan politik pemerintah kolonial, namun kalangan
keraton justru hidup mewah dan tidak memperdulikan penderitaan rakyat. Kondisi para
petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah juga menjadi salah satu
faktor yang membuat Pangeran Diponegoro geram. Kekecewaan Pangeran Diponegoro
memuncak ketika Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak-tonggak untuk
membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya. Pangeran Diponegoro yang muak
dengan sikap Belanda kemudian menciptakan sebuah gerakan perlawanan dan menyatakan
sikap perang.

Kronologi Perang Diponegoro


Perang Diponegoro berlangsung selama lima tahun yaitu dari tahun 1825 hingga tahun 1830.
Hal ini bermula dari peristiwa pada 20 Juli 1825, di mana pihak istana mengutus dua bupati
keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran
Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo.

Saat itu Pangeran Diponegoro dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos, namun
kediamannya di Tegalrejo habis dibakar. Pangeran Diponegoro bergerak ke barat hingga ke
Gua Selarong di Dusun Kentolan Lor, Guwosari, Pajangan, Bantul sebagai markas besarnya.

Perang Diponegoro melibatkan berbagai kalangan, mulai dari kaum petani hingga golongan
priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana
perang. Kaum pribumi terlibat dengan berbekal semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi
ditohi tekan pati” yang berarti "sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati”.
Dalam perjuangan ini, Pangeran Diponegoro tidak sendiri, namun dibantu Kyai Mojo yang
juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi
dengan I.S.K.S. Pakubuwono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.
Hanya dalam waktu tiga minggu setelah penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro sudah
bisa melakukan penyerangan dan berhasil menduduki keraton Yogyakarta. Keberhasilan ini
disusul dengan kemenangan di beberapa daerah pada tahun-tahun awal berkobarnya Perang
Diponegoro. Pergerakan pun meluas ke daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang, dan
Rembang. Kemudian ke arah timur mencapai Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitarnya.
Meluasnya gerakan perlawanan yang dicetuskan Pangeran Diponegoro disebut mampu
menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa. Selama perang, Pangeran Diponegoro menerapkan
strategi perang gerilya dan perang atrisi (penjemuan).

Pada puncak peperangan di tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang
serdadu yang menjadi suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bagi Belanda, Perang
Diponegoro adalah perang terbuka dengan mengerahkan berbagai jenis pasukan, mulai dari
pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri, yang berlangsung dengan sengit. Di tahun yang sama,
pasukan Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem
benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo ditangkap.
Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerahkan
diri kepada Belanda. Bahkan pada 21 September 1829, Belanda sempat membuat sayembara
dengan hadiah hadiah sebesar 50.000 Gulden, beserta tanah dan penghormatan bagi siapa saja
yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro hidup atau mati. Pada 16 Februari 1830,
memperhatikan posisinya yang lemah akhirnya Pangeran Diponegoro setuju untuk bertemu
dengan utusan Jenderal De Kock, yakni Kolonel Jan Baptist Cleerens. Pada 20 Februari 1830,
pertemuan antara kedua belah pihak tidak menghasilkan kesepakatan dan Pangeran
Diponegoro menyatakan ingin bertemu langsung dengan Jenderal De Kock. Walau
pertemuan dengan Jenderal De Kock terjadi beberapa kali, namun mata-mata yang
ditanamkan di kesatuan Diponegoro melaporkan bahwa Pangeran Diponegoro tetap
bersikeras mendapatkan pengakuan Belanda sebagai sultan Jawa bagian selatan Akhirnya
pada 25 Maret 1830, Jenderal De Kock memerintahkan Letnan Kolonel Louis du Perron dan
Mayor A.V Michiels untuk mempersiapkan perlengkapan militer dan merencanakan
penangkapan Diponegoro.

Pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di
Magelang. Pada akhirnya, setelah pengkhianatan tersebut Pangeran Diponegoro menyatakan
bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa pengikutnya dilepaskan. Penyerahan diri
Pangeran Diponegoro pun menandai berakhirnya Perang Diponegoro atau perang Jawa pada
tahun 1830.

Gambar 6. Lukisan penyerahan diri Pangeran Diponegoro kepada Jendral de Kock pada 1830.

Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro sempat diasingkan di Gedung


Karesidenan Semarang yang berada di Ungaran, sebelum dibawa ke Batavia pada 5 April
1830 dengan menggunakan kapal Pollux. Pangeran Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April
1830 dan ditawan di stadhuis (Gedung Museum Fatahillah). Dari Batavia, Pangeran

Diponegoro kemudian dipindahkan ke Manado pada 30 April 1830 dan tiba pada 3 Mei 1830
untuk kemudian ditawan di Benteng Nieuw Amsterdam. Pada 1834, Pangeran Diponegoro
dipindahkan ke Makassar dan terus diasingkan hingga wafat di Benteng Rotterdam tanggal 8
Januari 1855.
Gambar 7. Benteng Fort Rotterdam, tempat pengasingan Pangeran Diponegoro di Makassar.
Dampak Perang Diponegoro
Perang Diponegoro terjadi selama lima tahun dan menimbulkan dampak yang sangat besar.
Berikut ini beberapa dampak Perang Diponegoro:
-Menelan korban tewas sebanyak 200.00 jiwa penduduk Jawa
-Menelan korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu
pribumi.
-Kekalahan Pangeran Diponegoro menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa
-Raja dan bupati Jawa tunduk kepada Belanda

3. Perang Tondano

a. Perang Tondano I (1808)


Gambar 8. Benteng Moraya, saksi perlawanan Tondano sampai titik darah penghabisan.
Perang yang terjadi pada tahun 1808-1809 yang melibatkan orang Minahasa di Sulawesi
utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad 19 adalah Perang Tondano.
Perang Tondano terjadi selama dua periode, yakni pada masa pemerintahan VOC dan perang
yang meletus pada abad ke-19. Perang yang berlangsung di sekitar Danau Tondano, Sulawesi
Utara, ini merupakan bentuk perlawanan rakyat Minahasa terhadap pendudukan bangsa
Belanda. Penyebab Perang Tondano 1 adalah ambisi VOC untuk memonopoli beras di
Minahasa, yang secara berani ditentang oleh rakyatnya. Sayangnya, rakyat Minahasa terpaksa
menyerah kepada VOC karena perekonomiannya terancam.

Latar belakang Perang Tondano 1


Sebelum VOC menyentuh Sulawesi Utara, rakyat Minahasa telah melakukan hubungan
dagang dengan bangsa Spanyol, yang juga menyebarkan agama Kristen di wilayah tersebut.
Salah satu tokoh yang diketahui berjasa dalam penyebaran agama Kristen di Minahasa adalah
Fransiscus Xaverius. Akan tetapi, hubungan antara Minahasa dan Spanyol menjadi terganggu
ketika pada abad ke-17, VOC berhasil menanamkan pengaruhnya di Ternate. Gubernur
Simon Cos, yang diberi kepercayaan dari Batavia untuk membebaskan Minahasa dari
Spanyol, mulai menempatkan kapalnya di Selat Lembeh. Akibat ulah VOC ini, para
pedagang Spanyol dan Makassar pun tersingkir dari tempat itu. Setelah itu, VOC memaksa
rakyat Minahasa agar menjual beras hanya kepadanya, tetapi ditolak. Penolakan ini memicu
kemarahan VOC, yang kemudian memutuskan untuk memerangi rakyat Minahasa.

Jalannya Perang Tondano 1


Perang Tondano 1 berlangsung antara 1661 hingga 1664. Untuk melemahkan rakyat
Minahasa, VOC tidak menggunakan kekuatan militernya, tetapi dengan membendung Sungai
Temberan. Akibatnya, aliran sungai meluap hingga membanjiri permukiman penduduk. Akan
tetapi, rakyat Minahasa tidak tunduk begitu saja dan mengatasinya dengan mendirikan rumah
apung di sekitar Danau Tondano. Mengetahui hal itu, VOC kemudian mengepung kekuatan
orang-orang Minahasa di Danau Tondano dan memberikan ultimatum. Berikut ini isi
ultimatum Gubernur Simon Cos kepada rakyat Minahasa.
1. Masyarakat Tondano harus menyerahkan tokoh pemberontak kepada VOC
2. Masyarakat Tondano harus membayar ganti rugi dengan menyerahkan 50-60 budak karena
rusaknya tanaman padi akibat luapan Sungai Temberan

Akan tetapi, ultimatum itu tidak dihiraukan oleh masyarakat Minahasa, sehingga VOC
memilih untuk mundur ke Manado.

Akhir Perang Tondano 1


Pilihan VOC untuk mundur ke Manado ternyata membuat keadaan masyarakat Minahasa
semakin sulit. Pasalnya, hasil pertanian penduduk menjadi menumpuk karena pembeli dari
bangsa Spanyol telah diusir VOC dari Nusantara. Masyarakat Minahasa pun tidak memiliki
pilihan selain mendekat dan menjalin kerjasama dengan VOC agar hasil pertaniannya dapat
terjual. Terbukanya perdagangan Minahasa bagi VOC ini mengakhiri Perang Tondano 1.
Setelah itu, Belanda membangun permukiman di Sulawesi Utara, lengkap dengan sebuah
benteng.

b. Perang Tondano II (1809)


Pada masa pendudukan Belanda di Indonesia, rakyat Minahasa di Sulawesi Utara pernah dua
kali terlibat pertempuran besar dengan pemerintah kolonial, yang kemudian dikenal sebagai
peristiwa Perang Tondano. Perang Tondano 1 terjadi pada abad ke-17, sementara Perang
Tondano 2 berlangsung antara 1808 hingga 1809. Penyebab terjadinya Perang Tondano 2
adalah adanya implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, terutama upaya
mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara guna membangun pertahanan terhadap
kemungkinan serbuan Inggris. Hasil dari perang kedua ini cukup menggembirakan, karena
masyarakat Minahasa berhasil memperoleh kemenangan atas Belanda.

Latar belakang Perang Tondano 2


Akar permasalahan Perang Tondano 2 sebenarnya masih berhubungan dengan hasil akhir
Perang Tondano 1. Pada akhir Perang Tondano 1, pihak VOC dan rakyat Minahasa membuat
perjanjian pada 1679 yang mengatur berbagai hal di sekitar hubungan dan kepentingan kedua
belah pihak. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah bahwa Minahasa akan membantu
Belanda, terutama dalam menyalurkan sejumlah kebutuhannya. Dalam perkembangannya,
Belanda mulai melakukan tindakan-tindakan licik, termasuk mencampuri urusan walak-
walak Minahasa. Tindakan Belanda yang tidak sesuai perjanjian itu membuat walak-walak
berselisih. Pada 1802, Carel Christoph Prediger Jr. diangkat sebagai residen Manado. Tidak
lama kemudian, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, H.W. Daendels, membutuhkan pasukan
dalam jumlah besar yang akan dipersiapkan untuk menghadapi kemungkinan serangan
Inggris. Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan mengerahkan penduduk dari
sejumlah daerah, termasuk Minahasa. Pada Mei 1808, Prediger segera mengumpulkan para
ukung (pemimpin dalam suatu wilayah walak atau daerah setingkat distrik) dan
menyampaikan bahwa pemerintah membutuhkan sekitar 2.000 pemuda Minahasa yang akan
dikirim ke Jawa. Ternyata, para ukung tidak mau menuruti permintaan Prediger, bahkan
beberapa di antaranya mengadakan perlawanan terhadap kolonial Belanda.

Akhir Perang Tondano 2


Perang Tondano II berlangsung cukup sengit hingga Agustus 1809. Bahkan pada 5 Agustus
1809, benteng pertahanan Moraya milik para pejuang hancur bersama rakyat yang berusaha
mempertahankannya. Setelah itu, Belanda membantai semua penduduk yang dijumpainya
sampai habis. Dalam kelompok-kelompok terbatas, sisa pasukan Minahasa memilih bertahan
di hutan lebat yang tidak mudah untuk dijangkau Belanda. Karena kesulitan menjangkau
tengah hutan, Belanda sampai mengaku akan memberikan pengampunan kepada
pemberontak asalkan mereka mau mengakui kekuasaan Belanda. Akan tetapi, hal itu tidak
pernah terjadi karena pihak Inggris lebih dulu mengambil alih kekuasaan Belanda di
Minahasa pada 1810. Pihak Inggris memanggil tokoh Perang Tondano 2, yakni Matulandi
dan Mamait, dari persembunyian di hutan dan mengangkat mereka kembali sebagai kepala
walak. Sementara Lonto dan beberapa tokoh perlawanan lainnya yang sempat dibuang ke
Ternate, dikembalikan ke Minahasa. Oleh Inggris, para pemberontak Belanda itu diberi izin
untuk membangun permukiman di tempat yang lama, yakni di sebelah utara Minawanua.

4. Perang Pattimura (1817)

Gambar 9. Tugu Pattimura (Thomas Matulessy) di dekat lapangan merdeka Ambon.


Perang Pattimura (1817) merupakan sebuah peristiwa sejarah yang terjadi di Maluku yang
merupakan bentuk perlawanan rakyat terhadap VOC atau serikat dagang milik Belanda.
Maluku yang merupakan surga rempah-rempah memang kerap didatangi para pedagang dari
Cina, India, Arab, hingga bangsa Eropa. Hal inilah yang membuat VOC datang dan Belanda
resmi menguasai Maluku dan membawa kesengsaraan bagi rakyat. Tak urung perlawanan
rakyat Maluku terhadap Belanda pun meletus di bawah pimpinan komando Thomas
Matulessy atau dikenal dengan nama Kapitan Pattimura, sehingga disebut dengan Perang
Pattimura. Perang ini berlangsung di berbagai tempat, dan salah satunya dikenal juga sebagai
Perang Saparua.

Penyebab Perang Pattimura


Sekitar abad 16-17 M, bangsa-bangsa Eropa seperti Inggris, Belanda, Spanyol dan Portugis
yang datang ke Maluku memang sudah mencoba memperebutkan kekuasaan dagang di
wilayah tersebut. Maluku sempat berada di bawah kekuasaan Inggris hingga pada awal abad
19, kawasan Maluku kembali berada dibawah kekuasaan Belanda. Hal ini terjadi setelah
Inggris menandatangani perjanjian traktat London dengan menyerahkan wilayah kekuasaan
Indonesia kepada Belanda. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (1981) karya
M.C Ricklefs, disebutkan beberapa alasan munculnya perlawanan masyarakat Maluku
terhadap Belanda pada 1817. Salah satuya adalah tindakan sewenang-wenang dari Residen
Saparua, Van den Berg yang membawa kesengsaraan bagi rakyat Maluku karena kerja paksa
yang sebelumnya dihapus pemerintah Inggris justru kembali diberlakukan. Rakyat Maluku
juga diwajibkan untuk menyediakan perahu (orambai) guna memenuhi keperluan
administrasi dan militer Belanda tanpa diberi bayaran. Selain di Saparua, rakyat Maluku di
tempat lain juga diharuskan untuk menyerahkan ikan asin, kopi, dan hasil laut lainnya kepada
Belanda. Belanda juga melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah melalui pelayaran
Hongi di Maluku.

Kronologi Perang Pattimura


Pada Mei 1817, rakyat Maluku mulai membuat beberapa pertemuan untuk membahas strategi
dan konsep perlawanan terhadap Belanda. Dalam pertemuan 14 Mei 1817, rakyat Maluku
mengangkat sosok Thomas Matulessy yang merupakan bekas tentara Korps Ambon sebagai
pemimpin pergerakan dengan sebutan Kapiten Pattimura. Setelah dilantik, Pattimura
kemudian memilih beberapa orang untuk membantunya berjuang melawan Belanda yaitu
Anthoni Rhebok, Philips Latimahina, Lucas Selano, Arong Lisapafy, Melchior Kesaulya dan
Sarassa Sanaki, Christina Martha Tiahahu, dan Paulus Tiahahu. Pada 15 Mei 1817, operasi
penyerangan pos-pos dan benteng Belanda di Saparua dimulai oleh Kapiten Pattimura
bersama Philips Latumahina, Lucas Selano dan pasukannya. Operasi yang dikenal dengan
Perang Saparua tersebut berhasil merebut benteng Duurstede dan menewaskan kepala residen
Saparua bernama Van den Berg beserta pasukannya. Pada tanggal 20 Mei 1817 diadakan
rapat raksasa di Haria untuk mengadakan pernyataan kebulatan tekad melanjutkan perjuangan
melawan Belanda yang dikenal dengan nama Proklamasi Portho Hari.
Gambar 10. Benteng Duurstede.

Di waktu yang sama, Belanda juga melancarkan serangan balik dengan mengerahkan 300
pasukan dari Ambon yang dipimpin oleh Mayor Beetjes untuk merebut kembali benteng
Duurstede yang kemudian disebut dengan ekspedisi Beetjes. Upaya Mayor Beetjes tersebut
nyatanya dapat digagalkan oleh Kapiten Pattimura dan pasukannya. Kemenangan dalam
pertempuran lain juga didapatkan oleh Pattimura di sekitar pulau Seram, Hatawano, Hitu,
Haruku, Waisisil dan Larike. Pada tanggal 4 Juli 1817 sebuah armada kuat Belanda yang
dipimpin Overste de Groot berangkat menuju Saparua dengan tugas menjalankan vandalisme.
Wilayah Hatawano dibumihanguskan dan Belanda memulai berbagai siasat termasuk
berunding, serang mendadak, aksi vandalisme, dan adu domba yang dijalankan silih berganti.
Belanda juga melancarkan politik pengkhianatan terhadap Kapiten Pattimura dan para
pembantunya. Pada tanggal 11 November 1817 dengan didampingi beberapa orang
pengkhianat, Letnan Pietersen berhasil menyergap Kapiten Pattimura dan Philips Latumahina
saat berada di Siri Sori. Dilansir dari buku Kapitan Pattimura (1985) karya I.O Nanulaitta,
disebutkan bahwa Kapiten Pattimura dikhianati oleh raja Booi dari Saparua. Ia membocorkan
informasi tentang strategi Perang Pattimura dan rakyat Maluku sehingga Belanda dengan
mudah mampu merebut kembali Saparua.

Pada tanggal 16 Desember 1817, para tokoh pejuang yang ditangkap oleh Belanda yaitu
Kapitan Pattimura, Anthony Rhebok, Philip Latumahina, dan Said Parintah pun harus
berakhir di tiang gantungan di depan Benteng Nieuw Victoria, Kota Ambon. Hal inilah yang
menjadi akhir dari Perang Pattimura, sekaligus sebagai pengorbanan terakhir Kapiten
Pattimura bagi bangsa dan negaranya.
Dampak Perang Pattimura
Salah satu dampak perjuangan yang dilakukan dalam Perang Pattimura adalah direbutnya
Benteng Duurstede oleh rakyat Maluku. Selain itu, Perang Pattimura juga telah berhasil
menyatukan dan mengobarkan semangat perjuangan rakyat Maluku terhadap penindasan
yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Walau begitu pasca Perang Pattimura
berakhir maka kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat dan semakin bersikap sewenang-
wenang, sehingga rakyat semakin sengsara. Sementara dari peristiwa bersejarah ini, untuk
mengenang jasa Kapitan Pattimura kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh
pemerintah Republik Indonesia. Kapitan Pattimura telah bersikap gagah berani menuntut
keadilan dan berusaha membawa kembali kemakmuran ke tangan rakyat Maluku hingga
akhir hayatnya.

5. Perang Banjar (1859-1905)

Gambar 11. Pangeran Antasari,tokoh dalam Perang Banjar sekaligus seorang pahlawan nasional.

Perang Banjar atau Perang Banjar-Barito adalah sebuah peristiwa sejarah di mana rakyat
Kalimantan khususnya Kesultanan Banjar berperang melawan para penjajah Belanda. Perang
Banjar terjadi di wilayah Kesultanan Banjar, Kalimantan Selatan pada tahun 1859 hingga
1905. Dari pihak rakyat, Perang Banjar melibatkan keturunan Kesultanan Banjar yang
didukung kekuatan dari rakyat yang berasal dari berbagai daerah di batang banyu di
sepanjang aliran Sungai Barito. Dahsyatnya Perang Banjar pada saat itu terlihat dari jumlah
korban tewas baik di pihak Belanda maupun rakyat Banjar Barito. Baca juga: Raja-Raja
Kesultanan Banjar Tokoh yang terlibat dalam Perang Banjar ini antara lain Pangeran Antasari
dan Pangeran Hidayatullah II.
Penyebab Perang Banjar
Kedatangan Belanda yang ikut campur dalam urusan Kesultanan Banjar menimbulkan
banyak permasalahan. Kondisi ini kemudian memuncak dengan adanya perlawanan dari
Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah II dalam Perang Banjar. Apabila dirangkum,
maka penyebab terjadinya Perang Banjar antara lain:
-Rakyat menjadi sasaran eksploitasi dari Belanda dan Kesultanan Banjar
-Munculnya konflik perebutan tahta Kesultanan Banjar akibat intervensi Belanda
-Sikap sewenang-wenang dari Tamjidillah yang ditunjuk Belanda sebagai Sultan Banjar

Kronologi Perang Banjar


Sebagai penerus kerajaan Daha yang sebelumnya bercorak Hindu, pengaruh Islam masuk ke
Kesultanan Banjar pada sekitar akhir abad 15 berkat peran dari Kerajaan Demak. Kesultanan
Banjar memiliki wilayah kekuasaan di sekitar Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan
Tengah. Dalam buku Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia (2012) karya
Daliman, disebutkan bahwa pelabuhan-pelabuhan dagang Kesultanan Banjar pada abad 15 M
selalu ramai dengan kapal-kapal dagang internasional. Kesultanan Banjar juga memiliki hasil
sumber daya alam seperti emas, intan, lada, rotan dan damar yang melimpah. Hal inilah yang
kemudian mendorong Belanda untuk mulai merencanakan strategi agar dapat menguasai
Kesultanan Banjar. Dilansir dari buku Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004 (1981) karya
M.C Ricklefs, Belanda dan Kesultanan Banjar mulai melakukan interaksi pada sekitar tahun
1840-an. Setelah itu, Belanda mulai dengan strategi melakukan campur tangan di beberapa
wilayah Kesultanan Banjar dan memadamkan sengketa-sengketa yang ada. Sebagai imbalan,
Belanda mendapatkan hak khusus untuk mencampuri urusan dalam negeri Kesultanan
Banjar. Kondisi tersebut berlangsung lama hingga akhirnya perlawanan rakyat Banjar
dimulai saat Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah II sebagai Sultan Banjar pada tahun
1859. Padahal, waktu itu sosok yang seharusnya naik tahta menjadi Sultan Banjar adalah
Pangeran Hidayatullah II. Namanya juga tertulis dalam surat wasiat yang ditulis oleh Sultan
Adam agar menjadi penerus takhta. Pada tanggal 28 April 1859, Pangeran Antasari dan
Pangeran Hidayatullah II kemudian memimpin perlawanan terhadap Belanda. Pangeran
Antasari memimpin penyerangan terhadap benteng Belanda dan tambang batu bara di
wilayah Pengaron. Dalam serangan tersebut tentara Belanda dapat dilumpuhkan dan pasukan
Pangeran Antasari dapat menguasai tambang batu bara di Pengaron. Setelah itu, muncul
beberapa pertempuran di tempat lain seperti Pertempuran Benteng Tabanio di Agustus 1859,
Pertempuran Benteng Gunung Lawak pada September 1859, Pertempuran Munggu Tayur
pada Desember 1859, dan Pertempuran Amawang pada Maret 1860. Dalam buku Pegustian
dan Temanggung : Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti, Perlawanan di Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Tengah 1859-1906 (2014) karya Helius Sjamsudin, disebutkan bahwa
Belanda membalas serangan Pangeran Antasari dengan menawan keluarga Pangeran
Hidayatullah II. Belanda kemudian meminta Pangeran Hidayatullah II untuk keluar dari
persembunyiannya. Pangeran Hidayatullah II yang keluar dari persembunyiannya untuk
menyelamatkan keluarganya justru ditangkap Belanda dan diasingkan menuju ke Cianjur.
Hal itu tak membuat menghentikan Pangeran Antasari perlawanan. Ia terus melakukan
perlawanan di daerah-daerah di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Pangeran
Antasari juga mendirikan tujuh unit benteng di Teweh untuk memperkuat pertahanan rakyat.
Perang Banjar mulai meredup ketika Pangeran Antasari mulai melemah karena terserang
penyakit paru-paru dan cacar. Perjuangannya terus dilakukan hingga Pangeran Antasari wafat
pada 11 Oktober 1862. Gusti Mat Seman, Gusti Acil, Gusti Muhammad Arsyad, dan Antung
Durrahman melanjutkan perjuangan di Perang Banjar hingga titik darah penghabisan. Perang
Banjar berakhir pada tahun 1905 dengan kemenangan berada di pihak Belanda yang berhasil
menghapus Kesultanan Banjar.

Dampak Perang Banjar


Dampak Perang Banjar adalah terjadi penyatuan gerakan rakyat di bawah pimpinan Pangeran
Antasari dan Pangeran Hidayatullah II. Meski sudah melakukan perlawanan denga gigih dan
pantang menyerah, pada akhirnya Belanda bisa mengatasi keadaan. Akibat kemenangan
Belanda pada perang tersebut, Kesultanan Banjar kemudian dihapuskan. Keputusan ini
diambil Belanda demi menghindari konflik lebih lanjut dan menghindari meletusnya
perlawanan rakyat Kalimantan Selatan. Belanda juga menghapuskan pemerintahan-
pemerintahan bawahan dari Kesultanan Banjar sehingga tidak ada penerus kerajaan. Pihak
belanda kemudian menerapkan aturan-aturan baru di bawah Residentie Zuider en Ooster
Afdeelingvan Borneo (Keresidenan Bagian Selatan dan Timur Pulau Borneo). Berbagai
sumber daya di Kalimantan kemudian dikuasai dan dimonopoli oleh Belanda yang
mengakibatkan rakyat menderita. Eksploitasi besar-besaran kemudian terjadi karena Belanda
mengambil sumber daya alam secara paksa berupa rempah-rempah, perkebunan, dan
tambang batu bara.

6. Perang Aceh (1873-1904)

Gambar 12. Perang aceh 1873 yang terjadi setelah ditandatanganinya perjanjian atau Traktat Sumatera 1871
Perlawanan rakyat Aceh dalam mengusir penjajah Belanda atau yang disebut Perang Aceh
berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Dalam sejarahnya, Perang Aceh terjadi pada
tahun 1873 dan berakhir pada 8 Februari 1904. Artinya, perang ini berlangsung selama 31
tahun. Pada akhirnya, Belanda berhasil menguasai Aceh sepenuhnya pada 1904 dengan
pembubaran Kesultanan Aceh. Belanda juga membentuk Karesidenan Aceh sebagai wujud
kontrol kolonial terhadap Tanah Rencong itu.

Latar Belakang Perang Aceh


Perang Aceh terjadi karena keinginan Belanda menguasai wilayah Kesultanan Aceh yang
menjadi sangat penting setelah Terusan Suez dibuka. Sebelum Perang Aceh terjadi, Belanda
berhasil menguasai wilayah Kesultanan Deli, mulai dari Langkat, Asahan, hingga Serdang
melalui Perjanjian Siak tahun 1858. Padahal, wilayah-wilayah tersebut sebenarnya masuk ke
dalam kekuasaan Kesultanan Aceh. Sebelumnya, merujuk pada Perjanjian London 1824,
Belanda harusnya mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh atas wilayah-wilayahnya. Namun,
dengan adanya Perjanjian Siak dan masuknya Belanda ke beberapa wilayah Aceh, membuat
Kesultanan Aceh geram dan menuding Belanda melanggar Perjanjian London 1824. Sejak
saat itu ketegangan pun meningkat. Kesultanan Aceh menenggelamkan setiap kapal milik
Belanda yang melintas di perairannya. Berikutnya pada tahun 1871, Belanda dan Inggris
terlibat perjanjian yang isinya antara lain Inggris menyerahkan urusan di Aceh kepada
Belanda. Akibat perjanjian itu, Kesultanan Aceh lantas mengadakan konta diplomatik dengan
beberapa pihak seperti Konsul Amerika Serikat, Italia, hingga Turki Utsmani yang ada di
Singapura. Langkah diplomatik Kesultanan Aceh itu dijadikan alasan Belanda untuk
melakukan penyerangan terhadap Aceh.

Periode Perang Aceh


Perang Aceh terjadi dalam empat periode, sepanjang tahun 1873 hingga 1904 itu. Periode
pertama Perang Aceh terjadi pada tahun 1873 hingga 1874. Saat itu pasukan Aceh dipimpin
Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah. Sementara serdadu Belanda bergerak dipimpin
oleh Kohler dengan kekuatan 3000 pasukan. Perang periode pertama ini dimenangkan rakyat
Aceh, dengan tewasnya Kohler pada 14 April 1872.

Gambar 13. Ilustrasi tewasnya Jendral J.H.R Kohler dalam Perang Aceh.
Periode kedua Perang Aceh terjadi pada tahun 1874 sampai 1880. Rakyat Belanda dalam
periode kedua ini dipimpin oleh Tuanku Muhammad Dawood. Belanda yang dipimpin oleh
Jenderal Jan van Swieten berhasil menguasai Istana Sultan Aceh pada 26 Januari 1874.
Perang Aceh periode pertama dan kedua ini tergolong perang total, dengan kekuasaan politik
Aceh masih utuh meski pusat pemerintahannya berpindah-pindah. Sementara Perang Aceh
periode ketiga terjadi pada 1881-1896. Dalam periode ini, rakyat Aceh melancarkan strategi
perang gerilya di bawah pimpinan Teuku Umar. Pada periode ketiga ini muncul sejumlah
tokoh Perang Aceh seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Teungku Cik di Tiro, Cut Meutia,
dan seterusnya. Adapun periode Perang Aceh keempat terjadi pada 1896 sampai 1910.
Periode keempat ini berlangsung secara sporadis, tanpa adanya komando dari pusat
pemerintahan Aceh.

Akhir Perang Aceh


Untuk memenangkan Perang Aceh, Belanda menggunakan siasat berupa penyamaran Snouck
Hurgronje ke pedalaman Aceh. Tujuan penyamaran ini adalah untuk mengetahui titik lemah
perjuangan rakyat Aceh. Selama dua tahun menyamar, Snouck Hurgronje akhirnya bisa
memberikan sejumlah usul kepada Kerajaan Belanda untuk dapat mengalahkan Aceh. Usulan
itu salah satunya dengan merebut hati rakyat Aceh. Menurut Hurgronje, Belanda harus
menunjukkan niat baik kepada rakyat Aceh dengan pembangunan sarana prasarana seperti
masjid, surau, jalan, dan sebagainya. Siasat Snouck Hurgronje itu diterima dan dijalankan
oleh Belanda. Alhasil lambat laun Belanda dapat melemahkan kekuatan perlawanan Aceh.
Perang Aceh diakhiri dengan surat perjanjian tanda menyerah atau Traktat Pendek. Pada
tahun 1903, Sultan Alauddin Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem menyerah setelah
mengalami tekanan luar biasa. Dalam perjanjian penyerahan diri itu, seluruh wilayah Aceh
dikuasai Hindia Belanda dan Kesultanan Aceh dibubarkan. Meski demikian, pada
kenyataannya Belanda tidak sepenuhnya menguasai Aceh. Selain itu, perlawanan demi
perlawanan terus dilakukan oleh rakyat Aceh.

7. Perang Jagaraga di Bali (1848-1849)

Gambar 14. Gambaran Perang Jagaraga


Perang Jagaraga atau yang dikenal dengan Perang Bali II adalah perang yang dilakukan Patih
Jelantik bersama rakyat Buleleng melawan Belanda di Bali. Terjadinya Perang Jagaraga
karena pemerintah kolonial Hindia Belanda ingin menghapuskan hak tawan karang yang
berlaku. Tawang Karang merupakan tradisi Bali dimana kapal yang karam dan terdampar di
pesisir Bali adalah hak raja setempat.

Penyebab Perang Jagaraga


Perang Jagaraga terjadi pada tahun 1848 hingga 1849. Perang Jagaraga disebabkan oleh
ketidaktaatan Raja Buleleng, I Gusti Ngurah Made Karangasem dan Maha Patih I Gusti Ketut
Jelantik pada perjanjian damai atas kekalahan perang Buleleng pada tahun 1846. Perjanjian
itu ditandatangani oleh Raja Buleleng dan Raja Karangasem yang membantu Perang
Buleleng. Berikut ini isi perjanjian tersebut:
-Kedua kerajaan harus mengakui ada di bawah kekuasaan Gubernemen dan mengakui raja
Belanda sebagai tuannya.
-Tidak boleh membuat perjanjian dengan bangsa kulit putih lainnya.
-Segera menghapus peraturan Tawan Karang.
-Membayar biaya perang besar 300.000 gulden, raja Beleleng dibebankan 2/3 sedangkan raja
Karangasem 1/3 yang harus dilunasi dalam kurun waktu 10 tahun.

Kronologi Perang Jagaraga


Setelah Perang Buleleng selesai, I Gusti Ngurah Made Karangasem, I Gusti Ketut Jelantik,
pimpinan pasukan dan para prajurit memindahkan Kerajaan Buleleng ke Desa Jagaraga.

Pilihan pemindahan Kerajaan Buleleng ke Desa Jagaraga, karena desa tersebut memiliki
beberapa kelebihan.
-Medannya berbukit, banyak jurang untuk melaksanakan serangan mendadak.
-Jalan penghubung hanya ada satu, yakni melalui Desa Sangsit, sehingga musuh mudah
diintai.
-Jarak Jagaraga Pabean relatif pendek, sehingga mudah mengetahui pergerakan Belanda.
-Istri dari I Gusti Ketut Jelantik berasal dari Desa Jagaraga memiliki naluri perang.

Selama di Jagaraga, I Gusti Ketut Jelantik, I Gusti Ngurah Made Karangasem (Raja
Buleleng), dengan dibantu oleh Jro Jempiring sudah menyusun strategi perang dalam kurun
waktu 1846-1848.
-Menyusun benteng pertahan di sekitar Jagaraga.
-Melatih teknik berperang untuk prajurit-prajurit Buleleng dan Jagaraga.
-Membangkitkan semangat warga Jagaraga untuk berperang dan menggunakan rumah
mereka sebagai lokasi penyimpanan logistik perang.
-Meminta dukungan kepada raja-raja di Bali, seperti Raja Karangasem, Raja Gianyar, Raja
Klungkung, Raja Mengwi, dan Raja Jembrana beserta dengan persenjataannya.
-Strategi perang yang digunakan adalah Supit Surang Makara Wyuhana, yaitu strategi perang
yang digunakan oleh Prabu Yudhistira dalam cerita Bharata Yudha.
-Dibelakang tembok benteng menjadi pusat markas dan komando I Gusti Ketut Jelantik
berdiri Pura Dalem Segara Madu Jagaraga. Belanda tidak pernah merasalan kenyaman dan
keamanan selama menguasai Buleleng. Karena, I Gusti Ketut Jelantik selalu membuat huru-
hara di sekitar Buleleng dan Pabean. Mereka merampok kapal-kapal Belanda di Pelabuhan
Pabean, memboikot penjualan bahan makanan kepada serdadu Belanda, dan melanggar
semua perjanjian yang disepakati pada perang Buleleng.

Perang Jagaraga Pertama


Pada tanggal 8 Juni 1848, Belanda melakukan penyerbuan melalui Pelabuhan Sangsit dengan
kekuatan 22 kapal perang yang dilengkapi meriam. Dalam aksi ini, sebanyak 250 serdadu
Belanda tewas. Hal ini menandai, kekalahan Belanda pada Perang Jagaraga pertama. Dalam
aksi ini, sebanyak 250 serdadu Belanda tewas. Hal ini menandai, kekalahan Belanda.

Gambar 15. Artileri Belanda di Jagaraga

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemenangan I Gusti Ketut Jelantik, Raja Buleleng, dan Jro
Jempiring dalan Perang Jagaraga pertama, yaitu:
-Adanya jiwa patriotisme prajurit Jagaraga bersama sekutunya yang sangat tinggi.
-Mentaati perintah perang I Gusti Ketut Jelantik, Raja Buleleng, dan Jro Jempiring
-------------Melakukan serangan terpadu dengan tangguh dan kuat.
-Dapat menggunakan senjata bus (bedil bus), berupa meriam tradisional yang diletakkan di
benteng utama.
-Siasat perang berjalan sesuai rencana, dimana dapat menggiring pasukan Belanda masuk
perangkap ke benteng Supit Surang (Makara Wyuhana).
-Belanda menganggap remeh prajurit Jagaraga serta sekutunya. Belanda tidak mengenal
medan pertempuran Jagaraga.
-Belanda tidak mampu melakukan konsolidasi karena situasi politik, baik di Indonesia
maupun Eropa.
Perang Jagaraga Kedua
Setelah kemenangan Perang Jagaraga pertama, I Gusti Ketut Jelantik menyadari bahwa
Belanda akan melakukan serangan balasan. Untuk itu, I Gusti Ketut Jelantik dan Jro
Jempiring selalu membakar semangat patriotirme para prajurit dan melakukan latihan perang
bersama prajurit dan sekutu-sekutunya. Upaya lain adalah meningkatkan logistik dan
peralatan perang dan selalu waspada jika terjadi serangan musuh yang sifatnya mendadak.
Sementara di Batavia, pada April 1849, Pemerintah Belanda melakukan melakukan persiapan
kedua untuk menggempur prajurit Jagaraga. Pemimpin Perang Jagaraga kedua Pemerintah
Hindia Belanda adalah Jenderal Michiels dan Letkol CA de Brauw dengan kekuatan 60 kapal
dan senjata moderen lengkap. Sebelum perang, mereka mengirim pasukan khusus untuk
mempelajari sistem strategi perang yang digunakan I Gusti Ketut Jelantik. Jenderal Michiels
juga mencari petunjuk jalan untuk melakukan gerakan memutar ke belakang lambung sebelah
barat benteng pertahanan utama Jagaraga. Strategi yang tidak pernah disadari oleh I Gusti
Ketut Jelantik, Raja Buleleng, dan Jro Jempiring. Pada tanggal 14 April 1849, armada
Belanda sudah mendarat di Pelabuhan Pabean dan Pelabuhan Sangsit untuk melakukan
serangan dari dua arah. Mengetahui kedatangan Belanda, I Gusti Ketut Jelantik bersama
pasukannya menuju Pelabuhan Pabean untuk melakukan perdamaian dengan Belanda.
Namun utusan Jenderal Michiels menolak permintaan I Gusti Ketut Jelantik. Karena, pihak
Belanda mengetahui itu siasat dan taktik I Gusti Ketut Jelantik untuk mengulur waktu agar
dapat berkonsolidasi dan meminta bantuan pasukan kepada raja-raja Bali. Saat, I Gusti Ketut
Jelantik bersama Raja Buleleng serta pasukannya pulang menuju Desa Jagaraga, ternyata
benteng-benteng Jagaraga sudah diserang habis-habisan oleh Belanda di bawah pimpinan
Letkol CA de Brauw.

Gambar 16. Altar di Pura Dalem Jagaraga, Buleleng, Bali


I Gusti Ketut Jelantik dengan Raja Buleleng lari ke Karangasem bermaksud meminta bantuan
pasukan Raja Karangasem, namun di tengah perjalanan mereka diserang secara mendadak
dan gugur. Pertempuran Jagaraga dipimpin Jro Jempiring yang dibantu sejumlah prajurit,
yaitu pimpinan prajurit Jembrana (Pan Kelab), pimpinan prajurit Mengwi Gusti Nyoman
Munggu, pimpinan prajurit gabungan Gianyar dan Klungkung dipimpin Cokorda Rai Puri
Satria. Jro Jempiring sudah menginstruksikan perang Puputan dengan mengendus dua buah
keris. Dalam pertempuran itu, tidak ada satupun pasukan Jagaraga yang mundur atau
melarikan diri. Hasil pertempuran ini, semua pasukan Jagaraga gugur dan Bentang Jagaraga
jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 19 April 1849. Sejak saat itu, Belanda berhasil
menguasai Bali Utara

8. Perlawanan Sisingamaharaja XII di Batak (1978-1907)

Gambar 16. Sisingamaharaja XII

Patuan Besar Ompu Pulo Batu atau yang lebih dikenal Sisingamangaradja XII adalah raja
serta pendeta terakhir masyarakat Batak di Sumatera Utara. Ia turut menjadi pejuang
melawan penjajahan Belanda di Sumatera sejak 1878. Pada 1907, ia terbunuh dalam
pertempuran oleh pasukan Belanda. Ia pun dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
pada 1962 berkat perlawanannya terhadap kolonialisme Belanda.

Kehidupan
Sisingamangaradja XII yang bernama asli Patuan Besar Ompu Pulo Batu lahir di Bakkara,
Tapanuli, pada 1849. Ia adalah penerus ayahnya, Sisingamangaradja XI, yang meninggal
pada 1876. Gelar Si Sisingamangaradja sendiri digunakan oleh dinasti keluarga Marga
Sinambela, yang berarti "Raja Singa Agung".
1. Kehormatan Si dari bahasa Sansekerta Sri.
2. Raja Agung (dari bahasa Sansekerta, maharaja).
3. Singa, karena orang Batak melihat diri mereka dalam mitologi sebagai keturunan dari
darah dewa.

Sisimangaradja XII adalah tokoh terakhir yang menjadi Parmalim (pemimpin agama). Ia
dianggap sebagai raja dewa dan titisan Batara Guru, Dewa Siwa versi Jawa.
Sisingamangaradja sendiri diyakini memiliki kekuatan seperti kemampuan mengusir roh
jahat, mengeluarkan hujan, dan mengendalikan penanaman padi. Mulanya,
Sisingamangaradja XII tidak dilihat sebagai tokoh politik. Tetapi, saat penjajah Belanda
datang ke Sumatera Utara sejak 1850-an, ia bersama Sisingamangaradja XI mulai fokus
melakukan perlawanan.

Perlawanan
Pada Februari 1878, Sisingamangaradja XII mengadakan upacara keagamaan untuk
menggalang orang Batak di balik perang perlawanan melawan Belanda. Pasukannya
menyerang pos-pos Belanda di Bakal Batu, Tarutung, namun mengalami kekalahan. Ia pun
berkumpul kembali dan melancarkan serangan baru pada 1883-1884 dengan mendapat
bantuan dari Aceh. Mereka menyerang Belanda di Uluan dan Balige pada Mei 1883, serta
Tangga Batu pada 1884. Belanda sendiri menyiksa dan membunuh orang Batak yang diduga
menjadi pengikut dari Sisingamangaradja XII. Pasukan Belanda juga membakar rumah serta
mengenakan pajak hukuman. Pada 1904, pasukan Belanda di bawah Letnan Kolonel
Gotfried Coenraad Ernst van Daalen menyerang Tanah Gayo dan beberapa daerah di sekitar
Danau Toba untuk mematahkan perlawanan Batak. Pasukan dari Sisingamangaradja XII
sendiri melakukan perang gerilya serta menghindari pasukan Belanda. Sebelum Belanda
melancarkan serangan lagi pada 1907 terhadap sisa pasukan Sisingamangaradja XII di
wilayah Toba, mereka memperkuat pasukan dan senjata. Pertempuran selanjutnya antara
Belanda dan pasukan Sisingamangaradja XII pun terjadi di Pak-pak, pasukan Belanda
dipimpin oleh Kapten Hans Christoffel.

Perang Batak
Sisingamangaradja XII sebagai raja Batak menolak adanya upaya penyebaran agama Kristem
yang dilakukan oleh para misionaris Belanda di wilayah Batak. Hal ini disebabkan karena
Sisingamangaradja khawatir kepercyaan dan tradisi animisme rakyat Batak akan terkikis oleh
adanya perkembangan agama Kristen. Upaya penolakan ini dilakukan dengan cara mengusir
zending (organisasi penyebar agama Kristen) yang memaksakan agama Kristen kepada
rakyat Batak pada 1877. Menanggapi tindakan pengusiran ini, para misionaris pun meminta
perlindungan dari pemerintah Kolonial Belanda. Sejak saat itu, perang antara rakyat Batak
dan Belanda pun terjadi yang disebut Perang Batak.

Akhir Hidup
Pada 17 Juni 1907, Sisingamangaradja XII tewas dalam peperangan di Dairi bersama
putrinya Lopian, dan kedua putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Ia disergap oleh
sekelompok anggota dari pasukan khusus Belanda, Korps Marsose. Ia menghadapi pasukan
Korps Marsose sembari memegang senjata Piso Gaja Dompak. Kopral Souhoka, pasukan
Belanda, yang merupakan penembak jitu, mendaratkan tembakannya ke kepala
Sisingamangaradja XII tepat di bawah telinganya. Ia kemudian dikebumikan Belanda secara
militer pada 22 Juni 1907 di Silindung. Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam
Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige pada 14 Juni 1953 yang dibangun oleh pemerintah.
Berdasarkan Surat Keppres No. 590, pada 19 November 1961, Sisingamangaradja XII
dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Selain itu, nama Sisingamangaradja
juga diabadikan sebagai nama jalan di seluruh kawasan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai