Anda di halaman 1dari 3

BIOGRAFI

TUANKU IMAM BONJOL

Tuanku Imam Bonjol merupakan seorang ulama,pemimpin dan perjuangan yang berjuang
berperang melawan Belanda dalam peperangan yang disebut sebagai perang Padri pada tahun
1803-1838. Tuanku Imam Bonjol di angkat menjadi pahlawan nasional berdasarkan SK
Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973. Untuk mengetahui lebih
lengkap,berikut biografinya.

Biografi Singkat Tuanku Imam Bonjol

Nama Asli : Muhammad Shahab


Lahir : di Bonjol tahun 1772
Wafat : 6 November 1864
Orangtua : Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu)
Agama : Islam

Biografi dan Profil Lengkap Tuangku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol memiliki nama asli Muhammad Shahab, yang lahir pada tahun 1772. Ia
lahir dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya merupakan seorang alim
ulama yang berasal dari sungai Rimbang, Suliki. Imam Bonjol belajar agam di Aceh pada
tahun 1800-1802, dan dia mendapatkan gelar Malin Basa.

Asal nama Tuanku Imam Bonjol

Setelah dewasa, Tuanku Imam Bonjol menjadi seorang ulama dan pemimpin setempat.
Tuanku Imam Bonjol memiliki beberapa gelar, yang diantaranya Peto Syarif, Malin Basa dan
Tuanku Imam. Hingga akhirnya Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam yaitu seorang
pemimpin dari Harimau nan Salapan menunjuknya sebagai Imam bagi kaum Padri di Bonjol.
Akhirnya masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol terkenal ketika ia melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda
dalam perang Padri. Perang Padri merupakan perang terlama yang berlangsung dari tahun
1803 hinggan 1838 yang melibatkan sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak.

Pada awalnya perang tersebut dikenal sebagai perang saudra di Sumatera, Perang tersebut
terjadi karena adanya pertentangan antara kaum Padri dengan kaum dari kerajaan padaruyung.
Dalam perang ini kaum Padri menginginkan agar hukum di daerahnya dijalankan sesuai
dengan syariat Islam yang berpegang teguh pada Al-1uran dan Sunnah nabi MUhammmad
SAW. Terjadinya perang Padri karena masyarakat disana masih memiliki kebiasaan buruk
seperti melakukan perjudian, sabung ayam, penggunaan madat, minuman keras serta hukum
yang terlalu longgar, padahal masyarakat disana sudah banyak yang beragama Islam. Karena
tidak adanya kesepakatan antara kedua pihak, sehinggan meletuslah perang Padri yang
terkenal.

Awalnya perang Padri dipimpin oleh Tuanku Pasaman. Tuanku Pasaman kemudian
menyerang kaum adat yang dipimpin oleh Sultan Arifin Muningsyah. Serangan pertama di
Padaruyuh terjadi pada tahun 1815 dan pertemuran selanjutnya terjadi di kota tengah dekat
Batu Sangkar. Pertem[uran ini kemudian membuat Sultan Arifin Muningsyah menjdai
terdesak dan terpaksa melarikan diri dari kerajaanya ke Lubuk Jambi.

Tuanku Imam Bonjol Memimpin Perang Padri

Akibat merasa terdesak, akhirnya kaum adat meminta bantuan Belanda, dan secara resmi
Belanda membantu kaum adat untuk berperang melawan kaum Padri melalui sebuah
perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1821 di Padang. Dalm perjanjian tersebut
menyatakan bahwa Belanda akan mendapat penguasaan wilayah di pedalaman Minangkabau.
Perjanjian tersebut dihadiri oleh Sultan Tangkal Alam Bagagr. Adanya campur tangan Belanda
yang membantu kaum adat untuk melawan kaum Padri membuat situasi menjadi semakin
sulit.

Meskipun Belanda turut campur dalam perang tersebut, Belanda cukup kesulitan dalam
melawan Kaum Padri yang ketika itu sudah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Akibatnya
Belanda yang merasa kesulitan kemudian mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai.
Perdamaian tersebut kemudian dituangkan dalam perjanjian Masang tahun 1824.

Perjanjian tersebut dilakukan oleh Belanda karena mengingat saat itu Belanda sudah
kehabisan dana untuk melakukan perang, sebab Belanda juga harus memadamkan perang
yang terjadi di daerah lain seperti perang Diponegoro. Tetapi perjanjian tersebut tidak
berlangsung lama sebab Belanda kemudian kembali menyerang Nagari Pandai Sikek.

Hingga pada tahun 1833, perang Padri memasuki babak baru, yaitu pada akhirnya kaum adat
dan kaum Padri bersatu untuk melawan Belanda. Mereka menyadari ternyata perang tersebut
hanya menyengsarakan rakyat Minangkabau. Bersatunya Kaum Adat dan Kaum Padri
ditandai dengan Plakt Puncak Pati di Tabek Patah.
Belanda kemudian melakukan pengepungan dan penyerangan ke Benteng Kaum Padri.
Pengepungan dan Penyerangan tersebut berlangsung selama enam bulan. Agar pengepungan
dan penyerangan tersebut berhasil, Belanda terus menerus meminta bantuan pasukan dari
Batavia. Hal ini membuat posisi Tuanku Imam Bonjoil menjadi semakin terjepit. Namun
Tuanku Imam Bonjol tetap melakukan perlawanan dan tidak mau menyerah.

Penangkapan Tuanku Imam Bonjol menjadi Akhir Perang Padri

Setelah sekian lamanya dikepung hingga akhirnya pada tanggal 16 Agustus 1837 benteng
Bonjol dapat dikuasai oleh Belanda. Untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, Belanda
mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk berunding di Palupuh pada bulan Oktober 1837. Di
tempat itu kemudian ia ditangkap dan oleh Belanda kemudian di asingkan di Cianjur, Jawa
Barat. Dari Cianjur, ia kemudian dibawa ke Ambon hingga kemudian dipindahkan di Lotak,
Minahasa, dekat Manado. Hingga pada tanggal 8 November 1864, ia kemudian meninggal
dunia dan dimakamkan di tempat tersebut.

Berkat perjuangannya melawan penjajah Belanda, pemerintah Belanda kemudian


mengangkay Tuanku Imam Bonjol sebagai pahlawan nasional. Ia diberi gelar sebagai
pahlawan nasional pada tanggal 3 November 1973. Untuk mengenang jasa beliau, nama
Tuanku Imam Bonjol banyak diabadika sebagai nama jalan, dan digambarkan dalam uang
pecahan 5.000 rupiah.

Anda mungkin juga menyukai