Beliau berasal dari Sumatera Barat yang memiliki nama asli Muhammad Shahab, lahir
di Bonjol pada tahun 1772 dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya
merupakan seorang alim ulama sehingga sejak kecil beliau dididik dan dikenalkan
tentang keislaman oleh sang ayah. Beliau juga belajar agama di Aceh sebagai tempat
yang kental nuansa Islam, dan beliau berhasil mendapat gelar Malin Basa, yakni tokoh
yang dianggap besar atau mulia. Setelah dewasa, beliau menjadi seorang ulama dan
pemimpin di tempat tinggalnya. Perjuangan Tuanku Imam Bonjol dalam melawan
Belanda dalam memperjuangkan Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Hal ini dimulai
saat terjadinya Perang Padri yang dimulai pada tahun 1803-1838 dimana melibatkan
sesama orang Minang dan Batak. Perang tersebut dikenal sebagai perang saudara di
Sumatera yakni pertentangan antara kaum Padri dengan kaum Adat, dimana kaum Padri
ingin ajaran Islam untuk dijunjung tinggi. Sehingga terjadilah Perang karena tidak
adanya kesepakatan yang berhasil ditempuh kedua belah pihak. Pertempuran pertama
terjadi tahun 1815 dimana kaum Padri berhasil membuat kaum Adat terdesak. Karena
merasa terdesak, kaum Adat meminta bantuan Belanda untuk memerangi kaum Padri.
Melalui perjanjian pada tahun 1821 yang mengizinkan Belanda untuk menguasai
wilayah di pedalaman Minangkabau, akhirnya Belanda bersedia membantu kaum Adat.
Tapi, memerangi kaum Padri bukanlah hal mudah bagi Belanda, ditambah lagi kaum
Padri telah berada dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol. Akibatnya Belanda yang
merasa kesulitan kemudian mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai melalui
perjanjian Masang tahun 1824. Tetapi perjanjian tersebut tidak berlangsung lama sebab
Belanda kembali menyerang Nagari Pandai Sikek. Hingga pada 1833, akhirnya kaum
Adat dan kaum Padri bersatu dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol untuk melawan
Belanda dalam Perang Padri. Belanda terus menerus meminta bantuan pasukan dari
Batavia dalam pengepungan ke Benteng Kaum Padri yang membuat posisi Tuanku
Imam Bonjol menjadi semakin terjepit. Namun beliau tetap melawan dan tidak mau
menyerah. Pada 1837 mereka mengundang Tuanku Imam Bonjol ke Palupuh untuk
merundingkan perdamaian. Belanda memanfaatkan momen perundingan untuk
menjerat Imam Bonjol. Tak hanya ditangkap, beliau juga diasingkan ke Cianjur Jawa
Barat. Di tempat pengasingan yang terakhir Imam Bonjol menghembuskan napas
terakhirnya pada 8 November 1864. Sosok Tuanku Imam Bonjol sangat patut menjadi
seorang pemimpin yang patut dicontoh dan dimuliakan. Beliau tidak hanya berjuang
menegakkan ajaran Islam, tapi juga rela mempertaruhkan hidupnya untuk Indonesia
dalam melawan penjajahan Belanda .
Biografi Singkat Tuanku Imam Bonjol
Nama Asli : Muhammad Shahab
Lahir : di Bonjol pada tahun 1772
Wafat : 6 November 1864
Orangtua : Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu)
Agama : Islam
Pada awalnya perang tersebut dikenal sebagai perang saudra di Sumatera, Perang tersebut terjadi
karena adanya pertentangan antara kaum Padri dengan kaum dari kerajaan padaruyung. Dalam
perang ini kaum Padri menginginkan agar hukum di daerahnya dijalankan sesuai dengan syariat
Islam yang berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah nabi MUhammmad SAW. Terjadinya perang
Padri karena masyarakat disana masih memiliki kebiasaan buruk seperti melakukan perjudian,
sabung ayam, penggunaan madat, minuman keras serta hukum yang terlalu longgar, padahal
masyarakat disana sudah banyak yang beragama Islam. Karena tidak adanya kesepakatan antara
kedua pihak, sehinggan meletuslah perang Padri yang terkenal.
Awalnya perang Padri dipimpin oleh Tuanku Pasaman. Tuanku Pasaman kemudian menyerang kaum
adat yang dipimpin oleh Sultan Arifin Muningsyah. Serangan pertama di Padaruyuh terjadi pada
tahun 1815 dan pertemuran selanjutnya terjadi di kota tengah dekat Batu Sangkar. Pertem[uran ini
kemudian membuat Sultan Arifin Muningsyah menjdai terdesak dan terpaksa melarikan diri dari
kerajaanya ke Lubuk Jambi.
Meskipun Belanda turut campur dalam perang tersebut, Belanda cukup kesulitan dalam melawan
Kaum Padri yang ketika itu sudah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Akibatnya Belanda yang
merasa kesulitan kemudian mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai. Perdamaian tersebut
kemudian dituangkan dalam perjanjian Masang tahun 1824.
Perjanjian tersebut dilakukan oleh Belanda karena mengingat saat itu Belanda sudah kehabisan dana
untuk melakukan perang, sebab Belanda juga harus memadamkan perang yang terjadi di daerah lain
seperti perang Diponegoro. Tetapi perjanjian tersebut tidak berlangsung lama sebab Belanda
kemudian kembali menyerang Nagari Pandai Sikek.
Hingga pada tahun 1833, perang Padri memasuki babak baru, yaitu pada akhirnya kaum adat dan
kaum Padri bersatu untuk melawan Belanda. Mereka menyadari ternyata perang tersebut hanya
menyengsarakan rakyat Minangkabau. Bersatunya Kaum Adat dan Kaum Padri ditandai dengan
Plakt Puncak Pati di Tabek Patah.