Anda di halaman 1dari 7

Sekilas Perkembangan Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia.

Sejarah pendidikan Islam di Indonesia mengalami priodeisasi yang sangat panjang dan dinamis,
diawali dengan masuknya islam hingga saat ini. Sejarah pendidikan Islam di Indonesia mengalami
dinamika pasang surut dan penuh tantangan. Ramayulis menulis dengan konperhensif tentang sejarah
pendidikan islam di Indonesia, dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam” ia membagi pase
perkembangan pendidikan islam di Indonesia pada tiga priodeisasi. Yaitu : a. priode awal masuknya
Islam ke Indonesia. b. priode masa kolonial (penjajahan Belanda dan Jepang). c. Priode Pembaharuan
pendidikan Islam. (Ramayulis, 2012: 211-425).

Dari ketiga priode ini dapat dikatakan bahwa pendidikan islam di Indonesia ini hanya ada tiga
ketegori model pendidikan, yaitu; pesantren, sekolah dan madrasah, dengan ciri masing masing yang
bercorak dikotomik, bukan terpadu, terutama model sekolah dan pesantren.

Karel A. Steenbrink, sekolah merupakan kebijakan politik pendidikan yang dirancang Belanda,
dan diteruskan hingga saat ini. Sementara pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional
dengan pengajaran kitab-kitab kuning yang dipinpin para kiyai, dan merupakan ciri khas pendidikan
Islam awal yang ada di Indonesia dengan segala varian dan corak ragamnya. Meskipun menurut
Karel A. Steenbrink, duapuluh tahun terakhir banyak pesantren telah mengadopsi sistem madrasah
dan memasukkan mata pelajaran umum dalam sistem pendidikannya. Sistem madrasah diperkenalkan
untuk menjembatani kesenjangan antara pesantren dan sekolah yang pada akhirnya melahirkan
dualisme
dalam sistem pendidikan nasional. Dengan memberikan penekanan pada mata pelajaran agama,
pesantren seringkali dianggap tidak mampu merespons kemajuan dan tuntutan zaman. (Karel A.
Steenbrink :1986:167)

Dari paparan Steenbrik diatas ditemukan adanya pergeseran model pendidikan dipesantren
yang mengembangkan sistemnya menjadi madrasah, meskipun sistem pesantren tetap dipertahankan,
artinya pesantren mengajarkan ilmu pengetahuan umum dalam kurikulumnya. Berbeda dengan model
sekolah yang sejak awal kurang memberikan perhatian pada pendidikan Agama Islam.
Pada awal mulanya, Pendidikan Agama Islam tidak masuk dalam struktur kurikulum pendidikan
disekolah, sebab agama dianggap privasi masing-masing individu, bahkan terkesan diabaikan.
Perjuangan para tokoh-tokoh Pendidikan islam dalam upaya memasukkan Pendidikan Agama Islam
(PAI) menjadi pelajaran wajib disekolah baru terealisasi pada tahun 1989 dengan dikeluarkannya
Undang-Undang Sisdiknas no 2 Tahun 1989 dan diperkuat di tahun 2003 didalam Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003. Meskipun demikian, Pendidikan Agama Islam kurang
mendapat porsi yang cukup dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang dicita-citakan, yaitu
mewujudkan manusia Indonesia yang bertaqwa dan berakhlak mulia.
Kurangnya perhatian terhadap Pendidikan Agama Islam disekolah (dikotomik) merupakan
salah satu sebab munjulnya ide atau gagasan munculnya sistem Sekolah Islam Terpadu.

Terlihat pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian
kesatu (umum) pasal15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum,
kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagaman, dan khusus. Dari pasal ini tampak jelas adanya
dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis
semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia salih yang berkepribadian Islam sekaligus mampu
menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan,
sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah, institut agama, dan pesantren
yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah
menengah, kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh
Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter siswa yang
merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama
ditempatkan sekadar sebagai salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan
dari seluruh aspek. Hal ini juga tampak pada BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum
pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan
pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang
lainnya. Ini jelas tidak akan mampu mewujudkan anak didik yang sesuai dengan tujuan dari pendidikan
nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara. Kacaunya kurikulum ini tentu saja berawal dari asasnya yang sekular, yang kemudian
mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya bagi proses
penguasaan ilmu-ilmu Islam dan pembentukan kepribadian Islam.
Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bias melahirkan orang yang menguasai sains-teknologi
melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan semacam itu terbukti gagal
membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan ilmu-ilmu Islam. Berapa banyak lulusan
pendidikan umum yang tetap saja 'buta agama' dan rapuh kepribadiannya? Sebaliknya, mereka yang
belajar di lingkungan pendidikan agama memang menguasai ilmu-ilmu Islam dan secara relatif sisi
kepribadiannya tergarap baik. Akan tetapi, di sisi lain, ia buta terhadap perkembangan sains dan
teknologi. Akhirnya,sektor-sektor modern (industri manufaktur, perdagangan, dan jasa) diisi oleh orang-
orang yang relatif awam terhadap agama karena orang-orang yang mengerti agama terkumpul di
dunianya sendiri (madrasah, dosen/guru agama, Depag), tidak mampu terjun di sektor modern. Sistem
pendidikan yang material-sekularistik tersebut sebenarnya hanyalah merupakan bagian belaka dari sistem
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang juga sekular. Dalam sistem sekular, aturan-aturan,
pandangan, dan nilai-nilai Islam memang tidak pernah secara sengaja digunakan untuk menata berbagai
bidang, termasuk bidang pendidikan. Karena itu, di tengah-tengah sistem sekularistik ini lahirlah berbagai
bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Melihat berbagai permasalahan tersebut, maka muncullah
lembaga pendidikan Islam bak jamur di musim penghujan yang menawarkan konsep penggabungan
pendidikan Nasional dengan materi-materi umumnya dan pendidikan Islam dengan materi-materi
keislamannya. Namun tampaknya strategi ini amat jitu, terbukti eksistensi lembaga pendidikan Islam
dalam menyerap peserta didik yang terus meningkat dari tahun ketahun, salah satunya dengan munculnya
sekolah Islam terpadu (SIT), dari tingkat Taman Kanak-kanak hingga Sekolah Menengah Umum. Bagi
para orang tua, munculnya Sekolah Islam Terpadu ibarat menemukan kesegaran di tanah yang tandus,
sadar akan kebutuhanagama sekaligus penguasaan ilmu umum ditambah ketidak mampuan yang
mendalam atas pengetahuan keislaman menjadikan tuntutan menyekolahkan anaknya pada lembaga
pendidikan Islam semisal Sekolah Islam Terpadu ini sangat besar. Tak peduli jumlah biaya yang
terpenting anak mereka menguasai ilmu umum sekaligus menguasai ilmu agama. Namun apakah Sekolah
Islam Terpadu merupakan lembaga pendidikan Islam ideal yang tanpa melahirkan permasalahan? Yang
jelas peran pendidikan agama dalam pendidikan Nasional dapatsedikit terharmonisasi dalam lembaga
pendidikan Sekolah Islam Terpadu karena menyatukan bentuk keduanya.

Amrullah, A. (2017). SEKOLAH ISLAM TERPADU: SEBUAH TINJAUAN KRITIS.


Tadrib; Vol 1 No 1 (2015): Jurnal Tadrib Pendidikan Agama Islam; 1-15 ; Tadrib: Jurnal
Pendidikan Agama Islam; Vol 1 No 1 (2015): Jurnal Tadrib Pendidikan Agama Islam; 1-
15 ; 2549-6433 ; 2477-5436.
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/Tadrib/article/view/1033

Prakarsa Awal Sekolah Islam Terpadu Di Indonesia.


Sekolah Islam dengan embel-embel terpadu merupakan pendatang baru dalam sejarah
pendidikan islam di Indonesia. Meskipun tergolong baru, sekolah islam dengan slogan terpadu
ini menunjukan eksistensi yang baik, dan saat ini menjadi trend bagi sebagian masyarakat
muslim, khususnya diperkotaan, meskipun dengan biaya yang cukup mahal. Menurut Suyatno,
dalam waktu yang relatif singkat, jumlah sekolah Islam terpadu telah mencapai ±10.000 sekolah
diseluruh wilayah Indonesia. (Suyatno, 2013: 361).
Fakta tersebut membuktikan adanya kepercayaan masyarakat muslim Indonesia atas
sekolah-sekolah Islam dengan label terpadu tersebut, dan ini tentunya sangat membantu bagi
pemerintah dalam mewujudkan manusia Indonesia yang cerdas dan bebas buta aksara, yang
merupaka amanat Undang-Undang Dasar 1945, dalam rangka mengisi dan sekaligus mensyukuri
kemerdekaan Indonesia.(Baca. Amanat Undang-Undang Dasar 1945).

Abuddin Nata menjelaskan, ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945 dan bebarapa
waktu setalah itu, pendidikan di Indonesia dalam keadaan dualistik atau dikotomik. Hal ini
merupakan akibat dari pendidikan yang diwariskan Belanda yang mengajarkan ilmu-ilmu secara
sekuler, disisi lain ada pendidikan pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama yang
bersumber dari kitab kuning yang ditulis para ulama pada abad klasik dan pertengahan, sebagian
besar merujuk kepada paham Islam suni yang dibawa oleh para ulama yang pernah belajar di
al-Haramain (Mekkah dan Madina).(Abuddin Nata, 2015: 3).Sekolah Islam Terpadu dalam
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Ahmadi Lubis

Pada dekade akhir tahun 1980-an, Sekolah Islam dengan label terpadu mulai bermunculan di
Indonesia. Konsep Pendidikan islam ini diprakarsai para aktivis dakwah kampus dari berbagai
universitas negeri di Indonesia, hal ini cukup menarik, mengingat pendidikan Islam itu
seharusnya lahir dari aktifis perguruan tinggi Agama Islam di Indonesia. Namun, faktanya bukan
demikian. Munculnya pemuda-pemuda dari kampus non Agama Islam sebagai penggerak
berdirinya sekolah islam terpadu di Indonesia merupakan tanda berubahnya pola pikir terhadap
nilai-nilai Islam dilingkungan masyarakat muslim Indonesia. Kesadaran ini tentu tidak datang
dengan begitu saja, pasti ada yang melatar belakanginya.

Jika kita kaji lebih jauh sejarah pendidikan islam di Indonesia, konsep pendidikan islam dengan
model terpadu akan kita temukan ide dan gagasannya, meskipun tidak dengan label terpadu.
Sistem pendidikan sekolah dengan memadukan pelajaran umum dan agama telah ada
sebelumnya. Pada tahun 1909, Abdullah Ahmad telah mendirikan Adabiyah School di Sumatra
Barat, meskipun pada awalnya sekolah ini berbentuk Madrasah, tapi pada akhirnya berubah
menjadi sekolah, HIS. Konsep kurikulumnya pun sama dengan konsep Sekolah Islam Terpadu
saat ini, yaitu integarasi.

Konsep terpadu menurut Syarifudin (2007) adalahsebagai berikut. Pertama, keterpaduan antara orang tua
dan guru dalam membimbing anaknya. Kedua, keterpaduan dalam kurikulum Ketiga,
keterpaduan dalam konsep pendidikan. Ada sinergi antara stakeholder yang terkait dengan pendidikan
tersebut. Konse terpadu menunjukkan bahwa dalam merumuskan tujuan pendidikan tidak hanya berpusat
pada lembaga pendidikan saja, namun juga harus mampu terintegrasi dengan peran orang tua sebagai
bagian dari pendidikan informal, kurikulum sebagai bagian dari pendidikan formal, dan ektrakulikuler
sebagai bagian dari pendidikan non formal. Sekolah Islam terpadu digagas karena melihat efek sekolah-
sekolah nasional yang mendidik anak sekuleristik dengan memisahkan kehidupan keagamaan dan
kehidupan sosial bermasyarakat. Kemudian ada beberapa sekolah Islam yang juga bagian dari sekuleristik
yang sangat fokus terus di ibadah-ibadah mahdah sehingga mengabaikan sisi ilmu pengetahuan. Ini
berdampak pada umat Islam yang semakin terpuruk dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Guna
menjaga mutu dan kualitas sekolah Islam terpadu, sejumlah praktisi dan pemerhati pendidikan Islam,
membentuk sebuah wadah yaitu Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT), dengan misi utamanya; Islami,
efektif dan bermutu.

Lubis, A. (2018). SEKOLAH ISLAM TERPADU DALAM SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA. JURNAL
PENELITIAN SEJARAH DAN BUDAYA; Vol 4, No 2; 1077-1095 ; 2655-8254 ; 2502-6798 ;
10.36424/Jpsb.V4i2. https://jurnalbpnbsumbar.kemdikbud.go.id/index.php/penelitian/article/view/60

Pada Kurikulum Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) berupaya memaksimalkan peran guru,
orang tua dan masyarakat dalam proses pengelolaan sekolah dan pembelajaran sehingga
terjalin sinergi yang konstruktif dalam membangun kompetensi dan kepribadian peserta didik.
Orangtua dilibatkan secara aktif dalam komite sekolah untuk memberi perhatian dan kepedulian
yang memadai dalam proses pendidikan putra – putri mereka. Sementara itu, aktivitas
kunjungan ke luar sekolah ialah upaya untuk mendekatkan siswa terhadap lingkungan.
Kurikulum JSIT adalah kurikulum yang memadukan antara kurikulum Nasional dan kurikulum
Sekolah Islam Terpadu (Ismail, 2018). Dalam kurikulum JSIT seluruh mata pelajaran wajib
memasukkan nilai-nilai Islam didalamnya (Muhab, 2014). Lebih lanjut dikatakan bahwa sesuai
dengan misi, tujun, dan strategi sekolah, Jaringan Sekolah Islam Terpadu juga
mengembangkan standar proses yang mengacu pada kekhasan JSIT. Standar proses tersebut
didasari pada prinsip pembelajaran sekolah Islam terpadu yang telah disesuaikan. Tidak hanya
itu, pendidikan berbasis Islam merupakan pembelajaran yang diarahkan kedalam dua bagian
yaitu dalam bagian pengelolaan pendidikan berbasis islam dalam pembentukan kepribadian
anak sesuai dengan ajaran agama Islam yang berkarakter baik

Purwanto, A. (2021). Pengembangan Kurikulum Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) di Sekolah Dasar
Islam Terpadu. Jurnal Basicedu; Vol 6, No 1 (2022): February, Pages 1-1500; 335-342 ; 2580-1147 ; 2580-
3735 ; 10.31004/Basicedu.V6i1. https://jbasic.org/index.php/basicedu/article/view/1928

Definisi Sekolah Islam Terpadu


Sekolah Islam Terpadu berdasarkan informasi yang dikutip dari laman resmi Jaringan Sekolah Islam
Terpadu (JSIT), adalah sekolah yang berlandaskan Al Quran dan Sunah, dan mengusung keterpaduan
metode pembelajaran, keterpaduan dalam pendidikan intelektual, kejiwaan (emosi), dan fisik; serta
keterpaduan lingkungan sekolah, rumah dan masyarakat. Definisi SIT sebagaimana tertulis dalam laman
JSIT adalah sebagai berikut: “Sekolah Islam yang diselenggarakan dengan memadukan secara Integratif
nilai dan ajaran Islam dalam bangunan kurikulum dengan pendekatan pembelajaran yang efektif dan
pelibatan yang optimal dan kooperatif antara guru dan orang tua, serta masyarakat untuk membina
karakter dan kompetensi peserta didik”
Merujuk pengertian SIT menurut kebijakan standar konsep Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT), tentu
berimplikasi pada kewajiban orang tua untuk turut berpartisipasi dalam pencapaian hasil belajar peserta
didik, seperti, memantau penambahan hafalan Al Quran, mengizinkan peserta didik untuk mengikuti
perkemahan, bermalam di suatu tempat untuk beribadah bersama. Atau kegiatan sekolah lain. Dengan
begitu, pencapaian hasil belajar peserta didik dipengaruhi oleh partisipasi orang tua, keterlibatan siswa
secara penuh dalam proses belajar dan tentu saja kualitas proses belajar mengajar yang menjadi
tanggung jawab guru dan pembimbing di sekolah. Ilyasin (2008) menyebutkan bahwa SIT mampu
memadukan dua visi besar pendidikan, yaitu: “transinternalisasi nilai- nilai ilahiyah dan nilai-nilai dunia
kemodernan.” Dengan perpaduan dua visi pendidikan tersebut, maka SIT menjadikan nilai-nilai
ketuhanan (ayat-ayat qauliyah) sebagai pedoman dan panduan dalam membangun karakter peserta
didik, sembari mengisi akal dan otak mereka dengan kemajuan ilmu pengetahuan modern.

Septiawati, D., & Suradika, A. (2022). PRAGMATISME DAN KONSEP SEKOLAH


ISLAM TERPADU. Perspektif; Vol. 1 No. 6 (2022); 625-636 ; Perspektif; Vol 1 No 6
(2022); 625-636 ; 2807-1190. https://jurnal.jkp-bali.com/perspektif/article/view/155
Standar Kurikulum Sekolah Islam Terpadu
Ada perbedaan istilah antara Peraturan Pemerintah nomor yang diubah dengan PP nomor 32 tahun
2013 yang diubah dengan PP nomor 32 tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendikan (SNP) dengan
standar mutu Sekolah Islam Terpadu. PP menggunakan istilah standar isi sementara SIT menggunakan
istilah standar kurikulum. Namun secara substansial tidak ada perbedaan isi, karena penyusunan Standar
Kurikulum SIT mengacu pada Peraturan Pemerintah dengan tambahan pengembangan kekhasan SIT.
Terdapat perbedaan yang bersifat komplementer antara standar isi yang disusun oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan Republik Indonesia dengan standar yang disusun oleh Sekolah Islam Terpadu.
Perbedaan ini bukanlah perbedaan yang bersifat konfrontatif, melainkan perbedaan yang sifatnya
komplementer untuk menunjukkan tambahan kompetensi dalam pengelolaan pendidikan Islam, sebagai
sebuah kekhasan Sekolah Islam Terpadu. Selain terdapat “islamisasi pengetahuan” dalam standar
kurikulum pendidikan sebagaimana dalam sampel yang peneliti sajikan, ada dua hal lain yang ditemukan
dalam standar kurikulum SIT. Pertama, menggugah ruh jihad dalam arti yang luas kepada peserta
didik.Hal ini dapat dilihat dari kisah-kisah ummat Islam di dalam beragam bidang yang termuat dalam
standar kurikulum SIT, bahkan terdapat pula lirik lagu jihad untuk kelas XII SMAIT. Kedua, ghirah
kecintaan kepada dakwah Islam. Sebagaimana diyakini dalam tarbiyah, bahwa Islam adalah agama
dakwah. Karena setiap aktifitas termasuk aktifiitas pendidikan tidak lepas dari apa yang disebut dengan
dakwah islamiyah. Ketiga, ada banyak muatan sirah (sejarah) yang sengaja dimasukkan sebagai bahan
bacaan terhadap sejarah masa lampai tentang kejayaan Islam, baik dalam konteks Islam masa nabi,
sahabat dan para khalifah maupun dalam konteks sejarah tokoh-tokoh Islam di Indonesia, tentang
kontribusi mereka terhadap pembentukan negara republik Indonesia.

Madrasah
Perpaduan antara sistem pada pondok pesantren dengan sistem yang berlaku pada sekolah-sekolah
modern, merupakan sistem pendidikan dan pengajaran yang dipergunakan di madrasah. Proses
perpaduan tersebut berlangsung secara berangsur-angsur mulai dan mengikuti sistem klasikal.Dalam
pasal 55 Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa
masyarakat diberikan kesempatan untuk menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat sesuai
dengan kekhasan agama, lingkungan sosial dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Dalam
hubungan ini, setiap satuan pendidikan termasuk madrasah mempunyai kedudukukan yang sama dalam
sistem pelaksanaan kurikulum, evaluasi pendidikan dan standar nasional pendidikan.
Madrasah memiliki tujuan untuk menghasilkan pendidikan yang khas yaitu manusia muslim yang
menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya dengan menjadikan semua mata pelajaran sebagai
wahana untuk meningkatkan keberhasilan pendidikan agama. Mata pelajaran yang dimaksud adalah
Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial,
Seni dan Budaya, Penjaskes, Muatan Lokal dan lain-lain. Semua mata pelajaran ini diberikan nuansa
keagamaan atau pelaksanaannya dijiwai oleh pendidikan agama. Menurut Muhaimin, bahwa kurikulum
madrasah perlu dikembangkan secara terpadu dengan menjadikan ajaran dan nilai Islam sebagai
petunjuk dan sumber konsultasi bagi pengembangan berbagai mata pelajaran umum, yang
operasionalnya dapat dikembangkan dengan cara mengimplisitkan ajaran dan nilainilai Islam ke dalam
bidang studi umum seperti IPA, IPS, Matematika, dan bidang studi lainnya. Dengan demikian, kesan
dikotomis menjadi hilang. Model pembelajaran yang cocok adalah team teaching yaitu guru bidang studi
umum bekerja sama dengan guru bidang studi agama islam seperti Aqidah Akhlak, Fiqh, Quran Hadis,
Sejarah Kebudayaan Islam untuk menyusun desain pembelajaran yang oplikatif dan detail untuk
diimplementasikan dalam pembelajaran. Secara sederhana, bagan di bawah ini memperlihatkan model
kurikulum terpadu bagi madrasah dimana bidang studi rumpun agama Islam yang terdiri dari Aqidah
Akhlak, Fiqh, Quran Hadis, Sejarah Kebudayaan Islam serta penciptaan suasana lingkungan yang
relegius harus menjadi komitmen bagi setiap warga madrasah dalam rangka mewujudkan madrasah
sebagai wahana untuk membina ruh dan praktek keislaman. Bidang studi rumpun agama Islam
merupakan inti sehingga bahan-bahan yang termuat dalam bidang studi umum PKN, IPS, IPA,
Matematika, Seni Budaya, Penjaskes, Muatan Lokal, Keterampilan dan Bahasa harus dijiwai oleh
pendidikan agama Islam.

Pesantren secara universal identik dengan kitab-kitab kuning, kitab-kitab yang diajarkan pada para
santri. Seperti hadits, tafsir, al-Qur'ān, teologi Islam, tasawuf, dan tarikh, Secara umum, pondok
pesantren
bisa dibedakan atas pesantren klasik dan pesantren modern. sistem pengajaran yang digunakan masih
dengan metode klasik. Metode ini dikenal dengan istilah sorogan atau layanan individual dan wetonan
(berkelompok); yaitu para santri mengelilingi Kyai membentuk halaqah. Wetonan adalah metode kuliah di
mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai. Kiai membacakan kitab yang
dipelajari saat itu, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan. Sorogan adalah metode
kuliah di mana santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan
dipelajari. Kurikulum yang ketat dan memisahkan kelompok santri berdasarkan jenis kelamin. Akibatnya,
pesantren klasik cenderung sebagai lembaga pendidikan yang ketinggalan zaman. Namun melalui UU
Nomor 20 tahun 2003 yang diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang
Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Dalam peraturan pemerintah tersebut dijelaskan
eksistensi pesantren dalam pasal 26, sebagai berikut: (1) Pesantren menyelenggarakan pendidikan
dengan tujuan menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWsT, akhlak mulia, serta tradisi
pesantren untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk
menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) . (2) Peserta didik dan/atau pendidik di pesantren yang
diakui keahliannya di bidang ilmu agama tetapi tidak memiliki ijazah pendidikan formal dapat menjadi
pendidik mata pelajaran/kuliah pendidikan agama di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang
memerlukan.

Perbedaan Pesantren, Madrasah dan Sekolah Islam Terpadu

Sekolah Islam Terpadu merupakan model lembaga pendidikan yang berusaha menggabungkan
antara ilmu umum dan agama dalam satu paket kurikulum yang integratif. Berbeda dengan tiga lembaga
pendidikan sebelumnya, Sekolah Islam Terpadu memiliki segmentasi tersendiri. Pesantren merupakan
lembaga pendidikan Islam tradisional yang diminati oleh kalangan Muslim yang menginginkan putra-
putrinya mendalami ilmu agama; baik berupa hafalan Alquran, Hadis, Nahwu, Shorof, dan ilmu-ilmu
agama lainnya. Sekolah umum diminati oleh masyarakat umum baik kalangan Muslim maupun non-
Muslim yang lebih memprioritaskan putra-putri mereka menguasai ilmu-ilmu modern, baik Ilmu Alam,
Ilmu Sosial, maupun Humaniora. Madrasah merupakan tindak lanjut dari pendidikan di pesantren, yang
mengajarkan 30% mata pelajaran agama, dan 70% mata pelajaran umum. Sedangkan SIT diartikan
sebagai sekolah yang menerapkan pendekatan penyelenggaraan dengan memadukan pendidikan umum
dan pendidikan agama menjadi satu jalinan kurikulum. Dengan pendekatan ini, semua mata pelajaran
dan kegiatan Tidak ada dikotomi, tidak ada keterpisahan, tidak ada “sekularisasi”.

Tambak, H. M. (2022). DINAMIKA KELEMBAGAAN PENDIDIKAN ISLAM (Perbandingan Pesantren,


Madrasah dan Sekolah Islam Terpadu). Tarbawy : Jurnal Pendidikan Islam; Vol 9 No 2 :(Tarbawy : Jurnal
Pendidikan Islam; 84-94 ; 2614-5812 ; 2407-4462 ; 10.32923/Tarbawy.V9i2.
https://jurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/tar/article/view/3109

Anda mungkin juga menyukai