Oleh
Mohamad Arfan Hakim
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepentingan ini erat kaitannya dengan peran yang diharapkan dari ilmuwan
terlibat dalam proses pembuatan kebijakan (policy maker) - akan tetapi lebih dari
dihasilkan oleh pemerintah selama ini. Dengan demikian studi kebijakan pendidikan
akan memberikan dasar yang kuat bagi seseorang yang ingin mengembangkan profesi
sebagai seorang analis kebijakan pendidikan. Profesi analis kebijakan pendidikan ini
merupakan bidang kajian yang mulai berkembang dan merupakan peluang bagi
Islam mengalami keterpurukan yang panjang dalam bidang ilmu pengetahuan. Masa
kejayaan Islam terhenti pada dinasti Abbasiyah pada abad pertengahan. Sampai saat ini,
dalam bidang ilmu pengetahuan, para ilmuan dan umat Islam secara umum masih selalu
mengekor kepada Barat. Hampir seluruhnya (untuk tidak mengatakan tidak ada) penemuan
baru dan teori ilmu modren selalu dilahirkan dari rahim Barat. Memang dari ilmu-ilmu baru
yang dilahirkan tersebut ada yang memberikan sumbangsih positif terhadap kemajuanzaman.
Namun demikian, ada sebagian ilmu yang lahir justru menimbulkan kerusakan pada alam dan
logika untuk saling menghancurkan antar sesama manusia. Hal ini terjadi karena ilmu yang
lahir adalah ilmu sekuler murni yang tidak dilandasi dengan etika dan moral yang kental.
Untuk itu sudah saatnya Islam mengambil alih kendali keilmuan agar tugas masnusia khalifah
semesta dan orang yang akan menggunakan ilmu itu akan dilandasi dengan nilainilai Islam
universal untuk menghasilkan kemanfaatan bagi seluruh makhluk di dunia ini. Sudah ada
upaya yang dilakukan umat Islam untuk bangkit dari keterpurukan dan mengambil alih ilmu
pengetahuan. Salah satu upaya yang ditempuh adalah mendirikan dan mengembangkan
lembaga pendidikan Islam mulai dari madrasah sampai perguruan tinggi. Namun demikian,
ada ancaman serius yang dihadapi lembaga pendidikan Islam khususnya lembaga pendidikan
tinggi agama Islam. Ancaman tersebut berupa kurang diminatinya fakultas-fakultas dan
jurusan yang dibuka oleh lembaga pendidikan tinggi Islam berupa fakultas yang mengkaji
tentang Islam normatif. Hal ini dikarenakan Islam normatif dianggap tidak dapat
menyelesaikan problem dan tantangan modernisasi. Nasib yang lebih baik dialami oleh
lembaga pendidikan Islam pada level pendidikan dasar, menengah, dan atas. Banyak contoh
madrasah atau sekolah umum yang berlabelkan Islam sangat diminati oleh masyarakat.
Bahkan pesantren yang dulunya identik sebagai tempat belajar bagi masyarakat ekonomi
menengah ke bawah, kini bertransformasi menjadi pesantren modern dan menjadi tujuan
utama orang tua dari kalangan menengah ke atas untuk mempercayakan pendidikan anak-
anaknya. Hal ini terjadi karena banyak madrasah, sekolah, pesantren yang menawarkan menu
baru dalam “menjual” materi dan konsep pembelajaran mereka. Misalnya madrasah atau
pesantren yang menawarkan penguasaan ilmu alat (bahasa Inggris-Arab). Menu ini
dimanfaatkan oleh para orang tua sebagai bekal anaknya untuk melajutkan ke pendidikan
tinggi di luar negeri. Sekali lagi sebagian besar masyarakat hanya berminat kepada
pendidikan tinggi umum atau bahkan sebagai batu loncatan belajar di luar negeri.
dituntun untuk mampu beradaptasi dengan wacana keilmuan modern dan para alumni
dituntut mampu mengamalkan ilmu pengatahuannya dilandasi dengan etika dan moral yang
dapat menghasilkan manfaat yang lebih luas dan bijak. Jika tantangan tersebut tidak mampu
dijawab maka berakhirlah sudah kejayaan lembaga pendidikan Islam yang digadang-gadang
sebagai produk unggulan umat Islam. Memang benar, dalam dasa warsa terakhir dikalangan
dunia Islam muncul dan berkembang kesadaran urgensi dan rekontruksi peradaban Islam
melalui penguasaan sains dan teknologi. Tetapi, tantangan-tantangan yang dihadapi luar biasa
kompleks baik secara internal maupun eksternal. Oleh karena itu diperlukan pemikiran jernih
dan luas serta perlu unsur kehati-hatian dalam menentukan dan memutuskan kebijakan
tentang bagaimana nasib lembaga pendidikan Islam dimasa yang akan datang.
Selain permasalahan tersebut, masih ada hal urgen dalam tubuh pendidikan Islam
yang terkadang dikesampingkan. Selama ini, materi-materi agama Islam yang diajarkan
adalah materi yang berasal dari buku paket yang diberikan oleh Kementerian agama. Kita
kadang lupa bahwa pada realitasnya dalam tubuh umat Islam di Indonesia, banyak
ke perguruan tinggi. Bacaan-bacaan doa shalat hanya dimuat bacaan dari salah satu sumber
saja, padahal bacaan tersebut yang sama-sama shahih ada banyak macam.
Pada lingkaran akademis fenomena tersebut saya sebut sebagai dualism kebijakan
dalam pendidikan Islam. Selain permasalahan dualisme, tubuh pendidikan Islam juga
terjangkit penyakit saling memusuhi dan merasa paling benar atas keyakinan agamanya yang
ditimbulkan dari materi pelajaran agama yang terkesan “memaksa” kepada peserta didik dan
menafikan keberagaman pemahaman yang tumbuh. Untuk itu tulisan ini hendak merespon
permasalahan tersebut dengan menggagas format pendidikan Islam baru baik dalam hal
B. Permasalahan
C. Tujuan Penulisan
II. PEMBAHASAN
A. Kebijakan Pendidikan
Kebijakan (policy) secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Polis”
yang artinya kota.dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan
mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah
masalah di masyarakat baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang
(edicational policy) dalam buku karya Ali Imron yang berjudul Kebijakan Pendidikan
di Indonesia yakni: “Suatu pertimbangan yang didasarkan atas sistem nilai dan
mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai” (Dalam
Imron, 1996:18).
aturan tertulis yang diputuskan oleh pemerintah yang berfungsi untuk mengatur
dalam bidang pendidikan atau berkaitan dengan pendidikan. Jadi konsep kebijakan
tujuan pendidikan.
kepmen, perda, keputusan bupati, dan keputusan direktur. Setiap kebijakan yang
Secara etimologis, kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy, dalam bahasa
Inggris. Kata policy sebenarnya dapat dijumpai dalam bahasa lain seperti Latin,
Yunani, dan Sanskrit. Polis dalam bahasa Yunani berarti negara kota. Pur dalam
bahasa Sanskrit berarti kota. Policie dalam bahasa Inggris berarti mengurus masalah
Secara terminologis, pengertian kebijaksanaan atau policy dikemukakan oleh para
2. Heclo dalam Jones (1977) memberikan batasan kebijakan sebagai cara bertindak
3. Eulau dalam Jones mengartikan kebijakan sebagai keputusan yang tetap, dicirikan
oleh tindakan yang bersinambungan dan berulang-ulang pada mereka yang membuat
kebijakan sebagai suatu taktik atau strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu
tujuan.
5. Budiarjo dalam Supandi (1988) menyatakan bahwa kebijakan adalah sekumpulan
keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha
yang menjadi dasar dan arah dalam melaksanakan kegiatan administrasi atau
pengelolaan.
Ahli yang melihat dari sudut pelaksanaan adalah Lasswell, Heclo, dan Budiardjo.
Ali yang melihat dari sudut produk adalah Eulau dan Indrafachrudi. Sementara ahli
yang memberikan pengertian kebijakan dari sudut seni memerintah adalah Amara
Raksasa Taya.
Perbedaan antara kebijaksanaan dan kebijakan bahwa kebijaksanaan adalah aturan-
aturan yang semestinya dan harus diikuti tanpa pandang bulu, mengikat kepada siapa
pun yang dimaksud untuk diikat oleh kebijaksanaan tersebut. Sedangkan kebijakan
atau wisdom adalah suatu ketentuan dari pimpinan yang berbeda dengan aturan yang
ada, yang dikenakan kepada seseorang karena adanya alasan yang dapat diterima
B. Kebijakan Publik
ke dalam lingkup pendidikan dan merupakan bagian dari applied sciences terutama
pada bidang pendidikan baik di sekolah maupun luar sekolah. Prinsip-prinsip yang
dimiliki oleh manajemen pendidikan tidak berbeda dengan prinsip-prinsip yang ada
lebih ditujukan pada dekomposisi masalah sosial makro strategis menjadi beberapa
komponen masalah yang berkaitan secara langsung atau tidak, seperti mutu guru,
mutu siswa, mutu pengelolaan, mutu proses pendidikan, mutu sarana prasarana, mutu
pemecahan masalah makro mutu pendidikan tersebut, dan setiap akibat yang
industri, yang mana output pendidikan merupakan fungsi dari berbagai faktor input
yang sangat kompleks dan beragam cenderung direduksi dan dipandang hanya
alternatif.
sesungguhnya sangat sulit untuk merumuskan realitas masalah sosial politik dalam
ukuran kuantitatif. Demikian pula dengan sejumlah isu dan masalah politik
pada keinginan analis dan metode kuantitatif yang dipakai, sehingga mengakibatkan
hal mendasar menyangkut konteks realitas sosial politik yang bersifat keperilakuan
dan dianggap tidak bisa dikuantitatifkan, dan cenderung diabaikan dan tidak dapat
dan strategi dari konsep manajerial pada prinsipnya sama dengan yang diterapkan
bukan private goods. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan barang dan jasa
milik umum (publik), yang mana masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan
Dalam aplikasi yang terbatas dan selektif, perspektif kebijakan pendidikan secara
bersifat kualitatif sehingga proses pemahaman tersebut juga penuh dengan pemikiran
dilahirkan dari cara berpikir deduktif, cara berpikir yang dimulai dari wawasan
teoritis yang dijabarkan menjadi satuan konsep yang lebih operasional dan dapat
dihubungkan dengan kenyataan. Wawasan teoritis sendiri tidak berdiri sendiri karena
sangat tergantung pada subjektivitas seorang analis dalam memperspektifkan
kebijakan pendidikan.
Perbedaan wawasan tidak semata disebabkan oleh sifat dan jenis masalah kebijakan,
namun cenderung diakibatkan oleh cara pandang berlainan atau perbedaan paradigma
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Implikasi Penelitian
Daftar Pustaka