Anda di halaman 1dari 2

Perang Padri

Perang padri merupakan perang sadara yag terjadi di minangkabau, di kerajaan Pagaruyung. Latar
belakang nya adalah berupa masalah agama dan adat sebelum Belanda ikut campr tangan.

Pertikaian antara sesama orang Minang ini berlangsung pada awal abad ke-17 Masehi, tepatnya dari
tahun 1803 hingga 1838. Ada beberapa golongan yang terlibat, yakni kaum Padri (kelompok agamis),
kaum adat, serta Belanda yang kemudian menerapkan taktik licik untuk memecah-belah rakyat
Minangkabau.
Peperangan ini menjadi ajang perlawanan rakyat Minangkabau melawan penjajah Belanda yang
dimotori oleh beberapa tokoh terkemuka, seperti Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai, Tuanku Nan
Renceh, dan lainnya.
 latar belakang Perang Padri dimulai pada 1803 ketika tiga orang Minangkabau pulang dari Makkah usai
menjalankan ibadah haji beliau-beliau berniat memperbaiki syariat Islam di Minangkabau yang belum
sepenuhnya dijalankan. Yang Dipertuan Pagaruyung tampaknya kurang sepakat. Sultan Arifin
Muningsyah masih tidak ingin meninggalkan tradisi atau kebiasaan yang telah dijalankan secara adat
sejak dulu di Minangkabau
. Pada 1803, seorang tokoh ulama bernama Tuanku Pasaman memimpin serangan kaum Padri ke
Kerajaan Pagaruyang. Perang ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah melarikan diri dari istana.

Tahun 1815, golongan Padri yang digalang Harimau nan Salapan berhasil menyudutkan kaum Adat.
semakin terdesak, orang-orang dari golongan Adat kemudian meminta bantuan kepada pemerintah
kolonial Hindia Belanda yang saat itu menjajah wilayah Nusantara, termasuk Minangkabau.

Tanggal 4 Maret 1822, pasukan dari Hindia Belanda berhasil mengusir kaum Padri dari Kerajaan
Pagaruyung. 10 Juni 1822, pasukan Raff yang bergerak dihadang oleh laskar kaum Padri, namun Belanda
berhasil melanjutkan perjalanannya ke Luhak Agam.

Pertempuran di daerah Baso terjadi pada 14 Agustus 1822. Kapten Goffinet dari pihak Belanda
mengalami luka berat dan akhirnya wafat pada 5 September 1822. Perlawanan orang-orang Minangkabau
dari kelompok Padri membuat Belanda terdesak hingga akhirnya memutuskan kembali ke Batu Sangkar.

Pada 13 April tahun berikutnya, Raff kembali menyerang ke daerah Lintau, markas pertahanan kaum
Padri. Pertempuran ini terjadi amat sengit hingga menyebabkan Belanda mundur pada 16 April 1823.

Raff kemudian meminta Sultan Arifin Muningsyah untuk datang ke Kerajaan Pagaruyung. Akan tetapi,
pada 1825, sang sultan wafat.

Tanggal November 1825, Belanda mengajukan gencatan senjata sembari meracik strategi licik
berupa Perjanjian Masang. Belanda saat itu sedang kewalahan dan kehilangan banyak sumber daya untuk
membiayai beberapa perang lain, termasuk perang melawan Pangeran Diponegoro di Jawa.

Saat masa gencatan senjata inilah Tuanku Imam Bonjol yang notabene adalah salah satu pemimpin Kaum
Padri mencoba mengajak kaum Adat untuk bersatu karena lawan yang sesungguhnya adalah penjajah
Belanda.
Kesepakatan damai yang diadakan di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar, ini dikenal dengan nama
"Plakat Puncak Pato". Hasilnya adalah perwujudan konsensus bersama yakni Adat Basandi Syarak,
Syarak Basandi Kitabullah, yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam,
sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an. Setelah Perang Jawa berakhir pada 1830 dan
ditangkapnya Pangeran Diponegoro dengan siasat licik, Belanda kembali memusatkan fokus ke
Minangkabau. Pasukan kolonial membangun benteng di Bukittinggi bernama Fort de Kock.

Pada 11 Januari 1833, pertahanan Belanda diserang oleh pasukan gabungan kaum Padri dan kaum Adat.
Menyadari hal tersebut, Belanda mengatur siasat kembali. Belanda berdalih bahwa kedatangan mereka
hanya untuk berdagang dan menjaga keamanan dengan rakyat Minangkabau.

Lagi-lagi, Belanda menerapkan siasat licik yang berujung pada penangkapan Tuanku Imam Bonjol pada
1837 yang kemudian diasingkan ke Cianjur, Ambon, lalu Minahasa hingga wafat di sana.

Perang kembali berkobar. Kali ini Belanda lebih unggul dan pada 1838 berhasil menembus pertahanan
terakhir rakyat Minangkabau di Dalu-Dalu yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai.

Tuanku Tambusai dan beberapa pengikutnya yang selamat pergi ke Negeri Sembilan di Semenanjung
Malaya. Kehilangan banyak tokoh pemimpin, kekuatan Minangkabau pun melemah dan Belanda pun
berkuasa setelah memenangkan perang.

Anda mungkin juga menyukai