PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Latar belakang kedatangan Belanda ke Indonesia adalah akibat meletusnya perang
delapan puluh tahun antara Belanda dan Spanyol (1568-1648). Pada awalnya perang antara
Belanda dan Spanyol bersifat agama karena Belanda mayoritas beragama kristen protestan
sedangkan orang Spanyol beragama kristen katolik. Perang tersebut kemudian menjadi
perang ekonomi dan politik. Raja Philip II dari Spanyol memerintahkan kota Lisabon tertutup
bagi kapal Belanda pada tahun 1585 selain karena faktor tersebut juga karena adanya
petunjuk jalan ke Indonesia dari Jan Huygen Van Lischoten, mantan pelaut Belanda yang
bekerja pada Portugis dan pernah sampai di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Perang Padri
Perang Padri adalah sebuah peristiwa sejarah yang melibatkan kelompok ulama yang disebut
Kaum Padri dengan Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Perang
Padri diketahui terjadi di Sumatera Barat, tepatnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung pada
tahun 1803-1838.
Semula Perang Padri adalah perang saudara yang kemudian berakhir menjadi perang
melawan pemerintahan pemerintah kolonial Belanda. satu tokoh dari peristiwa Perang Padri
yang terkenal adalah Tuanku Imam Bonjol.
Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Belanda di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri,
namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam
pertempuran di Baso, yang membuat pemimpin pasukan Belanda yaitu Kapten Goffinet menderita luka
berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda
terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh
Tuanku Nan Renceh.
Pada 13 April 1823, setelah mendapat tambahan pasukan maka Letnan Kolonel Raaff mencoba kembali
menyerang Lintau. Namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16
April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Pada tahun 1824, raja terakhir Minangkabau yaitu
Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan
Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 beliau wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.
Pada 15 November 1825, disepakati Perjanjian Masang yaitu periode gencatan senjata yang disepakati
antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Saat itu memang
posisi Pemerintah Hindia Belanda tegah kewalahan karena menghadapi berbagai perang baik di daerah
Eropa dan Jawa (Perang Diponegoro) yang menguras dana pemerintah. Selama periode gencatan senjata
inilah Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga
akhirnya muncul suatu kesepakatan yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam,
Kabupaten Tanah Datar. Kesepakatan ini berbunyi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah"
yang artinya "adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, dan agama Islam berlandaskan kepada
Al-Qur'an" dan menjadi puncak revolusi Islam dalam adat Minangkabau.
Perang saudara yang berlangsung dari tahun 1803 hingga tahun 1821 dan telah merugikan kedua belah
pihak baik harta maupun korban jiwa pun berakhir. Berakhirnya perang Diponegoro mengembalikan
kekuatan Belanda yang kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Keinginan kuat Belanda untuk
menguasai perkebunan kopi di kawasan pedalaman Minangkabau membuat mereka melanggar perjanjian
yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek. Diketahui nagari Pandai Sikek
adalah daerah yang mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Belanda juga membangun benteng Fort
de Kock di Bukittinggi untuk memperkuat kedudukannya.
Pada tanggal 11 Januari 1833, Kaum Padri dan Kaum Adat yang telah bersatu melakukan
penyerangan pada beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda. Belanda yang menyadari
keadaan telah berubah kemudian mengeluarkan "Plakat Panjang" berisi pernyataan bahwa
kedatangan Belanda ke Minangkabau tidak bermaksud untuk menguasai nagari tersebut,
melainkan untuk berdagang dan menjaga keamanan.
Sebagai Belanda alasan bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah
akan memerlukan biaya, maka penduduk setempat diwajibkan menanam kopi dan
menjualnya kepada Belanda. Perlahan-lahan Belanda menyusup dan melakukan penyerangan
hingga pada tahun 1837 Benteng pertahanan Tuanku Imam Bonjol dapat dikuasai Belanda.
Bahkan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap.
Peperangan berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri di Dalu-Dalu (Rokan
Hulu) yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh ke tangan Belanda pada 28 Desember
1838. Perang Padri pun dianggap selesai dengan kemenangan jatuh ke pihak Kolonial
Belanda, sementara Tuanku Tambusai bersama sisa-sisa pengikutnya terpaksa pindah ke
Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya. Kerajaan Pagaruyung akhirnya menjadi bagian
Pax Netherlandica di bawah kendali Hindia Belanda.
2. Perang Diponegoro
Perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro terhadap pemerintah kolonial Belanda
menjadi salah satu catatan sejarah yang dikenal dengan sebutan Perang Diponegoro. Sebutan
Perang Diponegoro diberikan karena pemimpin perlawanan ini adalah Pangeran Diponegoro.
Disebut sebagai juga sebagai Perang Jawa karena peristiwa ini terjadi di tanah Jawa.
Perang Diponegoro atau Perang Jawa bahkan disebut sebagai salah satu bagian perubahan
yang besar di dunia pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Sejarah mencatat bahwa
Perang Diponegoro telah menewaskan ratusan ribu rakyat Jawa dan puluhan ribu serdadu
Belanda. Perang Diponegoro juga menjadi satu pertempuran terbesar yang pernah dialami
oleh Belanda selama masa pendudukannya di Indonesia.
Penyebab Perang Diponegoro
Penyebab Perang Diponegoro atau Perang Jawa adalah sikap Pangeran Diponegoro yang
tidak menyetujui campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Di sisi lain, kerajaan seakan
tidak berdaya menghadapi campur tangan politik pemerintah kolonial, namun kalangan
keraton justru hidup mewah dan tidak memperdulikan penderitaan rakyat. Kondisi para
petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah juga menjadi salah satu
faktor yang membuat Pangeran Diponegoro geram. Kekecewaan Pangeran Diponegoro
memuncak ketika Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak-tonggak untuk
membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya. Pangeran Diponegoro yang muak
dengan sikap Belanda kemudian menciptakan sebuah gerakan perlawanan dan menyatakan
sikap perang.
Saat itu Pangeran Diponegoro dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos, namun
kediamannya di Tegalrejo habis dibakar. Pangeran Diponegoro bergerak ke barat hingga ke
Gua Selarong di Dusun Kentolan Lor, Guwosari, Pajangan, Bantul sebagai markas besarnya.
Perang Diponegoro melibatkan berbagai kalangan, mulai dari kaum petani hingga golongan
priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana
perang. Kaum pribumi terlibat dengan berbekal semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi
ditohi tekan pati” yang berarti "sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati”.
Dalam perjuangan ini, Pangeran Diponegoro tidak sendiri, namun dibantu Kyai Mojo yang
juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi
dengan I.S.K.S. Pakubuwono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.
Hanya dalam waktu tiga minggu setelah penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro sudah
bisa melakukan penyerangan dan berhasil menduduki keraton Yogyakarta. Keberhasilan ini
disusul dengan kemenangan di beberapa daerah pada tahun-tahun awal berkobarnya Perang
Diponegoro. Pergerakan pun meluas ke daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang, dan
Rembang. Kemudian ke arah timur mencapai Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitarnya.
Meluasnya gerakan perlawanan yang dicetuskan Pangeran Diponegoro disebut mampu
menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa. Selama perang, Pangeran Diponegoro menerapkan
strategi perang gerilya dan perang atrisi (penjemuan).
Pada puncak peperangan di tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang
serdadu yang menjadi suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bagi Belanda, Perang
Diponegoro adalah perang terbuka dengan mengerahkan berbagai jenis pasukan, mulai dari
pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri, yang berlangsung dengan sengit. Di tahun yang sama,
pasukan Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem
benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo ditangkap.
Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerahkan
diri kepada Belanda. Bahkan pada 21 September 1829, Belanda sempat membuat sayembara
dengan hadiah hadiah sebesar 50.000 Gulden, beserta tanah dan penghormatan bagi siapa saja
yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro hidup atau mati. Pada 16 Februari 1830,
memperhatikan posisinya yang lemah akhirnya Pangeran Diponegoro setuju untuk bertemu
dengan utusan Jenderal De Kock, yakni Kolonel Jan Baptist Cleerens. Pada 20 Februari 1830,
pertemuan antara kedua belah pihak tidak menghasilkan kesepakatan dan Pangeran
Diponegoro menyatakan ingin bertemu langsung dengan Jenderal De Kock. Walau
pertemuan dengan Jenderal De Kock terjadi beberapa kali, namun mata-mata yang
ditanamkan di kesatuan Diponegoro melaporkan bahwa Pangeran Diponegoro tetap
bersikeras mendapatkan pengakuan Belanda sebagai sultan Jawa bagian selatan Akhirnya
pada 25 Maret 1830, Jenderal De Kock memerintahkan Letnan Kolonel Louis du Perron dan
Mayor A.V Michiels untuk mempersiapkan perlengkapan militer dan merencanakan
penangkapan Diponegoro.
Pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di
Magelang. Pada akhirnya, setelah pengkhianatan tersebut Pangeran Diponegoro menyatakan
bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa pengikutnya dilepaskan. Penyerahan diri
Pangeran Diponegoro pun menandai berakhirnya Perang Diponegoro atau perang Jawa pada
tahun 1830.
Gambar 6. Lukisan penyerahan diri Pangeran Diponegoro kepada Jendral de Kock pada 1830.
Diponegoro kemudian dipindahkan ke Manado pada 30 April 1830 dan tiba pada 3 Mei 1830
untuk kemudian ditawan di Benteng Nieuw Amsterdam. Pada 1834, Pangeran Diponegoro
dipindahkan ke Makassar dan terus diasingkan hingga wafat di Benteng Rotterdam tanggal 8
Januari 1855.
Gambar 7. Benteng Fort Rotterdam, tempat pengasingan Pangeran Diponegoro di Makassar.
Dampak Perang Diponegoro
Perang Diponegoro terjadi selama lima tahun dan menimbulkan dampak yang sangat besar.
Berikut ini beberapa dampak Perang Diponegoro:
-Menelan korban tewas sebanyak 200.00 jiwa penduduk Jawa
-Menelan korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu
pribumi.
-Kekalahan Pangeran Diponegoro menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa
-Raja dan bupati Jawa tunduk kepada Belanda
3. Perang Tondano
Akan tetapi, ultimatum itu tidak dihiraukan oleh masyarakat Minahasa, sehingga VOC
memilih untuk mundur ke Manado.
Di waktu yang sama, Belanda juga melancarkan serangan balik dengan mengerahkan 300
pasukan dari Ambon yang dipimpin oleh Mayor Beetjes untuk merebut kembali benteng
Duurstede yang kemudian disebut dengan ekspedisi Beetjes. Upaya Mayor Beetjes tersebut
nyatanya dapat digagalkan oleh Kapiten Pattimura dan pasukannya. Kemenangan dalam
pertempuran lain juga didapatkan oleh Pattimura di sekitar pulau Seram, Hatawano, Hitu,
Haruku, Waisisil dan Larike. Pada tanggal 4 Juli 1817 sebuah armada kuat Belanda yang
dipimpin Overste de Groot berangkat menuju Saparua dengan tugas menjalankan vandalisme.
Wilayah Hatawano dibumihanguskan dan Belanda memulai berbagai siasat termasuk
berunding, serang mendadak, aksi vandalisme, dan adu domba yang dijalankan silih berganti.
Belanda juga melancarkan politik pengkhianatan terhadap Kapiten Pattimura dan para
pembantunya. Pada tanggal 11 November 1817 dengan didampingi beberapa orang
pengkhianat, Letnan Pietersen berhasil menyergap Kapiten Pattimura dan Philips Latumahina
saat berada di Siri Sori. Dilansir dari buku Kapitan Pattimura (1985) karya I.O Nanulaitta,
disebutkan bahwa Kapiten Pattimura dikhianati oleh raja Booi dari Saparua. Ia membocorkan
informasi tentang strategi Perang Pattimura dan rakyat Maluku sehingga Belanda dengan
mudah mampu merebut kembali Saparua.
Pada tanggal 16 Desember 1817, para tokoh pejuang yang ditangkap oleh Belanda yaitu
Kapitan Pattimura, Anthony Rhebok, Philip Latumahina, dan Said Parintah pun harus
berakhir di tiang gantungan di depan Benteng Nieuw Victoria, Kota Ambon. Hal inilah yang
menjadi akhir dari Perang Pattimura, sekaligus sebagai pengorbanan terakhir Kapiten
Pattimura bagi bangsa dan negaranya.
Dampak Perang Pattimura
Salah satu dampak perjuangan yang dilakukan dalam Perang Pattimura adalah direbutnya
Benteng Duurstede oleh rakyat Maluku. Selain itu, Perang Pattimura juga telah berhasil
menyatukan dan mengobarkan semangat perjuangan rakyat Maluku terhadap penindasan
yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Walau begitu pasca Perang Pattimura
berakhir maka kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat dan semakin bersikap sewenang-
wenang, sehingga rakyat semakin sengsara. Sementara dari peristiwa bersejarah ini, untuk
mengenang jasa Kapitan Pattimura kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh
pemerintah Republik Indonesia. Kapitan Pattimura telah bersikap gagah berani menuntut
keadilan dan berusaha membawa kembali kemakmuran ke tangan rakyat Maluku hingga
akhir hayatnya.
Gambar 11. Pangeran Antasari,tokoh dalam Perang Banjar sekaligus seorang pahlawan nasional.
Perang Banjar atau Perang Banjar-Barito adalah sebuah peristiwa sejarah di mana rakyat
Kalimantan khususnya Kesultanan Banjar berperang melawan para penjajah Belanda. Perang
Banjar terjadi di wilayah Kesultanan Banjar, Kalimantan Selatan pada tahun 1859 hingga
1905. Dari pihak rakyat, Perang Banjar melibatkan keturunan Kesultanan Banjar yang
didukung kekuatan dari rakyat yang berasal dari berbagai daerah di batang banyu di
sepanjang aliran Sungai Barito. Dahsyatnya Perang Banjar pada saat itu terlihat dari jumlah
korban tewas baik di pihak Belanda maupun rakyat Banjar Barito. Baca juga: Raja-Raja
Kesultanan Banjar Tokoh yang terlibat dalam Perang Banjar ini antara lain Pangeran Antasari
dan Pangeran Hidayatullah II.
Penyebab Perang Banjar
Kedatangan Belanda yang ikut campur dalam urusan Kesultanan Banjar menimbulkan
banyak permasalahan. Kondisi ini kemudian memuncak dengan adanya perlawanan dari
Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah II dalam Perang Banjar. Apabila dirangkum,
maka penyebab terjadinya Perang Banjar antara lain:
-Rakyat menjadi sasaran eksploitasi dari Belanda dan Kesultanan Banjar
-Munculnya konflik perebutan tahta Kesultanan Banjar akibat intervensi Belanda
-Sikap sewenang-wenang dari Tamjidillah yang ditunjuk Belanda sebagai Sultan Banjar
Gambar 12. Perang aceh 1873 yang terjadi setelah ditandatanganinya perjanjian atau Traktat Sumatera 1871
Perlawanan rakyat Aceh dalam mengusir penjajah Belanda atau yang disebut Perang Aceh
berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Dalam sejarahnya, Perang Aceh terjadi pada
tahun 1873 dan berakhir pada 8 Februari 1904. Artinya, perang ini berlangsung selama 31
tahun. Pada akhirnya, Belanda berhasil menguasai Aceh sepenuhnya pada 1904 dengan
pembubaran Kesultanan Aceh. Belanda juga membentuk Karesidenan Aceh sebagai wujud
kontrol kolonial terhadap Tanah Rencong itu.
Gambar 13. Ilustrasi tewasnya Jendral J.H.R Kohler dalam Perang Aceh.
Periode kedua Perang Aceh terjadi pada tahun 1874 sampai 1880. Rakyat Belanda dalam
periode kedua ini dipimpin oleh Tuanku Muhammad Dawood. Belanda yang dipimpin oleh
Jenderal Jan van Swieten berhasil menguasai Istana Sultan Aceh pada 26 Januari 1874.
Perang Aceh periode pertama dan kedua ini tergolong perang total, dengan kekuasaan politik
Aceh masih utuh meski pusat pemerintahannya berpindah-pindah. Sementara Perang Aceh
periode ketiga terjadi pada 1881-1896. Dalam periode ini, rakyat Aceh melancarkan strategi
perang gerilya di bawah pimpinan Teuku Umar. Pada periode ketiga ini muncul sejumlah
tokoh Perang Aceh seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Teungku Cik di Tiro, Cut Meutia,
dan seterusnya. Adapun periode Perang Aceh keempat terjadi pada 1896 sampai 1910.
Periode keempat ini berlangsung secara sporadis, tanpa adanya komando dari pusat
pemerintahan Aceh.
Pilihan pemindahan Kerajaan Buleleng ke Desa Jagaraga, karena desa tersebut memiliki
beberapa kelebihan.
-Medannya berbukit, banyak jurang untuk melaksanakan serangan mendadak.
-Jalan penghubung hanya ada satu, yakni melalui Desa Sangsit, sehingga musuh mudah
diintai.
-Jarak Jagaraga Pabean relatif pendek, sehingga mudah mengetahui pergerakan Belanda.
-Istri dari I Gusti Ketut Jelantik berasal dari Desa Jagaraga memiliki naluri perang.
Selama di Jagaraga, I Gusti Ketut Jelantik, I Gusti Ngurah Made Karangasem (Raja
Buleleng), dengan dibantu oleh Jro Jempiring sudah menyusun strategi perang dalam kurun
waktu 1846-1848.
-Menyusun benteng pertahan di sekitar Jagaraga.
-Melatih teknik berperang untuk prajurit-prajurit Buleleng dan Jagaraga.
-Membangkitkan semangat warga Jagaraga untuk berperang dan menggunakan rumah
mereka sebagai lokasi penyimpanan logistik perang.
-Meminta dukungan kepada raja-raja di Bali, seperti Raja Karangasem, Raja Gianyar, Raja
Klungkung, Raja Mengwi, dan Raja Jembrana beserta dengan persenjataannya.
-Strategi perang yang digunakan adalah Supit Surang Makara Wyuhana, yaitu strategi perang
yang digunakan oleh Prabu Yudhistira dalam cerita Bharata Yudha.
-Dibelakang tembok benteng menjadi pusat markas dan komando I Gusti Ketut Jelantik
berdiri Pura Dalem Segara Madu Jagaraga. Belanda tidak pernah merasalan kenyaman dan
keamanan selama menguasai Buleleng. Karena, I Gusti Ketut Jelantik selalu membuat huru-
hara di sekitar Buleleng dan Pabean. Mereka merampok kapal-kapal Belanda di Pelabuhan
Pabean, memboikot penjualan bahan makanan kepada serdadu Belanda, dan melanggar
semua perjanjian yang disepakati pada perang Buleleng.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemenangan I Gusti Ketut Jelantik, Raja Buleleng, dan Jro
Jempiring dalan Perang Jagaraga pertama, yaitu:
-Adanya jiwa patriotisme prajurit Jagaraga bersama sekutunya yang sangat tinggi.
-Mentaati perintah perang I Gusti Ketut Jelantik, Raja Buleleng, dan Jro Jempiring
-------------Melakukan serangan terpadu dengan tangguh dan kuat.
-Dapat menggunakan senjata bus (bedil bus), berupa meriam tradisional yang diletakkan di
benteng utama.
-Siasat perang berjalan sesuai rencana, dimana dapat menggiring pasukan Belanda masuk
perangkap ke benteng Supit Surang (Makara Wyuhana).
-Belanda menganggap remeh prajurit Jagaraga serta sekutunya. Belanda tidak mengenal
medan pertempuran Jagaraga.
-Belanda tidak mampu melakukan konsolidasi karena situasi politik, baik di Indonesia
maupun Eropa.
Perang Jagaraga Kedua
Setelah kemenangan Perang Jagaraga pertama, I Gusti Ketut Jelantik menyadari bahwa
Belanda akan melakukan serangan balasan. Untuk itu, I Gusti Ketut Jelantik dan Jro
Jempiring selalu membakar semangat patriotirme para prajurit dan melakukan latihan perang
bersama prajurit dan sekutu-sekutunya. Upaya lain adalah meningkatkan logistik dan
peralatan perang dan selalu waspada jika terjadi serangan musuh yang sifatnya mendadak.
Sementara di Batavia, pada April 1849, Pemerintah Belanda melakukan melakukan persiapan
kedua untuk menggempur prajurit Jagaraga. Pemimpin Perang Jagaraga kedua Pemerintah
Hindia Belanda adalah Jenderal Michiels dan Letkol CA de Brauw dengan kekuatan 60 kapal
dan senjata moderen lengkap. Sebelum perang, mereka mengirim pasukan khusus untuk
mempelajari sistem strategi perang yang digunakan I Gusti Ketut Jelantik. Jenderal Michiels
juga mencari petunjuk jalan untuk melakukan gerakan memutar ke belakang lambung sebelah
barat benteng pertahanan utama Jagaraga. Strategi yang tidak pernah disadari oleh I Gusti
Ketut Jelantik, Raja Buleleng, dan Jro Jempiring. Pada tanggal 14 April 1849, armada
Belanda sudah mendarat di Pelabuhan Pabean dan Pelabuhan Sangsit untuk melakukan
serangan dari dua arah. Mengetahui kedatangan Belanda, I Gusti Ketut Jelantik bersama
pasukannya menuju Pelabuhan Pabean untuk melakukan perdamaian dengan Belanda.
Namun utusan Jenderal Michiels menolak permintaan I Gusti Ketut Jelantik. Karena, pihak
Belanda mengetahui itu siasat dan taktik I Gusti Ketut Jelantik untuk mengulur waktu agar
dapat berkonsolidasi dan meminta bantuan pasukan kepada raja-raja Bali. Saat, I Gusti Ketut
Jelantik bersama Raja Buleleng serta pasukannya pulang menuju Desa Jagaraga, ternyata
benteng-benteng Jagaraga sudah diserang habis-habisan oleh Belanda di bawah pimpinan
Letkol CA de Brauw.
Patuan Besar Ompu Pulo Batu atau yang lebih dikenal Sisingamangaradja XII adalah raja
serta pendeta terakhir masyarakat Batak di Sumatera Utara. Ia turut menjadi pejuang
melawan penjajahan Belanda di Sumatera sejak 1878. Pada 1907, ia terbunuh dalam
pertempuran oleh pasukan Belanda. Ia pun dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
pada 1962 berkat perlawanannya terhadap kolonialisme Belanda.
Kehidupan
Sisingamangaradja XII yang bernama asli Patuan Besar Ompu Pulo Batu lahir di Bakkara,
Tapanuli, pada 1849. Ia adalah penerus ayahnya, Sisingamangaradja XI, yang meninggal
pada 1876. Gelar Si Sisingamangaradja sendiri digunakan oleh dinasti keluarga Marga
Sinambela, yang berarti "Raja Singa Agung".
1. Kehormatan Si dari bahasa Sansekerta Sri.
2. Raja Agung (dari bahasa Sansekerta, maharaja).
3. Singa, karena orang Batak melihat diri mereka dalam mitologi sebagai keturunan dari
darah dewa.
Sisimangaradja XII adalah tokoh terakhir yang menjadi Parmalim (pemimpin agama). Ia
dianggap sebagai raja dewa dan titisan Batara Guru, Dewa Siwa versi Jawa.
Sisingamangaradja sendiri diyakini memiliki kekuatan seperti kemampuan mengusir roh
jahat, mengeluarkan hujan, dan mengendalikan penanaman padi. Mulanya,
Sisingamangaradja XII tidak dilihat sebagai tokoh politik. Tetapi, saat penjajah Belanda
datang ke Sumatera Utara sejak 1850-an, ia bersama Sisingamangaradja XI mulai fokus
melakukan perlawanan.
Perlawanan
Pada Februari 1878, Sisingamangaradja XII mengadakan upacara keagamaan untuk
menggalang orang Batak di balik perang perlawanan melawan Belanda. Pasukannya
menyerang pos-pos Belanda di Bakal Batu, Tarutung, namun mengalami kekalahan. Ia pun
berkumpul kembali dan melancarkan serangan baru pada 1883-1884 dengan mendapat
bantuan dari Aceh. Mereka menyerang Belanda di Uluan dan Balige pada Mei 1883, serta
Tangga Batu pada 1884. Belanda sendiri menyiksa dan membunuh orang Batak yang diduga
menjadi pengikut dari Sisingamangaradja XII. Pasukan Belanda juga membakar rumah serta
mengenakan pajak hukuman. Pada 1904, pasukan Belanda di bawah Letnan Kolonel
Gotfried Coenraad Ernst van Daalen menyerang Tanah Gayo dan beberapa daerah di sekitar
Danau Toba untuk mematahkan perlawanan Batak. Pasukan dari Sisingamangaradja XII
sendiri melakukan perang gerilya serta menghindari pasukan Belanda. Sebelum Belanda
melancarkan serangan lagi pada 1907 terhadap sisa pasukan Sisingamangaradja XII di
wilayah Toba, mereka memperkuat pasukan dan senjata. Pertempuran selanjutnya antara
Belanda dan pasukan Sisingamangaradja XII pun terjadi di Pak-pak, pasukan Belanda
dipimpin oleh Kapten Hans Christoffel.
Perang Batak
Sisingamangaradja XII sebagai raja Batak menolak adanya upaya penyebaran agama Kristem
yang dilakukan oleh para misionaris Belanda di wilayah Batak. Hal ini disebabkan karena
Sisingamangaradja khawatir kepercyaan dan tradisi animisme rakyat Batak akan terkikis oleh
adanya perkembangan agama Kristen. Upaya penolakan ini dilakukan dengan cara mengusir
zending (organisasi penyebar agama Kristen) yang memaksakan agama Kristen kepada
rakyat Batak pada 1877. Menanggapi tindakan pengusiran ini, para misionaris pun meminta
perlindungan dari pemerintah Kolonial Belanda. Sejak saat itu, perang antara rakyat Batak
dan Belanda pun terjadi yang disebut Perang Batak.
Akhir Hidup
Pada 17 Juni 1907, Sisingamangaradja XII tewas dalam peperangan di Dairi bersama
putrinya Lopian, dan kedua putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi. Ia disergap oleh
sekelompok anggota dari pasukan khusus Belanda, Korps Marsose. Ia menghadapi pasukan
Korps Marsose sembari memegang senjata Piso Gaja Dompak. Kopral Souhoka, pasukan
Belanda, yang merupakan penembak jitu, mendaratkan tembakannya ke kepala
Sisingamangaradja XII tepat di bawah telinganya. Ia kemudian dikebumikan Belanda secara
militer pada 22 Juni 1907 di Silindung. Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam
Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige pada 14 Juni 1953 yang dibangun oleh pemerintah.
Berdasarkan Surat Keppres No. 590, pada 19 November 1961, Sisingamangaradja XII
dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Selain itu, nama Sisingamangaradja
juga diabadikan sebagai nama jalan di seluruh kawasan Republik Indonesia.