Anda di halaman 1dari 18

ANALISIS KEBIJAKAN DAN DINAMIKA PENDIDIKAN ISLAM

TERKAIT EKSISTENSI MADRASAH SWASTA DAN YAYASAN


Oleh: Fatmawati Guruddin

Abstrak
Eksistensi pendidikan Islam sering kali harus berhadapan dengan
negara. Artinya, kebijakan politik pemerintah tentang pendidikan Islam
dapat dikatakan tidak kondusif. Pendidikan Islam barulah mendapat
perhatian yang cukup signifikan setelah lahirnya Undang-Undang
Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dan lebih dikukuhkan lagi oleh lahirnya Undang-Undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Kebijakan madrasah yang muncul mulai dari zaman kemerdekaan
sampai masa orde baru bahkan masa kontemporer sekarang ini
memunculkan stigma positif peran pemerintah dalam merumuskan sistem
pendidikan Nasional. Namun, sederetan panjang kesan stigmatik negatif
masyarakat terhadap madrasah sebagai “second class institution” tidak
dapat dihilangkan begitu saja.
Eksistensi madrasah benar-benar mendapat pengakuan yang
eksplisit dari pemerintah RI setelah madrasah disebut dalam Undang
Undang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 17 ayat 2 dan pasal 18
ayat 3. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang
dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang
sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyi anggota.

Kata Kunci: Kebijakan pendidikan islam, eksistensi madrasah swasta


dan yayasan

A. Pendahuluan
Dalam sejarah panjangnya, eksistensi pendidikan Islam sering kali
harus berhadapan dengan negara. Artinya, kebijakan politik pemerintah
tentang pendidikan Islam dapat dikatakan tidak kondusif. Pendidikan
Islam barulah mendapat perhatian yang cukup signifikan setelah lahirnya
Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan lebih dikukuhkan lagi oleh lahirnya Undang-
Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

1
Pendidikan Nasional.1 Dalam undang-undang yang terakhir ini secara jelas
terasa kesan kuat adanya pengakuan pemerintah secara eksplisit terhadap
keberadaan berbagai lembaga pendidikan Islam, mulai dari jenjang taman
kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Akan tetapi, pengakuan pemerintah
yang lebih bersifat normatif ini masih dicederai oleh tidak berimbangnya
alokasi dana pendidikan untuk lembaga pendidikan yang berada di bawah
pengelolaan Departemen Agama dibandingkan dengan yang berada di
bawah pengelolaan Departemen Pendidikan Nasional.2
Permulaan munculnya Madrasah sekitar abad 20, dengan didasari
dua faktor penting, yaitu semangat pembaharuan Islam dan merupakan
respon pendidikan terhadap kebijakaan pemerintah Hindia Belanda.
Munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam formal
dikarenakan kekhawatiran terhadap pemerintah Hindia Belanda yang
mendirikan sekolah-sekolah umum tanpa dimasukkan pelajaran dan
pendidikan agama Islam. Kurikulum maupun metode pembelajaran yang
dikembangkan di pondok pesantren dianggap tidak kompatibel dengan
kebijakan politik dan modernisasi di masa Hindia Belanda. Selain itu,
pemerintah kolonial mencurigai peran penting pondok pesantren dalam
mendorong gerakan-gerakan nasionalisme dan prokemerdekaan di Hindia
Belanda.3
Yayasan di Indonesia, bukanlah sebuah lembaga baru. Apalagi
melihat keberadaan Yayasan dalam aktivitas pendidikan di tanah air.4 Jauh

1
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 2 Th. 1989) dan Peraturan
Pelaksanaannya, cetakan ketiga, Jakarta: Sinar Grafika, 1999; lihat juga Undang-
Undang Rebublik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (SISDIKNAS), Bandung: Citra Umbara, 2003.
2
Azyumardi Azra, “Masalah dan Kebijakan Pendidikan Islam di Era Otonomi Daerah”,
Makalah, dipresentasikan pada Konferensi Nasional Manajemen Pendidikan di
Hotel Indonesia, Jakarta, 8–10 Agustus 2002, h. 1.
3
M. Maksur, Eksistensi Dan Esensi Pendidikan Madrasah Di Indonesia. Jurnal
Pendidikan dan Pembelajaran Dasar Volume 4 Nomor 1 Juni, hlm. 101-102.
4
Yayasan pendidikan pertama kali di dunia dianggap didirikan oleh Plato menjelang
kematiannya pada tahun 347 sebelum Masehi. Plato dianggap mendirikan sebuah
Yayasan karena memberikan hasil pertanian dari tanah yang dimilikinya untuk
disumbangkan selama-lamanya kepada Academia yang didirikannya. Lihat.
Chatamarrasyid Ais, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan
Laba, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hlm. 1.

2
sebelum Indonesia merdeka atau masih dalam masa jajahan kolonial
Belanda, lembaga yang dahulunya disebut “stichting” ini, sudah
memperlihatkan sepak terjangnya terhadap pembangunan pendidikan di
tanah air. Pada massa itu, khusus oleh kalangan pribumi, Yayasan
pendidikan didirikan karena adanya kepedulian dan inisiatif untuk
memberikan pengajaran dan pengetahuan kepada masyarakat dengan
beragam tujuan.5 Ada yang bermaksud untuk menebarkan paham
keagamaan tertentu, menciptakan semangat perlawanan, dan ada juga yang
sengaja mendirikan lembaga pendidikan karena semata-mata untuk
memfasilitasi masyarakat pribumi karena cenderung mendapat
diskriminatif dari sekolah-sekolah milik Pemerintahan Hindia Belanda
ketika itu.6
Sejarah madrasah swasta adalah sejarah panjang kaum Muslim
Indonesia dalam turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Eksistensi
lembaga ini memang tidak bisa dipisahkan dari kesadaran masyarakat
Muslim akan pentingnya pendidikan; dari mulai inisiatif pendiriannya,
tanah dan bangunan, fasilitas sampai tenaga guru, semuanya dilakukan
oleh masyarakat secara swadaya–baik oleh organisasi-organisasi sosial-
keagamaan maupun yayasan-yayasan pendidikan Islam. Kondisi seperti ini
pada gilirannya, memunculkan lembaga pendidikan yang beraneka ragam,
tidak saja dari jenis tetapi juga kualitasnya.7
Keberadaan madrasah swasta tidak dapat dilepaskan dari adanya
yayasan atau lembaga organisasi yang menaunginya, karena kebijakan
pemerintah mengharuskan adanya yayasan yang menaungi madrasah atau

5
Seperti Yayasan Muhammadiyah yang didirikan Tahun 1912, Yayasan Syarikat Oesaha
Padang yang didirikan pada Tahun 1915, Yayasan Persatuan Guru Agama Islam
(PGAI) didirikan pada Tahun 1919, Lembaga Pendidikan Diniyah Putri (1923),
Yayasan Taman Siswa pada Tahun 1934, dan Yayasan pendidikan lainnya yang
didirikan oleh masyarakat pribumi Indonesia sebelum kemerdekaan.
6
. Rifa’i, Muhammad, Sejarah Pendidikan Nasional Dari Masa Klasik Hingga Modern,
Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2011, hlm, 80.
7
Muhammad Syaifudin., Kebijakan Pemerintah Tentang Yayasan Dan Eksistensi
Madrasah Swasta Di Indonesia (Antara Solusi Dan Permasalahannya). Al-
Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No. 1, Januari-Juni 2006, hlm. 70-71

3
sekolah yang didirikan secara swadaya oleh masyarakat. Berdirinya
madrasah swasta merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam
mewujudkan tujuan nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal
ini disebabkan pemerintah memiliki keterbatasan dalam mendirikan dan
mengelola lembaga pendidikan.8
Dengan kata lain bahwa pemerintah hanya mampu mendirikan
sekolah atau madrasah yang berstatus negeri. Oleh karena itu, pemerintah
mendukung berdirinya yayasan yang merupakan kumpulan dari
masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan anak bangsa,
walaupun dukungan itu baru bersifat non materil karena secara materil
madrasah swasta sangat bergantung dengan yayasan yang menaunginya.
Dukungan pemerintah terhadap yayasan yang berkembang dengan pesat
tersebut dapat dilihat dari kebijakan pemerintah melahirkan Undang-
undang Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan.
B. Kebijaka Pemerintah Atas Madrasah
Secara historis, madrasah didirikan dengan didorong oleh
keinginan untuk merealisasikan nilai-nilai ajaran Islam dalam sebuah
sistem pendidikan nasional. Namun, seiring dengan perkembangan zaman,
madrasah yang bersifat populis ini mengalamai modernisasi yang
berlangsung terus-menerus. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa
modernisasi tersebut memiliki pergeseran paradigma pendidikan pada
madrasah sedikit demi sedikit. Pada awalnya, peran aktif politik
pendidikan Pemerintah RI terhadap madrasah dapat dilihat dari adanya
beberapa kebijakan pendidikannya. Nunu Ahmad dkk mencatat beberapa
kebijakan madrasah antara lain:
1. Adanya rekomendasi dari Badan Pekerja KNIP melalui
Pengumuman Nomor 5 Tahun 1945 tanggal 22 Desember 1945
kepada Pemerintah RI untuk memajukan madrasah. Meskipun pada
prakteknya, pemerintah sendiri lebih mengutamakan
8
Muhammad Syaifudin, Kebijakan Pemerintah Tentang Yayasan Dan Eksistensi
Madrasah Swasta Di Indonesia,,, hlm. 71-72

4
pengembangan sistem sekolah; sebuah model pendidikan warisan
Kolonial Belanda daripada madrasah sebagaimana yang tertera
dalam usulan tersebut.
2. Adanya usulan dari Panitia Penyelidik Pengajaran untuk
menerbitkan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 1 Tahun 1946
tentang Pemberian Subsidi Bantuan Terhadap Lembaga Pendidikan
Islam, termasuk madrasah. Di samping itu, peraturan ini mengatur
perbaikan kurikulum lembaga pendidikan Islam dengan memuat
mata pelajaran umum seperti bahasa Indonesia, berhitung, sejarah,
dan ilmu bumi.
3. Menteri Agama RI Fathurrahman Kafrawi mengadopsi kurikulum
lembaga pendidikan di lingkungan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan untuk dimasukkan ke dalam kurikulum lembaga
pendidikan Islam pada tahun 1947.
4. Selaras dengan gagasan sebelumnya, terdapat upaya Menteri
Agama RI K.H. Wahid Hasyim untuk mengintegrasikan dualisme
sistem pendidikan pada tahun 1949 dengan cara memasukkan tujuh
mata pelajaran umum di lingkungan madrasah.
5. Penerbitan Undang-undang Pendidikan Tahun 1950 yang
mempersepsikan pendidikan sebagai institusi yang bersifat netral
terhadap agama dan sekuler.9
6. Kemunculan gerakan Madrasah Wajib Belajar (MWB) pada 1958.
7. Penerbitan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1972 dan
Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1974 tentang Tanggung Jawab
Pendidikan dan Latihan hanya Berada di bawah Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
8. Penerbitan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Tahun
1975 tentang Integrasi Madrasah ke dalam Sistem Pendidikan
Nasional.

9
Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20 Pergumulan antara
Modernisasi dan Identitas (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 227.

5
9. Kelanjutannya adalah lahirnya SKB Dua Menteri yang
menyepakati dikembangkannya kurikulum inti dan kurikulum
khusus.
10. Penerbitan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun
1989 yang menggagas posisi madrasah sejajar dengan sekolah
umum dengan tambahan ciri khas keislaman.
11. Terakhir, kemunculan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berupaya mengangkat
derajat madrasah sama dengan sekolah dalam tataran legal
formal.10
Melihat sejumlah kebijakan madrasah yang muncul mulai dari
zaman kemerdekaan sampai masa orde baru bahkan masa kontemporer
sekarang ini memunculkan stigma positif peran pemerintah dalam
merumuskan sistem pendidikan Nasional. Namun, sederetan panjang
kesan stigmatik negatif masyarakat terhadap madrasah sebagai “second
class institution” tidak dapat dihilangkan begitu saja.
C. Eksistensi Madrasah swasta
Pada abad 21, madrasah di Indonesia kini berada di persimpangan
jalan. Pada persimpangan jalan itu, madrasah harus dan dapat mengambil
pilihan menempuh jalan tertentu, yang mengandung implikasi dan
konsekuensi tertentu. Dengan kata lain, berhadapan dengan pilihan-pilihan
sulit, yang tidak hanya berkaitan dengan persaingan madrasah dengan
sekolah umum, tetapi juga dengan eksistensi madrasah itu sendiri di masa
depan. Dilema dan pilihan- pilihan sulit yang dihadapi madrasah banyak
berkaitan dengan perkembangan internal madrasah, yang terutama muncul
dari perkembangan pendidikan nasional secara keseluruhan. Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Tahun 2003, dan
kemudian penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Tahun 2004,
serta Undang-undang Otonomi Daerah yang diikuti dengan otonomisasi

10
Nunu Ahmad an-Nahidl, dkk., Posisi Madrasah dalam Pandangan Masyarakat
(Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), hlm. 3-4.

6
pendidikan, misalnya, merupakan landasan dasar kebijakan arah
pengembangan pendidikan nasional yang jelas sangat mempengaruhi
perkembangan eksistensi madrasah baik dari segi kelembagaan maupun
substansi pendidikannya.11
Kahadiran madrasah di Indonesia sebagai lembaga pendidikan
Islam setidaknya dilatarbelakakngi beberapa aspek, diantaranya:
1. Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan
Islam;
2. Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu
sistem pendidikan yang memungkinkan lulusannya memperoleh
kesempatan yang sama dengan sekolah umum;
3. Sebagai bentuk realisasi sikap mental segolongan umat islam,
khususnya santri yang terpakau pada pendidikan barat sebagai
sistem pendidikan mereka;
4. Sebagai jembatan antara pendidikan tradisional dengan pendidikan
modern.12
Dengan adanya ide-ide pembaruan yang berkembang di dunia
Islam dan kebangkitan bangsa Indonesia, pelajaran umum sedikit demi
sedikit masuk ke dalam kurikulum madrasah. Buku-buku pelajaran agama
mulai disusun sesuai dengan tingkatan madrasah, sebagaimana buku-buku
pengetahuan umum yang berlaku di sekolah-sekolah umum. Perubahan-
perubahan ini kemudian melahirkan Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah
Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA), di mana sistem
pendidikan dan pengelolaannya sama dengan sekolah-sekolah modern
pada umumnya. Namun dengan diadakannya: MI, MTs, dan MA tersebut,

11
Muhammad Syaifudin, Kebijakan Pemerintah Tentang Yayasan Dan Eksistensi
Madrasah Swasta Di Indonesia,,, hlm. 80
12
Drs. Murip Yahya, M.Pd, Eksistensi Madrasah Menghadapi Globalisasi. Jurnal
pendidikan dan studi islam fakultas agama islam universitas wiralosra.
Vol, 1, No. 1 Desember 2014, hlm. 22-23

7
maka muncullah masalah baru dimana rendahnya mutu pendidikan
lembaga-lembaga itu dibanding sekolah-sekolah pada umumnya. 13
Melihat fenomena tersebut pada 1974, muncullah gagasan untuk
membangun pendidikan satu atap, di mana madrasah akan dilebur menjadi
satu dengan sekolah-sekolah yang ada. Gagasan semacam ini tentu ditolak
oleh umat Islam. Karena, kalau mutu pendidikan madrasah kurang
berkualitas, langkah yang di ambil bukannya meleburnya dengan sekolah-
sekolah umum, akan tetapi dengan memperbaiki mutu pendidikan
madrasah tersebut. Mengenai masalah tersebut maka, Menteri Dalam
Negeri, Menteri Agama, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
mengambil keputusan sebagai jalan yang terbaik dalam penyelesaian
masalah tersebut yaitu dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama
(SKB) tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah (Nata, 2005).
Untuk merealisasikan SKB tiga menteri tersebut, pada 1976,
Departemen Agama mengeluarkan sebuah kurikulum sebagai standar
untuk dijadikan acuan oleh madrasah, baik untuk MI, MTs, maupun MA.
Kurikulum itu juga dilengkapi dengan:
1. Pedoman dan aturan penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran
pada madrasah sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di
sekolah-sekolah umum
2. Deskripsi berbagai kegiatan dan metode penyampaian program
untuk setiap bidang studi, baik untuk bidang studi agama maupun
bidang studi pengetahuan umum (Hasbullah, 1999).14
Yang terpenting dari SKB tersebut yaitu ketetapan bahwa:
1. Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan sekolah
umum yang sederajat
2. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah-sekolah umum
setingkat lebih atas

13
M. Maskur, Eksistensi Dan Esensi Pendidikan Madrasah Di Indonesia. Jurnal
Pendidikan Dan Pembelajaran Dasar Volume 4 Nomor 1 Juni 2017, Hlm.
105
14
M. Maskur, Eksistensi Dan Esensi Pendidikan Madrasah Di Indonesia.,,,hlm. 105

8
3. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang
setingkat.15
Madrasah sebagai institusi pendidikan tidak dapat mengelak dari
kebijakan reformasi pendidikan yang bersifat desentralistik. Manajemen
berbasis sekolah di lingkungan madrasah merupakan bentuk pengelolaan
pendidikan yang ditandai dengan otonomi yang luas pada tingkat
madrasah yang disertai semakin meningkatnya partisipasi masyarakat.
Dengan kata lain, madrasah atau sekolah harus mampu melakukan
improvisasi, yaitu keinginan elemen atau pihak sekolah untuk mencapai
tingkatan tertentu dari tujuan yang ingin dicapai dalam proses
pembelajaran, prestasi belajar, dan pengembangan masyarakat di
sekitarnya.16
Eksistensi madrasah benar-benar mendapat pengakuan yang
eksplisit dari pemerintah RI setelah madrasah disebut dalam Undang
Undang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 17 ayat 2 dan pasal 18
ayat 3. Dengan demikian bila dibandingkan dengan UUSPN tahun 1989,
maka UUSPN tahun 2003 lebih maju, walaupun kedua Undang-Undang
tersebut masih memelihara sistem pendidikan dualistik dalam sistem
pendidikan di Indonesia.17 Madrasah berkembang dari masyarakat untuk
masyarakat. Hal ini mengakibatkan secara kuantitas madrasah semakin
bertambah, namun secara kualitas madrasah masih jauh dari kemajuan.18
Dengan UUSPN tahun 2003, maka madrasah memiliki peluang
untuk memenuhi harapan masyarakat yang menginginkan agar porsi
pendidikan agama lebih besar. Karena berdasarkan pasal 36 ayat 2
disebutkan bahwa: Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan

15
M. Maskur, Eksistensi Dan Esensi ,,,hlm. 106
16
Kate Myers (ed), School Improvement in Practice, (London: Falmer Press, 1996),
hlm. 11
17
Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke 20, Pergumulan
Antara Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: Fajar Interpratama Ofset,
2012), hlm. 229
18
Abdul Rahman Halim, Aktualisasi Implementasi kebijakan Pendidikan pada
Madrasah Swasta di Sulawesi Selatan dalam Lentera Pendidikan, Vol. 11
No. 1 Juni 2008, hlm. 83-100.

9
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik. Atas dasar tuntutan UU
tersebut maka pemerintah mengganti kurikulum 2004 (Kurikulum
Berbasis Kompetensi) menjadi kurikulum Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP).
Mengenai eksistensi madrasah swasta dengan lahirnya Undang-
undang Yayasan tersebut dapat dijelaskan berikut ini: Tujuan membantu
dunia pendidikan, pastilah termasuk di dalam tujuan sosial dan
kemanusiaan. Tidaklah dipersoalkan dari mana suatu lembaga pendidikan
menerima sumbangan, atau dengan kata lain sumber penghasilannya,
tetapi yang penting adalah tujuannya. Persoalannya menjadi lain bila
sekolah atau lembaga pendidikan itu diselenggarakan bagi keuntungan
para pemiliknya. Tujuannya haruslah bagi promosi pendidikan untuk
kepentingan umum dan bukan bagi kepentingan pribadi. Akan tetapi,
kenyataan menunjukkan bahwa pemasukan “uang sekolah” tidak
terkontrol. Yayasan yang memajukan pendidikan haruslah memajukan
pendidikan masyarakat pada umumnya atau suatu bagian dari masyarakat
yang tidak dipilih berdasarkan alasan-alasan hubungan pribadi, koneksi
dengan penyumbang atau pengurusnya.19
D. Masdrasah dan tantangan di era globalisasi
Mengingatkan bahwa tantangan-tantangan teknologi informasi
yang baru harus dihadapi bukan dengan optimisme berlebihan maupun
pesimisme, tetapi dengan tindakan penuh pertimbangan (Ziauddin Sardar,
1988). Pendapat ini tampaknya mengingatkan bahwa perkembangan era
globalisasi dengan kemajuan teknologi informasinya bisa berdampak
positif tetapi juga bisa berdampak negatif dan oleh karena itu, lembaga
pendidikan, termasuk madrasah perlu mengantisipasi perkembangan
tersebut, terutama dalam menyiapkan peserta didik menghadapi era
tersebut sehingga perkembangan teknologi lebih banyak berdampak positif

19
Muhammad Syaifudin, Kebijakan Pemerintah Tentang Yayasan Dan Eksistensi
Madrasah Swasta Di Indonesia,,, hlm. 86

10
dan mengurangi dampak negatifnya. Fakta membuktikan bahwa abad 21
atau era globalisasi ditandai beberapa hal sebagai berikut:20
1. Kompetitif, yaitu terjadi kompetisi antar individu, antara negara
dan antar usaha akan semakin tajam
2. Perdagangan Bebas, yaitu kita akan memasuki 2010 AFTA, dan
2020 akan mengarahkan mekanisme pasar. Hal ini, bangsa
Indonesia akan dihadapkan pada keunggulan produk masing-
masing negara bebas berkeliaran di Indonesia dan atau sebaliknyaa
3. Keterbukaan
4. Demokrasi
5. Hak-hak asasi manusia (HAM)
6. Hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dan
7. Masalah lingkungan hidup.
Beberapa usulan yang perlu dilakukan dalam pengembangan
madrasah mengahadapi era globalisasi tersebut adalah:
1. Perlu dirumuskan gambaran tentang visi madrasah dalam alam
globalisasi. Usulan ini disampaikan Husni Rahim (2001).
Menurutnya visi madrasah adalah manjadi madrasah”sekolah plus”
yang berkualitas, berkarakter dan mandiri”. Madrasah plus adalah
madrasah yang menyiapkan peserta didik mampu dalam sains dan
teknologi, namun tetap dengan identitas keislamannya;
2. Perlu peningkatan kualitas guru. Untuk mendukung visi sekolah
plus diperlukan dukungan sumber daya manusia yang handal,
terutama kualitas gurunya. Diakui, bahwa guru madrasah sebagian
masih ada yang mengajar tidak sesuai dengan pendidikan yang
diterimanya; bahkan masih belum sesuai dengan tuntutan Undang
undang nomor 14 tahun 2005. Menurut Aan Hasanah (2008)
rendahnya kualitas guru madrasah dapat dilihat pada beberapa
aspek, yaitu pertama, tidak mengusai subjeck matter secara baik.
20
Drs. Murip Yahya, M.Pd, Eksistensi Madrasah Menghadapi Globalisasi. hlm. 25-
26

11
Kedua, kurang menguasai metodologi pengajaran yang efektif.
Ketiga, kurang menguasai alat dan bahan pembelajaran dan
keempat, dari guru madrasah yang ada 66,5 % guru madrasah
berlatar belakang pendidikan agama dan sisanya 33,5 % guru
berlatar belakang umum.
3. Diperlukan reviu kurikulum yang mengarah pada perubahan
tuntutan masyarakat global dengan mempertahankan kearifan
lokal. Kurikulum madrasah perlu memuat kurikulum Internasional,
nasional dan lokal. Dalam kaitan ini diperlukan penguatan
pembelajaran sains, pengembangan vocational skills yang berbasis
teknologi.
4. Diperlukan madrasah memiliki kelas bertaraf internasional dan
madrasah internasional sebagai model madrasah masa depan
dengan tetap mempertahan kekhasan madrasahnya;
5. Dukungan sarana dan prasarana yang memungkinkan peserta didik
dapat berkembang optimal tidak dapat diabaikan dalam
mendukung kegiatan madrasah yang lebih kompetitif, seperti
dukungan laboratorium, multi media, dan sarana praktikum;
6. Perlu Jaminan mutu pendidikan. Madrsah perlu mengembangkan
standar kinerja pendidikan yang memenuhi tuntutan keunggulan
kompotitif dan komperatif dalam konteks nasional bahkan
internasional;
7. Perlu pengembangan pembelajaran yang berpusat pada siswa atau
student center learning. Sehingga siswa madrasah memilki
kemauan inisiatif dan kompetitif yang pada gilirannya mereka bisa
bersaing
8. Profesionalisme kepala madrasah perlu mendapat perhatian.
Sebagai pemimpin pendidikan pada tingkat sekolah memiliki peran
yang strategis, terutama dalam mewujudkan visi dan misanya. Di
sisi lain, kewenangan yang diberikan secara otonom yang melekat
pada dirinya memerlukan kemampuan manajerial.

12
9. Perlu pendanaan pendidikan madrasah yang wajar sebagaimana
pendidikan umum. Kebijakan pemerintah terhadap anggaran
pendidikan madrasah tidak berubah. Struktur anggaran pendidikan
untuk madrasah sangat kecil dibandingkan dengan sekolah umum;
10. Perlu optimalisasi peran masyarakat dalam meningkatkan mutu
madrasah.21
E. Kebijakan atas Yayasan
Yayasan merupakan suatu badan yang melakukan berbagai
kegiatan yang bersifat sosial dan mempunyai tujuan idiil. Menurut Hayati
Soeroredjo bahwa yayasan harus bertujuan sosial dan kemanusiaan sangat
jelas. Jadi, yayasan harus bersifat sosial dan kemanusiaan serta idialistis
dan pasti tidak diperbolehkan bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, ketertiban umum, dan atau kesusilaan.22 Menurut Gatot
Supramono Yayasan ini didefinisikan dengan kumpulan dari sejumlah
orang yang terorganisasi dan dilihat dari segi kegiatannya, lebih tampak
sebagai lembaga sosial”.23 Rochmat Soemitro mengemukakan dalam
makalahnya bahwa yayasan merupakan suatu badan usaha yang lazimnya
bergerak di bidang sosial dan bukan menjadi tujuannya untuk mencari
keuntungan, melainkan tujuannya ialah untuk melakukan usaha yang
bersifat sosial.24
Jadi dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang
dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang
sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyi anggota”.
Yayasan menurut peraturan perundang-undangan, yaitu pada Pasal
1 angka 1 Undang-Undang Yayasan 2001 menyebutkan bahwa “Yayasan
adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan

21
Drs. Murip Yahya, M.Pd, Eksistensi Madrasah Menghadapi Globalisasi. hlm. 27-28
22
Hayati Soeroredjo dalam makalahnya Status Hukum dari Yayasan dalam Kaitannya
dengan Penataan Badan-badan Usaha di Indonesia, 15 Desember 1989, hlm.7.
23
Gatot Supramono, Hukum Yayasan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 1.
24
Rochmat Soemitro, Yayasan, Status Hukum dan Sifat Usaha, Jakarta, 15 Desember
1989, hlm 9.

13
diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota”.
Sendangkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 pasal 5 ayat 1
menyebutkan bahwa “kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang,
maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-
Undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak
langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk
lain yang dapat dinilai dengan uang kepada pembina, pengurus dan
pengawas”. 25
Berdasarkan hukum kebiasaan dan asumsi hukum yang berlaku
umum di masyarakat, maka dapat dikemukakan ciri-ciri yayasan sebagai
suatu entitas hukum sebagai berikut:
1. Eksistensi yayasan sebagai entitas hukum di Indonesia belum
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,
2. Pengakuan yayasan sebagai badan hukum belum ada dasar yuridis
yang tegas berbeda halnya dengan PT, Koperasi dan badan hukum
yang lain.
3. Yayasan dibentuk dengan memisahkan kekayaan pribadi pendiri
untuk tujuan nirlaba, untuk tujuan religius, sosial keagamaan,
kemanusiaan dan tujuan-tujuan idiil yang lain.
4. Yayasan didirikan dengan akta notaris atau dengan surat keputusan
pejabat yang bersangkutan dengan pendirian yayasan.
5. Yayasan tidak mempunyai anggota dan tidak dimiliki oleh
siapapun, namun mempunyai pengurus atau organ untuk
merealisasikan tujuan yayasan.
6. Yayasan mempunyai kedudukan yang mandiri, sebagai akibat
adanya kekayaan terpisah dan kekayaan pribadi pendiri atau
pengurusnya dan mempunyai tujuan sendiri berbeda atau lepas dan
tujuan pribadi pendiri atau pengurus.

25
Gatot Supramono, Hukum Yayasan di Indonesia,,,,hlm. 1.

14
7. Yayasan diakui sebagai badan hukum seperti haInya orang yang
berarti la diakui sebagai subyek hukum mandiri yang dapat
menyandang hak dan kewajiban mandiri, didirikan dengan akta dan
didaftarkan di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.
8. Yayasan dapat dibubarkan oleh Pengadilan bila tujuan yayasan
bertentangan dengan hukum dapat dilikuidasi dan dapat dinyatakan
pailit.26
Pertumbuhan yayasan cukup pesat dalam masyarakat Indonesia.
Keberadaan yayasan pada dasarnya merupakan pemenuhan kebutuhan
bagi masyarakat yang menginginkan adanya wadah atau lembaga yang
bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan, serta kemanusiaan. Yayasan
dalam bahasa Belanda disebut Stichting. Sebelum adanya peraturan yang
mengatur secara khusus tentang Stichting ini, tidaklah berarti bahwa di
Indonesia sama sekali tidak ada ketentuan yang mengatur tentang
Yayasan. Secara sporadis dalam beberapa pasal undang-undang disebut
adanya Yayasan, seperti: Pasal 365, Pasal 899, Pasal 900, Pasal 1680
KUH Perdata, kemudian dalam Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 236 Rv, serta
Pasal 2 ayat (7) Undang-Undang Kepailitan (Faillissementsverordening)
(Borahima, 2010) Peraturan yang kemudian mengatur yayasan secara
khusus yaitu Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Kemudian Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
mengalami perubahan dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2004.
Dalam Menyikapi perkembangan yayasan pendidikan yang
demikian pesat yang bersifat tradisional, pemerintah Indonesia berupaya
memberikan jaminan dan kepastian hokum dalam pelaksanaannya. Oleh
karena itu, sejak tanggal 6 Agustus 2001, Indonesia telah memiliki suatu
Undang-undang yang mengatur tentang Yayasan. Suatu perjalanan yang
panjang, dimulai dari berbagai naskah akademik Undang-undang yang
lahir silih berganti, pembicaraan yang panjang di DPR,14 akhirnya 45

26
Budi Untung, Reformasi Yayasan dalam Perpekpektif Manajemen, AndiYogyakarta,
2002, hlm. 4

15
(empat puluh lima) tahun setelah Belanda memiliki Undang-undang
Yayasan, baru kini Indonesia memiliki Undang-undang tentang Yayasan
yaitu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001.27
Adanya pergeseran paradigma di masyarakat terhadap pendirian
dan pengelolaan Yayasan, pemerintah mencoba untuk memberikan
kepastian hukum terhadap Yayasan agar tidak disalahgunakan. Tepatnya
pada masa reformasi, pemerintah melahirkan Undang-undang Nomor 16
Tahun 2001 tentang Yayasan (disebut UU Yayasan 2001). Dalam undang-
undang ini, baik pendirian Yayasan maupun pengelolaan Yayasan
diberikan syarat dan batasan oleh hukum agar tidak mudah disalahgunakan
oleh masyarakat dalam pengoperasiannya.28 Reformasi sebagai suatu
gerakan nasional telah mengubah kebijakan pembangunan masa lampau
menjadi lebih demokratis, mengakui persamaan derajat manusia,
pembangunan yang lebih terdesentralisasi dalam rangka menuju
masyarakat madani.
Reformasi politik pendidikan nasional merupakan keniscayaan
sejarah yang harus didukung oleh semua pihak agar mencapai cita- cita
education for all secara adil dan berkelanjutan. Salah satu bentuk nyata
dari reformasi pendidikan adalah pelaksanaan otonomi penyelenggaraan
pendidikan yang bisa juga disebut dengan desentralisasi pendidikan yang
menekankan pada peningkatan partisipasi masyarakat8 dalam kerangka
community based education (pendidikan berbasis masyarakat). Hal ini
sejalan dengan konsep manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis
sekolah (school based management). Dengan sistem Manajemen berbasis
sekolah ini, diharapkan sekolah akan lebih mandiri dan mampu

27
Muhammad Syaifudin, Kebijakan Pemerintah Tentang Yayasan Dan Eksistensi
Madrasah Swasta Di Indonesia,,, hlm. 75
28
R. Murjiyanto, Badan Hukum Yayasan; Aspek Pendirian dan Tanggung Jawab,
Liberty, Yogyakarta, 2011, hlm. 13.

16
menentukan arah pengembangan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan
lingkungan masyarakatnya.29
Dalam aplikasinya, ternyata UU tentang Yayasan reaksi dari
kalangan pendiri/pengurus yayasan yang sudah ada dan lama berjalan.
Reaksi yang kuat dan emosional muncul dari Organisasi Non-Pemerintah
(Ornop) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap Undang-
undang Yayasan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan
pemerintah tentang Yayasan tersebut pada satu sisi memberikan solusi dan
pada sisi lain menimbulkan permasalahan.
Adapun masalah-masalah yang dapat teratasi dengan adanya
Undang- undang Yayasan tersebut meliputi:30
1. Badan Hukum Yayasan Undang-undang Yayasan Nomor 16 Tahun
2001 mengakhiri perdebatan mengenai apakah Yayasan adalah
suatu badan hokum atau bukan. Dalam undang-undang itu
dijelaskan bahwa Yayasan adalah suatu badan hukum.
2. Tujuan Sosial dan Kegiatan Usaha Yayasan Ketentuan Pasal 1 butir
1 Undang-undang Yayasan Nomor 16 tahun 2001 dan pasal 3, 7,
dan 8, menghapuskan kontroversi apakah Yayasan harus bertujuan
sosial dan kemanusiaan, dan boleh melakukan kegiatan usaha atau
mendirikan badan usaha yang dapat memperoleh laba. Yayasan
boleh memperoleh laba dengan melakukan berbagai kegiatan
usaha, sejauh laba yang diperoleh dipergunakan untuk tujuan
idealitas, sosial dan kemanusiaan. Usaha yang memperoleh laba ini
diperlukan agar Yayasan tidak bergantung selamanya pada bantan
dan sumbangan pihak lain.
3. Siapa Pemilik Yayasan Menurut Undang-undang Yayasan, bahwa
Pendiri Yayasan bukanlah pemiliknya karena ia telah memisahkan

29
Muhammad Syaifudin, Kebijakan Pemerintah Tentang Yayasan Dan Eksistensi
Madrasah Swasta Di Indonesia,,, hlm. 72-73
30
Muhammad Syaifudin, Kebijakan Pemerintah Tentang Yayasan Dan Eksistensi
Madrasah Swasta Di Indonesia,,, hlm. 76

17
kekayaannya untuk menjadi pemilik badan hukum Yayasan dan
Pengurus juga bukanlah pemiliknya karena ia diangkat untuk
mengurus organisasi Yayasan. Dengan demikian, menurut UU ini,
Yayasan adalah milik masyarakat dan bukan milik para
Pendiri/Pembina, Pengurus, dan atau Pengawas.
4. Keterbukaan Yayasan Dalam hubungan ini, Undang-undang
Yayasan nomor 16 Tahun 2001 mengharuskan Yayasan membuat
Laporan Tahunan yang dapat diketahui oleh masyarakat dan
dilakukan pemeriksaan terhadap Yayasan. Hal ini berarti bahwa
Yayasan harus bersikap terbuka dan tidak ada alasan untuk
menyembunyikan atau merahasiakan masalah keuangan Yayasan,
bahkan masalah kegiatan yang dilakukan oleh Yayasan.
F. Kesimpulan
Kebijakan madrasah yang muncul mulai dari zaman kemerdekaan
sampai masa orde baru bahkan masa kontemporer sekarang ini
memunculkan stigma positif peran pemerintah dalam merumuskan sistem
pendidikan Nasional. Namun, sederetan panjang kesan stigmatik negatif
masyarakat terhadap madrasah sebagai “second class institution” tidak
dapat dihilangkan begitu saja.
Eksistensi madrasah benar-benar mendapat pengakuan yang
eksplisit dari pemerintah RI setelah madrasah disebut dalam Undang
Undang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 17 ayat 2 dan pasal 18
ayat 3.
Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang
dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang
sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyi anggota.

18

Anda mungkin juga menyukai