Istilah Padri berasal dari padre yang berarti ulama. Perang Padri terjadi di Sumatera Barat
tahun 1821 -1838. Pada mulanya merupakan perang saudara antarsuku Minang sendiri.
Setelah Belanda campur tangan, menjadi perang nasional. Perang saudara terjadi karena
pertikaian antara kaum adat yang umumnya berpakaian hitam, sehingga disebut kaum hitam
melawan kaum ulama yang umumnya berpakaian putih sehingga disebut kaum putih.
Pada mulanya yang campur tangan dalam perang tersebut ialah Inggris di bawah pimpinan
Reffles yang berkedudukan di Bengkulu tetapi perbuatan tersebut tidak disetujui oleh
pemimpin Inggris di Kalkuta sehingga Belanda memperoleh kesempatan campur tangan dan
akhirnya menjadi perang nasional yang merupakan perang suku Minang terhadap Belanda.
Dapat juga disebut perang kolonial karena merupakan perang yang dilakukan Belanda untuk
menguasai daerah Sumatera Barat.
Pada mulanya agama Islam yang berkembang di Sumatera Barat ialah aliran Tasawuf
yang disiarkan dari Aceh. Kemudian berkembang aliran Wahabi yang berasal dari
Arab. Aliran ini menghendaki ajaran agama yang lebih murni dan sering
mempergunakan cara-cara yang keras dalam mencapai tujuannya. Tokoh-tokoh aliran
Wahabi, antara lain Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piabang, dan Tuanku Imam
Bonjol. Antara aliran Tasawuf dengan Wahabi terdapat pertentangan paham.
Salah satu hukum adat Sumatera Barat ialah matrilinial, yaitu pengakuan garis
keturunan menurut ibu. Hal itu bertentangan dengan hukum agama yang mengenal
patrilinial, yaitu garis keturunan menurut ayah sehingga menurut adat kaum wanita
berkedudukan lebih tinggi dan harta warisan jatuh ke tangannya, sedangkan menurut
hukum Islam kaum prialah yang seharusnya memperoleh bagian lebih banyak.
Terjadi perebutan pengaruh antara kaum adat dengan kaum ulama atau kaum hitam
dengan kaum putih dalam masyarakat.
Adanya campur tangan bangsa Barat dalam perebutan pengaruh tersebut. Pada
mulanya oleh Inggris kemudian oleh Belanda yang keduanya menginginkan
kekuasaan di Sumatera Barat.
Sebab khusus ialah suatu pertemuan antara kaum adat dengan kaum ulama untuk
mencari penyelesaian yang diadakan do Koto Tengah. Pertemuan tersebut tidak
diperoleh hasil, dan terjadi pertikaian sehingga kaum adat meminta bantuan Belanda
di Padang (1821).
Perang Padri yang berlangsung selama 17 tahun (1821 - 1838), dapat dibedakan
atas tiga periode, yaitu sebagai berikut ini :
Misalnya, serangan kaum Padri dari Lima Puluh Koto atas kedudukan
Belanda di Padang Tarab, dan pertempuran antara kaum adat dengan kaum
Padri di Lintau. Belanda memperkuat kedudukannya di Bukit Tinggi dengan
membuat benteng Fort De Kock, sesuai dengan nama panglima Belanda di
Indonesia. Belanda juga menembaki daerah Pariaman dari laut karena rakyat
menentang monopoli garam pemerintah Belanda.
Setelah bertahan beberapa lama, Bonjol jatuh ke tangan Belanda (1837), tetapi
perlawanan dilanjutkan di daerah hutan secara gerilya. Seperti juga siasat
Belanda di Jawa, Belanda mengajak Tuanku Imam Bonjol berunding di
Palupuh yang diakhiri dengan penangkapan. Imam Bonjol dibuang ke Cianjur
kemudian dipindahkan ke Ambon, akhirnya ke Manado dan wafat tahun 1854.
Perang Padri di Sumatera Barat mempunyai dua arti sebagai berikut ini :
Pada periode akhir Perang Padri, kaum adat dan kaum ulama bersatu untuk melawan
Belanda. Oleh karena itu, mereka tidak memperuncing perbedaan pahamnya. Adat
bersendikan Syara' dan sebaliknya Syara' pun bersendikan adat. Persoalan yang tidak
terpecahkan menurut adat akan dipecahkan menurut hukum agama dan sebaliknya.
Adat di wilayah itu tetap dipegang teguh, tetapi hukum agama dapat pula ditegakkan
dengan baik.
Belanda dapat menguasai Sumatera Barat. Produksi daerah Sumatera Barat dapat
dikuasai sehingga penyelundupan ke Singapura dapat dicegah. Dari daerah
Sawahlunto Belanda kemudian menemukan tambang batu bara yang waktu itu
merupakan bahan bakar utama untuk menggerakkan mesin. Untuk penambangannya
dikerahkan orang-orang hukuman sedangkan untuk ekspornya dibangun pelabuhan
Teluk Bayur. Setelah Belanda dapat menguasai Sumatera bagian Selatan (1822 -
1824) dan Sumatera bagian tengah (1837) perhatiannya ditujukan ke Sumatera bagian
utara. Dengan persetujuan dari Inggris dalam Treaty of Sumatra (1871), dilancarkan
peperangan ke Tapanuli dan Aceh.