Anda di halaman 1dari 7

PERANG MELAWAN PENJAJAHAN

KOLONIAL BELANDA

DISUSUN OLEH
NAMA : - Nabila Rahmadani
- Effenia Fahreza Siregar
KELAS
MATA PELAJARAN
: XI MIA 2
: Sejarah Indonesia

SMA NEGERI 1 RANTAU SELATAN

TAHUN AJARAN 2021/2022


Perumusan Masalah

Perang Padri
1. Apa itu Perang Padri ?
2. Bagaimana latar belakang terjadinya Perang Padri ?
3. Siapa saja tokoh yang berperan pada peperangan tersebut ?
4. Bagaimana berakhirnya Perang Padri ?
5. Apa tujuan dari peperangan tersebut ?
Perang Diponegoro
1. Apa itu Perang Diponegoro ?
2. Bagaimana latar belakang terjadinya perang tersebut ?
3. Siapa tokoh yang berperan pada peperangan tersebut?
4. Bagaimana berakhirnya Perang Diponegoro ?
5. Apa tujuan dari peperangan tersebut ?

1 . Perang Padri

Perang Padri adalah perang saudara yang pernah terjadi di Minangkabau, tepatnya di
wilayah Kerajaan Pagaruyung yang kini termasuk Kabupaten Tanah Datar, Sumatera
Barat.
Perang padri berlangsung dari tahun 1803 hingga 1838.
Perang ini merupakan peperangan yang pada awalnya akibat pertentangan dalam
masalah adat sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Ada beberapa golongan yang terlibat, yakni kaum Padri (kelompok agamis), kaum
adat, serta Belanda yang kemudian menerapkan taktik licik untuk memecah-belah
rakyat Minangkabau.
Pada akhirnya, peperangan ini menjadi ajang perlawanan rakyat Minangkabau
melawan penjajah Belanda yang dimotori oleh beberapa tokoh terkemuka, seperti
Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai, Tuanku Nan Renceh, dan lainnya.

Latar Belakang Perang Padri

Latar belakang Perang Padri dimulai pada 1803 ketika tiga orang Minangkabau
pulang dari Makkah usai menjalankan ibadah haji di tanah suci. Mereka dikenal
dengan nama Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang.
Seorang ulama bernama Tuanku Nan Renceh tertarik untuk ikut andil dan
mendukung niat ketiga haji yang baru saja pulang dari tanah suci itu.
Akhirnya, Tuanku Nan Renceh bergabung dan mengajak orang-orang lain untuk
turut serta. Mereka tergabung dalam kelompok bernama Harimau nan Salapan.
Harimau nan Salapan meminta pemimpin Kesultanan Pagaruyuang (Pagaruyung),
Sultan Arifin Muningsyah, dan kerabat kerajaan bernama Tuanku Lintau, untuk
bergabung dan meninggalkan kebiasaan adat yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Yang Dipertuan Pagaruyung tampaknya kurang sepakat.
Sultan Arifin Muningsyah masih tidak ingin meninggalkan tradisi atau kebiasaan
yang telah dijalankan secara adat sejak dulu di Minangkabau. Dikutip dari artikel
dalam portal resmi Kabupaten Agam, Sumatera Barat, ada beberapa kebiasaan yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti sabung ayam, judi, serta minum minuman
keras, padahal masyarakat adat saat itu sudah banyak yang memeluk agama Islam.
Kebiasaan ini sebenarnya tidak sesuai dengan mayoritas masyarakat Kaum Adat
yang beragama Islam. Menanggapi hal ini, kaum Padri atau kelompok agamis
terpaksa menggunakan cara keras untuk bisa mengubah kebiasaan itu sekaligus
dengan misi melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar
Kronologi Tokoh Perang Padri

Peperangan antar saudara di ranah Minang pun tak terelakkan. Pada 1803, seorang
tokoh ulama bernama Tuanku Pasaman memimpin serangan kaum Padri ke Kerajaan
Pagaruyang. Perang ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah melarikan diri dari
istana. Tahun 1815, golongan Padri yang digalang Harimau nan Salapan berhasil
menyudutkan kaum Adat. Beberapa tokoh terkemuka dari Harimau nan Salapan di
antaranya adalah Tuanku Nan Receh, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku
Tambusai, Tuanku Lintau, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek, dan Tuanku
Barumun. Lantaran semakin terdesak, orang-orang dari golongan Adat kemudian
meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda yang saat itu menjajah
wilayah Nusantara, termasuk Minangkabau
Tanggal 4 Maret 1822, pasukan dari Hindia Belanda yang dipimpin Letnan Kolonel
Raff berhasil mengusir kaum Padri dari Kerajaan Pagaruyung. Di Batu Sangkar, Raff
membangun benteng pertahanan yang bernama Fort Van der Capellen. Tepat 10 Juni
1822, pasukan Raff yang bergerak dihadang oleh laskar kaum Padri, namun Belanda
berhasil melanjutkan perjalanannya ke Luhak Agam. Pertempuran di daerah Baso
terjadi pada 14 Agustus 1822. Kapten Goffinet dari pihak Belanda mengalami luka
berat dan akhirnya wafat pada 5 September 1822.

Perlawanan orang-orang Minangkabau dari kelompok Padri membuat Belanda


terdesak hingga akhirnya memutuskan kembali ke Batu Sangkar. Pada 13 April
tahun berikutnya, Raff kembali menyerang ke daerah Lintau, markas pertahanan
kaum Padri. Pertempuran ini terjadi amat sengit hingga menyebabkan Belanda
mundur pada 16 April 1823.
Raff kemudian meminta Sultan Arifin Muningsyah untuk datang ke Kerajaan
Pagaruyung. Akan tetapi, pada 1825, sang sultan wafat. Tanggal November 1825,
Belanda mengajukan gencatan senjata sembari meracik strategi licik berupa
Perjanjian Masang. Belanda saat itu sedang kewalahan dan kehilangan banyak
sumber daya untuk membiayai beberapa perang lain, termasuk perang melawan
Pangeran Diponegoro di Jawa. Saat masa gencatan senjata inilah Tuanku Imam
Bonjol yang notabene adalah salah satu pemimpin Kaum Padri mencoba mengajak
kaum Adat untuk bersatu karena lawan yang sesungguhnya adalah penjajah Belanda.
Buku Muslim Non Muslim Marriage: Political and Cultural Contestations in
Southeast Asia (2009) yang disusun oleh Gavin W. Jones dan kawan-kawan,
menuliskan, perdamaian dan kesepakatan untuk bersatu antara kaum Padri dan kaum
Adat akhirnya tercapai. Kesepakatan damai yang diadakan di Bukit Marapalam,
Kabupaten Tanah Datar, ini dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato". Hasilnya
adalah perwujudan konsensus bersama yakni Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah, yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam,
sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an.

Berakhirnya Perang Padri

Setelah Perang Jawa berakhir pada 1830 dan ditangkapnya Pangeran Diponegoro
dengan siasat licik, Belanda kembali memusatkan fokus ke Minangkabau.
Pasukan kolonial membangun benteng di Bukittinggi bernama Fort de Kock. Pada 11
Januari 1833, pertahanan Belanda diserang oleh pasukan gabungan kaum Padri dan
kaum Adat. Menyadari hal tersebut, Belanda mengatur siasat kembali.
Belanda berdalih bahwa kedatangan mereka hanya untuk berdagang dan menjaga
keamanan dengan rakyat Minangkabau. Lagi-lagi, Belanda menerapkan siasat licik
yang berujung pada penangkapan Tuanku Imam Bonjol pada 1837 yang kemudian
diasingkan ke Cianjur, Ambon, lalu Minahasa hingga wafat di sana.
Perang kembali berkobar. Kali ini Belanda lebih unggul dan pada 1838 berhasil
menembus pertahanan terakhir rakyat Minangkabau di Dalu-Dalu yang dipimpin
oleh Tuanku Tambusai. Tuanku Tambusai dan beberapa pengikutnya yang selamat
pergi ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya.
Kehilangan banyak tokoh pemimpin, kekuatan Minangkabau pun melemah dan
Belanda pun berkuasa setelah memenangkan perang.

Tujuan perang padri adalah untuk memurnikan pelaksanaan agama Islam,


mengutuk kebiasaanburuk di masyarakat yang bertentangan dengan
ajaran agama.
2 . Perang Diponegoro

Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa adalah perang
besar dan berlangsung selama lima tahun 1825- 1830 di Pulau Jawa, Hindia
Belanda (sekarangIndonesia). Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar
yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara,
melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock
yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan
Pangeran Diponegoro. Akibat perang ini, penduduk Jawa yang tewas mencapai
200.000 jiwa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara
Belanda dan 7000 serdadu pribumi.

Latar Belakang Diponegoro

Memasuki abad ke- 19, keadaan di Surakarta dan Yogyakarta semakin


memprihatinkan karena intervensi Belanda terhadap pemerintah lokal sering kali
memperburuk perselisihan yang ada di lingkungan kerajaan. Campur tangan pihak
kolonial juga membawa pergeseran adat dan budaya keraton yang tidak sesuai
dengan budaya nusantara. Selain itu, dominasi Belanda telah membuat rakyat
menderita karena dijadikan sebagai objek pemerasan. Pasalnya, para petani tidak
dapat mengembangkan hidupnya karena harus menjadi tenaga kerja paksa. Beban
mereka pun semakin berat karena diwajibkan untuk membayar berbagai macam
pajak. Melihat penderitaan rakyat akibat kekejaman Belanda, Pangeran Diponegoro
tidak mau tinggal diam. Pangeran Diponegoro, yang memiliki nama asli Raden Mas
Ontowiryo, adalah putra Sultan Hamengkubuwono III yang pada awalnya memilih
untuk tidak ikut campur urusan keraton karena ibunya bukan seorang permaisuri.
Namun, ketika Belanda dirasa terlalu banyak mencampuri urusan keraton, Pangeran
Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan. Selain itu, Perang
Diponegoro terjadi karena Belanda dengan sengaja menanam patok-patok untuk
membuat jalan di atas makam leluhur Pangeran Diponegoro. Hal itulah yang
membuat kemarahan Pangeran Diponegoro memuncak, dan menyatakan sikap
perang dengan mengganti patok yang dipasang Belanda dengan tombak.

Hal ini bermula dari peristiwa pada 20 Juli 1825, di mana pihak istana mengutus dua
bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap
Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo. Saat itu Pangeran Diponegoro dan
sebagian besar pengikutnya berhasil lolos, namun kediamannya di Tegalrejo habis
dibakar. Pangeran Diponegoro bergerak ke barat hingga ke Gua Selarong di Dusun
Kentolan Lor, Guwosari, Pajangan, Bantul sebagai markas besarnya. Perang Diponegoro
melibatkan berbagai kalangan, mulai dari kaum petani hingga golongan priyayi yang
menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang

Hanya dalam waktu tiga minggu setelah penyerbuan Tegalrejo, pasukan Diponegoro
sudah bisa melakukan penyerangan dan berhasil menduduki keraton Yogyakarta.
Keberhasilan ini disusul dengan kemenangan di beberapa daerah pada tahun-tahun awal
berkobarnya Perang Diponegoro. Pergerakan pun meluas ke daerah Banyumas, Kedu,
Pekalongan, Semarang, dan Rembang. Kemudian ke arah timur mencapai Madiun,
Magetan, Kediri, dan sekitarnya. Meluasnya gerakan perlawanan yang dicetuskan
Pangeran Diponegoro disebut mampu menggerakkan kekuatan di seluruh
Jawa. Selama perang, Pangeran Diponegoro menerapkan strategi perang gerilya dan
perang atrisi (penjemuan).

Kronologi Perang Diponegoro

Perang Diponegoro berlangsung selama lima tahun yaitu dari tahun 1825 hingga tahun
1830. Hal ini bermula dari peristiwa pada 20 Juli 1825, di mana pihak istana mengutus
dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap
Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo. Saat itu Pangeran Diponegoro
dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos, namun kediamannya di Tegalrejo habis
dibakar. Pangeran Diponegoro bergerak ke barat hingga ke Gua Selarong di Dusun
Kentolan Lor, Guwosari, Pajangan, Bantul sebagai markas besarnya. Perang
Diponegoro melibatkan berbagai kalangan, mulai dari kaum petani hingga golongan
priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana
perang.

Pada puncak peperangan di tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang
serdadu yang menjadi suatu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bagi Belanda,
Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan mengerahkan berbagai jenis pasukan,
mulai dari pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri, yang berlangsung dengan sengit. Di
tahun yang sama, pasukan Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro
dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada
tahun 1829, Kyai Mojo ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan
Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerahkan diri kepada Belanda. Bahkan pada 21
September 1829, Belanda sempat membuat sayembara dengan hadiah hadiah sebesar
50.00 Gulden, beserta tanah dan penghormatan bagi siapa saja yang dapat menangkap
Pangeran Diponegoro hidup atau mati. Pada 16 Februari 1830, memperhatikan
posisinya yang lemah akhirnya Pangeran Diponegoro setuju untuk bertemu dengan
utusan Jenderal De Kock, yakni Kolonel Jan Baptist Cleerens.

Pada 20 Februari 1830, pertemuan antara kedua belah pihak tidak menghasilkan
kesepakatan dan Pangeran Diponegoro menyatakan ingin bertemu langsung dengan
Jenderal De Kock. Walau pertemuan dengan Jenderal De Kock terjadi beberapa kali,
namun mata-mata yang ditanamkan di kesatuan Diponegoro melaporkan bahwa
Pangeran Diponegoro tetap bersikeras mendapatkan pengakuan Belanda sebagai sultan
Jawa bagian selatan Akhirnya pada 25 Maret 1830, Jenderal De Kock memerintahkan
Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor A.V Michiels untuk mempersiapkan
perlengkapan militer dan merencanakan penangkapan Diponegoro. Pada tanggal 28
Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang.
Pada akhirnya, setelah pengkhianatan tersebut Pangeran Diponegoro menyatakan
bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa pengikutnya dilepaskan.

Berakhirnya Perang Diponegoro

Akhir perlawanan Pangeran Diponegoro adalah ketika dia ditangkap pada tahun
1830 oleh Belanda, yang awalnya menjanjikan perundingan namun kemudian
mengingkari janji tersebut. Pangeran Diponegoro kemudian dibuang ke Sulawesi.
Dominasi Belanda terhadap kerajaan di Jawa dan kebijakan-kebijakan Belanda yang
merugikan rakyat akhirnya menjadikan Pangeran Diponegoro untuk memberontak
pada tahun 1825, dalam apa yang kemudian disebut Perang Diponegoro atau
Perang Jawa.
Selain itu sebab pemberontakan adalah perampasan tanah milik bangsawan termasuk
milik Pangeran Diponegoro oleh Belanda, pembangunan jalan oleh Belanda di tanah
makam leluhur Pangeran Diponegoro dan paksaan pada penduduk Jawa untuk
menanam tanaman untuk diekspor oleh Belanda.
Awalnya Pangeran Diponegoro memperoleh keberhasilan dalam perang ini, karena
dukungan dari rakyat yang menentang Belanda.
Namun perlahan Belanda berhasil membalik keadaan. Belanda mendatangkan
pasukan kolonial Hindia Belanda (KNIL) dari pulau lain dan dari Belanda sendiri.
Belanda kemudian menekan pasukan Diponegoro dengan sistem benteng atau yang
biasa disebut “benteng-stelsel” yang membatasi gerakan pasukan Diponegoro.
Wabah kolera dan disentri merebak dalam kondisi perang ini dan membunuh banyak
rakyat dan pasukan Diponegoro. Penyakit dan strategi Belanda ini melemahkan
perjuangan Pangeran Diponegoro. Kemudian, satu persatu pendukung Pangeran
Diponegoro tertangkap atau menyerah, seperti Kyai Mojo pada tahun 1828 dan
Pangeran Mangkubumi serta Sentot Alibasyah pada tahun 1829.
Karena terdesak Pangeran Diponegoro setuju untuk berunding dengan Belanda pada
tahun 1830, tetapi oleh Belanda, Pangeran Diponegoro dikhianati dan ditawan,
lalu dibuang ke pulau Sulawesi. Pangeran Diponegoro meninggal dalam tawanan
Belanda pada 8 Januari 1855 di Makassar.

Tujuan perang diponegoro adalah untuk mengusir belanda yang campur


tangan dalam pemerintahan yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai