Anda di halaman 1dari 8

Sejarah Perang Padri

Sejarah Perang Padri tidak berbeda jauh dengan sejarah perang saudara yang dulu cukup
sering terjadi di Indonesia pra kemerdekaan. Perang saudara ini, melibatkan sesama penduduk
Sumatera Barat yang pada awalnya hidup rukun, damai dan sejahtera.
Apa yang mendasari peperangan tersebut adalah diawali dengan timbulnya perbedaan pendapat
antara kelompok ahli agama Islam, yang kemudian disebut dengan kaum Padri dan kaum adat
yang bermukim di sekitar Pagar Ruyung. Kaum Padri berpendapat bahwa kebiasaan kaum adat
berlawanan dengan hukum Islam.Beberapa kebiasaan yang dilakukan oleh kaum adat yang
berlawanan dengan hukum Islam tersebut diantaranya adalah sabung ayam, judi, menggunakan
obat terlarang, mengkonsumsi minuman beralkohol, penggunaan hukum yang tidak adil dalam
membagi warisan dan beberapa lainnya.

Perang Padri itu terjadi pada tahun 1821 sampai 1837, perang ini di gerakan oleh para
pembaru islam kala itu

Jadi asal perang padri itu dari kata Paderi yang artinya Ulama yang
selalu memakai pakaian putih. Ada juga yang bilang dari kata Paderi
itu karena para pemimpin gerakan ini berasal dari daerah Padari
yaitu daerah yang berasal dari Pedir yang telah naik haji ke Makkah
melalui pelabuhan Pedir.
Sebab Terjadinya Perang Padri

Latar belakang Perang Padri sebenarnya diawali oleh keinginan Kaum Padri yang ingin memperbaiki
moral masyarakat Minangkabau. Haji Sumanik, Haji Miskin dan Haji Piobang waktu itu pulang dari Mekkah
dan ingin memperbaiki syariat islam masyarakat Minangkabau. Datanglah Tuanku Nan Renceh yang memiliki
keinginan yang sama dengan tiga haji itu dan mendukungnya. Niat mulia mereka menarik banyak orang.
Termasuk tokoh dan ulama Minangkabau yang bernama Harimau Nan Salapan. Sejarah islam di
Indonesia juga berperan penting di Sumatera Barat.
Harimau Nan Salapan dan Tuanku Lintau datang ke istana Pagaruyung untuk bertemu Sultan Arifin
Muningsyah dan Kaum Adat untuk menjauhi kebiasaan yang berlawan dengan syariat Islam. Perundingan
dilakukan tetapi Kaum Adat dan Kaum Padri sulit mencapai kesepakatan. Bersamaan dengan itu, beberapa
nagari di bawah Kerajaan Pagaruyung mulai kacau. Hingga pada tahun 1815, Tuanku Pasaman memimpin
Kaum Padri menyerang Koto Tangah yang termasuk wilayah Kerajaan Pagaruyung. Sultan Arifin Muningsyah
terpaksa melarikan diri dari ibu kota. Dalam catatannya, Thomas Stamford Raffles yang mengunjungi
Kerajaan Pagaruyung tahun 1818 hanya melihat puing-puing Istana Pagaruyung yang hangus.
Strategi-Strategi yang Digunakan Kaum Adat, Kaum Padri dan Belanda

Strategi kaum Adat: Meminta Bantuan Belanda

Peperangan yang berkobar membutuhkan strategi yang tepat karena kubu yang berperan sama
kuatnya. Sebagai lawan dari kaum Padri, kaum Adat menerapkan beberapa strategi yang bertujuan untuk
mengalahkan kaum Padri. Adapun salah satu strategi yang digunakan tersebut diantaranya adalah meminta
bantuan Belanda.
Kaum Adat lambat menyadari bahwa kekuatan kaum Padri sangat susah untuk dikalahkan. Kaum Padri
yang menggunakan semangat agama dalam berperang, memiliki kekuatan yang berlipat-lipat yang membuat
kaum Adat akhirnya harus kerepotan.
Karena kewalahan dalam melawan kaum Padri, akhirnya kaum Adat meminta bantuan kepada
Belanda. Pemimpin kaum Adat waktu itu, Sultan Tangkal Alam, berunding dengan Belanda. Padahal,
sebenarnya ia tidak berhak menggunakan nama Kerajaan Pagar Ruyung karena bukan merupakan sultan yang
sah.
Namun, mereka tetap melaksanakan perjanjian tersebut dan menyetujui beberapa persyaratan dan
persetujuan. Karena perjanjian yang dilakukan, Belanda menganggap bahwa Kerajaan Pagar Ruyung menyerah
ke Belanda. Pada saat itu, Padang –sebagai bagian Belanda, dipimpin oleh Residen James du Puy. Atas saran
dari residen, Sultan Tangkal Alam diangkat oleh Belanda menjadi Regent Tanah Datar.
Sultan Alam menyukai jabatan baru yang ia dapatkan. Padahal, di balik pengangkatannya tersebut,
ada misi Belanda untuk menguasai Minangkabau karena cocok untuk ditanami kopi. Pada saat itu, kopi adalah
salah satu komoditas penting bagi perdagangan di Eropa.
Belanda yang diundang dan dimintai bantuan oleh kaum Adat mulai beraksi. Mereka mencampuri
urusan Sumatera Barat. Mereka memulai penyerangan dan berhasil mengusir kaum Padri dari Pagar Ruyung.
Setelah itu, Belanda membangun benteng Fort Van Der Capellen di daerah Batu Sangkar.
Strategi Kaum Padri : Regroup dan Gerilya

Setelah kalah dari Belanda, Kaum Padri mulai menyusun dan mengevaluasi
kembali kekuatannya di Lintau. Kaum Padri menghalau serangan Raaff di Tanjung Alam
dan Luhak Agam. Lalu di Baso, Kaum Padri berhasil membuat Kapten Goffinet terluka
parah hingga meninggal. Dipimpin Tuanku Nan Renceh, Kaum Padri berhasil menekan
terus hingga Belanda kembali ke Batusangkar. Perang Padri adalah salah satu
contoh Perang gerilya Indonesia.
Aliansi Belanda dan Kaum Adat tidak dilindungi dewi fortuna. Pada April 1823,
Belanda menambah kekuatannya. Raaff menyerang Lintau lagi tapi pertahanan Kaum
Padri terlalu gigih untuk Belanda. Sehingga Belanda terpaksa pulang lagi ke Batu
Sangkar. Atas permintaan Belanda, Sultan Arifin Muningsyah pulang lagi ke
Pagaruyung. Pada tahun 1844 Raaff meninggal karena demam dan Sultan Arifin wafat
pada tahun 1825. Tahun 1825, Belanda yang dimpimpin Laemlin berhasil menduduki
Biaro, Kapau, Ampang Gadang dan Koto Tuo. Tapi akhirnya Laemlin akhirnya meninggal
di Padang karena luka-luka perang yang parah.
Strategi Belanda : Gencatan Senjata

Belanda menempuh cara lain yaitu dengan berunding. Karena sudah pusing menghadapi Kaum Padri
yang merepotkan dan kuat. Selain itu juga sudah mengeluarkan dana yang sangat banyak untuk menghadapi
perang di Eropa dan melawan Diponegoro. Dengan nama Perjanjian Masang, Belanda mengajak Tuanku Imam
Bonjol untuk melakukan gencatan senjata.
Selama masa gencatan senjata, kubu Padri mulai bekerja. Tuanku Imam Bonjol memulihkan pasukan dan
merangkul Kaum Adat. Akhirnya, lahirlah konsensus bersama yang berusaha menegakkan ajaran Islam dan Al-
Quran di tanah Minangkabau. Bahasa Padangnya bernama “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.”

Strategi Belanda : Menguasai Titik Vital

Belanda mulai berperang lagi setelah gencatan senjata yang dipimpin oleh Letkol Elout. Kali ini Belanda
lebih siap daripada sebelumnya. Karena semua sudah dipersenjatai kembali, Diponegoro telah dikalahkan dan
dana sudah cair. Belanda melanggar perjanjian dan mulai menyerang Lintau dan Pandai Sikek. Wilayah ini
menghasilkan senjata api dan mesiu. Lalu membangun Fort de Kock di Bukittinggi. Setelah itu menaklukkan
Luhak Tanah Datar pada tahun 1831.
Letkol Elout mendapat bantuan dari Sentot Prawirodirjo. Sentot merupakan panglima Diponegoro yang
kelihatannya membelot dan memihak pada Hindia Belanda. Tapi tingkah Sentot di Lintau terlihat mencurigakan.
Ternyata Sentot aslinya malah membantu Kaum Padri. Akhirnya Sentot malah dibuang di Bengkulu lalu
meninggal di sana.
Belanda lalu menyerang lagi dan kini dibantu oleh Letkol Vermeulen. Jumlah infantri yang datang cukup
besar. Mereka menyerang Luhak Limo Puluah, Luhak Agam dan Kamang. Kaum Padri mulai kalah dan hancur.
Hingga Kaum Padri harus mundur ke daerah Bonjol. Beberapa Kaum Padri juga mencoba menyerang pertahanan
Belanda di Padang Mantinggi dan membuat Belanda kewalahan.
Strategi Kaum Padri dan Kaum Adat : Bersatu Kita Teguh

Kesadaran Kaum Adat dan Kaum Padri untuk bersatu sebenarnya sudah sadar dari dulu.
Mereka sama-sama sepakat bahwa semua semakin memburuk untuk Minangkabau sejak
Belanda ikut campur. Pada tahun 1833, muncullah kompromi di antara dua kaum ini. Tiba-tiba,
di tanggal 11 Januari 1833, ada serangan mendadak kubu-kubu pertahanan Belanda. Kecurigaan
orang Belanda mengarah ke Sultan Tangkal Alam Bagagar. Belanda lalu menangkapnya atas
tuduhan pengkhianatan. Tentu saja Sultan Tangkal menyangkal. Tapi petinggi tetap
membuangnya ke Batavia.
Di titik ini inilah Belanda sadar bahwa kini Kaum Padri dan Kaum Adat sudah bersatu.
Setelah penangkan Sultan Tangkal Alam Bagagar, Belanda membuat pengumuman yang
bernama Plakat Panjang. Pengumuman ini menyatakan bahwa Belanda tidak berniat untuk
menguasai Minangkabau, tapi hanya untuk berdagang. Pribumi tidak harus membayar pajak
dan tetap di bawah pimpinan penghulu.
Strategi Belanda : Penyerangan Bonjol

Sejarah Perang Padri yang begitu lama ini membuat para petinggi Belanda sebal dan memutuskan
solusi akhir untuk menyerang Benteng Bonjol. Tapi serangan pada tahun 1833 gagal karena taktik gerilya Kaum
Padri. Belanda tidak menyerah. Semua pembangunan infrastruktur kini juga diarahkan ke Bonjol pada tahun
1834. Pada tahun 1835, serangan lebih besar diarahkan ke Bonjol. Semua sumber daya, infantri dan alat berat
hanya memiliki satu tujuan. Yaitu kejatuhan Benteng Bonjol. Benteng Bonjol dikepung hingga jatuh pada
tanggal 16 Agustus 1837. Tapi Tuanku Imam Bonjol berhasil selamat dari kepungan ini.

Takdir Akhir Tuanku Imam Bonjol

Aliansi Kaum Padri dan Kaum Adat sudah melemah dan lelah. Sambil terus berlari dan bersembunyi,
Tuanku Imam Bonjol terus berusaha mengkonsolidasi pasukan Sumatera Barat. Memang wajar karena mereka
terus-menerus berperang hingga mencapat batas. Hingga akhirnya, Tuanku Imam Bonjol menyerahkan di ke
Belanda. Beliau ditangkap dan dibuang ke berbagai tempat. Mulai dari Cianjur, Ambon dan Minahasa. Akhirnya
beliau meninggal di tempat pengasingannya.

Akhir Perang Padri

Akhir yang buruk untuk semua etnis Minangkabau. Tuanku Imam Bonjol berhasil ditangkap dan
Belanda berhasil menguasai Benteng Bonjol pada tahun 1837. Perang masih terus berlanjut hingga pertahanan
terakhir Kaum Padri, di Rokan Hulu, dikalahkan oleh Belanda pada tahun 28 Desember 1838. Tuanku Tambusai
yang waktu itu memimpin Rokan Hulu terpaksa mundur dan pindah ke Negeri Sembilan yang terletak di
Semenanjung Malaya. Semua perlawanan rakyat Minangkabau berhasil ditumpas oleh Belanda. Padangse
Bovenlanden di bawah kendali Hindia Belanda dan Kerajaan Pagaruyung akhirnya menjadi bagian Pax
Netherlandica.
Demikian informasi tentang sejarah Perang Padri. Mulai dari latar belakang, penyebab, proses terjadi
dan akhir ceritanya. Semoga informasi ini bisa menambah wawasan sejarah pembaca sekaligus menghormati
perjuangan leluhur kita khususnya masyarakat Sumatera Barat dalam melawan kolonialisme.
Kesimpulan

Perang Padri terjadi di Sumatera barat dan sekitarnya tepatnya di kawasan


Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang ini terjadi akibat
adanya pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi
peperangan melawan penjajahan. Bermula dari kebiasaan kaum adat yang buruk,
sehingga mendapat reaksi yang sangat hebat dari kaum ulama. Dengan tujuan
ingin meluruskan kaum adat kepada ajaran yang menghendaki agama islam
dilaksanakan secara murni sesuai dengan al-Qut’an dan Hadits, maka para ulama
merasa perlu adanya pemersatu dalam menjalankan misi penumpasan
kemungkaran. Oleh karena itu para ulama membentuk sebuah gerakan yang
dinamakan Gerakan Padri, yang dengan gerakan ini juga bisa disebut dengan
Perang Padri. Hampir selama 20 tahun pertama (1803-1821) perang ini dapatlah
dikatakan sebagai perang saudara antara sesama etnis Minang dan etnis
Mandailing.
Peperangan ini dapat di bagi menjadi tiga masa. Masa pertama
berlangsung antara 1821-1825, ditandai dengan meluasnya perlawanan rakyat ke
seluruh daerah Minangkabau. Masa kedua adalah antara tahun 1825-1830,
ditandai dengan meredanya pertempuran karena Belanda berhasil mengadakan
perjanjian dengan kaum Padri yang mulai melemah. Ketika itu pihak Belanda
sedang memusatkan perhatiannya pada Perang Diponegoro di Jawa. Masa ketiga
antara tahun 1830-1838, ditandai dengan perlawanna Padri yang meningkat dan
penyerbuan Belanda secara besar-besaran, kemudian diakhiri dengan
tertangkapnya pemimpin-pemimpin Padri.
sumber : http://wawasansejarah.com/sejarah-gerakan-paderi/

Anda mungkin juga menyukai