Anda di halaman 1dari 18

KELOMPOK 1

PERANG PADRI
Sejarah Perang Padri (1803 – Selesai)
Kelompok 1 Sejarah Perang

Anggota :
1. Ajeng Arimby Setyaningsih PYP ( 320220303001)

2. Arya Rafif Rabbani ( 320220303003 )

3. Hazzha Azzahra ( 320220303012 )

4. Mochammad Rizki Fajri (320220303019 )

5. Muhammad Naufal Rizky Wibowo ( 320220303020)


Sejarah Perang Padri
Perang Padri I (1803 – 1821)

Perang Padri berawal sesaat setelah kembalinya tiga orang alim ulama dari Mekkah
sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang yang ingin
memperbaiki syariat Islam yang belum sempurna dijalankan oleh masyarakat
Minangkabau.[3] Mengetahui hal tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut
mendukung keinginan ketiga orang ulama. Bersama dengan ulama lain, delapan tokoh ini
dikenal sebagai Harimau Nan Salapan (Harimau yang Delapan)

1803 - 1825
Latar Belakang 1803-1821
Kebiasaan kaum adat seperti sabung ayam, judi, serta minum minuman
keras tidak sesuai dengan ajaran islam, hingga kaum Padri (kamu agamais)
terpaka menggunakan cara keras untuk mengubah kebiasaan itu.
Pada 1803, seorang tokoh ulama bernama Tuanku Pasaman memimpin
serangan kaum Padri ke Kerajaan Pagaruyang yang menyebabkan Sultan Arifin
Muningsyah melarikan diri dari istana. Tahun 1815, golongan Padri yang
digalang Harimau nan Salapan berhasil menyudutkan kaum Adat . Lantaran
semakin terdesak, orang-orang dari golongan Adat kemudian meminta bantuan
kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Keterlibatan Belanda 1821-1825
Pada 21 Februari 1821, karena telah terdesak dan keberadaan Yang Dipertuan
Pagaruyung di pengasingan, kemenakan beliau, Sultan Alam Bagagarsyah yang disertai
beberapa pemuka Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda.
Sebagai bagian atas persetujuan bantuan Belanda, Kaum Adat menyerahkan daerah
Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan
April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kemudian pada 8 Desember
1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk
memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Keterlibatan Belanda 1821-1825
Pada 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff
berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda
membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen,
sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau.[10]
Pada 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum
Padri, tetapi pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam. Pada 14 Agustus 1822
dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal
dunia pada 5 September 1822. Pada September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali
ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh
Tuanku Nan Renceh.
Keterlibatan Belanda 1821-1825
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Letkol Raaff mencoba
kembali menyerang Lintau, tetapi Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan,
sehingga pada 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Pada 1824, Yang
Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas
permintaan Letkol Raaff, tetapi pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan
kemudian dimakamkan di Pagaruyung. Sedangkan Raaff telah meninggal dunia secara
mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam
tinggi.
Pada September 1824, pasukan
Belanda di bawah pimpinan Mayor
Frans Laemlin telah berhasil
menguasai beberapa kawasan di
Luhak Agam di antaranya Koto Tuo
dan Ampang Gadang. Kemudian
mereka juga telah menduduki Biaro
dan Kapau, tetapi karena luka-luka
yang dideritanya di bulan Desember
1824, Laemlin meninggal dunia di
Padang
Gencatan Senjata 1825 - 1831
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat
menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui
residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu dipimpin oleh
Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai melalui "Perjanjian Masang" pada tanggal 15
November 1825 .Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Pemerintah Hindia Belanda
juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti
Perang Diponegoro.Desember 1824, Laemlin meninggal dunia.
Jatuhnya Luhak Nan Tigo 1831-183
Setelah berakhirnya Perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan Belanda di Jawa,
Pemerintah Hindia Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum Padri. Hal ini
sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang
meluas di kawasan pedalaman Minangkabau (wilayah darek). Sampai abad ke-19,
komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa.
Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada perang dagang, hal ini seiring dengan
dinamika perubahan sosial masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di
pedalaman dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi
ingin mengambil alih atau monopoli.
Jatuhnya Luhak Nan Tigo 1831-1833
Pada Juli 1832, dari Batavia dikirim pasukan infantri dalam jumlah besar di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger, untuk mempercepat
penyelesaian peperangan. Pada Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dalam
kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau.[17] Kemudian
Kaum Padri terus melakukan konsolidasi dan berkubu di Kamang, tetapi seluruh
kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah jatuhnya
Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum Padri terpaksa mundur dari
kawasan luhak dan bertahan di Bonjol.
Konsolidasi Kaum Adat dan Kaum Padri 1833
Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan Kaum Padri.
Pada 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari garnisun Belanda diserang secara
mendadak, membuat keadaan menjadi kacau disebutkan ada sekitar 139 orang tentara
Eropa serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tangkal Alam Bagagar yang
sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan
Letnan Kolonel Elout pada tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan
pengkhianatan dan diasingkan ke Batavia

Dalam catatan Belanda Sultan Tangkal


Alam Bagagar menyangkal
keterlibatannya dalam penyerangan
beberapa pos Belanda, tetapi
pemerintah Hindia Belanda juga tidak
mau mengambil risiko untuk menolak
laporan dari para perwiranya.
Kedudukan Regent Tanah Datar
kemudian diberikan kepada Tuan
Gadang di Batipuh.
Serangan ke Bonjol 1833-1835
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal Hindia
Belanda Johannes van den Bosch pada 23 Agustus 1833 pergi ke Padang untuk melihat
dari dekat proses operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda.[22] Sesampainya
di Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatra, Mayor
Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol,
pusat komando pasukan Padri.

Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang


saatnya yang baik untuk mengadakan serangan
umum terhadap Benteng Bonjol, karena kesetiaan
penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan
mereka sangat mungkin akan menyerang pasukan
Belanda dari belakang. Tetapi van den Bosch
bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng
Bonjol paling lambat 10 September 1833, kedua
opsir tersebut meminta penangguhan enam hari
sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal
16 September 1833.
Serangan ke Bonjol 1833-1835
Pada 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk kembali mengadakan serangan
besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada
21 April 1835, pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer yang memecah
pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-masing dari
Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yang saat itu tengah dilanda
banjir, dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan
menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada 23 April 1835 gerakan
Pertempuran berlangsung selama tiga
pasukan Belanda ini telah
hari tiga malam tanpa henti, sampai
berhasil mencapai tepi
banyak korban di kedua belah pihak.
Batang Gantiang, kemudian
Akhirnya dengan kekuatan yang jauh
menyeberanginya dan
tak sebanding, pasukan Kaum Padri
berkumpul di Batusari. Dari
terpaksa mundur ke hutan-hutan
sini hanya ada satu jalan
sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang
sempit menuju Sipisang,
ini meningkatkan moralitas pasukan
daerah yang masih dikuasai
Belanda, kemudian daerah ini
oleh Kaum Padri.
dijadikan sebagai kubu pertahanan
Sesampainya di Sipisang,
sambil menunggu pembuatan
pecah pertempuran sengit
jembatan menuju Bonjol.
antara pasukan Belanda
Pengepungan Bonjol 1835-1837
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan blokade
terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata
pasukan Padri. Blokade yang dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-
kubu pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak diserang oleh
pasukan Kaum Padri secara gerilya.

Di saat bersamaan seluruh pasukan Kaum


Padri mulai berdatangan dari daerah-
daerah yang telah ditaklukkan pasukan
Belanda, yaitu dari berbagai negeri di
Minangkabau dan sekitarnya. Semua
bertekad bulat untuk mempertahankan
markas besar Bonjol sampai titik darah
penghabisan, hidup mulia atau mati
syahid.
Pengepungan Bonjol 1835-1837
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari arah
Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, tetapi hasilnya gagal, bahkan banyak
menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang
komandan pasukan Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi
kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian
Kaum Padri, membangkitkan semangat
keberanian rakyat sekitarnya untuk
memberontak dan menyerang pasukan
Belanda, sehingga pada tanggal 11
Desember 1835 rakyat Simpang dan
Alahan Mati mengangkat senjata dan
menyerang kubu-kubu pertahanan
Belanda. Pasukan Belanda kewalahan
mengatasi perlawanan ini. Namun setelah
datang bantuan dari serdadu-serdadu
Madura yang berdinas pada pasukan
Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.
Pengepungan Bonjol 1835-1837
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, yang tiba pada
20 Juli 1837 dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu
dari Afrika yang berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali, terdiri
dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru dari pasukan artileri
yang bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta
pasukan infantri dan kavaleri yang terus berdatangan. Pada 3 Agustus 1837 dipimpin
oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi
sedikit menguasai keadaan, dan akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit
Tajadi jatuh, dan pada 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara keseluruhan dapat
ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat mengundurkan diri keluar dari benteng
dengan didampingi oleh beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.
Penangkapan & Pengasingan Tuanku Imam Bonjol 1837
Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba
mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan
lemah, tetapi karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus
menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur
kembali.

Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan
bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai
pejabat kolonial Belanda.
Akhir Perang Padri 1838
Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda dan Tuanku
Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap, tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai
akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di Daludalu (Rokan Hulu), yang waktu itu telah
dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.[33] Jatuhnya benteng
tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke
Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai,
kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax Netherlandica dan
wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah pengawasan Pemerintah Hindia
Belanda.

Anda mungkin juga menyukai