Anda di halaman 1dari 4

Imam Bonjol adalah pahlawan nasional perintis kemerdekaan, seorang ulama, dan pemimpin Perang

Padri yang menentang penjajahan Belanda di bumi Minangkabau pada abad ke-19. Gerakan Padri
muncul di Minangkabau setelah tiga orang pulang haji dari Makkah pada 1803, yaitu Haji Miskin, Haji
Sumanik, dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang dijalankan oleh masyarakat
Minangkabau.

Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sbg Kaum Padri
terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak diterapkan oleh kalangan penduduk yang dikata Kaum
Hukum budaya di daerah Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Norma budaya yang dimaksud seperti
perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga bidang
hukum hukum budaya matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual
formal agama Islam.[2] Tidak beradanya kesepakatan dari Kaum Hukum budaya yang padahal telah
memeluk Islam untuk meninggalkan norma budaya tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga
pecahlah peperangan pada tahun 1803.

Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh ikut mendukung keinginan ketiga orang haji tersebut
bersama dengan ulama lain di Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan. Harimau Nan
Salapan kemudian meminta kepada Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan
Arifin Muningsyah beserta Kaum Adat meninggalkan beberapa kebiasaan yang bertentangan dengan
ajaran agama Islam.Dalam beberapa perundingan, tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan
Kaum Adat. Seiring hal itu, beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung bergejolak. Puncaknya Kaum
Padri di bawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung pada 1815 dan pecahlah
peperangan di Koto Tangah.

Serangan ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu
kota kerajaan. Berdasarkan catatan Raffles yang pernah mengunjungi Pagaruyung tahun 1818, dia
menyebutkan hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah terbakar.

Dikarenakan terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan Pagaruyung tidak pasti, Kaum
Adat yang dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada 21
Februari 1821, meskipun dia sebenarnya saat itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan
mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung.

Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan Pagaruyung
kepada pemerintah Belanda. Sultan Tangkal Alam Bagagar kemudian diangkat sebagai Regent Tanah
Datar.

Belanda akhirnya terlibat dalam perang karena diundang oleh Kaum Adat. Campur tangan Belanda
dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet
dan Kapten Dienema pada April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Pada 8 Desember
1821, datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi di
kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Pada 4 Maret 1822, pasukan Belanda yang berada di bawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil
memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Belanda kemudian membangun benteng
pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun
kekuatan dan bertahan di Lintau.

Pada 10 Juni 1822, pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, tetapi pasukan
Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Selanjutnya, Kapten Goffinet menderita luka berat dalam
pertempuran di Baso pada 14 Agustus 1822 hingga akhirnya meninggal dunia pada 5 September 1822.
Pada September 1822, pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh
serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.

Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau,
tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga Belanda terpaksa kembali ke
Batusangkar pada 16 April 1823. Sementara itu, Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah
kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff pada 1824.

Namun, raja terakhir Minangkabau ini akhirnya meninggal dunia pada 1825 dan dimakamkan di
Pagaruyung. Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada 17 April 1824 setelah
sebelumnya mengalami demam tinggi.

Pada September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil
menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam, yaitu Koto Tuo dan Ampang Gadang. Pasukan itu
kemudian juga menduduki Biaro dan Kapau, tetapi Laemlin akhirnya meninggal dunia di Padang pada
Desember 1824 karena luka-luka yang dideritanya dalam pertempuran.

Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh, sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk
menundukkannya. Oleh sebab itu, Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum
Padri, yang waktu itu telah dipimpin oleh Imam Bonjol, untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian
Masang pada 15 November 1825. Hal ini dimaklumi karena pada saat bersamaan Belanda juga
kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Perang Diponegoro.

Selama periode gencatan senjata, Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba
merangkul kembali Kaum Adat, sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama
Plakat Puncak Pato di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada
agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur’an.

Setelah berakhirnya Perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa, pemerintah Hindia
Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini didasari oleh keinginan kuat
penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di kawasan darek (pedalaman Minangkabau).

Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di
Eropa. Sejarawan Inggris, Christine Dobbin, menyebutnya lebih kepada perang dagang dikarenakan hal
ini seiring dengan dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di
pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara itu, Belanda di sisi lain ingin
mengambil alih atau memonopoli kopi.

Belanda kemudian melemahkan kekuatan lawan dengan melanggar perjanjian yang telah dibuat
sebelumnya. Mereka menyerang nagari Pandai Sikek, salah satu kawasan yang mampu memproduksi
mesiu dan senjata api. Pasukan Belanda kemudian membangun benteng di Bukittinggi yang dikenal
dengan nama Fort de Kock untuk memperkuat kedudukannya.

Sejak tahun 1833, mulai muncul kompromi perlawanan bersama di pihak lain antara Kaum Adat dan
Kaum Padri. Pada 11 Januari 1833, beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara
mendadak, sehingga membuat keadaan menjadi kacau. Disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa
dan ratusan tentara pribumi terbunuh.

Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar,
ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan
pengkhianatan. Belanda kemudian mengasingkannya ke Batavia, meskipun dia menyangkal
keterlibatannya dalam penyerangan beberapa pos Belanda. Pemerintah Hindia Belanda di sini tidak mau
mengambil risiko untuk menolak laporan dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar
kemudian diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.

Menyadari hal itu, Belanda bukan hanya menghadapi Kaum Padri saja, tetapi masyarakat Minangkabau
secara keseluruhan. Pemerintah Hindia Belanda lantas mengeluarkan pengumuman yang disebut Plakat
Panjang pada 1833. Isinya berupa pernyataan bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah
bermaksud untuk menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang dan menjaga
keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah oleh para penghulu mereka dan tidak pula
diharuskan membayar pajak.

Pemerintah Hindia Belanda juga berdalih bahwa kedatangan pasukannya untuk menjaga keamanan,
membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya. Inilah yang membuat penduduk
diwajibkan menanam kopi dan harus menjualnya kepada Belanda. Namun, hal itu tidak dihiraukan oleh
Kaum Padri dan masyarakat Minangkabau.

Kegagalan penaklukan itu benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di
Batavia yang waktu itu dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens. Dia kemudian mengirimkan
seorang panglima perangnya yang bernama Mayor Jenderal Cochius pada awal tahun 1837 untuk
memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol. Cochius merupakan seorang perwira
tinggi Belanda yang memiliki keahlian dalam strategi perang Benteng Stelsel.

Selanjutnya, Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan
(16 Maret–17 Agustus 1837) dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan gabungan ini
sebagian besar terdiri atas berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon.

Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, dan 4.130 tentara pribumi,
termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap
alias Madura). Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor
Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten MacLean, Letnan Satu van
der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, dan seterusnya. Ada juga nama inlandsche (pribumi) seperti
Kapiten Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro
Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero, dan lain-lainnya.

Pasukan dari Batavia didatangkan terus sebagai tambahan kekuatan tentara Belanda. Pada 20 Juli 1837,
pasukan itu tiba dengan Kapal Perle di Padang, yang meliputi sejumlah orang Eropa dan Sepoys serta
serdadu dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda. Mereka direkrut dari Ghana dan Mali, yang
terdiri atas 1 sergeant, 4 korporaals, dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.

Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dilancarkan oleh pasukan artileri yang bersenjatakan
meriam-meriam besar selama kurang lebih 6 bulan lamanya. Pasukan infantri dan kavaleri juga terus
berdatangan. Pada 3 Agustus 1837, pasukan Belanda yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels
sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan.

Pada 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi akhirnya jatuh dan Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat
ditaklukkan pada 16 Agustus 1837. Namun, Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng
dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.

Dalam pelarian dan persembunyiannya, Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap
seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah. Namun, pasukannya ternyata hanya sedikit
saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali. Hal ini dikarenakan mereka telah bertempur
melawan Belanda secara terus-menerus selama lebih dari tiga tahun.

Imam Bonjol akhirnya menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa
anaknya yang ikut bertempur, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.

Anda mungkin juga menyukai