Anda di halaman 1dari 18

A.

Pengertian Biografi Secara Umum


Biografi adalah suatu tulisan yang menjelaskan tentang kisah dan keterangan
mengenai kehidupan seseorang atau kisah riwayat hidup seseorang.
Secara etimologis, kata “Biografi” berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Bios” yang
artinya hidup dan “Graphien” yang artinya tulisan. Sehingga secara singkat pengertian
biografi adalah tulisan yang membahas mengenai kehidupan seseorang.
Umumnya pembuatan biografi hanya untuk tokoh-tokoh yang dianggap penting dan
memiliki pengaruh bagi kehidupan orang banyak. Biografi bisa berbentuk tulisan singkat
dalam satu artikel pendek, namun bisa juga dalam bentuk buku atau lebih dari satu buku.
Biografi seseorang dalam bentuk artikel singkat biasanya menjelaskan tentang fakta
kehidupan seseorang secara singkat. Sedangkan biografi dalam bentuk buku berisi berbagai
informasi dan fakta hidup seseorang yang dikisahkan secara mendetail dan ditulis dengan
gaya bahasa yang menarik.

B. Ciri-Ciri Biografi
Kita dapat mengenali suatu tulisan biografi dengan memperhatikan karakteristiknya.
Adapun ciri-ciri biografi adalah sebagai berikut:
 Biografi memiliki struktur baku dalam pembuatannya, meliputi orientasi, reorientasi, dan
peristiwa.
 Isi biografi dibuat berdasarkan fakta (faktual) sesuai dengan kisah hidup tokoh yang
diceritakan.
 Gaya penulisan biografi dibuat dalam bentuk narasi sehingga lebih menarik untuk dibaca.
 Terdapat kisah yang menarik dan menginspirasi dalam kehidupan tokoh biografi sehingga
dapat mempengaruhi pembaca.
 Biografi juga mengandung hal-hal yang dapat memotivasi seseorang sehingga mencontoh
atau meneladani kehidupan tokoh dalam biografi tersebut.

C. Struktur Biografi
Secara umum, struktur teks biografi terdiri dari tiga bagian. Mengacu pada pengertian
biografi, adapun struktur biografi tersebut adalah sebagai berikut:
 Orientasi, yaitu bagian dalam tulisan biografi yang berisi tentang pengenalan tokoh atau
gambaran awal mengenai tokoh yang sedang diceritakan.
 Peristiwa dan Masalah, yaitu bagian dalam tulisan biografi yang berisi mengenai
peristiwa yang pernah dialami oleh tokoh. Ini termasuk masalah yang dihadapi dalam
upaya mencapai tujuan, serta pengalaman yang menginspirasi yang dialami oleh tokoh.
 Reorientasi, yaitu bagian penutup dari sebuah biografi dan sifatnya opsional saja. Pada
bagian ini penulis memberikan pandangannya terhadap tokoh yang diceritakan di dalam
biografi tersebut.
D. Jenis-Jenis Biografi
Biografi dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok. Sesuai dengan pengertian biografi
di atas, adapun beberapa jenis biografi adalah sebagai berikut:
1. Biografi Berdasarkan Izin Penulisan
 Authorized Biography, yaitu suatu biografi yang penulisannya telah mendapatkan
izin atau sepengetahuan dari tokoh yang akan diceritakan kisah hidupnya.
 Unauthorized Biography, yaitu suatu biografi yang penulisannya tidak atas izin dan
sepengetahuan tokoh yang akan diceritakan kisah hidupnya. Umumnya penulisan
unauthorized biography dilakukan karena tokoh yang akan diceritakan telah wafat.
2. Biografi Berdasarkan Isinya
 Biografi Perjalanan Hidup, yaitu biografi yang isinya tentang perjalanan hidup
seorang tokoh secara lengkap atau mengambil beberapa bagian dari perjalanan hidup
yang dianggap berkesan.
 Biografi Perjalanan Karir, yaitu biografi yang isinya tentang perjalanan karir
seorang tokoh mulai dari awal hingga karir yang dilakukan saat ini. Atau dapat juga
menceritakan perjalanan karir seorang tokoh dalam mencapai kesuksesan tertentu.
3. Biografi Berdasarkan Masalah yang Dibahas
 Biografi Politik, yaitu biografi yang isinya tentang kisah hidup tokoh suatu Negara
dilihat dari sudut pandang politik. Meskipun melalui riset, pada umumnya biografi
politik mengandung sarat akan kepentingan penulis atau tokoh yang diceritakan.
 Biografi Intelektual, yaitu biografi yang isinya menjelaskan kisah hidup tokoh
intelektual dilihat dari sudut pandang ilmiah. Biografi intelektual dibuat melalui
berbagai riset dan penulisannya menggunakan bahasa ilmiah.
 Berdasarkan Jurnalistik, yaitu biografi yang penulisannya didapatkan dari hasil
wawancara langsung dengan tokoh yang akan ditulis kisahnya.
4. Biografi Berdasarkan Penerbit
 Buku Sendiri, yaitu suatu biografi tokoh yang dijadikan buku oleh penerbit dengan
biaya produksi mulai dari penulisan, percetakan dan pemasaran ditanggung sendiri.
Tujuan dari penulisan biografi ini adalah untuk dijual dipasaran atau mendapatkan
perhatian publik.
 Buku Subsidi, yaitu biografi tokoh yang biaya penulisannya dan produksinya
ditanggung oleh sponsor. Jika dilihat dari sisi komersil, biografi seperti tidak akan
laku atau harga jualnya terlalu tinggi sehingga tidak terjangkau.
1. BIOGRAFI SULTAN HASANUDDIN

Nama : Sultan Hasanuddin


Lahir : Makassar, 12 Januari 1631
Wafat : Makassar, 12 Juni 1670
Ibu : I Sabbe To’mo Lakuntu
Ayah : Sultan Malikussaid
Pasangan : I Bate Daeng Tommi (m. 1654), I Mami Daeng Sangnging (m. 1645), I
Daeng Talele
Anak : Karaeng Galesong, Sultan Amir Hamzah, Sultan Muhammad Ali

a. Keluarga dan Masa Kecil Sultan Hasanuddin


Sultan Hasannudin merupakan anak kedua dari pasangan Sultan Malikussaid yang
merupakan raja Gowa ke-15 dan juga I Sabbe To’mo Lakuntu yang merupakan putri
bangsawan Laikang. Sultan Hasanudin lahir di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal
12 januari 1631 dan wafat pada 12 Juni 1670 di Makassar, Sulawesi Selatan. Nama lahir
Sultan Hasanuddin adalah I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng
Bonto Mangepe. Sultan Hasanuddin memiliki saudara perempuan bernama I Patimang
Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je’ne.
Sejak kecil Sultan Hasanuddin telah memperlihatkan jiwa kepemimpinan, selain
itu Ia juga memiliki kecerdasan dan kerajinan dalam belajar yang sangat menonjol
dibanding dengan saudaranya yang lain, serta pandai bergaul dengan banyak orang tidak
hanya di lingkungan istana tetapi juga dengan orang asing yang mendatangi Makassar
untuk berdagang.
Pendidikan yang dijalaninya di Pusat Pendidikan dan Pengajaran Islam di Masjid
Bontoala membuatnya menjadi pemuda yang beragama, memiliki semangat juang, jujur,
dan rendah hati.
Wafatnya Sultan Alauddin (Kakek Sultan Hasanuddin) dan Pengangkatan
Ayahnya Sebagai Raja Gowa
Saat Hasanuddin berumur 8 tahun, sang kakek yaitu Sultan Alauddin yang
merupakan raja Gowa ke-14 wafat setelah memerintah kerajaan Gowa selama 46 tahun.
Setelah kakeknya meninggal sang ayah Sultan Malikussaid menggantikan sebagai raja
yang dilantik pada 15 Juni 1639.
Selama kepemimpinan ayahnya, Sultan Hasanuddin yang masih remaja sering
diajak untuk menghadiri perundingan penting. Hal ini dilakukan sang ayah agar
Hassanudin belajar tentang ilmu pemerintahan, diplomasi dan juga strategi perang.
Setelah pandai pada bidang tersebut, Hasanuddin pernah beberapa kali diutus untuk
mewakili sang ayah mengunjungi kerajaan nusantara terutama daerah dalam gabungan
pengawalan kerajaan Gowa. Saat hendak memasuki usia 21 tahun, Hassanudin dipercaya
untuk menjabat urusan pertahanan Gowa dan membantu ayahnya mengatur pertahanan
untuk melawan Belanda.
b. Diangkat sebagai Raja Gowa-16
November 1653, pada usia 22 tahun, I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng
Mattawang Karaeng Bonto Mangepe diangkat menjadi Raja Gowa dengan gelar Sultan
Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana. Pengangkatan tersebut merupakan pesan dari
sang ayah sebelum wafat dan karena sifat yang tegas, berani serta memiliki kemampuan
dan pengetahuan yang luas pesan tersebut disetujui mangkubumi kerajaan yaitu Karaeng
Pattingaloang.
c. Melawan VOC
Sultan Hasanuddin memerintah kerajaan saat Belanda hendak menguasai rempah-
rempah dan memonopoli hasil perdagangan wilayah timur Indonesia, Belanda melarang
orang Makassar berdagang dengan musuh belanda seperti Portugis atau yang lainnya.
Keinginan Belanda yang ingin melakukan monopoli perdagangan melalui VOC ditolak
keras oleh Raja Gowa yaitu Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin masih berpendirian
sama seperti kakek dan ayahnya bahwa tuhan menciptakan bumi dan lautan untuk
dimiliki dan dipakai bersama-sama.
Karena menentang usaha monopoli yang hendak dilakukan VOC dan juga
Kerajaan Gowa merupakan kerajaan terbesar yang menguasai jalur perdagangan, VOC
berusaha mengahncurkan
d. Perang Melawan Belanda Dan Sultan Hasanuddin Turun Tahta
Pada tahun 1666, Belanda dibawah kepemimpinan Laksamana Cornelis Speelman
berusaha menguasai kerajaan-kerajaan kecil yang ada di bagian timur Indonesia. Namun
usaha mereka untuk menguasai kerajaan Gowa belum berhasi karena Raja Gowa yaitu
Sultan Hasanuddin berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan kecil di bagian timur
Indonesia untuk melawan Belanda. Peperangan yang terjadi antara kedua belah pihak
selalu diakhiri dengan perjanjian perdamaian dan gencatan senjata namun VOC selalu
melanggar dan hal tersebut merugikan Kerajaan Gowa. Belanda terus menambah pasukan
selama peperangan sehingga Kerajaan Gowa semakin lemah dan terdesak, lalu dengan
pertimbangan pada 18 November 1667 Sultan Hasanuddin bersedia menandatangani
Perjanjian Bungaya. Rakyat dan Kerajaan Gowa yang merasa sangat dirugikan dengan
adanya perjanjian tersebut, pada 12 April1668 akhirnya perang kembali pecah. Sultan
Hasanuddin memberi perlawanan sengit. Namun karena pasukan Belanda yang dibantu
dengan tentara luar, pada 24 Juni 1969 mereka berhasil menerobos Benteng Sombaopu
yang merupakan benteng terkuat kerajaan Gowa.
Belanda terus melancarkan usahanya memecah belah Kerajaan Gowa, usaha yang
dilakukan oleh mereka berhasil dengan beberapa pembesar kerajaan yang menyerah
seperti Karaeng Tallo dan Karaeng Lengkese. Namun tidak dengan Sultan Hasanuddin
yang telah bersumpah tidak akan pernah sudi bekerja sama dengan Belanda. Pada 29 Juni
1969, Sultan Hasanuddin turun tahta dan kemudian digantikan oleh putranya yang
bernama I Mappasomba Daeng Nguraga yang bergelar Sultan Amir Hamzah.
e. Sultan Hasanuddin Wafat
Pada 12 Juni 1670, pada usia 39 tahun Sultan Hasanuddin wafat. Kemudian beliau
dimakamkan di suatu bukit di pemakaman Raja-raja Gowa di dalam benteng Kale Gowa
di Kampung Tamalate.
f. Penghargaan Sultan Hassanudin
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 087/TK/1973, pada 6 November 1973
atas jasa-jasanya, Sultan Hasanuddin diberi gelar sebagai pahlawan nasional.
2. BIOGRAFI PANGERAN DIPONEGORO

Nama Lengkap : Bendoro Raden Mas Ontowiryo


Lahir : Yogyakarta, 11 November 1785
Warga Negara : Indonesia
Wafat : Sulawesi, 8 Januari 1855 di
Ayah : Hamengkubuwono III
Ibu : R.A. Mangkarawati
Gelar : Pahlawan Nasional

a. Biografi Pangeran Diponegoro


Pangeran Diponegoro adalah tokoh sentral di dalam Perang Diponegoro. Lalu,
seperti apa sosok tokoh Pahlawan Nasional yang satu ini? Kita akan membahasnya untuk
anda. Diponegoro lahir pada 11 November 1785 di Jogja. Setelah melakukan perjuangan
sekian lama, ia menghembuskan nafas terakhirnya pada 8 Januari 1855 di Sulawesi. Saat
itu ia sudah menginjak usia 69 tahun. Diponegoro adalah putra dari tokoh yang disegani
bernama Hamengkubuwana III.
Ia adalah seorang raja dari Mataram. Sang ibu bernama R.A. Mangkarawati, ia
berdarah Pacitan. Saat dilahirkan, Diponegoro memiliki nama Bendoro Raden Mas
Ontowiryo. Sang Ayah sempat punya niat untuk mengangkatnya sebagai raja. Hanya saja
waktu itu ia sadar bahwa ia hanya putra dari seorang selir, sehingga menolak keinginan
dari ayahnya tersebut. Sepanjang hidupnya, Diponegoro pernah mempersuntingnya
banyak istri, diantaranya adalah Raden Ayu Ratnaningrum, Bendara Raden Ayu
Antawirya, dan Raden Ayu Ratnaningsih.
Kehidupannya lebih banyak dihabiskan untuk mendalami agama. Ia juga dikenal
sangat merakyat dan banyak tinggal di Tegalrejo. Ada satu momen dimana ia melakukan
pemberontakan terhadap keraton dan ini bermula saat keraton berada di bawah
pemerintahan Hamengkubuwana V (1822). Ia saat itu bertindak sebagai anggota
perwalian. Ia tidak menyukai prosedur perwalian tersebut. Diponegoro adalah sosok
pejuang luar biasa. Ia tidak suka dengan Belanda sejak mereka berani memasang patok di
tanah miliknya yang berlokasi di Tegalrejo. Itu tidak lain adalah karena Belanda dinilai
semena-mena terhadap masyarakat.
Mereka juga suka membebani pajak kepada rakyat. Ia pun menunjukkan
ketidaksukaannya secara terbuka dan sikap ini ternyata banyak mendapat dukungan dari
masyarakat. Sang paman Pangeran Mangkubumi kemudian memintanya pindah dari
Tegalrejo untuk memikirkan strategi melawan kaum kafir. Ia menamai perjuangan
tersebut sebagai Perang Sabil. Semangat tersebut tidak hanya menyulut semangat orang-
orang terdekatnya saja, namun mleluas hingga ke Kedu dan Pacitan. Bahkan tokoh agama
penting seperti Kyai Maja juga turut serta di dalam perjuangan tersebut.
Perang tersebut menyebabkan kerugian di pihak kolonial. Mereka kehilangan
banyak prajurit, bahkan mencapai 15.000 orang. Karena dinilai membahayakan, mereka
pun membuat sayembara dengan hadiah 50.000 Gulden supaya orang tertarik ikut serta
dalam perburuan tersebut. Diponegoro baru berhasil ditangkap di tahun 1830.
Beberapa minggu setelah ditangkap, 28 Maret 1830, ia bertemu dengan Jenderal
de Kock di Magelang. Sang jenderal meminta supaya Diponegoro tidak melakukan aksi
serangan lagi. Ia pun menolaknya, sehingga berdampak pada pengasingan dirinya ke
Ungaran, kemudian Semarang, dan terakhir Batavia. Tidak berhenti disini, ia kembali
dipindahkan beberapa kali dari satu tempat ke tempat lainnya, bahkan sampai ke Manado.
b. Kutipan Pangeran Diponegoro
"Gusti Allah menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya.
Kalaupun harus menjumpai kematian, itu artinya mati syahid di jalan Tuhan."
Hidup dan mati ada dalam genggaman Illahi. Takdir adalah kepastian, tapi hidup
harus tetap berjalan. Proses kehidupan adalah hakikat, sementara hasil akhir hanyalah
syariat. Gusti Allah akan menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya.
Kalaupun harus menjumpai kematian, itu artinya mati syahid di jalan Tuhan.
Den Siro Poro Satrio Nagari Mataram
Nagarining Jawi Dodot Iro
Sumimpin Watak Wantune Sayyidina Nagli
Sumimpin Kawicaksanane Sayidina Kasan
Sumimpin Kekendelane Sayidina Kusen
Den seksenono..Hing Wanci Suro
Londo bakal den siro sirnake soko tanah Jowo
Krana sinurung Pangribawaning poro Satrianing Muhammad yoiku
Ngali, Kasan, Kusen
Siro podho lumaksanane yudho kairing Takbir lan Sholawat
Yen Siro gugur ing bantala..Cinondro guguring sakabate Sayidina Kusen
Ing Nainawa...
Terjemahannya :
Wahai ksatria negeri Mataram,
Negeri di Jawa tempat aku pegang teguh,
Bersama sifat kepemimpinan Sayidina Ali yang tegas,
Bersama sifat sayidina Hasan yang bijak,
Bersama sifat kepemimpinan sayidina Husein yang gagah berani,
Wahai saksikanlah.
Tunggulah nanti di bulan Muharam,
Belanda akan kita lenyapkan di tanah Jawa,
Dengan kewibawaan ksatria Muhammad yaitu Ali Hasan dan Husein,
Kita semua akan berperang dengan Takbir dan Sholawat,
Jika kita gugur di medan perang,
Itu adalah tanda laksana gugurnya sahabat Husein di Nainawa

3. BIOGRAFI SULTAN AGENG TIRTOYOSO


Nama : Sultan Ageng Tirtayasa
Lahir : Banten, 1631
Meninggal : Jakarta, 1695
Memerintah : 1651–1683
Ayah : Abdul Ma’ali Ahmad
Ibu : Ratu Martakusuma
a. Biografi Sultan Ageng Tirtayasa
Sultan Ageng Tirtayasa merupakan putra dari Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yaitu
Sultan Banten periode 1640-1650 dan Ratu Martakusuma. Sultan Ageng Tirtayasa lahir di
Kesultanan Banten pada tahun 1631.
Nama kecil Sultan Ageng Tirtayasa adalah Abdul Fatah atau Abu al-Fath
Abdulfattah. Sejak kecil sebelum diberi gelar Sultan Ageng Tirtayasa, Abdul Fatah diberi
gelar Pangeran Surya. Saat ayahnya yaitu Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad wafat, Sultan
Ageng Tirtayasa diangkat sebagai Sultan Muda dengan gelar Pangeran Dipati. Abdul
Fatah atau pangeran Dipati merupakan pewaris tahta kesultanan Banten. Tapi saat
ayahnya wafat, Beliau belum menjadi sultan karena kesultanan Banten saat itu kembali
dipimpin oleh kakeknya yaitu Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir.
b. Menjadi Sultan dan Kesultanan Banten Mengalami Kejayaan
Pada tahun 1651, kakeknya Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir wafat.
Abdul Fatah atau pangeran Dipati lalu naik tahta sebagai Sultan Banten ke 6 dengan nama
Sultan Abul Fath Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa. Sewaktu naik tahta menjadi
Sultan Banten, beliau masih sangat muda yaitu pada usia 20 tahun.
Sultan Ageng Tirtayasa sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan agama
Islam di daerahnya. Ia mendatangkan banyak guru agama dari Arab, Aceh dan daerah lain
untuk membina mental para pasukan Kesultanan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa juga
dikenal sebagai ahli strategi dalam perang.
Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, kesultanan Banten mencapai
puncak kejayaan dan kemegahannya. Ia memajukan sistem pertanian dan irigasi baik dan
berhasil menyusun armada perangnya. Selain itu, kesultanan Banten juga menjadi
memiliki hubungan diplomatik yang kuat antara kesultanan Banten dengan kerajaan
lainnya di Indonesia seperti Makassar, Cirebon, Indrapura dan Bangka.
Sultan Ageng Tirtayasa juga menjalin hubungan baik dibidang perdagangan,
pelayaran dan juga diplomatik dengan negara-negara Eropa seperti Inggris, Turki,
Denmark dan Perancis. Hubungan tersebut membuat pelabuhan Banten sangat ramai
dikunjungi para pedagang dari Persia, Arab, India, china, melayu serta philipina.
Sultan Ageng Tirtayasa sempat membantu Trunojoyo dalam pemberontakan di
Mataram. Beliau bahkan membebaskan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya
yang saat itu ditahan di Mataram karena hubungan baiknya dengan Cirebon. Pada masa
pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, konflik antara Kesultanan Banten dan Belanda
semakin meruncing. Hal tersebut disebabkan karena ikut campurnya Belanda dalam
internal kesultanan Banten yang saat itu sedang melakukan pemisahan pemerintahan.
Belanda melalui politik adu dombanya (Devide et Impera) menghasut Sultan Haji (Abu
Nasr Abdul Kahar) melawan Pangeran Arya Purbaya yang merupakan saudaranya sendiri.
Sultan Haji mengira bahwa pembagian tugas pemerintahan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa kepadanya dan saudaranya tersebut merupakan upaya menyingkirkan dirinya
dari pewaris tahta kesultanan Banten dan diberikan kepada adiknya, Pangeran Arya
Purbaya. Sultan Haji yang didukung oleh VOC Belanda lalu berusaha menyingkirkan
Sultan Ageng Tirtayasa.
Akhirnya, perang keluarga pun pecah. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa saat itu
mengepung pasukan Sultan Haji di daerah Sorosowan (Banten). Namun pasukan pimpinan
Kapten Tack dan Saint-Martin yang dikirim Belanda datang membantu Sultan Haji.
c. Wafatnya Sultan Ageng Tirtayasa
Perang antar keluarga yang berlarut-larut membuat Kesultanan Banten melemah.
Akhirnya pada tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dibawa ke Batavia dan
dipenjara. Pada tahun 1692, Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya wafat. Sultan Ageng
Tirtayasa dimakamkan di Kompleks Pemakaman raja-raja Banten di Provinsi Banten.
d. Menjadi Pahlawan Nasional Indonesia
Pada tanggal 1 agustus 1970, melalui SK Presiden Republik Indonesia No.
045/TK/Tahun 1970 Pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada
Sultan Ageng Tirtayasa. Selain itu, untuk menghargai jasanya, nama Sultan Ageng
Tirtayasa diabadikan sebagai nama salah satu universitas di Banten bernama Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa.

4. BIOGRAFI IMAN BONJOL

Nama : Muhamad Shahab


Tanggal Lahir : 1772, Bonjol, Sumatera Barat, Indonesia
Meninggal : 6 November 1864, Minahasa
Kebangsaan : Minangkabau
Agama : Islam
Ayah : Bayanuddin
Ibu : Hamatun
a. Biografi Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu pemimpin dan pejuang yang berjuang
melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri. Perang ini
merupakan peperangan yang terjadi akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum
berubah menjadi peperangan melawan penjajahan. Selain menjadi seorang pejuang, Imam
Bonjol juga merupakan seorang ulama yang memiliki cita-cita untuk membersihkan
praktek Islam dan mencerdaskan rakyat nusantara dalam wawasan Islam. Ia menuntut
ilmu agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar Malin basa.
Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol pada tahun 1772, nama aslinya adalah
Muhammad Shahab. Ia lahir dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah
seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki. Imam Bonjol belajar agama di Aceh
pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar Malin Basa.
Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam Bonjol
memperoleh beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam.
Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau
nan Salapan yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia
sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

b. Perjuangan
Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan
Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang
telah banyak diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin
ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai
dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-
sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang
tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang
Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang
tidak sesuai dengan Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan
Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan
sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung
pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan
Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah
Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di
Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah
darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti
kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah
berada di Padang waktu itu. Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup
tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu
Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum
Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan
maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar
sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek. Pada tahun 1833 perang
berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua
pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya
bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda
dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Bersatunya
kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan
nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi
Syarak (Adat berdasarkan agama).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari
segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin
oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah
bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan
Ambon.
3 kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu
sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh
parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah
sekian lama dikepung.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk
berunding. Tiba di tempat tersebut dia langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa
Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat
Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864.
Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat tersebut.
c. Penghargaan
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi
apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari
pemerintah Indonesia, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia sejak tanggal 6 November 1973.

5. BIOGRAFI PATIMURA

Nama Lengkap : Thomas Matulessy


Julukan : Pattimura
Lahir : Hualoy, Seram Selatan, Maluku 8 Juni 1783
Wafat : Ambon, Maluku 16 Desember 1817
Ayah : Frans Matulesi
Ibu : Fransina Silahoi

a. Biografi Lengkap Pattimura


Berdasarkan buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit,
M.Sapija menuliskan “Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan
berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayahnya yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak
dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau.
Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram
Selatan”.
Namun berbeda dengan pendapat dengan sejarawan Mansyur Suryanegara. Dia
mengatakan dalam bukunya yang berjudul Api Sejarah bahwa Ahmad Lussy (dalam
bahasa Maluku “Mat Lussy”), lahir di lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua
seperti yang dikenal dalam sejarah versi pemerintah). Dia adalah bangsawan dari kerajaan
Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan
sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten Allah).
b. Gelar Kapitan
Berdasarkan sejarah yang dituliskan M.Sapija, gelar kapitan yang dimiliki oleh
Pattimura berasal dari pemberian Belanda. Padahal tidak.
Menurut sejarawan Mansyur Suryanegara atas saran dari Abdul Gafur (leluhur
bangsa Indonesia). Dilihat dari sudut sejarah dan antropologi adalah homo religosa
(makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap suatu kekuatan di luar jangkauan akal
pikiran mereka yang akhirnya menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern.
Karena itulah tingkah laku sosialnya dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan alam yang
mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus
dimiliki seseorang. Kesaktian tersebut kemudian diterima sebagai suatu peristiwa yang
suci dan mulia. Bila kekuatan tersebut melekat pada seseorang maka akan menjadi
lambang kekuatan untuknya. Pattimura merupakan pemimpin yang dianggap memiliki
kharisma. Sifat tersebut melekat dan berproses turun temurun. Meskipun kemudian mereka
sudah memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan
pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan “kapitan” yang melekat pada diri
Pattimura itu bermula.
c. Perjuangan Pattimura
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC, Pattimura pernah berkarier dalam
dunia militer sebagai mantan sersan militer Inggris. Hingga pada tahun 1816, terjadi
perpindahan kekuasaan dari kolonialisme Inggris ke tangan Belanda. Kedatangan Belanda
sangat di tentang oleh Belanda, karena sebelum Inggris darang ke daratan Ambon. Belanda
pernah menguasai daratan Ambon selama kurang lebih 2 Abad. Selama kurun waktu 2 abad
hubungan kemasyarakatan, politik dan ekonomi sangat buruk. Datangnya Belanda kali ini
membawa aturan baru seperti monopoli politik, pemindahan penduduk, pajak atas tanah,
dan mengabaikan Traktat London. Akibatnya, Rakyat Maluku melakukan perlawanan
angkat senjata untuk melawan Belanda di bawah pimpinan Pattimura. Pattimura diangkat
menjadi pemimpin perjuangan melawan Belanda oleh Patih, ketua adat, dan para kapitan
lainnya karena sifat kemimpinan dan ksatria yang ada pada diri Pattimura.
Karena perjuangan yang ia lakukan, Pattimura berhasil menggalang kekuatan
dengan mengajak kerajaan ternate, Tidore, dan beberapa Raja di Jawa dan di Bali untuk
membantu rakyat Maluku memerangi Belanda. Dengan kekuatan besar ini, Belanda sampai
mengerahkan kekuatannya dibawah pipiman Laksamana Buykes, yang merupakan
komisaris Jenderal Belanda. Pejuangan Kapitan Pattimura dalam melawan Belanda yaitu
untuk memperebutkan Benten Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah
Hatawano. Ouw-Ullath, Jasirah Hitu di pulau Ambon dan Seram Selatan.
Perang Pattimura dihentikan dengan adanya politik adu domba, tipu muslihat dan
bumi hangus oleh Belanda. Pattimura bersama para tokoh pejuang lain yang bersamanya
akhirnya dapat ditangkap. Pattimura ditangkap oleh pemerintah Kolonial Belanda disebuah
Rumah di daerah Siri Sori Pattimura kemudian di adili di Pengadilan Kolonial Belanda
dengan tuduhan melawan pemerintah Belanda.
d. Hukuman dan Kematian Pattimura
Pattimura kemudian dijatuhi hukuman gantung, sebelum eksekusinya di tiang
gantungan, Belanda ternyata terus membujuk Pattimura agar dapat bekerja sama dengan
pemerintah kolonial Belanda, namun Pattimura menolaknya.
Pattimura kemudian mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16
Desember 1817 di depan Benteng Victoria di Kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya
itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” oleh
pemerintah Republik Indonesia.

6. BIOGRAFI SULTAN AGUNG HANYOKROKUSUMO


a. Gelar yang Dipakai
Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang bergelar "Panembahan
Hanyakrakusuma" atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Kemudian setelah
menaklukkan Madura tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi "Susuhunan Agung
Hanyakrakusuma", atau disingkat "Sunan Agung Hanyakrakusuma".
Setelah 1640-an beliau menggunakan gelar "Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga
Abdurrahman". Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar
tersebut adalah "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram", yang diperolehnya dari
pemimpin Ka'bah di Makkah. Untuk mudahnya, nama yang dipakai dalam artikel ini
adalah nama yang paling lazim dan populer, yaitu "Sultan Agung".
b. Awal Pemerintahan
Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun
menggantikan kakaknya, Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama
satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat
Kesultanan Mataram, namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena
kakaknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya,
Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya
menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua,
dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 dibangun
istana baru di desa Kerta yang kelak mulai ditempati pada tahun 1622.
Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614
Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam
perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji
Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati
terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota
Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati
Pajang juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim
pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak
Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan.
Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616.
Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan
panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.
c. Wafatnya Sultan Agung
Pintu Masuk ke makam Sultan Agung di Pemakaman Imogiri di Imogiri,
Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (foto tahun 1890).
Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun
membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan
Mataram mulai dari dirinya. Ia juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan
hidup trah Mataram.
Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645
digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram
selanjutnya, bergelar Amangkurat I.
7. Biografi Pangeran Antasari
Nama : Pangeran Antasari
Lahir : Kayu Tangi, Banjar, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, 1797 atau 1809
Meninggal : Bayan Begok, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, 11 Oktober 1862
Ibu : Gusti Khadijah binti Sultan Sulaiman
Ayah : Pangeran Masohut (Mas’ud) bin Pangeran Amir
Pangeran Antasari merupakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Pangeran
Antasari adalah putra dari pasangan Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman dan Pangeran
Masohut (Mas’ud) bin Pangeran Amir yang lahir pada tahun 1797 atau 1809 di Kayu Tangi,
Banjar, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Pangeran Antasari meninggal dunia pada 11
Oktober 1862 (53 Tahun) di Bayan Begok, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.
Pada 14 Maret 1862, didepan kepala suku dayak dan dan Adipati penguasa wilayah
dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yakni Tumenggung Surapati/ Tumenggung Yang Pati Jaya
Raja, Pangeran Antasari ditunjuk sebagai pimpinan tertinggi Kesultanan Banjar atau menjadi
Sultan Banjar dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.
Pada tanggal 23 Maret 1968, berdasarkan SK No. 06/TK/1968 oleh pemerintah
Republik Indonesia, Pangeran Antasari diberi gelar Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan.
a. Pangeran Antasari Pewaris Kerajaan Banjar
Pangeran Antasari adalah putra dari Pangeran Masohut (Mas’ud) bin Pangeran
Amir dan Gusti Khadijah binti Sultan Sulaiman. Semasa muda Pangeran Antasari
bernama Gusti Inu Kartapati. Pangeran Antasari memiliki seorang adik perempuan
bernama Ratu Antasari atau Ratu Sultan Abdul Rahman yang meninggal dahulu setelah
melahirkan anaknya yang bernama Rakhmatillah yang merupakan pewaris kesultanan
banjar, dan saat masih bayi anaknya pun meninggal.
Pangeran Antasari tidak hanya sebagai pemimpin Suku Banjar, namun juga
pemimpin Suku kutai, Maanyan, Bakumpai, Siang, Murung, Ngaju, Sihong, Pasir dan
beberapa suku lain yang ada di wilayah dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito, baik
beragama Islam maupun Kaharingan.
Setelah pengasingan Sultan Hidayatullah ke Cianjur oleh Belanda, perjuangan
rakyat banjar diteruskan oleh Pangeran Antasari. Pada 14 Maret 1862, untuk menguatkan
posisi Pangeran Antasari sebagai pemimpin perjuangan untuk melawan penjajah di
kawasan bagian utara Banjar, di depan rakyat, pejuang, bangsawan, panglima dayak serta
alim ulama Banjar, Pangeran Antasari ditunjuk sebagai Petinggi kesultanan Banjar atau
menjadi Sultan Banjar dengan gelar Panembah Amiruddin Khalifatul Mukminin.
Penguatan posisi tersebut dimulai dengan seruan “Hidup untuk Allah dan Mati untuk
Allah!”.
b. Perjuangan Pangeran Antasari Melawan Belanda
Pada 25 April 1859, Pangeran Antasari bersama 300 prajuritnya menyerang
pertambangan batu bara milik Belanda yang ada di Pengaron dengan dimulainya
penyerangan tersebut Perang Banjar pun pecah. Peperangan demi peperangan terus terjadi
di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Pangeran Antasari yang dibantu para panglima dan
pengikut setianya menyerang pos-pos milik Belanda yang ada di Martapura, Riam Kanan,
Hulu Sungai, Tabalong, Tanah Laut, Sepanjang sungai Barito hingga Puruk Cahu.
Peperangan yang terjadi antara pasukan Pangeran Antasari dengan Belanda
semakin sengit. Belanda yang dibantu oleh pasukan Batavia dan juga persenjataan
canggih, berhasil mendesak Pangeran Antasari dan pasukannya dan Pangeran Antasari
akhirnya memindahkan benteng pertahanannya ke Muara Taweh.
Belanda terus membujuk Pangeran Antasari agar menyerah, namun Pangeran
Antasari tetap teguh pada pendiriannya. Pihak Belanda pernah menawarkan hadiah
imbalan sebesar 10.000 gulden bagi siapapun yang dapat menangkap lalu membunuh
Pangeran Antasari, namun tidak ada yang mau menerima tawaran tersebut.
c. Meninggalnya Pangeran Antasari
Setelah lama berjuang, pada 11 Oktober 1862 di kampung Bayan Begok,
Sampirang Pangeran Antasari wafat ditengah pasukannya di Usia sekitar 75 tahun tanpa
menyerah, tertangkap ataupun tertipu oleh Belanda. Pangeran Antasari meninggal akibat
penyakit paru-paru dan juga cacar yang dideritanya setelah perang dibawah kaki Bukit
Begantung, Tundukan. Sepeninggalan Pangeran Antasari, perjuangan di teruskan oleh
putranya yang bernama Muhammad Seman.
Pada tanggal 11 November 1958 atas keinginan Banjar dan juga persetujuan keluarga,
setelah terkubur selama sekitar 91 tahun di daerah Hulu sungai Barito, kerangka Pangeran
antasari dipindah makamkan ke Taman Makam Perang Banjar yang ada di Kelurahan Surgi
Mufti, Banjarasin. Bagian tubuh Pangeran Antasari yang masih utuh dan dipindah makamkan
adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan juga beberapa helai rambut.
d. Penghargaan Untuk Pangeran Antasari
Pada tanggal 23 Maret 1968, berdasarkan SK No. 06/TK/1968 oleh pemerintah
Republik Indonesia, Pangeran Antasari diberi gelar Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan.
Untuk mengenang jasa beliau, nama beliau di abadikan pada Korem 101/Antasari dan
juga nama beliau dipakai sebagai nama julukan Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari.
8. I Gusti Ngurahrai

Nama : I Gusti Ngurah Rai


Lahir : Petang, Kabupaten Badung, Bali, Hindia Belanda | 30 Januari 1917
Meninggal : Marga, Tabanan, Bali | 20 November 1946 (umur 29)
Makam : Taman Makam Pahlawan Margarana Bali
Agama : Hindu
Zodiac : Aquarius
Warga Negara : Indonesia
a. Biografi I Gusti Ngurah Rai
I Gusti Ngurah Rai, adalah pahlawan nasional dari daerah Bali. Terkenal dengan
gagasan perangnya yakni Puputan Margarana yang berarti perang secara habis-habisan di
daerah Margarana (Kecamatan di pelosok Kabupaten Tabanan, Bali). Memiliki darah
pejuang dengan tanah kelahiran Badung, Bali pada 30 Januari 1917. Ia merupakan anak
camat yang bernama I Gusti Ngurah Palung. Hal ini pula yang menjadikan ia
berkesempatan untuk bersekolah formal di Holands Inlandse School (HIS). Untuk
mengenal lebih mendalam, mari kita ulas bersama biografi I Gusti Ngurah Rai.
Biografi I Gusti Ngurah Rai diawali dengan perjalanan pendidikannya di masa
kecil. I Gusti Ngurah Rai memilih untuk mengawali pendidikan formalnya di Holands
Inlandse School di Bali. Setelah tamat dari HIS ia melanjutkan ke MULO (setingkat
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) di Malang. Selanjutnya ia memperdalam ilmu
kemiliterannya di Prayodha Bali, Gianyar dilanjutkan pendidikan di Corps Opleiding
Voor Reserve Officieren (CORO) di Magelang dan pendidikan Arteri Malang. Berkat
pendidikan militer yang banyak serta kecerdasan yang ia miliki, ia sempat menjadi intel
sekutu di daerah Bali dan Lombok.
Biografi I Gusti Ngurah Rai berlanjut pada masa perjuangan melawan penjajah
colonial. Setelah pemerintahan Indonesia merdeka, I Gusti Ngurah Rai membentuk
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil dan di Bali dan memiliki pasukan bernama
Ciung Wanara. Pasukan ini dibentuk untuk membela tanah air guna melawan penjajah di
daerah Bali. Sebagai seorang Komandan TKR di Sunda Kecil dan, ia merasa perlu untuk
melakukan konsolidasi ke Yogyakarta yang menjadi markas TKR pusat. Sampai di
Yogyakarta I GUsti Ngurah Rai dilantik menjadi komandan Resimen Sunda Kecil
berpangkat Letnan Kolonel. Sekembalinya dari Yogyakarta dengan persenjataan, I Gusti
Ngurai Rai mendapati Bali telah dikuasai oleh Belanda dengan mempengaruhi raja-raja
Bali.
Biografi I Gusti Ngurah Rai berlanjut dengan meletusnya perang di Bali. Setelah
kepulangannya dari Yogyakarta Ia mendapati pasukan Belanda dengan 2000 pasukan dan
persenjataan lengkap dan pesawat terbang siap untuk menyerang I Gusti Ngurah Rai
dengan pasukan kecilnya. Bersama dengan pasukan Ciung Wanaranya, I Ngurah Rai
berhasil memukul mundur pasukan Belanda pada saat itu pada tanggal 18 November
1946. Namun hal ini justru membuat pihak Belanda menyiapkan bala tentara yang lebih
banyak dari Pulau Jawa, Madura dan Lombok untuk membalas kekalahannya. Pertahanan
I Gusti Ngurah Rai berhasil dipukul mundur dan hingga akhirnya tersisa pertahanan
Ciung Wanara terakhir di desa Margarana. Kekuatan terakhir ini pun dipukul mundur
lantaran seluruhnya pasukannya jatuh ke dasar jurang. Hal ini pulalah yang diabadikan
dengan istilah puputan Margarana (perang habis-habisan di daerah Margarana) pada
tanggal 20 November 1946.
Berkat usaha yang gigih memperjuangkan Bali untuk masuk menjadi kekuasaan
Indonesia (sesuai kesepakatan Linggarjati hanya Sumatra, Jawa, dan Madura yang masuk
kekuasaan Indonesia) Ngurah Rai mendapat gelar Bintang Mahaputra dan dan kenaikan
pangkat menjadi Brigjen TNI (Anumerta). Ia meninggal pada usia 29 tahun dan
memperoleh gelar pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 63/TK/1975
tanggal 9 Agustus 1975. Namanya pun diabadikan menjadi nama Bandara di kota Bali.
b. Pendidikan I Gusti Ngurah Rai
 HIS, Denpasar
 MULO, Malang
 Prayodha Bali, Gianyar, Bali
 Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO), Magelang
 Pendidikan Artileri, Malang
c. Karir I Gusti Ngurah Rai
 Brigjen TNI (anumerta)
 Letnan Kolonel
 Letnan II
d. Penghargaan I Gusti Ngurah Rai
 Bintang Mahaputra
 Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI no 63/TK/1975 tanggal 9 Agustus
1975
9. I GUSTI KETUT JELANTIK

Nama : I Gusti Ketut Jelantik


Tempat/Tgl. Lahir : Bali, Tidak diketahui
Tempat/Tgl. Wafat : Bali, April 1849
a. Biografi I Gusti Ketut Jelantik
Pertengahan abad 19, Belanda berusaha mewujudkan wilayah kekuasaannya di
seluruh nusantara. Untuk itu, Belanda berupaya menguasai seluruh wilayah Bali. Pada
tahun 1843, Belanda telah mampu memengaruhi beberapa raja di Bali untuk bekerja sama
dengannya, termasuk meminta penghapusan Hukum Tawan Karang. Saat itu, Raja
Buleleng pun terpaksa menandatangani kesepakatan tersebut.
Satu tahun kemudian, sebuah kapal Belanda terdampar di pantai wilayah Buleleng.
Belanda memaksa raja mengembalikannya serta meminta pengakuan raja atas kekuasaan
Belanda. I Gusti Ketut Jelantik sebagai patih kerajaan (diangkat tahun 1828) sangat
marah. I Gusti Ketut Jelantik pun menyatakan tidak akan pernah mengakui kekuasaan
Belanda selama masih hidup. Pada tahun 1845, kembali sebuah kapal terdampar di
wilayah Buleleng. Penolakan tegas I Gusti Ketut Jelantik untuk mengembalikan kapal
tersebut karena sikap Belanda yang tidak menghargai Kerajaan Buleleng memicu perang.
Memang, Belanda sebenarnya mempermasalahkan kapal yang terdampar ini hanya
sebagai dalih untuk melakukan serangan. Tepat pada Juni 1846, Belanda mengerahkan
pasukan besar untuk menyerang Buleleng. Di akhir Juni, benteng Kerajaan Buleleng jatuh
ke tangan Belanda. Raja dan Patih Jelantik kemudian mundur ke daerah Jagaraga untuk
menyusun pertahanan. Permintaan Belanda untuk menyerah tidak diabaikan.
Pada tahun 1848, pasukan Belanda menyerang Jagaraga dipimpin Jenderal Van
der Wijk. Dua kali serangan Belanda dapat digagalkan oleh pasukan Buleleng yang
dibantu pasukan dan kerajaan lain di Bali. Akhirnya, pada tahun 1849 Belanda
mengerahkan kembali pasukan besar yang dipimpin Jenderal Michels. Berbekal
pemahaman mengenai kondisi Jagaraga dan pertempuran sebelumnya, Belanda berhasil
memenangi pertempuran. I Gusti Ketut Jelantik mundur ke Pegunungan Batur
Kintamani. I Gusti Ketut Jelantik kemudian menuju Perbukitan Bale Pundak. Belanda
yang terus mengejar kembali menyerang sisa pasukan I Gusti Ketut Jelantik yang
melawan hingga beliau gugur dalam pertempuran.
Tawan Karang (taban karang) merupakan hukum adat yang berlaku di Bali pada
masa silam dan sudah dikenal sejak abad 10 M. Hukum ini membolehkan raja atau
masyarakat wilayah pesisir untuk menyita kapal seisinya yang terdampar di wilayahnya.
Tujuan hukum ini adalah menjaga wilayah kekuasaan dari masuknya musuh asing.
10. Sisingamangaraja

Sisingamangaraja XII adalah pejuang gigih yang lahir di Bakara, Tapanuli pada 18
Februari 1845. Selama hidup, ia habiskan waktunya untuk memperjuangkan wilayahnya dari
penjajahan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ia meninggal di Dairi pada 17 Juni 1907
dan mendapat gelar pahlawan nasional Indonesia pada tanggal 9 November, melalui Keppres
No. 590 Tahun 1961. Kiprahnya Sisingamangaraja XII bermula pada tahun 1867 saat ia naik
tahta menggantikan ayahnya. Ia menjadi Tapanuli yang gigih melawan kompeni. Kala itu
Belanda mulai masuk ke Tapanuli dan Sisingamangaraja XII mengumpulkan para penguasa
lokal untuk melawan. Lobi Belanda selama beberapa tahun untuk masuk ke wilayah Tapanuli
selalu gagal, hingga puncaknya terjadi perang pada 19 Februari 1878 antara tentara kolonial
versus pasukan Sisingamangaraja XII di pos pasukan Belanda di Bahal Batu, dekat Tarutung.
Pasukan Sisingamangaraja mengalami kekalahan dan mundur, sementara itu tentara Belanda
terus merengsek mengejar sembari membakar tiap desa yang dilaluinya. Pertempuran kembali
terjadi di Balige, Sisingamangaraja XII terkena tembakan di bagian atas lengan. Ia kembali
harus mundur dan menetapkan taktik gerilya untuk melawan Belanda. Taktik berpindah
tempat ini berhasil membuat tentara Belanda kewalahan hingga pada 1989 Belanda
mengetahui pasukan Sisingamangaraja XII menyingkir ke Lintong. Pasukan
Sisingamangaraja XII kembali dibombardir dengan alat modern, sehingga harus mundur dan
bertahan di Dairi.
Mulai saat itu Belanda berhasil menguasai Tapanuli dan selama bertahun-tahun tidak
ada pertempuran. Namun, sebenarnya Sisingamangaraja XII tetap berjuang dengan menjalin
banyak sekutu dan mengobarkan semangat anti penjajah sampai ke Aceh. Karena inilah, pada
masa ini banyak perlawanan-perlawanan dari penguasa lokal terhadap Belanda. Sampai
akhirnya Belanda tahu bahwa bahwa perlawanan raja-raja lokal tersebut akibat dari pengaruh
Sisingamangaraja XII.
Belanda pun menawarkan “perdamaian” dengan penobatan Sisingamangaraja sebagai
Sultan Batak, namun Sisingamangaraja XII menolak. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda
mengirim pasukan Marsose di bawah komando Hans Christoffel ke Tapanuli. Dairi dikepung
hampir selama tiga tahun, sampai akhirnya pada 17 Juni 1907, terjadi pertempuran hebat yang
menewaskan Sisingamangaraja XII. Lalu pengikut beserta kerabatnya ditawan, tahun ini
menandai rampungnya perlawanan Sisingamangaraja XII terhadap Belanda.
Disusun Oleh :
Titin Agustina

Kelas : X IPS 4

Anda mungkin juga menyukai