Anda di halaman 1dari 19

Perang Padri

Perang Padri adalah peperangan yang


berlangsung di Sumatra Barat dan sekitarnya
terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari
tahun 1803 hingga 1838.[1] Perang ini merupakan
peperangan yang pada awalnya akibat
pertentangan dalam masalah agama sebelum
berubah menjadi peperangan melawan penjajahan.
Perang Padri dimulai dengan munculnya
pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki
sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh
kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya.
Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman
keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya
pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam.[2] Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang
padahal telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum
Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang saudara yang melibatkan
sesama Minang dan Mandailing. Dalam peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan
Salapan sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan Arifin
Muningsyah. Kaum Adat yang mulai terdesak, meminta bantuan kepada Belandapada tahun 1821.
Namun keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga sejak tahun 1833 Kaum Adat
berbalik melawan Belanda dan bergabung bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya
peperangan ini dapat dimenangkan Belanda.
Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang cukup panjang, menguras harta dan
mengorbankan jiwa raga. Perang ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga
berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan memunculkan perpindahan
masyarakat dari kawasan konflik.

Latar belakang
Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji dari Mekkah sekitar tahun 1803,
yaitu Haji Miskin, Haji Sumanikdan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum
sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.[3]Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan
Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan
ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.[4]
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan
Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan
yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat
antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu beberapa nagaridalam Kerajaan Pagaruyung
bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku
Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini
menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota
kerajaan.[5] Dari catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818,
menyebutkan bahwa ia hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah
terbakar.[6]

Keterlibatan Belanda
Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung yang tidak pasti,
maka Kaum Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan
kepada Belanda pada tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar
waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan Kerajaan
Pagaruyung.[7] Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan
Pagaruyung kepada pemerintah Hindia Belanda, kemudian mengangkat Sultan Tangkal Alam
Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.[8]
Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda
dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet
dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy
di Padang.[9] Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin
oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.

Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil
memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng
pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun
kekuatan dan bertahan di Lintau.[10] Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung
Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada
tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian
meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa
kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku
Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau,
namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823
Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung
Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada
tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di
Pagaruyung.[11] Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal
17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.[12]
Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans
Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto
Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, namun karena
luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.[13]

Gencatan senjata
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda
untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin
Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat
"Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825.[2]Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan
Pemerintah Hindia Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain
di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga
mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal
dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan
konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang artinya adat
Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-
Qur'an.[14]

Tuanku Imam Bonjol


Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh de
Stuerspada tahun 1820.

Artikel utama: Tuanku Imam Bonjol


Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul sebagai
pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku Nan
Renceh sebagai Imam di Bonjol.[15] Kemudian menjadi pemimpin sekaligus
panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia.[16]
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap saudara-saudaranya,
sebagaimana yang terdapat dalam memorinya. Walau di sisi
lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap kepahlawanan dan cinta tanah
air.[5]

Peperangan jilid kedua


Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia
Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan
kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau
(darek). Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan
Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan
dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan
pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi ingin mengambil alih atau
monopoli.[11]
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar perjanjian yang telah dibuat
sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang
mampu memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda
membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal dengan nama Fort de Kock.
Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan Luhak Tanah Datar berada
dalam kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari
kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan
terhadap Kaum Padri antara tahun 1831–1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari
pasukan Sentot Prawirodirdjo, salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah
membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia Belanda setelah usai perang di Jawa. Namun
kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yang ditempatkan di Lintau justru
menimbulkan masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan
Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot dan
legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak berhasil menghilangkan kecurigaan
Belanda terhadap dirinya, dan Belanda pun juga tidak ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya
kembali ke Sumatra. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu, lalu
ditinggal sampai mati sebagai orang buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut
kembali menjadi tentara Belanda.

Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian
peperangan. Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober
1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda
bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau.[17] Kemudian Kaum
Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, namun
seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan
Belanda setelah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga
kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan bertahan
di Bonjol.
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada
beberapa kawasan yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal
Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di
Padang Mantinggi, namun sebelum mereka dapat memperkuat posisi,
kubu pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yang
mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda.[18] Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada
tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru. Kemudian ia
dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui
ajalnya. Diduga jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.[19]

Perlawanan bersama

Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum
Padri.[20] Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda
dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu
sendiri. Hampir selama 20 tahun pertama perang ini (1803–1823),
dapatlah dikatakan sebagai perang saudara melibatkan sesama
etnik Minang dan Batak.
Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun
Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan menjadi
kacau;[21] disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa serta ratusan
tentara pribumi terbunuh. Sultan Tangkal Alam Bagagar yang
sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar,
ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di
Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Kemudian Belanda mengasingkannya ke Batavia, walau
dalam catatan Belanda Sultan Tangkal Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya dalam
penyerangan beberapa pos Belanda, namun pemerintah Hindia Belanda juga tidak mau mengambil
risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian
diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.[7]
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi secara keseluruhan
masyarakat Minangkabau. Maka Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan
pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan bahwa kedatangan Belanda
ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk
berdagang dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh
para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar pajak. Kemudian Belanda berdalih
bahwa untuk menjaga keamanan, membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan
biaya, maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada Belanda.

Serangan ke Bonjol
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van
den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi
militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda.[22] Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan
dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatra, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk
segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri. Riesz dan Elout menerangkan
bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng
Bonjol, karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka sangat mungkin akan
menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van den Bosch bersikeras untuk segera
menaklukkan Benteng Bonjol paling lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut
meminta tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil memperlambat gerak laju
serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua
perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas.
Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan
badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia Belanda
digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol
gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan dan jembatan yang
mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk
memudahkan mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus
berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yang dekat dengan kubu
pertahanannya.
Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan besar-
besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835,
pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju Masang
menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti
menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam
hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil mencapai tepi Batang
Gantiang, kemudian menyeberanginya dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan
sempit menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang,
pecah pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung
selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan
kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan
rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas pasukan Belanda, kemudian
daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju
Bonjol.[23]
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban, hampir sebulan waktu
yang diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai frontterdepan dari Alahan
Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun
pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini.[24]
Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju sebelah
timur Batang Alahan Panjang dan membuat kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum
Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-kira hanya 250 langkah pada tengah
malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya
dengan menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol.
Namun Kaum Padri tidak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga
dengan posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi korban.
Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yang
dikirim oleh Residen Francis di Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar
pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.

Benteng Bonjol

Lukisan Bonjol pada tahun 1839.

Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus


ke atas, dikenal dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh
dari benteng ini mengalir Batang Alahan Panjang, sebuah
sungai di tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara ke selatan. Benteng ini
berbentuk segi empat panjang, tiga sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi
kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit yang dalam dengan lebar 4 meter.
Dinding luar terdiri dari batu-batu besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-
benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu berduri panjang yang ditanam sangat rapat
sehingga Kaum Padri dapat mengamati bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.[25]
Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol menjadikan kubu-kubu pertahanan
Kaum Padri tidak mudah untuk dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang dimanfaatkan
dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang strategis, sekaligus menjadi
markas utama Tuanku Imam Bonjol.[26]

Pengepungan Bonjol

Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh G. Kepper.

Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba


melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk
melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan
Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena
justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan
perbekalannya yang banyak diserang oleh pasukan Kaum
Padri secara gerilya. Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari daerah-
daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari berbagai negeri di Minangkabau dan
sekitarnya. Semua bertekad bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah
penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
bantuan tentara yang terdiri dari pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835
penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yang berada di Bukit
Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu
persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar Bukit Tajadi.[27] Namun
sampai awal September 1835, pasukan Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada
tanggal 5 September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke luar benteng
menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan
tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah Luhak Limo
Puluah dan Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada
pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit
dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri, membangkitkan semangat keberanian rakyat
sekitarnya untuk memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11
Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat senjata dan menyerang kubu-kubu
pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang
bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat
diatasi.

Kemenangan Belanda dalam Perang Padri,


yang diilustrasikan oleh G. Kepper.

Frans David Cochius, komandan penaklukan


Benteng Bonjol.

Hampir setahun mengepung Bonjol, pada


tanggal 3 Desember 1836, pasukan
Belanda kembali melakukan serangan
besar-besaran terhadap Benteng Bonjol,
sebagai usaha terakhir untuk penaklukan
Bonjol. Serangan dahsyat ini mampu
menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda dapat
masuk menyerbu dan berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku
Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan dan semangat juang yang tinggi
Kaum Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan terpaksa
kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di
Batavia yang waktu itu telah dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun
1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochiusuntuk
memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya.[28] Cochius
merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng
Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam
bulan (16 Maret–17 Agustus 1837)[29] dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan
gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis dan Ambon.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, termasuk
di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias
Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor
Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu
van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga
nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo,
Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana pada tanggal 20 Juli
1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika yang
berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals
dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri yang
bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta
pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin
oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit
menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi jatuh, dan
pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku
Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa
pengikutnya terus menuju daerah Marapak.

Perundingan
Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan
konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, namun karena telah
lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang
tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.
Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa
anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial
Belanda[30].
Pada tanggal 23 Januari 1838, Imam Bonjol dibuang ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali
dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali
dipindahkan ke Lotta, Minahasa, dekat Manado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa
pembuangan selama 27 tahun lamanya. Pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol
meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Beliau dimakamkan di tempat pengasingannya
tersebut.
Tuanku Imam Bonjol menulis autobiografi yang dinamakan Naskah Tuanku Imam Bonjol yang antara
lain berisi penyesalannya atas kekejaman Wahabi Paderi[30]. Tulisan tersebut merupakan karya sastra
autobiografi pertama dalam bahasa Melayu disimpan oleh keturunan Imam Bonjol dan dipublikasikan
tahun 1925 di Berkley[31], dan 2004[32] di Padang.[30]

Akhir peperangan

Monumen Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia Belanda

Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai


Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap,
tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng
terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu
telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember
1838.[33] Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai
mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya, dan
akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian
dari Pax Netherlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan
Pemerintah Hindia Belanda.
Perang Diponegoro
Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan
sebutan Perang Jawa (Inggris:The Java
War, Belanda: De Java Oorlog adalah perang besar
dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di
Pulau Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia).
Perang ini merupakan salah satu pertempuran
terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama
masa pendudukannya di Nusantara, melibatkan
pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik
Merkus de Kock[7] yang berusaha meredam
perlawanan penduduk Jawa di bawah
pimpinan Pangeran Diponegoro. Akibat perang ini,
penduduk Jawa yang tewas mencapai 200.000 jiwa,
sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu
pribumi. Akhir perang menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.[8]
Berkebalikan dari perang yang dipimpin oleh Raden Ronggo sekitar 15 tahun sebelumnya, pasukan
Jawa juga menempatkan masyarakat Tionghoa di tanah Jawa sebagai target penyerangan. Namun,
meskipun Pangeran Diponegoro secara tegas melarang pasukannya untuk bersekutu dengan
masyarakat Tionghoa, sebagian pasukan Jawa yang berada di pesisir utara
(sekitar Rembang dan Lasem) menerima bantuan dari penduduk Tionghoa setempat yang rata-rata
beragama Islam.[8

Latar belakang
Pemerintahan Daendels dan Raffles
Perseteruan pihak keraton Jawa dengan Belanda dimulai semenjak kedatangan Marsekal Herman
Willem Daendels di Batavia pada tanggal 5 Januari 1808. Meskipun ia hanya ditugaskan untuk
mempersiapkan Jawa sebagai basis pertahanan Prancis melawan Inggris (saat itu Belanda dikuasai
oleh Prancis), tetapi Daendels juga mengubah etiket dan tata upacara yang menyebabkan
terjadinya kebencian dari pihak keraton Jawa. Ia memaksa pihak Keraton Yogyakarta untuk
memberinya akses terhadap berbagai sumber daya alam dan manusia dengan mengerahkan
kekuatan militernya, membangun jalur antara Anyer dan Panarukan, hingga akhirnya terjadi insiden
perdagangan kayu jati di daerah mancanegara (wilayah Jawa di timur Yogyakarta) yang
menyebabkan terjadinya pemberontakan Raden Ronggo. Setelah kegagalan pemberontakan Raden
Ronggo (1810), Daendels memaksa Sultan Hamengkubuwana II membayar kerugian perang serta
melakukan berbagai penghinaan lain yang menyebabkan terjadinya perseteruan antar keluarga
keraton (1811). Namun, pada tahun yang sama, pasukan Inggris mendarat di Jawa dan
mengalahkan pasukan Belanda.[8]
Meskipun pada mulanya Inggris yang dipimpin Thomas Stamford Bingley Raffles memberikan
dukungan kepada Sultan Hamengkubuwana II, pasukan Inggris akhirnya menyerbu Keraton
Yogyakarta (19-20 Juni 1812) yang menyebabkan Sultan Hamengkubuwana II turun tahta secara
tidak hormat dan digantikan putra sulungnya, yaitu Sultan Hamengkubuwana III. Perisitwa ini dikenal
dengan nama Geger Sepehi. Inggris memerintah hingga tahun 1815 dan mengembalikan Jawa
kepada Belanda sesuai isi Perjanjian Wina (1814) di bawah Gubernur Jenderal Belanda van der
Capellen. Pada masa pemerintahan Inggris, Hamengkubuwana III wafat dan digantikan putranya,
adik tiri Pangeran Diponegoro, yaitu Hamengkubuwana IV yang berusia 10 tahun (1814),
sementara Paku Alam I menjadi adipati di Puro Kadipaten Pakualaman sekaligus wali Raja
sedangkan Patih Danuredjo III bertindak sebagai wali Raja.[8]
Pengangkatan Hamengkubuwana V dan pemerintahan Smissaert
Pada tanggal 6 Desember 1822, Hamengkubuwana IV meninggal pada usia 19 tahun. Ratu Ageng
(permaisuri Hamengkubuwana II) dan Gusti Kangjeng Ratu Kencono (permaisuri Hamengkubuwana
IV) memohon dengan sangat kepada pemerintah Belanda untuk mengukuhkan putra
Hamengkubuwana IV yang masih berusia 2 tahun untuk menjadi Hamengkubuwana V serta tidak
lagi menjadikan Paku Alam sebagai wali. Pangeran Diponegoro selanjutnya diangkat menjadi wali
bagi keponakannya bersama dengan Mangkubumi. Sebagai putra tertua Hamengkubuwana III
meskipun bukan dari istri resmi (permaisuri), ia merasa sangat sakit hati dan sempat berpikir untuk
bunuh diri karena kecewa. Pada tahun 1823, tahta keraton yang seharusnya diduduki wali sultan
yang masih balita ternyata ditempati oleh Residen Belanda saat itu, yaitu Smissaert, sehingga
sangat melukai hati masyarakat Yogya dan Pangeran Diponegoro, meskipun ada kecurigaan bahwa
tindakan Smissaert disebabkan kedua ratu tidak ingin melihat Diponegoro duduk di atas tahta.[8]
Menindaklanjuti pengamatan Van der Graaf pada tahun 1821 yang melihat para petani lokal
menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan
Jerman, van der Capellen mengeluarkan dekret pada tanggal 6 Mei 1823 bahwa semua tanah yang
disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824.
Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa. Keraton
Yogyakarta terancam bangkrut karena tanah yang disewa adalah milik keraton sehingga Pangeran
Diponegoro terpaksa meminjam uang kepada Kapitan Tionghoa di Yogyakarta pada masa itu.
Smissaert berhasil menipu kedua wali sultan untuk meluluskan kompensasi yang diminta oleh
Nahuys atas perkebunan di Bedoyo sehingga membuat Diponegoro memutuskan hubungannya
dengan keraton. Putusnya hubungan tersebut terutama disebabkan tindakan Ratu Ageng (ibu tiri
pangeran) dan Patih Danurejo yang pro kepada Belanda. Pada 29 Oktober 1824, Pangeran
Diponegoro mengadakan pertemuan di rumahnya, di Tegalrejo, untuk membahas mengenai
kemungkinan pemberontakan pada pertengahan Agustus. Pangeran Diponegoro membulatkan
tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di
Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.[8]

Mulainya perang
Pada pertengahan bulan Mei 1825, Smissaert memutuskan untuk memperbaiki jalan-jalan kecil di
sekitar Yogyakarta. Namun, pembangunan jalan yang awalnya
dari Yogyakarta ke Magelang melewati Muntilan dibelokkan melewati pagar sebelah timur Tegalrejo.
Pada salah satu sektor, patok-patok jalan yang dipasang orang-orang kepatihan melintasi makam
leluhur Pangeran Diponegoro. Patih Danurejo tidak memberitahu keputusan Smissaert sehingga
Diponegoro baru mengetahui setelah patok-patok dipasang. Perseteruan terjadi antara para petani
penggarap lahan dengan anak buah Patih Danurejo sehingga memuncak di bulan Juli. Patok-patok
yang telah dicabut kembali dipasang sehingga Pangeran Diponegoro menyuruh mengganti patok-
patok dengan tombak sebagai pernyataan perang.[8]
Pada hari Rabu, 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin
pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo
sebelum perang pecah. Meskipun kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan sebagian
besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo.[8] Pangeran
Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten
Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang
terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa
Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai
basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi
tempat pertapaan dia. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani
Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun.
Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang
menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang, dengan
semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; "sejari kepala sejengkal tanah dibela
sampai mati". Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Bahkan Diponegoro
juga berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk
pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi tersendiri.[8] Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai
Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran
Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden Tumenggung
Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.

Perang sabil
Bagi Diponegoro dan para pengikutinya, perang ini merupakan perang jihad melawan Belanda dan
orang Jawa murtad. Sebagai seorang muslim yang saleh, Diponegoro merasa tidak senang
terhadap religiusitas yang kendur di istana Yogyakarta akibat pengaruh masuknya Belanda,
disamping kebijakan-kebijakan pro-Belanda yang dikeluarkan istana.[9]Infiltrasi pihak Belanda di
istana telah membuat Keraton Yogyakarta seperti rumah bordil. Di lain pihak, Smissaert menulis
bahwa Pangeran Diponegoro semakin lama semakin hanyut dalam fanatisme dan banyak anggota
kerajaan yang menganggapnya kolot dalam beragama.[8]
Dalam laporannya, Letnan Jean Nicolaas de Thierry menggambarkan Pangeran Diponegoro
mengenakan busana bergaya Arab dan serban yang seluruhnya berwarna putih. Busana tersebut
juga dikenakan oleh pasukan Diponegoro dan dianggap lebih penting dibandingkan busana adat
Jawa meskipun perang telah berakhir. Laporan Paulus Daniel Portier, seorang indo, menyebutkan
bahwa para tawanan perang Belanda memperoleh ancaman nyawa jika tidak bersedia masuk
Islam.[8]

Jalan peperangan

Peta Mataram Baru setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830

Diponegoro

Alibasah Sentot

Pertempuran terbuka dengan


pengerahan pasukan-

pasukan infantri, kavaleri dan artileri (yang sejak perang


Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal) di
kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran
terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran
berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah
dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam
harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-
jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang.
Berpuluh-puluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan di dasar jurang. Produksi mesiu dan
peluru berlangsung terus sementara peperangan sedang berkecamuk. Para telik sandi dan kurir
bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun strategi
perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan
menjadi berita utama, karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan
informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para
senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai "senjata" tak terkalahkan. Bila
musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha-usaha untuk gencatan senjata dan
berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat.
Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan "musuh yang tak tampak", melemahkan
moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi,
Belanda akan mengonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka
bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga
para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando Pangeran
Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.

Pencarian Diponegoro di Magelang.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap


Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga
Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo,
pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul
kemudian Pangeran Mangkubumidan panglima
utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada
Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan
Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri
dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro ditangkap
dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng
Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Pertempuran di Pluntaran.

Berakhirnya Perang Jawa merupakan akhir perlawanan


bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban
dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu
berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang
Jawa.[10] Setelah perang berakhir, jumlah penduduk Yogyakarta
menyusut separuhnya.
Karena bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro
dianggap pemberontak, konon keturunan Diponegoro tidak
diperbolehkan lagi masuk ke Kraton hingga Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi
keturunan Diponegoro dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai
Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk
mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.

Akhir Perang
Di sisi lain, sebenarnya Belanda sedang menghadapi Perang Padri di Sumatra Barat. Penyebab
Perang Paderi adalah perselisihan antara Kaum Padri (alim ulama) dengan Kaum Adat (orang adat)
yang mempermasalahkan soal agama Islam, ajaran-ajaran agama, mabuk-mabukan,
judi, maternalisme dan paternalisme. Saat inilah Belanda masuk dan mencoba mengambil
kesempatan. Namun pada akhirnya Belanda harus melawan baik kaum adat dan kaum paderi yang
belakangan bersatu. Perang Paderi berlangsung dalam dua babak: babak I antara 1821-1825, dan
babak II.
Untuk menghadapi Perang Diponegoro, Belanda terpaksa menarik pasukan yang dipakai perang di
Sumatra Barat untuk menghadapi Pangeran Diponegoro yang bergerilya dengan gigih. Sebuah
gencatan senjata disepakati pada tahun 1825, dan sebagian besar pasukan dari Sumatra Barat
dialihkan ke Jawa. Namun, setelah Perang Diponegoro berakhir (1830), kertas perjanjian gencatan
senjata itu disobek, dan terjadilah Perang Padri babak kedua. Pada tahun 1837 pemimpin Perang
Paderi, Tuanku Imam Bonjol akhirnya ditangkap. Berakhirlah Perang Padri.
Setelah perang Dipenogoro, pada tahun 1932 seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah
kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III, justru hendak menyerang seluruh
kantor belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di jawa tengah seperti Wonogori,
karanganyar yang banyak di huni oleh Warok.[1]
Dalam catatan Belanda, para Warok yang memiliki skill berperang dan ilmu kebal sangat tangguh
bagi pasukan Belanda. Maka dari itu untuk menghindari yang merugikan pihak Belanda, terjadinya
sebuah kesepakatan untuk di buatkanlah kantor Bupati di pusat Kota Ponorogo, serta fasilatas
penunjang seperti jalan beraspal, rel kereta api, kendaran langsung dari Eropa seperti Mobil, motor
hingga sepeda angin berbagai merek, maka tidak heran hingga saat ini kota dengan jumlah sepeda
tua terbanyak berada di ponorogo yang kala itu di gunakan oleh para Warok juga.[2]
Perang Aceh
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
Perang Aceh–Belanda atau disingkat Perang Aceh adalah
perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai
pada 1873hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada
januari 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang
gerilya terus berlanjut.
Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang
kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke
daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.
Pada 5 April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen
Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa
3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira

Latar belakang
Akibat dari Perjanjian Siak 1858, Sultan Ismail menyerahkan
wilayah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu
sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh. Belanda melanggar perjanjian Siak,
maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London adalah Belanda dan Britania
Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu
dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh. Aceh menuduh Belanda
tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan
oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.
Dengan dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi
sangat penting untuk lalu lintas perdagangan. Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara
Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk
mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda
mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana
Barat kepada Britania.
Akibat perjanjian Sumatra 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika
Serikat, Kerajaan Italia dan Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Aceh juga mengirimkan utusan
ke Turki Usmani pada tahun 1871. Akibat upaya diplomatik Aceh tersebut, Belanda menjadikannya
sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas
Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan
Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud
menolak untuk memberikan keterangan.

Periode

Perang Samalanga pertama pada tanggal 26 Agustus 1877.


Panglima besar Belanda, Mayor Jenderal Karel van der
Heijden kembali ke pasukannya setelah mendapatkan perawatan
pada matanya yang tertembak

Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima


Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang
dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, di mana Köhler sendiri tewas
pada tanggal 14 April1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling
besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok
pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya.
Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.
Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten.
Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat
pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh
Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874,
digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri.
Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, di mana pemerintah masih berjalan
mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-
tempat lain.
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Di
mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan
Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika
terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut
Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan,
penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.

Siasat Snouck Hurgronje

Snouck Hurgronje pada tahun 1930.

Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai


tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2
tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan
ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat
Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk
menaklukkan Aceh.
Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer
Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang
berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap menyerang terus
dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya.
Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh,
dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan
sosial rakyat Aceh.
Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan
sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasihatnya.

Taktik perang
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, di mana dibentuk pasukan maréchaussée yang
dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah mampu dan menguasai
pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-
gerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga
gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van
der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5
Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam
menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya
ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga
terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada
Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang
menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah
pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan
di Kuta Reh (14 Juni 1904) di mana 2.922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan
1.149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan
secara gerilya, di mana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang.

Surat perjanjian tanda menyerah


Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (korte verklaring, Traktat Pendek)
tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan
menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui
daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tidak akan mengadakan
hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang
ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yang rumit
dan panjang dengan para pemimpin setempat.
Walau demikian, wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat
itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang
(masyarakat). Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara dan diganti kedatangan
penjajah baru yakni Jepang (Nippon).
Perang Bali I

Batalyon VII maju dalam serangan ke Bali

Perang Bali I merupakan ekspedisi yang dilancarkan oleh Koninklijk Nederlandsch-Indisch


Leger ke Bali pada tahun 1846.

Latar belakang
Bali adalah salah satu pulau di Kepulauan Sunda yang berada di timur Jawa; jarak bentang pulau ini
105 mil geografis dan berpenduduk 700.000 jiwa. Cornelis de Houtman pernah mendatangi pulau itu
dan diterima baik namun dalam perkembangannya kesepahaman kurang terjalin; pada
tahun 1841 dan 1843 sebuah persetujuan diputuskan antara kerajaan setempat dan pemerintah
Hindia Belanda tetapi penduduk Bali segera menunjukkan permusuhan.
Khususnya Raja Buleleng berkali-kali melanggar perjanjian. Pemerintah Hindia Belanda
mempermasalahkan tradisi Tawan Karang Bali, dan menjadikannya alasan untuk menyerang dan
menghukum Bali. Tawan Karang adalah tradisi Bali, bahwa kapal beserta isinya yang karam dan
terdampar di pesisir Bali adalah hak milik raja setempat. Pemerintah Hindia Belanda menganggap
tradisi ini tidak dapat diterima dalam hukum internasional,[1] dan tidak dapat membiarkannya karena
daerah lain juga akan menunjukkan tanda-tanda perlawanan.

Ekspedisi
Sebuah armada dipersiapkan, terdiri atas 23 kapal perang dan 17 kapal lainnya; angkatan itu terdiri
atas 1.280 serdadu dan dipersenjatai dengan 115 moncong senapan; pada tanggal 20 Juni 1846
pasukan diberangkatkan di bawah pimpinan LaksDa Engelbertus Batavus van den
Bosch ke Besuki dan seminggu kemudian ke Buleleng. Pasukan ekspedisi dibawa ke kapal dengan
kekuatan 1700 prajurit, di antaranya terdapat 400 serdadu Eropa dipimpin oleh LetKol. Gerhardus
Bakker. Raja diberi ultimatum 3 kali dalam 24 jam, pada tanggal 17 Juni, hari ketika ekspedisi ke
Buleleng terjadi, berlalu begitu saja. Pada hari berikutnya, pasukan itu tiba di bawah
pimpinan perwira Abraham Johannes de Smit van den Broecke di bawah perlindungan senapan
laut. Lebih dari 10.000 prajurit Bali mencegah pendaratan tersebut namun gagal dan pasukan
penyerang maju ke daerah persawahan yang telah dikelilingi oleh pasukan Buleleng. Angkatan yang
tersedia dibagi 3 di bawah pimpinan May. Cornelis Albert de Brauw, May. Boers dan Kapt. J.F.
Lomon. Semua kerja perlawanan dilakukan dan pada hari berikutnya serdadu Belanda maju
ke ibukota Singaraja dan menaklukkan kota itu.

Pasca perang
Kerajaan Karangasem dan Buleleng menawarkan penyerahan diri dan para penduduk kembali ke
tempat tinggalnya masing-masing; ketika datang ke Bali, GubJend. Jan Jacob Rochussen ia
menemukan daerah setempat menyerah. Dengan Kerajaan Karangasem dan Buleleng disepakatilah
perjanjian baru, yang kewajiban terhadap pemerintah Hindia Belanda diselesaikan dengan cepat;
namun keadaan damai yang dicapai pada tanggal 12 Juli itu pecah kembali. Pemerintahan
membangun benteng di Buleleng yang dihuni oleh 200 orang yang dikendalikan penduduk dan
menjamin pengawasan kontrak yang dibuat namun kemudian tak dapat disangka bahwa perang
segera meletus dan serangan menjadi kenyataan.
Gerakan proter petani
Penyebabnya adalah sebagai berikut:
1) Pungutan pajak yang memberatkan
2) Sanksi yang sewenang-wenang dari para penguasa terhadap para petani jika tidak membayar pajak.
Jik melanggar maka mereka harus menyerahkan tanah, rumah, dan hewan ternaknya.
3) Praktik perbudakan dan kerja paksa, misalnya kewajiban membawa hasil panen dari sawah, ke
lumbung padi milik pengusaha tanpa mendapatkan upah.
4) Pemberlakuan kerja paksa di perkebunan-perkebunan dan pabrik-pabrik.
5) Gaya hidup mewah para bangsawan.
6) Keinginan untuk mengembalikan kehidupan yang sejahterah dan tentram seperti sebelum
kedatangan para penjajah.
7) Keyakinan adanya Ratu adil yang akan membebaskan rakyat dari penjajah.

Anda mungkin juga menyukai