Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berdasarkan amanat UUD 45 (Pasal 31) setiap rakyat Indonesia berhak
mendapatkan pendidikan yang layak, pemerintah selaku pejabat yang dipilih oleh
rakyat dibebankan untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan
Nasional. Guna menjalankan apa yang menjadi amanat UUD 45, maka
pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan
pendidikan melalui lembaga pendidikan baik lembaga yang dikelola oleh
pemerintah atau dikelola oleh swasta (yayasan) namun masih tetap berada dalam
kordinasi pemerintah.
Secara yuridis, politik pendidikan di Indonesia dituangkan dalam Undang-
undang Sistem Pendidikan. Sampai kini telah diterbitkan 3 (tiga) Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional, yaitu Undang-Undang Pokok Pendidikan dan
Pengajaran No. 4 Tahun 1950 jo Undang-undang No. 12 Tahun 1954 yang
diterbitkan pada masa orde lama, UU Sisdiknas No. 2 Tahun 1989 pada masa orde
baru, dan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pada masa reformasi. Pesantren
sebagai cikal bakal lembaga pendidikan yang asli Indonesia baru mendapat
pengkuan secara yuridis pada tahun 2003 melalui UU Sisdiknas No. 20 Tahun
2003. Sementara madrasah akhirnya diakui menjadi sub sistem dari sistem
pendidikan nasional setelah secara perlahan dan pasti mengurangi dan
memarjinalkan pelajaran ilmu-ilmu agama.
Dalam konteks ke-Indonesia-an rakyat tidak harus bingung untuk mencari
pendidikan, di negeri ini lembaga pendidikan sangat banyak dan beragam, bagi
yang beragama Islam, mereka bisa memilih lembaga pendidikan seperti, pondok
pesantren dan juga madrasah. Dan juga ada sekolah umum. Ketiga lembaga ini
sama-sama mempunyai peran untuk memberikan ilmu dan memberdayakan
masyarakat. Warga diberikan kebebasan untuk memilih lembaga pendidikan yang
ada. Memilih sesuai dengan minat dan keinginannya. Bagi orang yang hendak
menguasai pendidikan umum mereka bisa memilih jalur pendidikan umum, bagi
mereka yang hendak mendalami dan menguasai pendidikan agama, mereka bisa
memilih lembaga pendidikan pesantren, dan bagi yang berkeinginan ingin
mengerti dan memahami kedua-duanya (agama dan umum) bisa mengambil jalur
madrasah.
Sistem pendidikan nasional, lembaga pendidikan madrasah diakui dalam
jalur pendidikan persekolahan. Hal ini sangat berarti dalam menghapus
kesejangan antara lembaga pendidikan sekolah dengan lembaga pendidikan
madrasah sebagaimana terjadi pada masa-masa lalu. Dengan kedudukan ini,
pendidikan madrasah menggunakan kurikulum yang sama dengan kurikulum
sekolah. Sebagai konsekuensinya, lulusan madrasah ini pun memiliki hak dan
kesempatan yang sama dengan lulusan sekolah. Persamaan status ini tidak berarti
telah menghilangkan identitas dan watak keislaman dari lembaga pendidikan
madrasah karena ia tetap dapat mengembangkan kekuatan dan ciri keagamaannya
sesuai dengan ketentuan dalam sisten pendidikan nasional. Dalam pengeryian ini,
madrasah berarti sekolah yang berciri khas keagamaan Islam kurang lebih sama
dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh organisasi dan yayasan
keagamaan Islam, seperti Sekolah Muhammadiyah, Sekolah Ma’arif, dan Sekolah
al-Azhar.1
Sedangkan Madrasah menurut Maksum tidak diketahui pasti sejak kapan
Madrasah sebagai istilah – sebutan – untuk satu jenis pendidikan Islam digunakan
di Indonesia. Namun demikian, madrasah sebagai satu sistem pendidikan Islam
ber-kelas dan mengajarkan sekaligus ilmu-ilmu keagamaan dan non keagamaan
sudah tampak sejak awal abad 20. Meskipun sebagian di antara lembaga-lembaga
pendidikan itu menggunakan istilah school (sekolah), tetapi dilihat dari sistem
pendidikannya yang terpadu, lembaga pendidikan seperti itu biasa dikategorikan
dalam bentuk madrasah.2

Uraian yang cukuP bagus mengenai hal ini, lihat Maksum, Madrasah Sejarah
1

dan Perkembangannya (Jakarta: Logos, 1999). h.60.


2
Maksum, M.Madrasah;Sejarah dan Perkembangannya.(Jakarta: Logos
Wacana HIM, 1999).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pesantren dan Madrasah dalam Politik Pendidikan pada Masa
Kolonial?
2. Bagaimana Pesantren dan Madrasah dalam Politik Pendidikan pada Masa
Orde Lama?
3. Bagaimana Pesantren dan Madrasah dalam Politik Pendidikan pada Masa
Orde Baru?
4. Bagaimana Pesantren dan Madrasah dalam Politik Pendidikan pada Masa
Reformasi?
5. Bagaimana Pemberdayaan Madrasah Di Era Otonomi Daerah?

1.3 Identifikasi Masalah


Bertolak dari latar belakang, permasalahan yang muncul dapat

diidentifikasi sebagai berikut:

1. Pendidikan Islam tradisional kurang sistematis dan kurang memberikan

kemampuan pragmatis yang memadai

2. Laju perkembangan sekolah-sekolah model Belanda di kalangan

masyarakat cenderung meluas dan membawa watak sekularisme sehingga

harus diimbangi dengan sistem pendidikan Islam yang memiliki model

dan organisasi yang lebih teratur dan terencana


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pesantren dan Madrasah dalam Politik Pendidikan pada Masa Kolonial
Secara de fakto, kolonialisme dimulai sejak tahun 1556 yang ditandai
dengan kedatangan orang-orang Belanda di pelabuhan Banten di bawah pimpinan
Cornelis de Hooutmen. Sedangkan secara de jure dimulai pada tanggal 31
Desember 1799 yang ditandai dengan penyerahan kekuasaan atas Indonesia oleh
kongsi dagang VOC yang gulung tikar kepada pemerintah Belanda. Kedatangan
bangsa kolonial itu membawa pengaruh yang tidak kecil terhadap proses
pendidikan dan pengajaran Islam. Hal ini dipengaruhi oleh misi ganda yang
dibawa oleh bangsa kolonial, yaitu imperialisme dan kristenisasi. Dalam rangka
menjalankan misi kedua, yakni kristenisasi itulah tampaknya pemerintah kolonial
Belanda memberlakukan berbagai kebijakan yang tidak berpihak kepada
penduduk pribumi yang mayoritas Muslim.
Sejak Belanda menguasai Indonesia secara politik, bangsa kolonial itu
berkuasa mengatur pendidikan dan kehidupan beragama penduduk pribumi.
Kebijakan Belanda dalam mengatur jalannya pendidikan disesuaikan dengan
kepentingan mereka sendiri, terutama untuk kepentingan agama Kristen. Secara
jelas, hal itu ditunjukkan oleh Van Den Boss, Gubernur Jenderal Belanda di
Jakarta pada tahun 1813 M. Dalam kebijakannya ia menetapkan sekolah-sekolah
Kristen sebagai sekolah pemerintah, dan mendirikan satu sekolah Agama Kristen
di setiap daerah Karesidenan. Sementara urusan pendidikan dan keagamaan diatur
di bawah satu departemen. Selain itu, pada tahun 1882 pemerintah Belanda
membentuk suatu badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan beragama
dan pendidikan Islam yang mereka sebut Priesterraden.
Sistem pendidikan Belanda yang kala itu jauh lebih maju dan lebih
modern, tampaknya juga menjadi salah satu pemicu munculnya kesadaran baru
untuk melakukan perubahan-perubahan dalam pendidikan Islam. Para ulama
mulai menyadari bahwa sistem pendidikan langgar dan pesantren tradisional
sudah tidak begitu sesuai lagi dengan iklim Indonesia saat itu. Oleh karena itu
muncul gagasan tentang perlunya melakukan pengembangan dan pembaharuan
pendidikan Islam di Indonesia. Realisasinya, sistem pendidikan madrasah yang
berkembang di dunia Islam pada umumnya dan sistem sekolah yang
dikembangkan oleh pemerintah kolonial mulai dimasukkan ke dalam sistem
pendidikan pesantren. Pada gilirannya sistem pengajaran halaqah bergerser ke
arah sistem klasikal dengan unit-unit kelas dan sarana prasarana sebagaimana
dalam kelas-kelas pada sekolah-sekolah.
Ketika akan mengembangkan pendidikan bagi masyarakat bumiputera,
diperkirakan oleh beberapa ahli Belanda sendiri bahwa pemerintah Hindia
Belanda akan memanfaatkan tradisi pendidikan rakyat yang berkembang, yakni
pendidikan Islam. Tetapi, secara teknis usulan itu sulit dipenuhi karena tradisi
pendidikan Islam waktu itu dipandang memiliki kebiasaan-kebiasaan yang
dianggap jelek, baik dari sudut kelembagaan, kurikulum, maupun metode
pengajarannya. Akhirnya, pemerintah Hindia Belanda memilih bentuk
persekolahan sebagaimana yang sudah dikembangkan jauh sebelumnya,
khususnya dalam rangka missionaris. Dengan demikian, jika pada masa-masa
awal penjajahan, sekolah merupakan pendidikan yang eksklusif bagi kelompok-
kelompok terpilih menurut ukuran pemerintah Hindia Belanda, maka mulai awal
abad 20 atas perintah Gubernur Jenderal Van Heutsz sistem pendidikan itu mulai
diselenggarakan bagi masyarakat yang lebih luas dalam bentuk sekolah-sekolah
Desa. Mulai tahap ini, rakyat yang sebelumnya hanya memiliki pilihan untuk
belajar di lembaga-lembaga pendidikan tradisional, mulai mendapat kesempatan
untuk belajar di sekolah-sekolah pemerintah Hindia Belanda. Sebagai
konsekwensi didirikannya sekolah di banyak tempat, lembaga-lembaga tradisional
termasuk pesantren, surau dan masjid, mendapat saingan yang lebih langsung.
Dalam kenyataan di lapangan, Sekolah Desa tidak saja menawarkan biaya yang
murah serta mata pelajaran yang lebih praktis, tetapi juga menjanjikan pekerjaan
yang cukup bervariasi meskipun masih pada level rendahan.
Pada mulanya, usaha pemerintah Hindia Belanda tersebut mengalami
kesulitan besar karena sekolah-sekolah itu ternyata hanya dinikmati oleh lapisan
tipis kalangan atas. Di samping itu, ada beberapa keberatan di lingkungan
beberapa pemimpin Islam yang tidak setuju diadakannya sekolah bagi wanita.
Begitu juga pernyataan dari beberapa ulama Indonesia yang menyatakan bahwa
memasuki sekolah-sekolah milik pemerintah Belanda adalah haram atau
sekurang-kurangnya menyalahi ajaran Islam, sehingga sangat berpengaruh
terhadap cara pandang umat Islam di Indonesia.
Dengan pernyataan tersebut, berdirinya sekolah-sekolah Belanda
mendapat sambutan yang dingin. Kondisi ini berbeda dengan surau di
Minangkabau yang oleh Belanda ditransformasi menjadi sekolah nagari (desa)
model Belanda. Namun dalam kenyataannya, tantangan juga datang dari sistem
pendidikan modern Islam. Dalam hal ini, pesantren menerapkan “standar ganda”.
Pada satu sisi komunitas pesantren menolak paham asumsi-asumsi keagamaan
kaum reformis. Namun, pada saat yang sama mereka juga harus, dalam batas-
batas tertentu, mengikuti langkah kaum reformis untuk mempertahankan
eksistensi pesantren mereka. Caranya, pesantren melakukan sejumlah akomodasi
dan “penyesuaian” yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas
pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem
penjenjangan kurikulum yang lebih luas dan sistem klasikal.
Secara politik menurut Feisal  peranan penjajah Belanda setelah
dikembangkannya usaha pendidikan Belanda untuk bumiputera terutama setelah
kebijaksanaan yang disebut Ethische Politiek, Belanda tidak hanya berhasil
memecah umat Islam, tetapi juga menyingkirkan lembaga pendidikan pesantren
yang tidak mau menerima subsidi dari pemerintah Belanda ke daerah pedalaman,
sehingga pesantren tertutup dari perkembangan kemajuan pendidikan modern.
Akan tetapi di beberapa daerah pendidikan pesantren tetap dapat bertahan
dan mendapat sambutan dari masyarakat. Sebagai contoh adalah Pesantren
Mamba’ul Ulum Surakarta dapat dipandang sebagai pelopor pembaruan
pendidikan Islam. Pesantren ini antara lain telah memasukkan beberapa unsur
Barat ke dalam kurikulum pendidikan Islam di Indonesia. Pesantren yang
didirikan pada 1906 oleh Susuhunan Pakubuwono ini telah memasukkan beberapa
mata pelajaran membaca tulisan latin, aljabar, dan berhitung ke dalam
kurikulumnya, di samping pelajaran agama, seperti membaca dan menghafal Al-
Qur’an, kitab Safinah dan Umm al-Barahim.
Sementara itu pertumbuhan madrasah dalam sejarah pendidikan Islam di
Indonesia dimulai pada awal abad 20. Latar belakang pertumbuhan madrasah di
Indonesia tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaruan Islam di Indonesia dan
adanya respons pendidikan Islam terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda.
Munculnya gerakan pembaruan di Indonesia pada awal abad 20 dilatarbelakangi
oleh kesadaran dan semangat yang kompleks. Gerakan-gerakan pembaruan Islam
di Indonesia memiliki alasan atau motif yang berbeda-beda. Menurut Karel
Steenbrink, paling tidak ada empat hal penting yang mendorong terjadinya
perubahan Islam di Indonesia pada awal abad 20: (1) keinginan untuk kembali
kepada Al-Qur’an dan Hadis, (2) semangat nasionalisme dalam melawan
penjajahan Belanda, (3) usaha yang kuat dari orang-orang Islam untuk
memperkuat organisasinya di bidang sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik,
dan (4) dorongan pembaruan pendidikan Islam.
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda sendiri terhadap pendidikan Islam
pada dasarnya bersifat menekan karena kekahwatiran akan timbulnya militansi
kaum muslimin terpelajar. Bagi pemerintah penjajah, “pendidikan di Hindia
Belanda tidak hanya bersifat pedagogis cultural, tetapi juga bersifat psikologis
politis”. Pandangan ini di satu pihak menimbulkan kesadaran bahwa pendidikan
dianggap begitu vital dalam upaya mempengaruhi budaya masyarakat. Melalui
pendidikan ala Belanda dapat diciptakan kelas masyarakat terdidik yang
berbudaya Barat sehingga akan lebih akomodatif terhadap kepentingan penjajah.
Tetapi, di pihak lain, pandangan di atas juga mendorong pengawasan yang
berlebihan terhadap perkembangan lembaga pendidikan Islam seperti madrasah.
Walaupun pengorganisasian madrasah menerima pengaruh dari sistem sekolah
Belanda, tetapi muatan keagamaan di lembaga itu pada akhirnya akan menambah
semangat kritis umat Islam terhadap sistem kebudayaan yang dibawakan oleh
kaum penjajah.
Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi
pendidikan Islam adalah penerbitan Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan
guru-guru agama untuk memiliki surat ijin dari pemerintah. Tidak setiap orang,
meskipun ahli ilmu agama, dapat mengajar di lembaga-lembaga pendidikan. Latar
belakang Ordonansi Guru ini sepenuhnya bersifat politis untuk menekan
sedemikian rupa sehingga pendidikan agama tidak menjadi faktor pemicu
perlawanan rakyat terhadap penajajah. Pengalaman penjajah yang direpotkan oleh
perlawanan rakyat di Cilegon tahun 1888 merupakan pelajaran serius bagi
pemerintahan Hindia Belanda untuk menerbitkan Ordonansi Guru itu.
Lahirnya madrasah pada awal abad 20 dapat dikatakan sebagai
perkembangan baru di mana pendidikan Islam mulai mengadopsi mata pelajaran-
mata pelajaran non-keagamaan. Hal ini dimungkinkan karena gerakan pembaruan
muncul dengan semangat yang sangat progresif seperti halnya di Timur Tengah di
bawah pengaruh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ini merupakan
salah satu alasan bahwa madrasah di Indonesia tidak mencontoh sepenuhnya
sekolah-sekolah Belanda. Lembaga madrasah juga dimungkinkan merupakan
proses logis dari gerakan pembaruan yang dilancarkan umat Islam sendiri.
Latar belakang kelahiran madrasah sendiri bertumpu pada dua faktor
penting: (1) pendidikan Islam tradisional kurang sistematis dan kurang
memberikan kemampuan pragmatis yang memadai, dan (2) laju perkembangan
sekolah-sekolah model Belanda di kalangan masyarakat cenderung meluas dan
membawa watak sekularisme sehingga harus diimbangi dengan sistem pendidikan
Islam yang memiliki model dan organisasi yang lebih teratur dan terencana.
Penting untuk dicatat bahwa tahap-tahap perintisan pembentukan
madrasah itu sudah terlebih dahulu dilakukan oleh sejumlah tokoh dengan
membuat sekolah ala Belanda dengan muatan tambahan dalam bidang ilmu-ilmu
keagamaan, khususnya tulis baca Al-Qur’an. Dalam pemikiran tokoh-tokoh ini,
perlu ditempuh cara kombinasi antara sistem pendidikan tradisional yang
menekankan ilmu-ilmu agama dengan sistem pendidikan modern (Belanda)
dengan mata pelajaran-mata pelajaran umum seperti membaca, menulis,
berhitung, bahasa, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan kebudayaan, dan
ketrampilan administrasi. Metode pengajarannya pun direkayasa sedemikian rupa
sehingga lebih efektif sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat. Di antara
tokoh ini adalah KH. Ahmad Dahlan yang telah mendirikan sekolah Islam
“MULO met de Qur’an” di Yogayakarta. Kemudian disusul dengan sekolah-
sekolah Islam lain yang dapat disebut sebagai madrasah menurut istilah teknis
dalam pendidikan Islam.

2.2 Pesantren dan Madrasah dalam Politik Pendidikan pada Masa Orde
Lama
Pasca kemerdekaan, menurut Mujamil Qomar merupakan momentum bagi
seluruh sistem pendidikan untuk berkembang lebih luas, terbuka dan demokratis.
Rakyat menyambut era pendidikan baru yang belum dirasakan sebelumnya akibat
tekanan-tekanan politik penjajah. Namun keadaan tersebut justru menjadi pukulan
balik bagi pesantren meskipun madrasah-madrasah banyak diminati pelajar. I.
Djumhur dan Danasuparta mengisahkan bahwa lahirnya proklamasi memberi
corak baru pada pendidikan agama. Pesantren-pesantren tidak banyak lagi
menjalankan tugasnya, sedangkan madrasah-madrasah berkembang dengan sangat
pesat.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa madrasah madrasah terus berkembang,
sebab jumlah institusi ini makin bertambah di pesantren. Kehadiran madrasah
tidak dimaksudkan menggusur pengajian tradisional, melainkan justru
melengkapinya. Madrasah dan pengajian tradisional yang menggunakan metode
sorogan dan bandongan ini selalu berjalan berdampingan. Setelah kemerdekaan,
banyak pesantren yang menyesuaikan diri dengan tuntutan keadaan, antara lain
dengan menyelenggarakan pendidikan formal terutama madrasah, di samping
tetap meneruskan sistem wetonan dan sorogan. Senada dengan hal tersebut
Samsul Munir Amin mengatakan bahwa pendidikan agama Islam mendapat
perhatian lebih serius dari pemerintah setelah Indonesia merdeka, terutama setelah
berdirinya Departemen Agama. Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dalam
bulan Desember 1945 menganjurkan agar pendidikan madrasah diteruskan. Badan
ini juga mendesak pemerintah agar memberikan bantuan kepada madrasah.
Departemen Agama dengan segera membentuk bagian khusus yang bertugas
menyusun pelajaran dan pendidikan agama Islam dan Kristen, mengawasi
pengangkatan guru-guru agama, dan mengawasi pendidikan agama. Departemen
Agama menurut Badri Yatim juga menganjurkan agar pesantren tradisional
dikembangkan menjadi sebuah madrasah, disusun secara klasikal, memakai
kurikulum yang tetap, dan memasukkan mata pelajaran umum di samping agama,
sehingga murid di madrasah tersebut mendapat pendidikan umum yang dama
dengan murid di sekolah umum.
Keseriusan pemerinah tersebut diwujudkan dengan menempatkan agama
sebagai fondasi dalam membangun bangsa dan negara. Hal ini dapat dilihat dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga dan keempat, bahwa kemerdekaan Indonesia
adalah atas berkat rahmat Allah dan Pancasila sila pertama Ketuhanan Yang Maha
Esa menjadi dasar negara. Kemudian dalam pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945
dinyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayannya itu.
Terkait dengan pendidikan, UUD 1945 Bab XIII pasal 31 ayat (1)
menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, dan ayat
(2) menetapkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional yang diatur dengan undang-undang.
Berangkat dari beberapa pasal dalam UUD 1945 di atas dapat diketahui
bahwa bangsa Indonesia pada mulanya berketetapan untuk tidak memilih sistem
pendidikan yang dualistic sebagaimana strategi kolonial tetapi menjadikan
berbagai sistem pendidikan yang sudah berkembang menjadi beberapa sub sistem
yang menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional tanpa menganaktirikan suatu
sistem pendidikanpun. Di samping itu, bangsa Indonesia juga mengorientasikan
seluruh kehidupannya, termasuk di dalamnya pendidikan baik yang
mengkonsentrasikan pelajaran umum apalagi agama, untuk meningkatkan
keimanan dan ketaqwaan sebagai bukti syukur terhadap rahmat yang Allah telah
berikan berupa kemerdekaan.
Pada periode ini, pendidikan Islam pada dasarnya masih bertumpu pada
sistem pendidikan sebelumnya, yaitu pesantren dan madarasah. Keberadaan
pesantren dan madrasah ini bahkan mendapat pengakuan Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) sebagai Badan Pekerja MPR pada masa itu.
Hal ini dapat dilihat dalam Pokok-pokok Usaha Pendidikan dan Pengajaran yang
dirumuskan oleh BPKNIP. Rumusan yang terdiri dari 10 pasal itu pada pasal 5
disebutkan, bahwa: madrasah dan pesantren yang pada hakekatnya adalah salah
satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdesan rakyat jelata yang sudah berurat
berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaknya pula mendapat
perhatian dan bantuan yang nyata berupa tuntunan dan bantuan materiil dari
pemerintah.
Berdasarkan pasal tersebut dapat dipahami, bahwa pesantren dan madrasah
bukan hanya mendapat pengakuan, tetapi juga dukungan dalam bentuk pembinaan
dan tuntunan. Wewenang untuk melakukan pembinaan terhadap pesantren dan
madrasah  itu kemudian diserahkan kepada Departemen Agama. Departemen
yang dibentuk pada tanggal 3 Januari 1946 tersebut mempunyai tugas antara lain
mengelola masalah pendidikan agama di madrasah dan pesantren, dan mengurus
pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Selain itu, khususnya dalam kabinet
Wilopo, tugas Departemen Agama itu ditambah, yaitu melaksanakan pendidikan
keguruan untuk tenaga pengajar pengetahuan umum di sekolah agama. Tugas
tersebut kemudian diwujudkan dengan mendirikan beberapa sekolah khusus,
yaitu:
1. Pendidikan Guru Agama (PGA) 6 tahun untuk menjadi agama di Sekolah
Rakyat.
2. Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA), untuk menjadi guru agama di
Sekolah Menengah Pertama. Pendidikan yang ditempuh selama 2 tahun
setelah PGA ini terdiri dari 4 bagian / jurusan, yaitu A (Sastra), bagian B
(Ilmu Pasti), bagian C (Ilmu Agama), dan bagian D (Hukum Agama).
3. Perguruan Tingga Agama Islam Negeri (PTAIN) untuk menjadi tenaga
pengajar di Sekolah Menengah Atas.
4. Pendidikan Guru Agama (PGA) untuk menjadi guru umum pada sekolah-
sekolah agama tingkat rendah (SR). Sedangkan untuk menjadi tenaga
pengajar umum di sekolah-sekolah agama tingkat menengah diadakan
permufakatan dengan Kementrian Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan
(PP dan K).
Selain itu, dalam salah satu dokumen disebutkan bahwa tugas bagian
pendidikan di lingkungan Departemen Agama meliputi: (1) memberi pelajaran
agama di sekolah negeri partikuler, (2) memberi pengetahuan umum di madrasah,
dan (3) mengadakan Pendidikan guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam
Negeri (PHIN). Tentu saja pada masa ini, penyelenggaraan madrasah mendapat
subsidi dan bimbingan dari Departemen Agama.
Dengan tugas-tugas seperti digambarkan di atas, Departemen Agama dapat
dikatakan sebagai representasi umat Islam dalam memperjuangkan
penyelenggaraan pendidikan Islam secara lebih luas di Indonesia. Dalam
kaitannya dengan perkembangan madrasah, Departemen itu menjadi andalan yang
secara politis dapat mengangkat posisi madrasah sehingga memperoleh perhatian
yang terus-menerus di kalangan pengambil kebijakan. Di samping melanjutkan
usaha-usaha yang sudah dirintis oleh sejumlah tokoh seperti Akhmad Dahlan,
Hasyim Asy’ari, dan Mahmud Yunus, Departemen Agama secara lebih tajam
mengembangkan program-program perluasan dan peningkatan mutu madrasah.
Mengingat semakin besarnya tugas penanganan masalah pendidikan Islam,
maka bagian pendidikan pada Departemen Agama dikembangkan menjadi
Jawatan Pendidikan Agama pada tahun 1950. Badan ini memiliki peranan yang
sangat penting dan strategis di lingkungan Departemen Agama mengingat tugas
pengembangan pendidikan merupakan lahan garapan yang sangat luas dan
menantang.. Hampir semua perubahan dan pengembangan madrasah / pendidikan
agama pada masa pemerintahan orde lama tergantung pada kebijakan yang
dikeluarkan oleh jawatan ini.
Dalam rangka meningkatkan madrasah sesuai dengan saran BPKNIP,
Kementerian Agama mengeluarkan Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1946,
dan kemudian disempurnakan dengan Peraturan Menteri Agama No. 7 Tahun
1952, yang mengatur tentang jenjang pendidikan pada madrasah. Menurut
peraturan ini, jenjang pendidikan pada madrasah terdiri dari:
1. Madrasah Rendah (sekarang disebut Madrasah Ibtidaiyah), yaitu madrasah
yang memuat pendidikan dan ilmu pengetahuan agama Islam sebagai pokok
pengajarannya, lama pendidikan 6 tahun.
2. Madrasah Lanjutan Tingkat Pertama (sekarang disebut Madrasah
Tsanawiyah), ialah madrasah yang menerima murid-murid tamatan Madrasah
Rendah atau yang sederajat, serta memberi pendidikan dalam ilmu
pengetahuan agama Islam sebagai pokok pengajarannya, lama pendidikan 3
tahun.
3. Madrasah Lanjutan Atas (sekarang disebut Madrasah Aliyah), ialah madrasah
yang menerima murid-murid tamatan Madrasah Lanjutan Pertama atau yang
sederajat, serta memberi pendidikan dalam ilmu pengetahuan agama Islam
sebagai pokok pengajarannya, lama belajar 3 tahun.
Upaya peningkatan mutu madrasah juga dilakukan dengan meningkatkan
status madrasah-madrasah yang dikelola oleh masyarakat, baik pribadi maupun
organisasi, dari swasta menjadi negeri. Madrasah-madrasah yang dinegrikan itu
mulai tingkat dasar yang diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), tingkat
lanjutan pertama diberi nama Madrasah Tsanawiyah Agama Islam Negeri
(MTsAIN), dan tingkat atas diberi nama Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri
(MAAIN). Selain itu, pesantren juga menerima perubahan status madrasahnya
menjadi madrasah negeri karena dianggap sangat menguntungkan dari segi
keuangan pesantren. Pesantren tidak lagi terlalu banyak menyandarkan diri
kepada pemasukan dari para santri atau pun sedekah dari masyarakat untuk
menggaji para gurunya.
Selanjutnya, didorong oleh keinginan untuk memodernkan dunia pesantren
dan madrasah, sekitar tahun 1958, Departemen Agama mengadakan pembaharuan
secara revolusioner dalam bidang pendidikan di madrasah. Hal itu diwujudkan
dengan mendirikan Madrasah Wajib Belajar (MWB) dengan masa studi 8 tahun.
Tujuannya adalah memerpsiapkan kualitas anak didik untuk dapat hihup mandiri
dan mencari nafkah, terutama dalam bidang ekonomi, industri, dan transmigrasi.
Untuk mencapai tujuan itu maka kurikulumnya disusun dengan
mempertimbangkan keselarasan tiga perkembangan anak, yaitu perkembangan
otak atau akal (kognitif), perkembangan hati atau perasaan (afektif), dan
perkembangan tangan atau kecekatan/ketrampilan (psikomotorik). Sedangkan
materi pelajaran yang diberikan di madrasah ini terdiri dari pelajaran agama,
pengetahuan umum, dan kerajinan tangan/ketrampilan, dengan perbandingan 25%
untuk pelajaran agama dan 75% untuk pengetahuan umum da ketrampilan. Tetapi
program ini tidak dapat berjalan lancar, di samping dikarenakan kurangnya sarana
prasarana dan ketersediaan tenaga pengajar, juga kurangnya tanggapan dari
masyarakat dan pihak-pihak terkait.
Undang-undang tentang sistem pendidikan yang pertama kali dimiliki oleh
bangsa Indonesia ternyata memberlakukan madrasah secara diskriminatif. Di
dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 tahun 1950
dinyatakan bahwa belajar di madrasah yang telah mendapat pengakuan Menteri
Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar, padahal ketentuan yang sama
tidak diberlakukan untuk sekolah. Walaupun seperti itu, ketentuan tersebut
dianggap sebagai pengakuan terhadap eksistensi madrasah dalam sistem
pendidikan nasional.
Sebagai tindak lanjut dari Undang-undang tersebut, Kementerian Agama
menggariskan kebijakan bahwa madrasah yang diakui dan memenuhi syarat untuk
menyelenggarakan kewajiban belajar haruslah terdaftar pada Kementerian
Agama. Sebagai salah satu syarat untuk mendaftarkan diri itu, madrasah itu harus
mengajarkan pelajaran agama sebagai pelajaran pokok paling sedikit 6 jam
seminggu secara teratur di samping pelajaran umum.
Perkembangan madrasah tingkat dasar (ibtidaiyah) secara kuantitatif pada
1957 sampai 1960-an tercatat 13.057 dengan jumlah murid sekitar 1.927.777.
Jumlah madrasah tingkat pertama (tsanawiyah) mencapai 776 buah dengan jumlah
murid sebanyak 87.932. Adapun jumlah madrasah tingkat atas (aliyah) sekitar 16
buah dengan jumlah murid sebanyak 1.881 orang. Dengan demikian, jumlah
madrasah secara keseluruhan sudah mencapai 13.849 dengan jumlah murid
sebanyak 2.017.590. Namun, keberadaan madrasah belum menjadi bagian dari
sistem pendidikan nasional yang identik dengan lembaga-lembaga yang dikelola
oleh Departemen Pendidikan Nasional. Madrasah masih dianggap sebagai
lembaga pendidikan kelas dua.
Dalam rangka memberikan motivasi kepada madrasah untuk
meningkatkan kwalitas akademiknya, pemerintah juga memberikan bantuan
finansila. Pada tahun 1960-an, menurut temuan van Bruinessen, Departemen
Agama memberikan subsidi kepada madrasah lokal sebesar Rp 10,- per murid,
tetapi untuk madrasah yang berafiliasi dengan organisasi berskala nasional subsidi
dinaikkan menjadi tidak kurang dari Rp 30,- setiap murid. Kebijakan ini
mempunyai dampak terhadap pertambahan jumlah madrasah. Pemberian bantuan
ini didasarkan kepada Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 1960.
Untuk mendapatkan bantuan tersebut, lembaga pendidikan agama itu
harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Di antaranya, di samping mengajarkan
agama Islam, lembaga itu harus mengajarkan pengetahuan umum yang
tingkatannya sama dengan pelajaran umum bagi sekolah rendah, mengajarkan
Bahasa Indonesia, ilmu pasti, ilmu bumi, sejarah umum, ilmu hayat, dan Bahasa
Inggris bagi madrasah tsanawiyah, dan mengajarkan aljabar-grafik, ilmu ukur
ruang, ilmu bumi ekonomi, tata negara, sejarah kebudayaan, kesusasteraan
Indonesia, dan ekonomi.
Meskipun demikian ternyata perhatian pemerintah terhadap madrasah
masih sangat kecil. Hal ini dapat dilihat dari Undang-undang No. 4 tahun 1950
pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan  pendidikan adalah “membentuk manusia
susila yang cakap dan warganegara yang demokratis serta bertanggungjawab
tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Dari rumusan ini tidak tercermin
adanya perhatian terhadap usaha pembinaan mental spriritual dan keagamaan
secara serius melalui proses pendidikan. Itulah sebabnya dalam pasal 20 ayat 1
disebutkan bahwa pendidikan agama di sekolah bukan mata pelajaran wajib dan
bergantung pada persetujuan orang tua siswa. Dalam penjelasannya bahkan
dikemukakan bahwa mata pelajaran pendidikan agama bukan merupakan faktor
penentu dalam kenaikan kelas anak didik.
Di luar Undang-undang itu, kebijakan pemerintah khususnya yang
menyangkut pendidikan agama agaknya tidak statis. Sejumlah ketetapan
MPRS/MPR, Peraturan Pemerintah, Keputusan Pemerintah dan Surat Keputusan
Menteri dikeluarkan. Beberapa keputusan itu memberi perhatian yang sedikit
lebih baik pada pendidikan agama dan lembaga-lembaganya. Pada tanggal 3
Desember 1960 misalnya, keluar Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang
“Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, Tahapan
Pertama tahun 1961-1969.” Dalam kaitannya dengan pendidikan nasional,
ketetapan ini antara lain menyebutkan bahwa pendidikan agama menjadi mata
pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah rakyat sampai dengan universitas-
universitas negeri, dengan pengertian bahwa murid-murid berhak tidak ikut serta,
apabila wali murid/murid dewasa menyatakan keberatannya.
Ketetapan ini memang tidak mengubah status pendidikan agama sebagai
mata pelajaran minor/pilihan, tetapi telah memperluas jangkauannya sampai
tingkat universitas. Perubahan seperti ini tentu belum banyak berarti, apalagi
dalam pelaksanaannya dihadapkan pada situasi politik NASAKOM yang memberi
peran langsung bagi Partai komunis Indonesia dalam pemerintahan. Namun
demikian, dalam kaitannya dengan madrasah, ketetapan ini telah memberi
perhatian – meskipun tidak terlalu berarti – dengan merekomendasikan agar
“madrasah hendaknya berdiri sendiri sebagai badan otonom di bawah pengawasan
Departemen Agama dan bukan di bawah pengawasan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.” Dengan rekomendasi ini, madrasah tetap berada di luar sistem
pendidikan nasional, tetapi usulannya yang konkrit dalam ketetapan ini sudah
merupakan langkah pengakan akan esksistensi madrasah dalam kerangka
pendidikan nasional.

2.3 Pesantren dan Madrasah dalam Politik Pendidikan pada Masa Orde
Baru
Sejak pemerintahan orde baru yang ditandai dengan ditumpasnya
pemberontakan yang dilakukan oleh G-30 S/PKI, pemerintah Indonesia semakin
menunjukkan perhatiannya terhadap pendidika Islam, sebab disadari dengan
bermentalkan agama yang kuatlah bangsa Indonesia akan terhindar dari paham
komunisme. Untuk merealisasikan cita-cita tersebut maka siding umum MPRS
tahun 1966 behasil menetapkan TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1996 yang
membahas tentang agama, pendidikan, dan kebudayaan. Pasal 1 dalam ketetapan
tersebut menjelaskan: “… menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran
di sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas negeri.”
Pada masa awal-awal pemerintahan orde baru, kebijakan dalam beberapa
hal mengenai madrasah bersifat melanjutkan dan memperkuat kebijakan orde
lama. Pada tahap ini madrasah belum dilihat sebagai bagian dari sistem
pendidikan secara nasional, tetapi merupakan lembaga pendidikan otonom di
bawah pengawasan Menteri Agama. Hal ini disebabkan karena kenyataan bahwa
sistem pendidikan madrasah lebih didominasi oleh muatan-muatan agama,
menggunakan kurikulum yang belum terstandar, memiliki struktur yang tidak
seragam, dan memberlakukan managemen yang kurang dapat dikontrol oleh
pemerintah.
Selain itu menurut pengamatan pemerintahan orde baru bahwa program
Madrasah Wajib Belajar berjalan kurang sesuai dengan harapan sehingga
Kementerian Agama terus menata kurikulum pendidikan madrasah sejalan dengan
tuntutan pendidikan nasional. Sebagai efek dari Ketetapan MPRS No.
XXVII/1966, pada tahun 1967 Menteri Agama mengeluarkan kebijakan untuk
menegerikan sejumlah madrasah dalam semua tingkatan mulai dari tingkat
Ibtidaiyah sampai dengan Aliyah. Melalui usaha ini sebanyak 123 Madrasah
Ibtidaiyah telah dinegerikan sehingga menambah jumlah total Madrasah
Ibtidaiyah Negeri (MIN) menjadi 358. Dalam waktu yang bersamaan, juga telah
berdiri sekitar 182 Madrasah Tsanawiyah Negeri dan 42 Madrasah Aliha Agama
Islam Negeri (MAAIN). Dengan memberikan status negeri ini, tanggung jawab
pengelolaan memang menjadi beban pemerintah, tetapi pengaturan dan kontrol
atas madrasah-madrasah itu menjadi lebih efektif.
Perkembangan berikutnya menurut Maksum, antara akhir 70-an sampai
dengan akhir 80-an, pemerintah orde baru mulai memikirkan kemungkinan
mengintegrasikan madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional. Usaha menuju
ke arah ini agaknya tidak sederhana karena secara konstitusional pendidikan
nasional masih diatur oleh UU No. 4 tahun 1950 jo No. 12 Tahun 1954 yang
mengabaikan pendidikan madrasah. Apa yang bisa dilakukan pemerintah pada
tahap ini adalah memperkuat struktur madrasah –baik dalam jenjang maupun
kurikulumnya– sehingga lulusannya memperoleh pengakuan yang sama dengan
lulusan dan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi di sekolah-
sekolah yang dikelola Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk tujuan ini
dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri pada
tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah.3
Menurut Daulay, inti dari SKB tersebut adalah upaya untuk meningkatkan mutu
madrasah, dalam surat keputusan tersebut dicantumkan:
a. Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah
umum yang setingkat.
b. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat
lebih di atasnya.
c. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat (SKB
Tiga Menteri Tahun 1975, Bab II, Pasal 2).
Dengan dilaksanakannya SKB Tiga Menteri ini berarti:
a. Eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam lebih mantap dan
kuat.
b. Pengetahuan umum pada madrasah-madrasah lebih meningkat.
c. Fasilitas fisik dan peralatan lebih disempurnakan.
d. Adanya civil effect terhadap ijazah madrasah.
SKB Tiga Menteri menurut Nur Huda dapat dianggap sebagai tonggak
sejarah modernisasi madrasah. SKB tersebut dapat disebut sebagai titik awal
penyelenggaraan madrasah secara modern. Selain itu, SKB Tiga Menteri dapat
dipandang sebagai pengakuan yang nyata terhadap eksistensi madrasah dan
sekaligus langkah strategis menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam sistem
pendidikan nasional yang tuntas. Dengan mengikuti pola penyelenggaraan
madrasah seperti yang digariskan dalam SKB tersebut, ijazah madrasah tidak saja
diakui oleh Departemen Agama, tetapi juga oleh Departemen Pendidikan dan

3
M. Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos
Wacana Ilmu, 1999), h.99
Kebudayaan, dan departemen-departemen lain. Ini dapat dipandang sebagai sisi
positif yang menguntungkan madrasah.
Munculnya reaksi keras umat Islam ini didasari oleh pemerintah Orde
Baru. Berkaitan dengan Kepres 34/1972 dan Inpres 15/1974, pemerintah
kemudian mengambil kebijakan yang lebih operasional dalam kaitan dengan
madrasah, yaitu melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah. Sejalan
dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan madrasah inilah, pada tanggal 24
Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga
menteri yang ditandatangani oleh Menetri Agama, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri. Kelahiran SKN Tigas Menteri ini
memang antara lain untuk mengatasi kekhawatiran dan kecemasan umat Isalam
akan dihapuskannya sistem pendidikan madrasah sebagai kongkurensi Kepres dan
Inpres di atas. SKB dapat dipadang sebagai model solusi yang di satu sisi
memberikan pengakuan eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan
kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem
pendidikan nasional yang integratif. Sejumlah diktum dari SKB Tiga Menteri ini
memang memperkuat posisi madrasah yaitu:
1) Madrasah meliputi tiga tingkatan : MI setingkat dengan SD, MTs setingkat
denagn SMP, dan MA setingkat dengan SMA
2) Ijazah madrasah dinilai sma denagn Ijazah seklah umum yang sederajat.
3) Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih
atas.
4) Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Signifikansi SKB Tiga Menteri ini bagi umat islam adalah pertama,
terjadinya mobilitas sosial dan vertikal siswa-siswa madrasah yang selama ini
terbtas di lembaga-lembaga pendidikan tradisional. (madrasah dan pesantren), dan
berbarengan dengan itu, kedua, membuka peluang kemungkinan anak-anak santri
memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern.4
2.4 Pesantren dan Madrasah dalam Politik Pendidikan pada Masa Reformasi
4
Husni Rahim, Madrasah Dalam Politik Pendidikan di lndonesia, (Jakarta:
Logos, 2005), h.18-19
Sebelum masa reformasi bergulir, ketika pemerintah masih menerapkan
kurikulum tahun 1994, pendidikan agama ditempatkan di seluruh jenjang
pendidikan, menjadi mata pelajaran wajib sejak SD sampai Perguruan Tinggi.
Dari sudut pendidikan agama, kurikulum tahun 1994 hanyalah penyempurnaan
dan perubahan-perubahan yang tidak mempengaruhi jumlah jam pelajaran dan
karakter pendidikan keagamaan siswa, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.
Sampai pada masa orde baru tumbang di tahun 1998, pendidikan di Indonesia
masih menggunakan UU Pendidikan tahun 1989 dan kurikulum 1994.
Tumbangnya rezim orde baru ini menggulirkan gagasan reformasi, yang salah
satu agendanya adalah perubahan dan pembaruan dalam bidang pendidikan,
sebagaimana yang menjadi tema kritik para pemerhati pendidikan.
Menurut Ali Anwar, pada masa reformasi ini telah terjadi perubahan dari
sistem pemerintahan yang bercorak sentralistik menuju desentralistik. Hal ini
ditandai dengan UU RI No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Pasal 7
ayat (1) UU RI No. 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa agama merupakan salah
satu urusan yang tidak diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Di sisi lain,
pendidikan, menurut pasal 11 ayat (2) UU RI No. 22 Tahun 1999 merupakan
urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Madrasah, yang
menurut UU Sisdiknas No. 2 Tahun 1989 didefinisikan sebagai sekolah umum
yang berciri khas Islam, dapat diperdebatkan, apakah ia bagian dari agama
ataukah pendidikan.
Lebih lanjut Ali Anwar mengatakan, pasal yang diperdebatkan tersebut
ternyata dapat ditemukan solusinya bahwa lembaga pendidikan yang dimasukkan
sebagai bagian dari agama adalah pesantren dan madrasah diniyah, sementara
madrasah sebagai sekolah umum berciri khas Islam dimasukkan bagian dari
pendidikan. Oleh karena itu, madrasah seharusnya diserahkan pengelolaannya
kepada pemerintah daerah, sehingga berbagai kebijakan yang tidak adil antara
lembaga pendidikan madrasah dan sekolah dapat diminimalisir, tidak seperti
realita yang terjadi sampai kini di mana madrasah tersebut masih diselenggarakan
oleh Departemen Agama. Sementara Departemen Agama dapa
mengkonsentrasikan diri pengelolaan lembaga pendidikan keagamaan di atas.
Dalam posisi demikian, menurut Husni Rahim, Departemen Agama dapat
menghasilkan ulama yang sanggup menghadapi persoalan yang lebih komplek
ketimbang persoalan yang kita hadapi dalam kehidupan ini.5
Sebenarnya, pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid,
pesantren telah mendapatkan beberapa kemudahan. Melalui SKB Dua Menteri
Nomor 1/U/KB/2000 dan Nomor MA/86/2000 para santri di pesantren salafiyah
yang berusia 7-15 tahun yang mengikuti pendidikan Diniyah Awaliyah (tingkat
dasar) dan Diniyah Wustho (tingkat lanjutan pertama), yang tidak sedang
menempuh pendidikan pada SD/MI dan SLTP/MTs atau bukan pula tamatan
keduanya, dapat diakui memiliki kemampuan yang setara dan kesempatan yang
sama untuk melanjutkan belajar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, bila
pesantren tersebut menambah beberapa mata pelajaran umum minimal 3 mata
pelajaran, yakni Bahasa Indonesia, Matematika dan IPA. STTB atau Ijazah yang
dikeluarkan oleh pesantren penyelenggara program ini diakui oleh pemerintah
setara dengan STTB SD/MI atau SLTP/MTs dan dapat dipergunakan untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan syarat-syarat yang
akan diatur oleh departemen terkait.
Namun tidak semua pesantren salafiyah mengikuti ketentuan SKB Dua
Menteri di atas, sebagian mereka memilih tetap mempertahankan tradisinya. Sikap
tidak mengikuti ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pihak pesantren itu
sendiri, atau bisa juga karena kekhawatiran mereka akan hilangnya identitas salaf
yang telah dipertahankan selama ini karena masuknya intervensi pemerintah
terhadap kurikulum pesantren.
Dengan demikian, sebenarnya pesantren dan madrasah diniyah sebagai
sumber pendidikan dan pecerdasan masyarakat Indonesia, yang sudah berurat
berakar sejak sebelum kemerdekaan ternyata baru mendapatkan pengakuan secara
yuridis pada era reformasi ini. Pengakuan tersebut sangaat jelas tertuang dalam
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang-

5
Husni Rahim, Madrasah Dalam Politik Pendidikan di lndonesia, (Jakarta:
Logos, 2005), h.2-9
undang ini diakui kehadiran pendidikan keagamaan sebagai salah satu jenis
pendidikan di samping pendidikan lainnya.
Lebih lanjut, berikut ini posisi pendidikan agama dalam UU Sisdiknas
Tahun 2003:
1. Pasal 1 ayat (1), pendidikan adalah:
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
2. Pasal 1 ayat (2), pendidikan nasional adalah:
Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai
agama, kebudayaan nasional dan tanggap terhadap tuntutan perubahan
zaman.
Dalam hal ini agama sebagai tujuan pendidikan (agar peserta didik
memiliki kekuatan spiritual keagamaan) dan sumber nilai dalam proses
pendidikan nasional.
3. Pasal 4 ayat (1):
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hal asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
4. Pasal 12 ayat (1) bagian a:
Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan
pendidikan agama  sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan
oleh pendidik yang seagama.  
5. Pasal 15
Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik,
profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
6. Pasal 17 ayat (2):
Pendidikan dasar berbentuk sekolah  dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah
(MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama
(SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
7. Pasal 18 ayat (3):
Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah
aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah
kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
8. Pasal 28 ayat (3)
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman
kanak-kanak (TK), raudlatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
9. Pasal 30 tentang pendidikan keagamaan:
1. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau
kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik
menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-
nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
3. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan
formal, nonformal, dan informal.
4. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren,
pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
Dalam hal ini pendidikan agama merupakan tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat. Di samping sekolah/madrasah formal yang
didirikan oleh pemerintah seperti MIN, MTsN, maupun MAN, masyarakat
dapat juga menyelenggarakan pendidikan agama, baik formal (pesantren,
madrasah), nonformal (taman pendidikan Al-Qur’an, majlis taklim)
maupun informal (madrasah diniyah).
10. Pasal 36 ayat (3):
Kurikulum disusun sesuai dengan pendidikan dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a. Peningkatan iman dan takwa
b. Peningkatan akhlak mulia; dan seterusnya … .
11. Pasal 37:
1. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a. Pendidikan agama
b. Pendidikan kewarganegaraan; dan seterusnya … .
2. Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
a. Pendidikan agama
b. Pendidikan kewarganegaraan; dan seterusnya … .
12. Pasal 55 ayat (1) mengenai pendidikan berbasis masyarakat:
Masyarakat yang berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis
masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan
agama,  lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.

2.5 Pemberdayaan Madrasah Di Era Otonomi Daerah


Di dalam kaitan manajemen madrasah dengan ikutsertanya Departemen
Agama, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Dalam Negeri, dan
Pemerintah Daerah dalam rangka otonomi daerah, bagaimanapun bentuk
penyelenggaraannya, yang harus dipertahankan ialah terjaminnya identitas
madrasah. Identitas madrasah dengan ciri khasnya hanya dapat terjamin dengan
adanya pengakuan otonomi lembaga.Otonomi lembaga pendidikan madrasah
hanya dapat dipertahankan apabila madrasah tetap mempertahankan basisnya
sebagai pendidikan yang berbasiskan masyarakat (communitybased education)
yang selanjutnya menuju kepada otonomi madrasah sebagai lembaga
(schoolbasedmanagement).6 Pendidikan yang masih berbasis birokrasi harus
sudah diganti dengan sistem pendidikan yang berorientasipada kebutuhan
masyarakat.7

6
A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta : Rineka Cipta,
2000), h.179
7
Suwito, “Pendidikan Yang Memberdayakan”,Pidato Pengukuhan Guru Besar
Sejarah Pemikiran dan Pendidikan Islam, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Perkembangan pesantren dan madrasah di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dari kebijakan politik pemerintah yang sedang berkuasa saat itu. Di
saat pemerintahan Kolonial Belanda, pesantren kurang mendapat perhatian
bahkan cenderung menekan pesantren karena takut akan munculnya militansi
kaum muslimin terpelajar. Belanda juga ingin mengubah sistem pendidikan dari
pesantren ke sistem persekolahan yang lebih modern. Tujuan pendidikan yang
diharapkan pemerintah Kolonial Belanda bukan untuk mencerdaskan kehidupan
masyarakat bumiputera akan tetapi untuk mengajarkan baca tulis agar masyarakat
dapat melaksanakan kebijakan yang diterapkan pemerintah Kolonial Belanda.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, madrasah mengalami diskriminasi
jika dibandingan dengan sekolah-sekolah negeri. Perlakuan tersebut tidak sebatas
dalam masalah pengelolaan dan anggaran pembiayaan, tetapi lebih jauh dari itu
adalah kebijakan pendidikan Islam yang memberikan dampak kepada
ketidakberdayaan madrasah. Kondisi ini merupakan warisan masa lalu dari
pemerintah kolonial Belanda yang memperlakukan madrasah secara diskriminatif.
Pengakuan pemerintah terhadap eksistensi madrasah baru terlihat pada
masa Orde Baru, khususnya dalam dua dekade terakhir 1980-an sampai 1990-an.
Kebijakan Orde Baru yang tidak memisahkan pendidikan agama dari sistem
pendidikan nasional tercermin pada: pertama, madrasah merupakan lembaga
pendidikan otonom di bawah pengawasan menteri agama. Otonomisasi madrasah
tersebut dilakukan dengan cara formalisasi dan strukturisasi madrasah. Kedua,
dikeluarkannya kebijakan berupa Keputusan Bersama Tiga Menteri pada tahun
1974 tentang peningkatan mutu pendidikan di madrasah. Ketiga, lahirnya
Undang-Undang No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun,
realisasi dari kebijakan-kebijakan tersebut masih jauh dari harapan. Undang-
undang tersebut tentunya memiliki nilai positif bagi eksistensi madrasah.
Sayangnya, jika tidak diiringi oleh usaha yang nyata, bukan mustahil undang-
undang itu menjadi hanya sebatas peraturan yang tidak bersuara dan tidak
berdaya, yang akibatnya adalah tidak memunculkan adanya kesetaraan madrasah.
Pada masa reformasi, eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan
Islam semakin diakui oleh pemerintah dengan pemberlakuan Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang antara lain
ditandai dengan pengukuhan sistem pendidikan Islam sebagai pranata pendidikan
nasional. Lembaga-lembaga pendidikan Islam kini memiliki peluang lebih besar
untuk tumbuh dan berkembang serta meningkatkan kontribusinya dalam
pembangunan pendidikan nasional. Di dalam Undang-Undang itu setiap kali
disebutkan sekolah, misalnya pada jenjang pendidikan dasar yaitu sekolah dasar,
selalu dikaitkan dengan madrasah ibtidaiyah, disebutkan sekolah menengah
pertama dikaitkan dengan madrasah tsanawiyah, disebutkan sekolah menengah
dikaitkan dengan madrasah aliyah, dan lembaga-lembaga pendidikan lain yang
sederajat, begitu pula dengan lembaga pendidikan non formal.
Peran dan keberadaan pondok pesantren sebagai salah satu lembaga
pendidikan asli Indonesia memang harus tetap dilestarikan dan diperhatikan
perkembangannya, karena kehadiran pondok pesantren di tengah-tengah
masyarakat adalah selain untuk memberdayakan masyarakat juga sebagai wadah
untuk menyiapkan kader-kader Ulama yang mampu menguasai dan memahami
Al-Qur’an dan Hadis secara baik dan benar dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
Kemunculan madrasah dipandang menjadi salah satu indikator penting
bagi perkembangan positif kemajuan prestasi budaya umat Islam, mengingat
realitas pendidikan, sebagaimana terlihat pada fenomena madrasah yang
sedemikian maju saat itu, adalah cerminan dari keunggulan capaian keilmuan,
intelektual dan kultural. oleh karenanya timbul kebanggaan terhadap madrasah,
karena lembaga ini mempunyai citra ”eksklusif” dalam penilaian masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Amzah, 2010.

Anwar, Ali, Pembaruan Pendidikan di Pesantren Lirboyo Kediri, Yogyakarta,


Pustaka Pelajar, 2010.

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium


Baru, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2000.

Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam, Dalam Sistem Pendidikan Nasional


Indonesia, Jakarta, Kencana, 2004.

Feisal, Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta, Gema Insani Press,
1995.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah


Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta, RajaGrafindo Persada dan
LSIK, 1995.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, RajaGrafindo Persada,


1999.

Huda, Nur, Islam Nusantara; Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia,


Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2007.

Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Malang, Penerbitan


Universitas Muhammadiyah Malang, 2001.

Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta,


Dian Rakyat, 1997.

Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta, Logos Wacana


Ilmu, 1999.

Qomar, Mujamil, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju


Demokratisasi Institusi, Jakarta, Erlangga, 1996.

SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,


Yogyakarta, Pustaka, 2006.

Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam


Kurikulum Modern, Jakarta, LP3ES, 1994.
Sumardi, Mulyanto, Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia 1945-1975,
Jakarta, Dharma Bhakti, 1978.

Suwito.”Pendidikan Yang Memberdayakan”.Pidato Pengukuhan Guru Besar


Sejarah Pemikiran dan Pendidikan Islam. IAINSyarif
HidayatullahJakarta,2002.

Tilaar, A.R. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. (Jakarta : Rineka Cipta,2000).

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta, Rajawali
Pers, 2010.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Hidakarya


Agung, 1985.

Himpunan Perundangan-Undangan RI tentang Sistem Pendidikan Nasional,


Bandung, Nuansa Aulia, 2005.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................i


DAFTAR ISI ......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................3
1.3 Identifikasi Masalah .....................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pesantren dan Madrasah dalam Politik Pendidikan pada Masa Kolonial.....4
2.2 Pesantren dan Madrasah dalam Politik Pendidikan pada
Masa Orde Lama...........................................................................................9
2.3 Pesantren dan Madrasah dalam Politik Pendidikan pada
Masa Orde Baru...........................................................................................16
2.4 Pesantren dan Madrasah dalam Politik Pendidikan pada
Masa Reformasi...........................................................................................20
2.5 Pemberdayaan Madrasah Di Era Otonomi Daerah ....................................24

BAB III KESIMPULAN


3.1 Kesimpulan..................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Penulis panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah tentang Posisi Madrasah dan Pesantren dalam
Politik Pendidikan di Indonesia.
Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Posisi Madrasah dan
Pesantren dalam Politik Pendidikan di Indonesia ini dapat memberikan
manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Bengkulu, Oktober 2018

Penulis
POSISI MADRASAH DAN PESANTREN DALAM POLITIK
PENDIDIKAN DI INDONESIA

OLEH

NAMA : POBY NOPRIAN, S.Pd


NIM : 1811540040
DOSEN PEMBIMBING : DR. ZUBAEDI, M.Ag.M.Pd

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU


TAHUN AKADEMIK 2018/2019

Anda mungkin juga menyukai