Anda di halaman 1dari 26

Problematika Pendidikan Islam di Indonesia (bagian 1) Ditulis oleh Aries Musnandar Sabtu, 05 November 2011 11:03 A.

Tinjauan Praksis Pendidikan Islam Proses pendidikan terejawantahkan sebagai hasil kajian dari ilmu pendidikan yang lebih bersifat praksis. Ilmu pendidikan tidak dapat dipelajari dari belakang meja tanpa peserta didik dan pendidik, tanpa tujuan pendidikan dan kebijakan pendidikan. Keadaan ilmu pendidikan di Indonesia sudah sejak lama oleh sebagian kalangan pakar pendidikan dikatakan dalam status stagnasi karena terputus hubungannya dengan praktik pendidikan. Dengan sendirinya banyak kebijakan pendidikan yang bukan ditentukan oleh data dan informasi di lapangan. Proses pendidikan terjadi dalam lingkungan pendidikan dengan para stakeholder-nya yaitu peserta didik, pendidik, orang tua, masyarakat dan pemerintah. Keberhasilan dan kegagalan yang disebabkan oleh pelaksanaan kebijakan pendidikan adalah informasi untuk perumusan kembali kebijakan. Kebijakan pendidikan Islam tidak terlepas dari model H.AR Tilaar (2009) yang menyatakan bahwa pendidikan di Indoensia seharusnya memerhatikan Evidence Information Based yakni terkait antara teori, riset, kebijakan dan praktik pendidikan. Pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung lama bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia. Sejumlah literatur tentang sejarah perkembangan Islam mensinyalir bahwa Islam masuk dan disebar ke Indonesia melalui pedagang-pedagang yang beragama Islam baik dari Asia maupun Timur Tengah. Semula pendidikan Islam terlaksana secara informal antara pedagang dan atau mubaligh dengan masyarakat sekitar. Kegiatan pendidikan berlangsung di mesjid ataupun di surau/langgar. Setelah berdirinya kerajaankerajaan Islam pendidikan Islam berada dibawah pengawasan dan tanggungjawab kerajaan. Penyelenggaraan pendidikan Islam tidak hanya di mesjid dan langgar tetapi juga berkembang ke tempat khusus untuk belajar ilmu agama Islam secara lebih mendalam, teratur dan tertib dalam penyampaian pesan-pesan ajaran Islam tersebut. Tempat menuntut ilmu Islam ini dikenal masyarakat sebagai pesantren . Masuknya penjajah (khususnya penjajah Barat) di Indonesia membawa banyak perubahan menadasar dalam dinamika pengajaran dan pendidikan agama Islam di Indonesia. Penjajahan yang memiliki ciri ingin melanggengkan kekuasaan di negeri jajahannya itu sedikit banyak telah berhasil menanamkan paradigma di masyarakat tentang perbedaaan antara pendidikan Islam dan pendidikan Barat. Sehingga memunculkan pandangan bahwa pendidikan Islam di Pesantren lebih pada masalah keakheratan, sedangkan pendidikan Barat (ilmu-ilmu umum) lebih bertumpu pada persoalan keduniawian belaka. Paradigma ini terus berlanjut hingga kini. Seperti dikemukakan diatas bahwa sesungguhnya pendidikan Islam itu telah berlangsung sejak lama. bahkan jauh sebelum pendidikan umum diselenggarakan oleh penjajah Belanda di bumi Nusantara ini. Disisi lain, seperti telah disinggung dimuka bahwa sumbangan pemikir dan tokoh Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan (sebagian mengenalnya sebagai ilmu pengetahuan Barat) tidak diragukan lagi. Ide, gagasan atau

pandangan yang digali dari wahyu Ilahi berupa ayat-ayat qauliyah serta hasil-hasil penelitian sebagai fenomena kauniyah merupakan landasan berpijak para cendikiawan Muslim tatkala mengembangkan suatu ilmu . Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang semula berangkat dari prakarsa dan kemandirian, bebas pengaruh otoritas kebijakan, sedikit banyak mulai terpengaruh. Madrasah sebagai bagian dari lembaga pendidikan Islam cukup dinamis dalam menanggapi kondisi kekinian masyarakat. Pada awalnya kurikulum Madrasah menitikberatkan pada pendidikan agama dari pada ilmu-ilmu umum, tapi kini berbalik yakni: 70% ilmu umum dan 30% agama. B. Persoalan dan Hambatan Pada tataran filosofis dan praksis pendidikan Islam di Indonesia tak luput dari bermacam persoalan baik yang bersifat akut maupun faktual. Persoalan akut seperti diskursus yang tak kunjnung usai antara ilmu agama dan ilmu umum. Sementara problema faktual lebih terkait pada masalah-masalah teknis implementatif pelaksanaan pendidikan Islam. Peta pendidikan Islam meliputi pertama: pendidikaan keagamaan yakni diniyah, pesantren; kedua: matakuliah/ pelajaran Agama Islam di IAIN/Perguruan Tinggi & TK//SD/SMP/A; serta ketiga: pendidikan umum bercirikan Islam seperti TKI/RA/BA, SDI/MI/MTs, SMUI/MA/K dan PTAI. Dalam makalah ini pembahasan problematika pendidikan Islam lebih dititik beratkan pada hambatan terjadi di pendidikan umum bercirikan Islam terutama tingkat sekolah dasar hingga menengah yakni Madrasah Ibtidaiyah (SD). Madrasah Tsanawiyah (SMP) dan Madrasah Aliyah (SMA). Berdasarkan data yang dikeluarkan Center for Informatics Data and Islamic Studies (CIDIES) Departemen Agama dan data base EMIS (Education Management System) Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, jumlah Madrasah Ibtidaiyah/MI, Madrasah Tsanawiyah/MTs dan Madrasah Aliyah/MA sebanyak 36.105 madrasah (tidak termasuk diniyah dan pesantren). Dari jumlah itu 90,08 % berstatus swasta dan hanya 9,92 % yang berstatus negeri. Atas dasar itu, madrasah-madrasah swasta yang jumlahnya lebih banyak daripada madrasah negeri yakni 32.523 buah mengalami masalah yang mendasar yaitu berjuang keras untuk mempertahankan hidup atau l yamtu wal yahya diplesetakan menjadi kurang bermutu dan perlu biaya (agar lebih bermutu dan tidak mati)). Namun demikian, madrasah bagi sebagian masyarakat Indonesia tetap memiliki daya tarik. Hal ini dibuktikan dari adanya peningkatan jumlah siswa madrasah dari tahun ke tahun rata-rata sebesar 4,3 %, sehingga berdasarkan data CIDIES, pada tahun 2005/2006 saja diperkirakan jumlah siswanya mencapai 5, 5 juta orang dari sekitar 57 juta jumlah penduduk usia sekolah di Indonesia . Berbagai persoalan dan hambatan mencuat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam tak dapat dielakkan sebagai ekses dari implementasi kebijakan pendidikan nasional yang di disain pemerintah. Persoalan di hulu yang berkaitan filosofis pendidikan Islam telah menimbulkan diskursus, demikian pula di hilir pada tataran implementatif pendidikan Islam masih jauh dari kesempurnaan spirit ajaran Islam. Senyata dan sejatinya nilai-nilai Islam sangat universal dan pengejawantahan nilai-nilai Islam akan membawa manfaat

bagi semua (rahmatan lil alamin). 1. Hambatan Politis: Internal dan Eksternal Secara internal hambatan politis terjadi disebabkan terlalu campur tangannya organisasi massa (ormas) Islam yang memayungi sekolah-sekolah berbasis keislaman. Keinginan ormas untuk menunjukkan jati diri politis cukup kental dengan memasukkan sejumlah matapelajaran yang berkaitan dengan asal usul pendirian ormas tersebut. Sebut saja misalnya ada materi kemuhammadiyahan yang diberikan mulai dari sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Demikian pula materi ahlus sunnah wal jamaah diberikan untuk sekolah yang berbasis ormas Nadhatul Ulama (NU) atau yang di dirikan oleh para tokoh NU. Sekolah atau madrasah yang terkait kedua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu seolah ingin menunjukkan jati diri meraka masing-masing sebagai sekolah yang "paling benar" dalam mengemban misi dan visi keislaman. Alhasil, muatan kurikulum sekolah-sekolah berbasis ormas ini seakan over dosis' karena kelebihan beban. Sekolah-sekolah umum berbasis Islam ini tidak hanya harus mengikuti kebijakan politis ormas yang melahirkannya dengan mengejawantahkan kebijakan tersebut ke dalam kurikulum sekolah. Tetapi juga tentunya harus mengkuti ketentuan dan kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional sebagai Pembina utama sekolah-sekolah tersebut. Persoalan politis yang berasal dari internal umat Islam ini memang sudah menjadi ciri khas dari kedua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia itu. Mereka saling berupaya secara sendiri-sendiri ingin menampilkan keunggulannya masing-masing. Konsekuensinya, penyelenggaraan pendidikan Islam yang ada di Indonesia ini berkembang tanpa sinergitas dan perbedaan yang diramu untuk suatu keunggulan yang lebih besar. Masing-masing ormas tetap ingin mempertahankan jati diri dan kekhasannya sendiri-sendiri. Maka, untuk kondisi saat ini masih sulit memimpikan kebersamaan antara kedua ormas tersebut dalam bekerjasama untuk melahirkan sekolah-sekolah Islam yang efektif dan di segani tidak hanya di Indonesia tetapi di kancah internasional. Dari hambatan politis bersifat internal antar umat Islam (baca: ormas Islam) di Indonesia, penyelenggaraan pendidikan Islam juga dihadapkan hambatan politis yang bersifat eksternal. Hambatan disebabkan berbagai kebijakan pemerintah yang kurang memerhatikan maksimal terkait dengan penyelenggaraan pendidikan Islam.Walau diakui ada kemajuan tapi masih jauh dari harapan rakyat Indonesia yang mayoritas berpenduduknay beragama Islam. Secara politis kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia diatur melalui UU sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 diakui memang memuat keberadaan pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren. Namun pencantuman Madrasah dalam UU itu sekedar "pelengkap" komponen utama pendidikan nasional. Kenapa demikian? Karena dalam tataram praksis perhatian penyelenggara Negara tampaknya lebih menaruh perhatian dan fokus pada sekolah-sekolah umum (dibawah pengawasan Kemendiknas) baik dari sis teknis peningkatan mutu persekolahan maupun sisi anggaran yang tersedia. Padahal, menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional (UUSPN), madrasah memiliki kedudukan dan peran yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya

(persekolahan). Dengan kenyataan ini seringkali tatkala membahas pengembangan persekolahan, sistem pendidikan Islam (madrasah) tidak ikut dikaji secara baik oleh pemangku kebijakan bahkan cenderung diabaikan "neglected community". Desentralisasi, demokrasi dan otonomi merupakan isu yang mengemuka sekarang ini sebagai dampak dari implementasi UU no.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang itu menyatakan bahwa desentralisasi adalah azas dan proses pembentukan otonomi daerah dan penyerahan wewenang pemerintah di bidang tertentu oleh Pemerintah Pusat. Otonomi ini meliputi juga sektor pendidikan, sehingga menampakkan kesan dualisme dalam pengelolaan pendidikan antara Pusat dan Daerah. Pada bagian lain pendidikan umum berciirikan Islam (madrasah) ditangani Kementerian Agama sedangkan sekolah umum bercirikan Islam diawasi Kementereian Pendidikan Nasional. Padahal berdasarkan teori sistem yang dikemukakan David Easton dalam HAR Tilaar (2009) manajemen pendidikan memerlukan keterpaduan penggerakan sistem sebagai syarat penting keberhasilan sistem . Secara sociocultural politis pendidikan Islam berlangsung semenjak masuknya Islam di persada Nusantara. Sejak lama masyarakat menumbuh-kembangkan pendidikan Islam baik di mesijid maupun pesantren dengan cara bergotong royong. Kemandirian adalah cirri utama pemdidikan Islam kala itu. Hanya saja stigma pendidikan Islam merupakan urusan akherat begitu mengental hingga mempengaruhi tumbuh kembang disiplin ilmu selain agama. Padahal, dunia Barat maju seperti sekarang ini tidak terlepas dari hasil kajian cendekiawan Muslim terdahulu. Di Indonesia, dalam konteks sociocultural politics, skenario penjajah yang berciri "devide et impera" sukses memisahkan urusan dunia dan ukhrowi, efeknya terasa hingga kin tatkala muncul kesadaran untuk tidak memisahkan keduanya. 2. Hambatan Kultural: Internal dan Eksternal Kita sangat menyayangkan hingga kini lembaga-lembaga pendidikan Islam masih sulit dijadikan model lembaga pendidikan yang paripurna dan berlaku umum di Indonesia. Hal ini disebabkan lemahnya kinerja yang ditunjukkan serta rendahnya motivasi untuk menjadikan lembaga pendidikan Islam ini sebagai "kawah candradimuka" para intelektual yang agamis dan para ulama yang intelektual. Kurangnya kesungguhan penyelenggara pendidikan Islam dalam mengelola lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan sekolah berbasis keislaman disinyalir karena kesadaran umat Islam atas kewajiban menuntut ilmu masih rendah. Gejala rendahnya budaya membaca, belajar dan bekerja keras menunjukkan bahwa pemahaman umat Islam tentang nilai-nilai Islam belum merata dan menjadi hambatan untuk maju berprestasi. Pengelola merupakan pencerminan dari kondisi umat islam yang tidak terlepas dari hambatan kultural internal tersebut. Pengelola belum mampu bangkit menjadi "agent of change", para pembaharu perilaku dan budaya untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam bentuk ketauhidan social seperti menegakkan disiplin sekolah secara ajeg dan konsisten, menyebarkan budaya membaca dan bekerja keras serta nilai-nilai social keislaman lainnya. Kondisi internal umat Islam yang masih lemah untuk menanam-suburkan nilai-nilai Islam itu oleh para penyelenggara dan pengelola pendidikan Islam, pada akhirnya berpengaruh juga pada persepsi masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam. Fenomena kondisi

cultural umat Islam yang menyelenggarakan pendidikan Islam merupakan aspek internal yang saling kait mengkait dengan persepsi umat Islam di luar lembaga tersebut. Sehingga kedua-duanya (kultural internal dan eksternal) menjadi hambatan bagi kemajuan dan pengembangan mutu penyelenggaraaan pendidikan Islam. Persepsi masyarakat sudah terlanjur terpengaruh dengan paradigm bahwa pendidikan Islam hanya berkutat pada masalah agama dan kurang menaruh perhatian pada pengembangan aspek-aspek lainnya seperti kecerdasan intelektual dan sosial. Hambatan kultural baik yang berasal dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) masih ditambah dengan sistem pendidikan nasional yang terkesan juga terjebak diskursus dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan agama. Persepsi masyarakat sudah terlanjur terbentuk sangat kuat tentang hal itu. Terlebih lagi penguasaan agama sebagian umat Islam juga masih rentan dipengaruhi budaya-budaya lokal setempat yang ternyata ssulit dihilangkan, bahkan cenderung dapat menguburkan nilai-nilai Islam sesungguhnya. Budaya-budaya lokal yang diadopsi tanpa landasan filosofis yang kuat bisa menjadi boomerang kemajuan umat Islam. (Bersambung......)

STRATEGI PEMBINAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH ** Oleh : Nurhayati Djamas Latar Belakang 1. Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditetapkan, bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia serta bertujuan membentuk manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Sejalan dengan tujuan tersebut, dalam Undang-undang ditegaskan bahwa pendidikan agama merupakan muatan wajib dalam semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Ketentuan ini menempatkan pendidikan agama pada posisi yang amat strategis dalam upaya mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. 2. Dewasa ini pendidikan agama menjadi sorotan tajam masyarakat. Berbagai gejolak sosial dan problem-problem budaya yang muncul sangat gencar akhir-akhir ini mendorong berbagai pihak mempertanyakan efektivitas pelaksanaan pendidikan agama di sekolah. Memang tidak adil menimpakan tanggung jawab munculnya kesenjangan antara harapan dan kenyataan itu kepada pendidikan agama di sekolah, sebab pendidikan agama di sekolah bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan dalam pembentukan watak dan kepribadian siswa. Meskipun demikian, perlu diakui bahwa selain keberhasilan dalam memberikan kontribusinya dalam meningkatkan ketaatan menjalankan agamanya, dalam pelaksanaan pendidikan agama masih terdapat kelemahankelemahan yang mendorong dilakukannva penyempurnaan terus menerus. 3. Selain kelemahan internal pada aspek-aspek instrumental, seperti SDM, kurikulum, metodologi, sistem evaluasi, supervise, sarana-prasarana, manajemen pendidikan, dan lain-lain; penyelenggaraan pendidikan agama Islam di sekolah juga didorong oleh tuntutan dilakukannya upaya pembaharuan ke arah masyarakat yang lebih terbuka, demokratis, transparan, produktif serta inovatif. 4. Permasalahan lain yang juga ikut menjadi pertimbangan pentingnya reaktualisasi pendidikan agama Islam di sekolah amino adalah posisi Pendidikan Agama yang masih terasa berada pada posisi marjinal, belum dapat masuk menjadi bagian primer atau strategis dalam mainstraim sistem pendidikan nasional. Gejala ini memang sulit dinyatakan secara kongkrit, tetapi dapat dirasakan melalui berbagai fenomena, seperti: a. Jumlah jam pelajaran yang hanya 2 jam. Berdasarkan pengalaman, usaha untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan pendidikan agama di sekolah terkendala dengan keterbatasan waktu yang teralokasikan 2 jam pelajaran per minggu, padahal muatan utama pendidikan agama
2

adalah proses internalisasi nilai yang memerlukan kerapatan

perulangan dan kesinambungan, yaitu: (1) Penanaman keyakinan/ keimanan; (2) Pembentukan akhlaq/budi pekerti; dan (3) Pengembangan keterampilan beribadah, termasuk membaca Al Qur'an. b. Rendahnya motivasi siswa terhadap mata pelajaran agama. Pada umumnya siswa lebih termotivasi dalam mata pelajaran yang langsung berkenaan dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak adanya Ujian Akhir Nasional pada mata pelajaran Pendidikan Agama juga menjadi salah satu alasan kurangnya motivasi siswa terhadap mata pelajaran Pendidikan Agama. c. Rendahnya perhatian orang tua terhadap pentingnya pendidikan agama di sekolah. Hal ini dapat dimaklumi karena pada umumnya, orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah, pertama kali tentu atas pertimbangan kepentingan pengembangan kecerdasan, bukan pembentukan jiwa keagamaan dan watak kepribadian; d. Kurangnya perhatian pihak sekolah. Pada umumnya, perhatian pihak sekolah umum terhadap penyelenggaraan pendidikan agama sangat rendah. Di samping beberapa sekolah yang sangat menonjol kegiatan pendidikan agamanya, selebihnya adalah sekolah yang kurang begitu antusias untuk mengembangkan kegiatan keagamaan di sekolah. Padahal, dengan waktu yang hanya 2 jam pelajaran per minggu, upaya internalisasi nilai-nilai agama jelas memerlukan kolaborasi dari semua pihak -vang ada di sekolah, terutarna kepala sekolah dan guru mata pelajaran lain. VISI PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH Berbagai pertimbangan di atas telah mendorong dilakukannya penajaman visi, misi, dan strategi pendidikan agama Islam, yaitu tentang impian dan citacita apa yang hendak diwujudkan dari penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah, Perumusan dan pemantapan visi dan misi, serta strategi ini diharapkan dapat menjadi acuan dan sumber inspirasi bagi seluruh unsur yang terlibat dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah dalam upaya dan perjuangannya mencapai tujuan yang diharapkan. Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, pendidikan agama menjadi unsur terpenting dalampembentukan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Posisi ini menempatkan pendidikan agama lebih banyak berimplikasi dengan tujuan yang bersifat penanaman nilai-nilai sikap dan perilaku, dari pada transformasi ilmu pengetahuan agama. Tujuan pendidikan agama Islam pada sekolah seharusnya lebih menekankan domain afektif dan psikomotor, dibanding pencapaian kemampuan kognitif. Untuk itu, visi pendidikan agama Islam di sekolah dirumuskan sebagai berikut; "Terbentuknya sosok anak didik yang memiliki karakter, watak dan kepribadian dengan landasan iman dan ketakwaan serta nilai-nilai akhlak atau budi pekerti yang kokoh yang tercermin dalam keseluruhan sikap dan prilaku sehari-hari, untuk selanjutnya memberi corak bagi pembentukan watak bangsa.
3

MISI PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH Berdasarkan visi di atas serta mengingat kendala serta permasalahan yang dihadapi, ditetapkan empat misi pokok dalam penyelenggraan

pendidikan agama di sekolah, yaitu : 1. Melaksanakan pendidikan agama sebagai bagian integral dari keseluruhan proses pendidikan di sekolah. 2. Menyelenggarakan pendidika agama di sekolah engan mengintegrasikan aspek pengajaran, pengamalan, dan pengalaman, bahwa kegiatan belajar mengajar di depan kelas, dan diikuti dengan pembiasaan pengamalan ibadah bersama di sekolah, kunjungan dart memperhatikan lingkungan sekitar, serta penerapan nilai dan norma akhlak dalam perilaku sehari-hari. 3. Melakukan upaya bersama antara guru agama dengan kepala sekolah serta seluruh unsur pendukung pendidikan di sekolah untuk mewujudkan budaya sekolah (school culture) yang dijiwai oleh suasana dan disiplin keagamaan yang tinggi yang tercermin dari aktualisasi nilai dan norma keagamaan dalam keseluruhan interaksi antar unsur pendidikan di sekolah dan di luar sekolah. 4. Melakukan penguatan posisi dan peran guru agama di sekolah secara terus menerus, baik sebagai pendidik, maupun sebagai pembimbing, dan penasehat, komunikator serta penggerak bagi terciptanya suasana dan disiplin keagarnaan di sekolah. STRATEGI PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH Faktor-faktor yang menjadi pilar utama penentu keberhasilan pelaksanaan pendidikan agama tersebut diatas yaitu guru pendidikan agama, kepala sekolah, kurikulum; proses belajar mengajar dan pendekatan pendidikan agama di sekolah; sarana, prasarana dan instrumen pendukung penyelenggaraan pendidikan agama; serta instrumen pendukung pendidikan lainnya. Karena itu, strategi bagi pencapaian visi dan pelaksanaan misi pendidikan agama meliputi: 1. Pemerataan penyelenggaraan pendidikan agama sejalan dengan tuntutan UndangUndang nomor, 2 tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional yang menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan Agama Islam wajib diberikan pada setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan. 2. Pengembangan dan pemberdayaan SDM guru pendidikan agama yang diarahkan kepada penguatan posisi dan peran mereka dalam sistim pendidikan di sekolah. Guru pendidikan agama harus mencerminkan sosok sebagai pendidik, pembimbing dan penasehat bagi anak didik, serta sekaligus sebagai komunikator dan penggerak bagi terciptanya suasana keagamaan di sekolah, sehingga dapat mendukung terselenggaranya proses pendidikan agama di sekolah secara optimal bagi pencapaian visi pendidikan agama.Untuk itu Guru Pendidikan Agama Islam sekurangkurangnya harus memiliki kualifikasi clan kompetensi dasar, yaitu memiliki self image/self confidence (citra diri sebagai pendidik dan
4

kepercayaan diri yang tinggi); komitmen yang tinggi terhadap profesi dalam mencapai visi Pendidikan Agama Islam; penguasaan pengetahuan teknis terkait dengan profesi sebagai pendidik; serta memiliki kemampuan untuk mengimpelementasikannya dalam proses pendidikan di sekolah. 3. Pemantapan kurikulum pendidikan agama dengan mengedepankan esensi dari aspek-aspek keagamaan yang elementer bagi terwujudnya

sosok anak didik yang berwatak, berkarakter dan berkepribadian utuh dengan landasan iman, ketakwaan dan nilai-nilai moral yang kokoh. Untuk itu, perlu dirumuskan indikator keluaran (out put) atau capaian dari pelaksanaan kurikulum pada setiap jenjang pendidikan dengan merumuskan standard kemampuan dasar pada anak didik dalam setiap tahapan proses pendidikan yang dilaluinya. Sosok anak didik yang berwatak dan berkepribadian utuh, yang mencerminkan nilai-nilai keagamaan dalam keselurt/han sikap dan perilakunya, hendaknya tergambar dalam rumusan kemampuan dasar pada setiap tahapan pelaksanaan kurikulum tersebut. Karena itu, rumusan kemampuan dasar tersebut tidak lagi semata-mata terbatas pada penguasaan pengetahuan agama (yang bersifat verbal), tetapi meliputi dan lebih mengutamakan pada perwujudan sikap dan perilaku anak didik. 4. Dalam pada itu, pelaksanaan kurikulum perlu didukung oleh metodologi dan pendekatan pendidikan agama yang tidak saja terbatas pada aspek kognitip dalam bentuk transfer of knowledge semata, tetapi lebih menekankan pada pembentukan sikap dan perilaku anak didik. Untuk itu, proses belajar mengajar di kelas perlu diikuti oleh upaya optimalisasi pemanfaatan jam pelajaran agama di sekolah dengan menyediakan waktu pada jam pelajaran untuk diisi dengan pengamalan ibadah berupa shalat berjamaah di sekolah yang diikuti dialog antara guru dan murid membahas pendidikan moral dari ilustrasi pendidikan akhlak yang terkandung di dalam Al Qur'an dan ajaran Rasul. Selain itu, perlu diupayakan berbagai instrumen dan institusi pendukung bagi proses pendidikan agama di sekolah, seperti pembentukan kelompok belajar Al Qur'an sebagai salah satu jenis kegiatan ekstra kurikuler; pesantren kilat pada bulan Ramadhan, penyertaan kelompok Rohani Islam OSIS dalam upaya menciptakan suasana keagamaan di sekolah; pembentukan pengurus kegiatan keagamaan mushalla sekolah dan lainnya. 5. Untuk mendukung proses belajar mengajar dengan pendekatan pendidikan agama, yang mengintegrasikan antara unsur pengajaran, pengamalan dan pengalaman seperti dikemukakan di atas, perlu dikembangkan sarana dan prasarana pendidikan agama yang memadai di sekolah. Perlu ada upaya dan langkah konkrit antara Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional untuk menyediakan ruang ibadah di sekolah, yang berfungsi tidak saja untuk melaksanakan praktek ibadah seperti shalat berjamaah di sekolah, namun dapat pula dilengkapi dengan kepustakaan berupa bukubuku agama Islam sebagai referensi tambahan bagi materi pendidikan agama yang dapat dimanfaatkan baik oleh anak didik maupun guru. Ruang ibadah juga dapat bermanfaat bagi kegiatan ekstra kurikuler kelompok belajar Al
5

Qur'an atau kegiatan keagamaan lainnya. Buku-buku wajib yang berisikan materi standar bagi pendidikan agama secara nasional tetap perlu diupayakan pengadaannya bagi pemenuhan kebutuhan anak didik, terutama pada tingkat pendidikan dasar. Namun, sekolah dan guru agama perlu diberi peluang untuk menggunakan buku referensi di luar buku wajib tersebut bagi pengayaan materi pendidikan agama. 6. Pelaksanaan pendidikan agama oleh guru agama bersama dengan

komponen pendidikan lainnya perlu didukung oleh manajemen pendidikan (agama). Penerapan manajemen pendidikan tersebut diperlukan agar seluruh kegiatan pendidikan agama dapat diselenggarakan melalui perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi secara terintegrasi dengan keseluruhan proses pendidikan yang berlangsung di sekolah. Untuk itu, perlu pula dikembangkan dan difungsikan secara optimal wadah jaringan kerja antar guru seperti KKG, MGMP, dan bahkan kelompok kerja guru di sekolah. Wadah terakhir ini diperlukan untuk tugas khusus mewujudkan ketertiban dalam hubungan antar sesama anak didik, antara guru dan anak didik, serta untuk menerapkan disiplin di sekolah. Wadah kerjasama dan jaringan kerja antar guru dapat difungsikan untuk berbagi pengalaman dalam pelaksanaan pendidikan agama serta mencari solusi bersama dari kendala clan hambatan dalam menjalankan misi pendidikan agama. Upaya ke arah optimalisasi fungsi dari berbagai instrumen pendukung pendidikan agama tersebut antara lain dapat dilakukan oleh pemerintah melalui insentip yang diberikan secara kompetitip ditinjau dari kinerja yang ditunjukkannya. 7. Selanjutnya, sebagai bagian dari pelaksanaan manajemen pendidikan di sekola kegiatan pengawasan pendidikan agama perlu dioptimalkan f'ungsima. Untuk itu, diperlukan upaya clan langkah penguatan posisi dan fungsi pengawas pendidikan agama. Pengawas pendidikan agama merupakan kepanjangan tangan sekali gus sebagai mediator antara unsur pemerintah, yang berwenang dalam kebijakan pendidikan agama dengan guru agama clan kepala sekolah, yang bertanggung jawab dalam proses pelaksanaan pendidikan agama di sekolah. 8. Mengupayakan langkah-langkah peningkatan koordinasi, integrasi clan sinkronisasi pelaksanaan pendidikan agama di sekolah dengan pelaksanaan pendidikan agama di lingkungan keluarga dan masyarakat. Untuk itu perlu ditingkatkan pemanfaatan semua potensi yang relevan bagi pengembangan keterpaduan pelaksanaan pendidikan agama. ** Disampaikan pada Rapat Kordinasi oleh Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum, Kamis, 19 Oktober 2000.

23 Volume 3, Nomor 2, Juni 2007

URGENSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


OLEH: NUR ASIAH * ABSTRAKS Banyak kritikan cukup tajam yang dilontarkan berbagai pihak tentang out put Pendidikan Islam yang belum menunjukkan keberhasilannya ditengah-tengah masyarakat. Oleh karena Pendidikan Islam bukan hanya tanggungjawab institusi pendidikan saja, akan tetapi tanggungjawab komunitas muslim, maka menjadi suatu keharusan masyarakat harus ikut andil dalam usaha memajukan Pendidikan Islam itu sendiri. Salah satunya dengan memberdayakan potensi masyarakat tepat guna. Karena peserta didik itu datang dan bermuara pada masyarakat, maka arah kebijakan kurikulumpun harus berorientasi pada masyarakat Pada tempat pertama semua kegiatan pendidikan harus diarahkan dengan jelas dan tegas kepada tujuan pendidikan. Sebab pada hakekatnya belajar itu bukan untuk sekolah (non scholae) tetapi belajar adalah untuk hidup ( sed vitae discimus), dengan demikian pendidikan akan menjadi lebih bermakna. Kata kunci: Pemberdayaan, potensi, masyarakat, pendidikan Islam, orientasi. PENDAHULUAN Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang berusaha meningkatkan kualitas hidup individu atau sekelompok masyarakat untuk beranjak dari kualitas kehidupan sebelumnya menuju pada kualitas hudup selanjutnya. Oleh karena itu pemaknaan pemberdayaan masyarakat mempunyai cakupan yang luas seperti aspek pendidikan, ekonomi, politik, maupun sosial kebudayaan. Dalam hubungannya dengan tema di atas, maka secara kuat dipahami bahwa proses pemberdayaan masyarakat dalam hal ini
*Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Bandar Lampung 24 Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam NUR ASIAH

difokuskan pada aspek pendidikan terutama Pendidikan Islam. Pendidikan merupakan perkembangan yang terorganisir dan kelengkapan dari semua potensi manusia, moral, intelektual maupun jasmani, oleh dan untuk kepribadian individual dan kegunanan masayarakat yang diarahkan untuk menghimpun semua aktivitas tersebut1. Jika sudah demikian, maka turut kemajuan suatu institusi pendidikan akan sangat terkait erat dengan potensi masyarakat. Pendidikan Islam merupakan sub sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Perjalanan Pendidikan Islam tidak terlepas dari pasang surutnya sistem Pendidikan Nasional itu sendiri, sebagaimana tidak

terlepasnya umat Islam ketika kita membicarakan nasib bangsa ini, dan bahkan Pendidikan Islam mempunyai sejarah panjang di Indonesia yang telah ikut mewarnai kehidupan bangsa ini baik masa sebelum penjajahan bahkan setelah Indonesia merdeka. Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang nota bane mayoritas masyarakatnya memeluk Agama Islam, seharusnya Pendidikan Islam mendasari pendidikan-pendidikan lainnya, serta menjadi primadona bagi peserta didik, orang tua, maupun masyarakat. Demikian juga halnya dalam upaya peningkatan mutu pendidikan seharusnya Pendidikan Islam dijadikan tolok ukur dalam membentuk watak dan pribadi peserta didik, serta membangun moral bangsa (Nation Character Building)2. Menurut hemat penulis baik upaya-upaya yang dilakukan pemerintah, maupun para pakar pendidikan untuk peningkatan mutu pendidikan tak terkecuali Pendidikan Islam sudah sejak lama namun hasil yang dicapai belumlah maksimal. Saat ini terdapat ketidakseimbangan antara idealita dengan realita yang ada. Upaya upaya peningkatan mutu pendidikan masih bersifat parsial, terkotak-kotak dan tidak komprehensif. Sehingga wajar apabila out-put peserta didik yang nota bane Pendidikan Islam kurang memberikan hasil yang maksimal baik terhadap peserta didik, orang tua, maupun masyarakat. Kita merasakan dan mengetahui bahwa Pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini, dinilai hanya mampu memenuhi aspek normatif semata dan tidak atau belum sanggup mewujudkan apa yang selama ini diharapkan. Dengan kata lain, pendidikan Islam juga memiliki kelemahan kelemahan prinsipil untuk bisa berperan secara pasti dalam memberdayakan komunitas muslim di negeri ini. Untuk saat ini seharusnya lembaga Pendidikan Islam memerlukan adanya perencanaan strategis, dengan menyusun visi, misi, tujuan, sasaran, metode, program dan kegiatan. Hal ini dimaksudkan sebagai perencanaan jangka panjang untuk menjawab tantangan eksternal yang semakin dinamis dan kompleks. Di sinilah diperlukan analisis kekuatan,
25 Volume 3, Nomor 2, Juni 2007 URGENSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

kelemahan (faktor internal), peluang serta ancaman (faktor eksternal). Akhirnya akan diketahui dimana posisi sekolah, mau ke mana sekolah dan apa masalah krusial yang dihadapi, lalu dibuat perencanaan strategis menjangkau masa depan yang lebih baik.3 Proses seperti ini perlu melibatkan sejumlah orang yang tak kalah pentingnya dalam ikut mensukseskan Pendidikan Islam. Upaya mengikutsertakan masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan, dukungan, tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan, inilah yang dimaksud penulis dengan istilah memberdayakan masyarakat. Sehingga keberhasilan pendidikan bukan saja menjadi tugas dan tanggung jawab institusi pendidikan saja tetapi yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat dapat memberikan respon positif terhadap perkembangan pendidikan yang ada saat ini, karena out-put pendidikan pada akhirnya akan bermuara pada satu titik yaitu masyarakat. Dengan latar belakang permasalahan di atas, penulis ingin

mengkaji dimanakah letak esensial dan relevansinya perbincangan yang menuju pada suatu tindakan, dan mencari pemecahan mengenai kekurangan yang masih kita miliki dalam upaya memberdayakan komunitas muslim. MENGAPA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Dalam sejarah bangsa Indonesia yang harus digaris bawahi terlebih dahulu adalah, pertama, komunitas muslim merupakan kelompok masyarakat yang jumlahnya sangat besar, bahkan terbesar di dunia yang terkonsentrasikan dalam satu negara,dan dengan demikian mempunyai masalah-masalah yang sekaligus sebagai hambatan dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat diskursus Pendidikan Islam. Kedua, ajaran Islam menyatakan bahwa manusia, disamping harus berilmu pengetahuan juga harus beriman dan bertaqwa4. Ini pula yang menjadi salah satu aspek yang utama agar masyarakat bangsa ini dapat terjamin dan mempertahankan diri dalam wilayah sosialistis religius. Untuk memahami aspek pertama, maka dengan jelas dapat dimengerti bahwa jumlahnya yang besar (komunitas muslim),telah melahirkan berbagai potensi dalam langkah optimalisasi pemberdayaan masyarakat umat Islam di negeri ini. Sebab, jika dunia pendidikan Islam mampu menggali dan memenej sumber daya manusia (SDM) yang ada pada komunitas muslim dalam peningkatan mutu pendidikan sungguh akan memberikan nilai maksimal yang dicapai oleh institus Pendidikan Islam. Adapun pemberdayaan masyarakat pada komunitas muslim ada
26 Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam

pada : komite sekolah atau majlis sekolah, konsultan sekolah, cendikiawan muslim, tokoh-tokoh agama yang mempunyai komitmen pada ajaran Islam, tokoh masyarakat yang tertarik dan peduli terhadap peningkatan mutu pendidikan, dan lain-lain. Sedangkan yang kedua adalah, menjadi dasar pemikiran penting selanjutnya, tentang masih perlunya pemikiran proses pemberdayaan masyarakat yang terencana, matang, oleh umat Islam terhadap umat Islam sendiri. Sebab Pendidikan Islam pada umumnya belum bisa dinilai telah ikut serta secara memadai dalam menanamkan atau memberdayakan masyarakat dengan nilai-nilai moral agama. Ini tampak menjadi sebuah kegelisahan sosial, karena proses yang berlangsung sangat didominasi oleh proses pemberdayaan secara intelektual. Instutusi pendidikan yang banyak menggunakan masyarakat sebagai sumber pelajaran memberi kesempatan yang luas untuk mengenal kehidupan masyarakat yang sebenarnya.5 Karena pada hakekatnya peserta didik itu datang dan kembali kepada masyarakat disinilah tuntutan yang harus dilakukan oleh para pemerhati pendidikan tak terkecuali Pendidikan Islam untuk memikirkan proses pemberdayaan komunitasnya. Selama ini muncul beberapa pendapat yang mengkritisi Pendidikan Islam di sekolah di antaranya : 1. Hasil belajar PAI belum sesuai dengan tujuan-tujuan Pendidikan Islam itu sendiri. 2. Pendidikan Nasional belum sepenuhnya mampu mengembangkan manusia Indonesia yang religius, berakhlak, berwatak ksatria dan

patriotic. 3. Kegagalan Pendidikan Islam disebabkan pembelajarannya lebih menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formal dan hafalan, bukan pada pemaknaannya. 4. Pendidikan Islam lebih menekankan pada kemampuan verbalisme dan kemampuan numerik (menghitung), sementara kemampuan mengendalikan diri dan penanaman keimanan diabaikan. 5. penyampaian materi akhlak di sekolah sebatas teori, padahal yang diperlukan adalah suasana keagamaan. 6. Permasalahan Pendidikan Islam di sekolah saat ini mengalami masalah metodologi.6 Terhadap realitas demikian, ada beberapa faktor yang perlu fianalisis dan segera mendapat perhatian dari semua pihak. Menurut penulis bahwa keberhasilan Pendidikan Islam sangat memeliki ketergantungan yang sangat tinggi, yang dipengaruhi oleh adanya proses kerjasama yang erat antara institusi Pendidikan dengan masyarakat.
NUR ASIAH 27 Volume 3, Nomor 2, Juni 2007

ARAH PEMBERDAYAAN POTENSI MASYARAKAT Masyarakat pada dasarnya memiliki potensi untuk berkembang apabila kita berdayakan. Seperti dijelaskan oleh Piaget dalam bukunya Sund (1976), kemampuan operasi berpikir manusia ditentukan oleh kemampuan manusia itu untuk mengasimilasi atau mengadaptasikan lingkungan dalam pikirannya. Dalam terminologi lain, maka kemampuan berpikir manusia ditentukan oleh dua komponen pertama, kemampuannnya menangkap gejala, kedua, kemampuannya untuk mengkonsepsikan gejala itu menjadi suatu pengertian umum.7 Namun potensi itu tidak berkembang apabila orang tidak memanfaatkan kesempatan itu. Dalam upaya pemberdayaan potensi masyarakat dapat diklasifikasikan pada tiga arah : 1. Upaya pemberdayaan potensi masyarakat harus dimulai dari pemberdayaan pendidikan keluarga. Konsep Brain development menjelaskan bahwa system penserabutan otak manusia sangat ditentukan oleh kontak manusia pada tiga tahun pertama kehidupannya di bumi. Semakin banyak gejala alam yang dapat ditangkap anak pada tiga tahun pertama usia mereka, maka akan merangsang pertumbuhan sistem serabut-serabut otak, yang berarti akan berdampak tingginya kecerdasan anak di masa mendatang. Oleh karena itu pemberdayaan potensi ummat harus dilakukan sejak awal kelahiran. Selain itu, orang tua harus bertanggungjawab terhadap perilaku gizi yang proposional, dan juga mengkondisikan agar anak mengalami proses perkembangan secara proporsional. 2. Institusi pendidikan merupakan arah pemberdayaan potensi masyarakat yang selanjutnya setelah keluarga. Menjadi tanggungjawab pihak sekolah dalam hal pertumbuhan anak selanjutnya baik fisik, kecerdasan intelektual, kreativitas dan perkembangan kecerdasan emosional, bahkan tumbuhnya kecerdasan spiritual secara optimal. Padahal pendidikan kita belum mampu

melaksanakan tugas ini. Untuk itulah sudah saatnya institusi Pendidikan melakukan berbagai upaya inovasi dengan landasan bahwa pemberdayaan potensi masyarakat perlu memperkecil peran tumbuhnya cara berpikir linier (yang masih menjadi tekanan pendidikan sekarang), mengapa demikian karena sesunguhnya bumi dan seisinya selalu mengalami perubahan-perubahan yang begitu cepat yang selalu tidak linier, begitu juga seharusnya konsep pendidikan Islam. Berarti untuk pemberdayaan potensi masyarakat harus selalu diarahkan kepada berkembangnya kreativitas masyarakat. Agar maksud ini bisa dicapai maka kemampuan
URGENSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 28 Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam

ketrampilan dan seni harus menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan.8 Menurut penulis instistusi Pendidikan Islam sudah saatnya melakukan upaya-upaya inovasi dalam bidang pendidikan, bukan secara tambal sulam melainkan secara menyeluruh dan mendasar. Kita membutuhkan satu revolusi di bidang pendidikan, dan menggeser serta mengubah paradigma yang keliru. Paradigma yang keliru dan mendasar sekali adalah selama ini bahwa belajar untuk sekolah bukan untuk hidup, harus dirubah dengan belajar bukan untuk sekolah (non scholae) tetapi belajar untuk hidup (sed vitae discimus). Kurikulum di sekolah harus mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan di masyarakat dengan demikian peserta didik akan lebih memahami kondisi masyarakat. Sekolah janganlah terisolasi dari masyarakat, apa yang dipelajari hendaknya berguna bagi kehidupan peserta didik dalam masyarakat dan didasarkan atas masalah masayarakat. Dengan demikian peserta didik akan lebih serasi dipersiapkan sebagai warga masyarakat. 9 3. Arah pemberdayaan selanjutnya adalah di masyarakat dengan cara meningkatkan rasa tanggungjawab terhadap terwujudnya bangsa yang memiliki peradaban dan moral tinggi.10 Hubungannya dengan proses pendidikan selama ini sikap masyarakat belum atau tidak kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang ditentukan oleh pihak sekolah. Masyarakat mengikuti apa saja yang ditentukan sekolah, tanpa mempertanyakan secara kritis apa manfaat dari semuanya itu, ditinjau dari pencapaian tujuan pendidikan. Sekolah menentukan kurikulum dan silabus, sekolah menentukan metode pembelajaran, sekolah menentukan ulangan, ujian, kelulusan sampai dengan pakaian bahkan sepatu seragam sekolah , ini adalah beberapa contoh yang seharusnya masyarakat ikut andil dan bertanggungjawab terhadap keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan. Disinilah sebenarnya letak pemberdayaan masing-masing potensi masyarakat (keluarga, sekolah, dan masyarakat) untuk bersama-sama mengkompromikan bagaimana seharusnya sistem pendidikan yang akan diterapkan. Dalam penanganan proses pemberdayaan potensi masyarakat ini pihak sekolah harus membutuhkan strategi yang tepat, dan memerlukan jaringan yang luas, melibatkan banyak pihak baik kalangan birokrat, kalangan usahawan, kalangan pemuka agama, dan tentunya kalangan

pendidikan serta organisasi-organisasi kemasyarakatan.


NUR ASIAH 29 Volume 3, Nomor 2, Juni 2007

UPAYA-UPAYA PEMBERDAYAAN POTENSI MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN ISLAM Keberhasilan pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah, keluarga, dan masyarakat. Hal ini ditegaskan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 (pasal 5-11) tentang hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah dalam pendidikan. Menanggapi berbagai kritikan Pendidikan Islam yang antara lain sudah disebutkan terdahulu, maka penulis mencoba menyajikan sebuah sistem pembelajaran yang disebut dengan keterpaduan pembelajaran pendidikan islam. Yaitu berbagai inovasi sistem pembelajaran yang melibatkan berbagai pihak dengan memanfaatkan pemberdayaan potensi yang ada di masyarakat, karena sudah saatnya Pendidikan Islam bukan hanya milik institusi pendidikan tetapi juga milik seluruh ummat islam. Untuk lebih jelasnya berkenaan dengan pemberdayaan potensi masyarakat akan penulis uraikan dalam bentuk kerjasama dalam penerapan pembelajaran Pendidikan islam sebagai berikut: 1. Orang tua peserta didik selama ini kurang memperhatikan perkembangan sekolah , karena pihak sekolah selalu memberikan aturan yang membatasi gerak mereka. Sudah saatnya orang tua peserta didik menjadi salah satu bagian dari aktivitas pemberdayaan potensi masyarakat yang harus dibina, dengan usaha-usaha melibatkan orang tua secara intens dengan kegiatan-kegiatan sekolah. Mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengenali sekolah, bukan saja bentuk fisiknya tetapi juga program sekolah. 2. Kurikulum Pendidikan Islam selama ini hanya milik sekolah, sudah seharusnya dirumuskan dengan melibatkan berbagai pihak (sekolah, guru, siswa,orang tua, masyarakat,dan unsur lain yang dianggap perlu) sehingga belajar bukan untuk sekolah tetapi belajar untuk hidup. Sifat kurikulum tidak baku tetapi selalu mengalami pembauran sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan pendidikan saat ini. Disinilah peran orang tua, sekolah, dan masyarakat menjadi sesuatu yang sangat diharapkan. 3. Jika kurikulum sudah terbentuk, maka masyarakat melakukan kegiatan yang dapat dikontrol benar salahnya, baik dan tidaknya, dalam bentuk kerjasama informal individual, proses kerjasama ini lebih didasarkan pada faktor rasa keperdulian masyarakat terhadap kebutuhan akan pentingnya keberhasilan pendidikan. Aspek orang tua yang menjadi sasaran penting dalam hal ini, karena keberhasilan pendidikan merupakan keberhasilan bagi anaknya dan juga bagi orang tua tersebut.
URGENSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 30 Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam

4. Usaha institusi pendidikan dalam menumbuhkembangkan potensi masyarakat dalam bentuk formal organisatoris, dalam bentuk pertemuan rutin yang dilakukan secara berkala. tujuan yang hendak dicapai diantaranya, satu, bagaimana masyarakat menyikapi proses

pendidikan dengan kejadian-kejadian dan kebutuhan yang terjadi di masyarakat. Kedua, sebagai tindakan evaluasi terhadap program penerapan kurikulum yang telah disusun secara terpadu. 5. Membangun iklim sekolah yang efektif. Iklim sekolah dapat dibina dan dikembangkan menuju kepada situasi yang kondusif dalam upaya mencapai sekolah efektif Khusus dalam penerapan Pendidikan Islam harus ada pola kerjasama (antara guru agama dengan guru mata pelajaran lainnya) dalam pembinaan pendidikan agama Islam pada sekolah tersebut. Pada bagian ini menjadi tugas manajer sekolah untuk menerapkan sistem pembelajaran agama yang integral, dalam artian seluruh tenaga pengajar harus mendukung dan menerapkan sistem pembelajaran yang agamis. Dengan pemberdayaan seperti inilah Pendidikan Islam akan semakin bercahaya ditengah-tengah masyarakat. Adapun manfaat dari adanya pemberdayaan potensi masyarakat dalam bidang pendidikan adalah : 1. Untuk memberikan pengetahuan dan mengembangkan pemahaman terhadap masyarakat tentang maksud-maksud dan sasaran-sasaran yang akan dicapai oleh sekolah. 2. Untuk menilai program sekolah apakah sesuai dengan apa yang diharapkan dan dibutuhkan oleh masyarakat. 3. Untuk mempersatukan orang tua murid dan pihak sekolah dalam rangka memenuhi kebutuhan peserta didik. 4. Untuk membangun kesadaran kepada semua pihak akan pentingnya pendidikan. 5. Untuk membangun dan memelihara kepercayaan yang diberikan masyarakat terhadap sekolah. 6. Agar masyarakat mengetahui dan memahami betapa beratnya tugas institusi pendidikan, dan ini menjadi tanggungjawab bersama. 7. Untuk mengerahkan bantuan dan dukungan dalam pemeliharaan dan peningkatan program sekolah. Sehingga dengan adanya usaha pemberdayaan potensi masyarakat melalui mekanisme yang sudah disepakati dapat meningkatkan rasa tanggungjawab masyarakat terhadap terwujudnya
NUR ASIAH 31 Volume 3, Nomor 2, Juni 2007

pendidikan yang memberdayakan masyarakat untuk menyikapi dan menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara kreatif dan inovatif. KESIMPULAN Banyak terutama kalangan masyarakat mengkritisi bahwa Pendidikan Islam tidak atau belum menunjukan keberhasilan ditengah-tenganh masyarakat yang masih sangat membutuhkan peranannya. Untuk itu dalam tulisan ini penulis ingin menjawab bahwa : 1. Pendidikan Islam bukan saja milik suatu lembaga institusi pendidikan saja, akan tetapi Pendidikan Islam adalah milik semua komunitas muslim yang ada di dunia ini. 2. Oleh karena Pendidikan Islam menjadi milik semua komunitas muslim, maka Pendidikan Islam menjadi tanggungjawab masyarakat yang harus dibuktikan dengan usaha-usaha yang dapat menunjang

keberhasilan pendidikan dan menjawab keluhan-keluhan yang banyak dikritisi baik peserta didik, orang tua, maupun masyarakat. 3. Selama ini menurut hemat penulis, hubungan antara institusi pendidikan dengan masyarakat masih sangat minim dan masyarakat tidak difungsikan sebagai sumber pelajaran. Oleh karena itu paradigma pembelajaran harus dirubah belajar bukan untuk sekolah akan tetapi belajar untuk hidup karena pada hakekatnya peserta didik datang dan akan bermuara juga pada masyarakat. 4. Dengan pemberdayaan potensi masyarakat melalui mekanisme tepat guna yang dikoordinir pihak sekolah akan menjawab semua kekurangan, kelemahan yang ada. 5. Kurikulum sebagai arah pendidikan akan sangat menentukan keberhasilan pendidikan, maka menurut penulis kurikulum harus dirumuskan melalui pemberdayaan potensi masyarakat dengan berdasarkan pada kebutuhan masyarakat, oleh karena itu sifat kurikulum tidaklah baku, akan tetapi selalu mengalami perubahan seiring dengan kebutuhan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Nasution, S, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2004 Hasan, Tholhah, Muhammad, Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural, Jakarta: Lantabora Press, 2005
URGENSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 32 Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam

_______________________, Islam Dan Masalah Sumber Daya Manusia, Jakarta: Lantabora Press, 2005 Djohar, Pendidikan Strategig Alternatif Untuk Masa Depan, Yogyakarta: Lesfi, 2003 Mukhtar, Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Misaka Galiza, 2003 Majid, Abdul, (dkk), pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, Bandung: remaja Rosdakarya, 2005 Hasan, Fuad, Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2003 Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2005
(Endnotes) 1 Muhammad Tholhah Hasan, Islam Dalam Perspektif Sosio Cultural , (Jakarta: lantabora Press,2005), h. 95 2 Untuk lebih jelasnya, lihat Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasisi Kompetensi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h.161 3 Syafaruddin, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta:Ciputat Press, 2005), h.131 4Abdul Majid, Op.Cit, h.162 5 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara,Cet. Ke-3, 2004),h.153 6Abdul Majid, Op.Cit,h. 165 7 Djohar, Pendidikan Strategig Alternatif Untuk Masa Depan, (Yogyakarta:Lesfi, 2003), h. 133-134 8Ibid, h, 134-135 9S. Nasution, Op.Cit h. 154 10Djohar Op.Cit, h. 139

Pekan depan Pameran Kegemilangan Sains dalam Tamadun Islam yang digelar di ibukota negara jiran Kuala Lumpur akan berakhir. Seperti diberitakan harian ini (10/01/07), pameran yang diselenggarakan oleh Kementerian Sains, Teknologi, dan Inovasi bekerjasama dengan Institute for the History of Arabic-Islamic Science Johann Wolfgang Goethe University Frankfurt itu bertujuan membangkitkan kembali semangat dan kesadaran generasi muda akan pentingnya mempelajari dan menguasai sains dan teknologi. Lebih dari seratus Kemajuan Sains dalam Sejarah Islam Awal kemunculan dan perkembangan sains di dunia Islam tidak dapat dipisahkan dari sejarah ekspansi Islam itu sendiri. Dalam tempo lebih kurang 25 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad saw (632 M), kaum Muslim telah berhasil menaklukkan seluruh jazirah Arabia dari selatan hingga utara. Ekspansi dakwah yang diistilahkan pembukaan negerinegeri (futuh al-buldan) itu berlangsung pesat tak terbendung. Bagai diterpa gelombang tsunami, satu persatu, kerajaan demi kerajaan dan kota demi kota berhasil ditaklukkan. Maka tak sampai satu abad, pada 750 M, wilayah Islam telah meliputi hampir seluruh luas jajahan Alexander the Great di Asia (Kaukasus) dan Afrika Utara (Libya, Tunisia, Aljazair, dan Marokko), mencakup Mesopotamia (Iraq), Syria, Palestina, Persia (Iran), Mesir, plus semenanjung Iberia (Spanyol dan Portugis) dan India. Pelebaran sayap dakwah Islam ini tentu bukan tanpa konsekuensi. Seiring dengan terjadinya konversi massal dari agama asal atau kepercayaan lokal kedalam Islam, terjadi pula penyerapan terhadap tradisi budaya dan peradaban setempat. Proses interaksi yang berlangsung alami namun intensif ini tidak lain dan tidak bukan adalah gerakan islamisasi (ada juga yang lebih suka menyebutnya sebagai naturalisasi, integralisasi, atau assimilasi), dimana unsur-unsur dan nilai-nilai masyarakat lokal ditampung, ditampih dan disaring dulu sebelum kemudian diserap. Hal-hal yang positif dan sejalan dengan Islam dipertahankan, dilestarikan dan dikembangkan, sementara elemen-elemen yang tidak sesuai dengan kerangka dasar ajaran Islam ditolak dan dibuang.

Dalam proses interaksi tersebut, kaum Muslim pun terdorong untuk mempelajari dan memahami tradisi intelektual negeri-negeri yang ditaklukkannya. Ini dimulai dengan penerjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa Yunani (Greek) dan Suryani (Syriac) ke dalam bahasa Arab pada zaman pemerintahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, Syria. Pelaksananya adalah para cendekiawan dan paderi yang juga dipercaya sebagai pegawai pemerintahan. Akselerasi terjadi setelah tahun 750 M, menyusul berdirinya Daulat Abbasiyyah yang berpusat di Baghdad. Khalifah al-Mamn (w. 833 M) mendirikan sebuah pusat kajian dan perpustakaan yang dinamakan Bayt al-Hikmah. Menjelang akhir abad ke-9 Masehi, hampir seluruh korpus saintifik Yunani telah berhasil diterjemahkan, meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan, dari kedokteran, matematika, astronomi, fisika, hingga filsafat, astrologi dan alchemy. Muncullah orang-orang seperti Abu Bakr al-Razi (Rhazes), Jabir ibn Hayyan (Geber), al-Khawarizmi (Algorithm), Ibn Sina (Avicenna) dan masih banyak sederetan nama besar lainnya. Kegemilangan itu berlangsung sekitar lima abad lamanya, ditandai dengan produktifitas yang tinggi dan orisinalitas luar biasa. Sebagai ilustrasi, al-Battani (w. 929) mengoreksi dan memperbaiki sistem astronomi Ptolemy, mengamati mengkaji pergerakan matahari dan bulan, membuat kalkulasi baru, mendesain katalog bintang, merancang pembuatan pelbagai instrumen observasi, termasuk desain jam matahari (sundial) dan alat ukur mural quadrant. Seperti buku-buku lainnya, karya al-Battani pun diterjemahkan ke bahasa Latin, yaitu De scientia stellarum, yang dipakai sebagai salah satu bahan rujukan oleh Kepler dan Copernicus. Kritik terhadap teori-teori Ptolemy juga telah dilontarkan oleh Ibn Rusyd (w. 1198) dan al-Bitruji (w. 1190). Dalam bidang fisika, Ibn Bajjah (w. 1138) mengantisipasi Galileo dengan kritiknya terhadap teori Aristoteles tentang daya gerak dan kecepatan. Demikian pula dalam bidang-bidang lainnya. Bahkan dalam hal teknologi, pada sekitar tahun 800an M di Andalusia (Spanyol), Ibn Firnas telah merancang pembuatan alat untuk terbang mirip dengan rekayasa yang dibuat Roger Bacon (w. 1292) dan belakangan dipopulerkan oleh Leonardo da Vinci (w. 1519).

Faktor Pemicu Kejayaan Sains Melihat prestasi gemilang itu, wajarlah jika kemudian muncul pertanyaan bagaimana semua itu dapat terjadi? Jika dikaji dan ditelusuri dengan teliti, faktor-faktor yang telah memungkinkan dan mendorong kemajuan sains di dunia Islam pada saat itu ada lima. Pertama, berkat kesungguhan dalam mengimani mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam al-Quran dan Sunnah itu lahirlah individu-individu unggul yang pada gilirannya membentuk masyarakat madani Islami. Kedua, adanya motivasi agama. Seperti kita ketahui, kitab suci al-Quran banyak berisi anjuran untuk menuntut ilmu, membaca (iqra), melakukan observasi, esplorasi, ekspedisi (siru fil ardhi), dan berfikir ilmiah rasional. Al-Quran juga mengecam keras sikap dogmatis atau taklid buta. Begitu gencarnya ayatayat itu didengungkan, sehingga belajar atau mencari ilmu pengetahuan diyakini sebagai kewajiban atas setiap individu Muslim, dengan implikasi berdosalah mereka yang tidak

melakukannya. Pada dataran praktis, doktrin ini membawa dampak sangat positif. Ia mendorong dan mempercepat terciptanya masyarakat ilmu (knowledge society) dan budaya ilmu (knowledge culture), dua pilar utama setiap peradaban. Ketiga adalah faktor sosial politik. Tumbuh dan berkembangnya budaya ilmu dan tradisi ilmiah pada masa itu dimungkinkan antara lain jika bukan terutama oleh kondisi masyarakat Islam yang, meskipun terdiri dari bermacam-macam etnis (Arab, Parsi, Koptik, Berber, Turki, dan lain lain), dengan latarbelakang bahasa dan budaya masingmasing, namun berhasil diikat oleh tali persaudaraan Islam. Dengan demikian terwujudlah stabilitas, keamanan dan persatuan. Para pencari ilmu maupun cendekiawan dengan leluasa dan aman bepergian ke pusat-pusat pendidikan dan keilmuan, dari Seville ke Baghdad, dari Samarkand ke Madinah, dari Isfahan ke Kairo, atau dari Yaman ke Damaskus. Ini belum termasuk mereka yang menjelajahi seluruh pelosok dunia Islam semisal Ibn ah (w. 1377).,t,Jubayr (w. 1217) dan Ibn Bat Ketiga adalah faktor ekonomi. Kesejahteraan masyarakat masa itu membuka kesempatan bagi setiap orang untuk mengembangkan diri dan mencapai apa yang diinginkannya. Imam ad-Dhahab (w. 1348), misalnya, menuntut ilmu hingga usia 20 tahun dengan biaya orangtuanya. Namun umumnya, pemerintah mengalokasikan dana khusus untuk para penuntut ilmu. Di universitas dan sekolah-sekolah tinggi seperti Nizamiyyah, Aziziyyah, Mustansiriyyah dan sebagainya, baik staf pengajar maupun pelajar dijamin kehidupannya oleh badan wakaf masing-masing, sehingga bisa konsentrasi penuh pada bidang dan karirnya serta produktif menghasilkan karya-karya ilmiah. Dengan kemakmuran jugalah kaum Muslim dahulu dapat membangun istana-istana yang megah, perpustakaanperpustakaan besar dan sejumlah rumah sakit. Faktor keempat yang tak kalah pentingnya adalah dukungan dan perlindungan penguasa saat itu. Para saintis semisal Ibn Sina, Ibn Tufayl dan at-Tusi berpindah dari satu tempat ke tempat lain, mengikuti patron-nya. Mereka menjadi penasehat sultan, dokter istana, atau sekaligus pejabat (Ibn Sina diangkat sebagai menteri oleh penguasa Hamadan waktu itu). Pentingnya patronase ini dibenarkan oleh sejarawan Toby Huff (1993): The considerable freedom and resources that certain outstanding philosophers and mathematicians had to pursue their studies, however, was always contingent upon the official protection of local rulers.

Kemunduran Sains di Dunia Islam


Lantas mengapa perjalanan sains di dunia Islam seolah-olah mendadak berhenti, mengapa cahaya kegemilangan itu kemudian redup lalu seolah lenyap sama sekali? Menjawab pertanyaan ini tidaklah sesederhana melontarkannya. Secara umum, faktorfaktor penyebab kematian sains di dunia Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, internal dan eksternal.

Menurut Profesor Sabra (Harvard) dan David King (Frankfurt), kemunduran itu dikarenakan pada masa terkemudian kegiatan saintifik lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan praktis agama. Arithmetika dipelajari karena penting untuk menghitung pembagian harta warisan. Astronomi dan geometri (atau lebih tepatnya trigonometri) diajarkan terutama untuk membantu para muwaqqit menentukan arah kiblat dan menetapkan jadwal shalat. Penjelasan semacam ini tidak terlalu tepat, sebab asas manfaat ini acapkali justru berperan sebaliknya, menjadi faktor pemicu perkembangan dan kemajuan sains. Jawaban lain menyatakan bahwa oposisi kaum konservatif, krisis ekonomi dan politik, serta keterasingan dan keterpinggiran sebagai tiga faktor utama penyebab kematian sains di dunia Islam. Ini pendapat David Lindberg (1992). Menurutnya, sains dan saintis pada masa itu seringkali ditentang dan disudutkan. Ia menunjuk kasus pembakaran buku-buku sains dan filsafat yang terjadi antara lain di Cordoba. Tak dapat dipungkiri bahwa krisis ekonomi dan kekacauan politik amat berpengaruh terhadap perkembangan sains. Konflik berkepanjangan disertai perang saudara telah mengakibatkan disintegrasi, krisis militer dan hancurnya ekonomi. Padahal, kata Lindberg, a flourishing scientific enterprise requires peace, prosperity, and patronage. Tiga pilar ini mulai absen di dunia Islam menjelang abad ke-13 Masehi. Semua ini diperparah dengan datangnya serangan tentara Salib, pembantaian riconquista di Spanyol, dan invasi Mongol yang meluluh-lantakkan Baghdad pada 1258. Tidak sedikit perpustakaan dan berbagai fasilitas riset dan pendidikan porak-poranda. Ekonomi pun lumpuh dan, sebagai akibatnya, sains berjalan tertatih-tatih. Faktor ketiga yang ditunjuk Lindberg biasa disebut marginality thesis. Sains di dunia Islam tidak bisa maju karena konon selalu dipinggirkan atau dianak-tirikan. Akibatnya, sains tidak pernah secara resmi diakui sebagai salah satu mata pelajaran atau bidang studi tersendiri. Pengajaran sains hanya bisa dilakukan dengan cara nebeng atau diselipkan bersama subjek lainnya. Seberapa jauh kebenaran tesis ini masih terbuka untuk diperdebatkan. Pada level yang lebih tinggi, hal ini berimplikasi pada riset dan pengembangan. Konon para saintis saat itu banyak yang bekerja sendiri-sendiri, di laboratorium milik pribadi, meskipun disponsori dan dilindungi oleh patronnya. Namun demikian tidak ada lembaga khusus yang menampung mereka. Kesimpulan semacam ini agak problematik. Pertama, karena mencerminkan generalisasi yang tergesa-gesa dan, kedua, karena institutionalisasi tidak selalu berdampak positif tetapi bisa juga berakibat sebaliknya. Selain itu, beberapa faktor internal seperti kelemahan metodologi, kurangnya matematisasi, langkanya imajinasi teoritis, dan jarangnya eksperimentasi, juga dianggap sebagai penyebab stagnasi sains di dunia Islam. Pendapat ini disanggah oleh Toby Huff. Menurutnya, mengapa di dunia Islam yang terjadi justru kejumudan dan bukan revolusi sains lebih disebabkan oleh masalah sosial budaya ketimbang oleh hal-hal tersebut diatas. Buktinya, Copernicus pun didapati menggunakan model dan instrumen yang didesain oleh at-Tusi. Tradisi saintifik Islam, tegas Huff, juga terbukti cukup kaya dengan pelbagai teknik eksperimen dalam bidang astronomi, optik maupun kedokteran. Oleh karena itu Huff lebih cenderung menyalahkan iklim sosial-kultural-politik saat itu yang

dianggapnya gagal menumbuhkan semangat universalisme dan otonomi kelembagaan di satu sisi, dan membiarkan partikularisme serta elitisme tumbuh berkembang-biak. Di sisi lain, Huff menilai tidak terdapatnya skeptisisme yang terorganisir dan dedikasi murni turut mempengaruhi perkembangan sains di dunia Islam. Ada juga klaim yang menghubungkan kemunduran sains dengan sufisme. Memang benar, seiring dengan kemajuan peradaban Islam saat itu, muncul berbagai gerakan moral spiritual yang dipelopori oleh kaum sufi. Intinya adalah penyucian jiwa dan pembinaan diri secara lebih intensif dan terencana. Pada perkembangannya, gerakan-gerakan tersebut kemudian mengkristal jadi tarekat-tarekat dengan pengikut yang kebanyakannya orang awam. Popularisasi tasawuf inilah yang bertanggung-jawab melahirkan sufi-sufi palsu (pseudo-sufis) dan menumbuhkan sikap irrasional dikalangan masyarakat. Tidak sedikit dari mereka yang lebih tertarik pada aspek-aspek mistik supernatural seperti keramat, kesaktian, dan sebagainya ketimbang pada aspek ritual dan moralnya. Obsesi untuk memperoleh kesaktian dan kegandrungan pada hal-hal tersebut pada gilirannya menyuburkan berbagai bentuk bidah, takhayyul dan khurafat. Akibatnya yang berkembang bukan sains, tetapi ilmu sihir, pedukunan dan aneka pseudo-sains seperti astrologi, primbon, dan perjimatan. Jadi lebih tepat jika dikatakan bahwa kemunduran sains disebabkan oleh praktek-praktek semacam ini, dan bukan oleh ajaran tasawuf.

Sumber-sumber Hukum Islam A. Al Quran 1. Definisi Al Quran Dan Akar kata al Quran Allah Swt. memilih beberapa nama bagi wahyu-Nya, yang berbeda sekali dari bahasa yang biasa digunakan masyarakat arab untuk penamaan sesuatu. Nama-nama itu mengandung makna yang berbias dan memiliki akar kata 1. Diantara beberapa nama itu yang paling terkenal ialah al Kitab dan al Quran. Wahyu dinamakan al Kitab yang menunjukkan pengertian bahwa wahyu itu dirangkum dalam bentuk tulisan yang merupakan kumpulan huruf-huruf dan menggambarkan ucapan (lafadz) adapun penamaan wahyu itu dengan al Quran memberikan pengertian bahwa wahyu itu tersimpan didalam dada manusia mengingat nama al Quran sendiri berasal dari kata qiraah (bacaan) dan didalam qiraah terkandung makna : agar selalu diingat,. Wahyu yang diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas itu telah ditulis dengan sangat hati-hati agar terpelihara secara ketat, serta untuk mencegah kemungkinan terjadinya manipulasi oleh orang-orang yang hendak menyalah artikan atau usaha mereka yang hendak mengubahnya. Tidak seperti kitabkitab suci lain dimana wahyu hanya terhimpun dalam bentuk tulisan saja atau hanya dalam hafalan saja, tetapi penulisan wahyu yang satu ini didasarkan pada isnad yang mutawatir (sumber-sumber yang tidak diragukan kebenarannya) dan isnad yang mutawatir itu mencatatnya dengan jujur dan cermat.2 Secara etimologis, Al Quran berasal dari kata qaraa, yaqrau, qiraaatan atau quraanan yang berarti mengumpulkan (al jamu) dan menghimpun (al dlammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur 3. Dikatakan Al Quran karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan. Allah berfirman : Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya. (al Qiyamah [75]:17-18). Quranan dalam hal ini berarti juga qiraatahu (bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah masdar menurut wazan (tasrif, konjugasi) fulan dengan vocal u seperti gufran dan syukran. Kita dapat mengatakan qaratuhu, quran, qiraatan wa quranan, artinya sama saja yakni maqru (apa yang dibaca) atau nama Quran (bacaan).4

Quran dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w., sehingga Quran menjadi nama khas kitab itu, sebagai nama diri. Dan secara gabungan kata itu dipakai untuk nama quran secara keseluruhan, begitu juga untuk
1 Subhi 2 Ibid,

as shalih, Dr. Mabahis fi Ulumil-Quran, Darul- Ilm Lil-Malayin, Beirut, Libanon Subhi as shalih, Mabahis fi Ulumil-Quran, hal.9 3 Muhaimin, Drs, MA, Dimensi-dimensi Studi Islam, Karya Abditama, Surabaya, 1994:86. 4 Manna Khalil al Qattan, Mabahis fi Ulumil Quran

penamaan ayat-ayatnya. Maka jika kita mendengar orang membaca ayat Quran, kita boleh mengatakan bahwa ia sedang membaca Quran. dan apabila dibacakan Quran, maka dengarkanlah dan perhatikanlah (Al-Araf [7]:204). Sebagian Ulama berpendapat bahwa kata Quran itu pada mulanya tidak berhamzah sebagai sebuah kata jadian. Ada analisa penyebutan tersebut kemungkinan adalah karena Quran dijadikan sebagai suatu nama bagi kalam yang diturunkan kepada Nabi s.a.w., dan bukan merupakan kata jadian, sementara yang lain berpendapat berbeda. Untuk itulah ada baiknya jika kita mereferensi beberapa pendapat ulama tentang asal kata Quran : a. Asy-Syafii, berpendapat bahwa kata quran ditulis dan dibaca tanpa hamzah ( Quran) yang tidak diambil dari kata lain (Musytaq). Ia adalah nama Khusus yang dipakai untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana kitab Injil dan Taurat dipakai khusus untuk kitab-kitab Tuhan yang diberikan kepada Nabi Isa dan Musa 5. Lafadz tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.. jadi menurut asy Syafii, lafadz tersebut bukan berasal dari akar kata qa-ra-a (membaca), sebab kalau akar katanya qa-ra-a, maka tentu setiap sesuatu yang dibaca dapat dinamai al Quran, sama halnya dengan nama Taurat dan Inzil.6 b. Al-Farra dalam kitabnya Maanil Quran berpendapat bahwa lafadz quran tidak memakai hamzah, dan diambil (musytaq) dari kata qarain jamak dari qarinah, yang berarti indikator (petunjuk). Hal ini disebabkan karena sebagian ayat-ayat al Quran itu serupa satu sama yang lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya merupakan indikator dari apa yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa.7 Dan huruf nun pada akhir lafadz al Quran adalah huruf asli, bukan huruf tambahan.8 c. Al Asyari berpendapat bahwa lafadz al Quran tidak memakai hamzah dan diambil dari kata qarana, yang berarti menggabungkan. Hal ini disebabkan karena surat-surat dan ayat-ayat al Quran dihmpun dan digabungkan dalam satu mushaf. Tiga pendapat diatas menurut Subhi as Shalih adalah beberapa contoh dari Ulama yang berpendapat bahwa lafadz al Quran tanpa huruf hamzah ditengahnya jauh dari kaidah pemecahan kata (isytiqaq) dalam bahasa Arab. Sedangkan para ulama yang berpendapat bahwa lafadz al Quran ditulis dengan tambahan hamzah ditengahnya adalah : a. Az Zajjaj, lafadz al Quran ditulis dengan huruf hamzah ditengahnya berdasarkan pola kata (wazn) fulan, lafadz tersebut pecahan (musytaq) darai akar kata qarun yang berarti jamun, Seperti kalimat qurial mau fil-haudi, yang berarti : air dikumpulkan dalam kolam. Jadi dalam kalimat itu kata qarun bermakna jamun, yang dalam bahasa Indonesia bermakna kumpul, atau menhimpun. Hal ini karena al Quran merupakan kitab suci yang menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab suci sebelumnya.
5 Ibid,

Dimensi-dimensi Studi Islam hal.86

6 Subhi

as shalih, Dr. Mabahis fi Ulumil-Quran, hal.10 Drs, MA Dimensi-dimensi Studi Islam hal.86 8 Subhi as shalih, Dr. Mabahis fi Ulumil-Quran, hal.11
7 Muhaimin,

b. Al Lihyani, lafadz al Quran ditulis dengan huruf ditengahnya berdasarkan pola kata ghufran dan merupakan pecahandari akar kata qa-ra-a yang bermakna tala (membaca). Secara terminologi al Quran menurut beberapa ulama adalah: a. Ulama Ushul fiqh, Artinya: Kalam Allah9 yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf , dimulai dari surat al fatihah dan ditutup dengan surat an Nas.10 b. Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan al Quran sebagai firman Allah yang diturunkan melalui ruhul amin (jibril) kepada Nabi Muhammad saw. Dengan bahasa Arab, isinya dijamin kebenarannya, dan sebagai hujjah kerasulannya, undang-undang bagi seluruh manusia dan petunjuk dalam beribadah serta dipandang ibadah dalam membacanya, yang terhimpun dalam mushaf yang dimulai dari surat al fatihah dan diakhiri dengan surat an Nas yang diriwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir c. Syaikh Muhammad Abduh mendefinisikan al Quran sebagai kalam mulia yang diturunkan oleh allah kepada Nabi yang paling sempurna (Muhammad) ajarannya mencakup keseluruha ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang mulai yang essensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang yang berfjiwa suci dan berakal cerdas. Ketiga definisi tersebut sebenarnya saling melengkapi. Definisi pertama lebih focus pada subyek pembuat wahyu, Allah dan obyek penerima wahyu yakni rasulullah Muhammad saw, proses penyampaiannya kepada umat secara mutawatir, membacanya dikategorikan sebagai ibadah. Definisi kedua melengkapi penjelasan cara turunnya melalui malaikat Jibril, penegasan tentang awal dan akhir surat. Dan definisi ketiga berkaitan dengan isi dan kriteria bagi orang ingin memahaminya. Dari definisi tersebut dapat dinalisa bahwa al Quran memiliki unsur-unsur Yang menjadi ciri khas bagi al Quran, yakni : a. Al Quran merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad Saw. Tidak dinamakan al Quran seperti Zabur, Taurat dan Injil. Ketiga kitab tersebut memang termasuk kalam Allah tapi tidak diturunkan kepada nabi Muhammad sehingga tidak disebut al quran. Kehujjahan al Quran
9 Menurut

Manna Khalil al-Qattan, dalam definisi kalam merupakan semua jenis yang meliputi segala kalam. Dan dengan menghubungkan kepada Allah (kalamullah) berarti tidak termasuk semua kalam manusia, jin dsan malaikat. (Manna Khalil al-Qattan Mabahist fi ulum alQuran diterjemahkan oleh Drs, Muzdakkir As dalam Studi Ilmu-Ilmu Al Quran Litera Antar Nusa, Jakarta, 1987. 10 SyafeI, Rachmat , Prof,Dr,MA,Ilmu Ushul FIqf,CV.Pustaka Setia, Bandung,1999.hal.50

Anda mungkin juga menyukai