Anda di halaman 1dari 11

KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

SEBAGAI KEBIJAKAN PUBLIK

Oleh
Mohamad Arfan Hakim

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Adalah suatu kebutuhan bagi ilmuwan pendidikan, utamanya ilmuwan

manajemen (administrasi) pendidikan untuk memahami studi mengenai kebijakan

publik (public policy) khususnya kebijakan pendidikan (educational policy).

Kepentingan ini erat kaitannya dengan peran yang diharapkan dari ilmuwan

manajemen pendidikan, tidak saja nantinya diharapkan sebagai seorang perumus

kebijakan pendidikan yang berkualitas-apabila ilmuwan manajemen pendidikan

terlibat dalam proses pembuatan kebijakan (policy maker) - akan tetapi lebih dari

sekedar itu, ilmuwan manajemen pendidikan diharapkan akan memberikan peran

yang besar dalam memberikan koreksi terhadap berbagai kesalahan-kesalahan

(ketidaktepatan) dalam perumusan berbagai kebijakan pendidikan yang telah

dihasilkan oleh pemerintah selama ini. Dengan demikian studi kebijakan pendidikan

akan memberikan dasar yang kuat bagi seseorang yang ingin mengembangkan profesi

sebagai seorang analis kebijakan pendidikan. Profesi analis kebijakan pendidikan ini

merupakan bidang kajian yang mulai berkembang dan merupakan peluang bagi

ilmuwan manajemen pendidikan.

Islam mengalami keterpurukan yang panjang dalam bidang ilmu pengetahuan. Masa

kejayaan Islam terhenti pada dinasti Abbasiyah pada abad pertengahan. Sampai saat ini,

dalam bidang ilmu pengetahuan, para ilmuan dan umat Islam secara umum masih selalu
mengekor kepada Barat. Hampir seluruhnya (untuk tidak mengatakan tidak ada) penemuan

baru dan teori ilmu modren selalu dilahirkan dari rahim Barat. Memang dari ilmu-ilmu baru

yang dilahirkan tersebut ada yang memberikan sumbangsih positif terhadap kemajuanzaman.

Namun demikian, ada sebagian ilmu yang lahir justru menimbulkan kerusakan pada alam dan

logika untuk saling menghancurkan antar sesama manusia. Hal ini terjadi karena ilmu yang

lahir adalah ilmu sekuler murni yang tidak dilandasi dengan etika dan moral yang kental.

Untuk itu sudah saatnya Islam mengambil alih kendali keilmuan agar tugas masnusia khalifah

benar-benar dapat diemban dengan kaffah.

Ilmu pengetahuan dapat mengandung nilai yangmembawa kebaikan untuk alam

semesta dan orang yang akan menggunakan ilmu itu akan dilandasi dengan nilainilai Islam

universal untuk menghasilkan kemanfaatan bagi seluruh makhluk di dunia ini. Sudah ada

upaya yang dilakukan umat Islam untuk bangkit dari keterpurukan dan mengambil alih ilmu

pengetahuan. Salah satu upaya yang ditempuh adalah mendirikan dan mengembangkan

lembaga pendidikan Islam mulai dari madrasah sampai perguruan tinggi. Namun demikian,

ada ancaman serius yang dihadapi lembaga pendidikan Islam khususnya lembaga pendidikan

tinggi agama Islam. Ancaman tersebut berupa kurang diminatinya fakultas-fakultas dan

jurusan yang dibuka oleh lembaga pendidikan tinggi Islam berupa fakultas yang mengkaji

tentang Islam normatif. Hal ini dikarenakan Islam normatif dianggap tidak dapat

menyelesaikan problem dan tantangan modernisasi. Nasib yang lebih baik dialami oleh

lembaga pendidikan Islam pada level pendidikan dasar, menengah, dan atas. Banyak contoh

madrasah atau sekolah umum yang berlabelkan Islam sangat diminati oleh masyarakat.

Bahkan pesantren yang dulunya identik sebagai tempat belajar bagi masyarakat ekonomi

menengah ke bawah, kini bertransformasi menjadi pesantren modern dan menjadi tujuan

utama orang tua dari kalangan menengah ke atas untuk mempercayakan pendidikan anak-
anaknya. Hal ini terjadi karena banyak madrasah, sekolah, pesantren yang menawarkan menu

baru dalam “menjual” materi dan konsep pembelajaran mereka. Misalnya madrasah atau

pesantren yang menawarkan penguasaan ilmu alat (bahasa Inggris-Arab). Menu ini

dimanfaatkan oleh para orang tua sebagai bekal anaknya untuk melajutkan ke pendidikan

tinggi di luar negeri. Sekali lagi sebagian besar masyarakat hanya berminat kepada

pendidikan dasar sampai menengah Islam. untuk mempersiapkan anaknya melanjutkan ke

pendidikan tinggi umum atau bahkan sebagai batu loncatan belajar di luar negeri.

Menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks lembaga pendidikan Islam

dituntun untuk mampu beradaptasi dengan wacana keilmuan modern dan para alumni

dituntut mampu mengamalkan ilmu pengatahuannya dilandasi dengan etika dan moral yang

dapat menghasilkan manfaat yang lebih luas dan bijak. Jika tantangan tersebut tidak mampu

dijawab maka berakhirlah sudah kejayaan lembaga pendidikan Islam yang digadang-gadang

sebagai produk unggulan umat Islam. Memang benar, dalam dasa warsa terakhir dikalangan

dunia Islam muncul dan berkembang kesadaran urgensi dan rekontruksi peradaban Islam

melalui penguasaan sains dan teknologi. Tetapi, tantangan-tantangan yang dihadapi luar biasa

kompleks baik secara internal maupun eksternal. Oleh karena itu diperlukan pemikiran jernih

dan luas serta perlu unsur kehati-hatian dalam menentukan dan memutuskan kebijakan

tentang bagaimana nasib lembaga pendidikan Islam dimasa yang akan datang.

Selain permasalahan tersebut, masih ada hal urgen dalam tubuh pendidikan Islam

yang terkadang dikesampingkan. Selama ini, materi-materi agama Islam yang diajarkan

adalah materi yang berasal dari buku paket yang diberikan oleh Kementerian agama. Kita

kadang lupa bahwa pada realitasnya dalam tubuh umat Islam di Indonesia, banyak

perbedaan-perbedaan pemahaman yang terjadi misalnya urusan Ibadah, muamalah dan

permasalahan khilafiyah. Perbedaan pemahaman tersebut seolah tidak dihirauhakan, salah


satu contohnya adalah pada buku materi pelajaran fiqih di sekolah, madasarah bahkan sampai

ke perguruan tinggi. Bacaan-bacaan doa shalat hanya dimuat bacaan dari salah satu sumber

saja, padahal bacaan tersebut yang sama-sama shahih ada banyak macam.

Pada lingkaran akademis fenomena tersebut saya sebut sebagai dualism kebijakan

dalam pendidikan Islam. Selain permasalahan dualisme, tubuh pendidikan Islam juga

terjangkit penyakit saling memusuhi dan merasa paling benar atas keyakinan agamanya yang

ditimbulkan dari materi pelajaran agama yang terkesan “memaksa” kepada peserta didik dan

menafikan keberagaman pemahaman yang tumbuh. Untuk itu tulisan ini hendak merespon

permasalahan tersebut dengan menggagas format pendidikan Islam baru baik dalam hal

kelembagaan mauapun dalam hal materi pembelajaran.

B. Permasalahan

C. Tujuan Penulisan

II. PEMBAHASAN

A. Kebijakan Pendidikan

Kebijakan (policy) secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Polis”

yang artinya kota.dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan

organisasi dan merupakan pola formal yang sama – sama diterima

pemerintah/lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya

(Mohan dalam Syafarudin, 2008:75). 

Kebijakan pendidikan (Nugroho, 2008:36) diartikan sebagai kumpulan hukum

atau aturan yang mengatur pelaksanaan sistem pendidikan, yang tercakup di

dalamnya tujuan pendidikan dan bagaimana tujuan tersebut. 


Menurut Fredrickson dan Hart kebijakan adalah suatu tindakan yang

mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah

dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan – hambatan tertentu

sambil mencari peluang – peluang untuk mencapai tujuan/mewujudkan sasaran yang

diinginkan (Tangkilisan, 2003:12).  

Menurut Woll kebijakan merupakan aktivitas pemerintah untuk memecahkan

masalah di masyarakat baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang

mempengaruhi kehidupan masyarakat ( Tangkilisan, 2003:2).

Carter V. Good (1959) memberikan pengertian kebijakan pendidikan

(edicational policy) dalam buku karya Ali Imron yang berjudul Kebijakan Pendidikan

di Indonesia yakni: “Suatu pertimbangan yang didasarkan atas sistem nilai dan

beberapa penilaian terhadap faktor – faktor yang bersifat melembaga. Pertimbangan

tersebut merupakan perencanaan umum yang dijadikan sebagai pedoman untuk

mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai” (Dalam

Imron, 1996:18). 

Dengan demikian kebijakan pendidikan dapat dipahami sebagai aturan –

aturan tertulis yang diputuskan oleh pemerintah yang berfungsi untuk mengatur

dalam bidang pendidikan atau berkaitan dengan pendidikan. Jadi konsep kebijakan

pendidikan adalah gambaran umum mengenai aturan – aturan tertulis yang

diputuskan oleh pemerintah untuk mengatur jalannya pendidikan agar tercapainya

tujuan pendidikan. 

Contoh kebijakan adalah undang – undang, peraturan pemerintah, keppres,

kepmen, perda, keputusan bupati, dan keputusan direktur. Setiap kebijakan yang

dicontohkan bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh objek kebijakan. 


2.2 Batasan Kebijakan Pendidikan 

    Secara etimologis, kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy, dalam bahasa

Inggris. Kata policy sebenarnya dapat dijumpai dalam bahasa lain seperti Latin,

Yunani, dan Sanskrit. Polis dalam bahasa Yunani berarti negara kota. Pur dalam

bahasa Sanskrit berarti kota. Policie dalam bahasa Inggris berarti mengurus masalah

atau kepentingan umum, atau juga berarti administrasi pemerintah.

    Secara terminologis, pengertian kebijaksanaan atau policy dikemukakan oleh para

ahli sebagai berikut: 

1. Laswell (1970) mendefinisikan kebijakan sebagai suatu program pencapaian

tujuan, nilai-nilai dan praktik-praktik yang terarah (a projected program of goals

values and practices). 

2. Heclo dalam Jones (1977) memberikan batasan kebijakan sebagai cara bertindak

yang sengaja dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah-masalah. 

3. Eulau dalam Jones mengartikan kebijakan sebagai keputusan yang tetap, dicirikan

oleh tindakan yang bersinambungan dan berulang-ulang pada mereka yang membuat

dan melaksanakan kebijaksanaan. 

4. Amara Raksasa Taya dalam Tjokro Amidjoyo (1976) memberikan batasan

kebijakan sebagai suatu taktik atau strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu

tujuan. 
5. Budiarjo dalam Supandi (1988) menyatakan bahwa kebijakan adalah sekumpulan

keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam usaha

memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Pada

prinsipnya, pihak yang membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan itu mempunyai

kekuasaan untuk melaksanakannya. 

6. Indrafachrudi (1984) memberikan pengertian policy sebagai suatu ketentuan pokok

yang menjadi dasar dan arah dalam melaksanakan kegiatan administrasi atau

pengelolaan.  

    Ahli yang melihat dari sudut pelaksanaan adalah Lasswell, Heclo, dan Budiardjo.

Ali yang melihat dari sudut produk adalah Eulau dan Indrafachrudi. Sementara ahli

yang memberikan pengertian kebijakan dari sudut seni memerintah adalah Amara

Raksasa Taya. 

    Perbedaan antara kebijaksanaan dan kebijakan bahwa kebijaksanaan adalah aturan-

aturan yang semestinya dan harus diikuti tanpa pandang bulu, mengikat kepada siapa

pun yang dimaksud untuk diikat oleh kebijaksanaan tersebut. Sedangkan kebijakan

atau wisdom adalah suatu ketentuan dari pimpinan yang berbeda dengan aturan yang

ada, yang dikenakan kepada seseorang karena adanya alasan yang dapat diterima

untuk tidak memberlakukan aturan yang berlaku. 

B. Kebijakan Publik

B. Kebijakan Pendidikan Islam sebagai Kebijakan Publik


Mengkaitkan studi kebijakan publik, khususnya kebijakan pendidikan dengan

manajemen pendidikan akan selalu berbicara tentang manajemen pendidikan secara

makro. Secara prinsip, manajemen pendidikan merupakan aplikasi ilmu manajemen

ke dalam lingkup pendidikan dan merupakan bagian dari applied sciences terutama

pada bidang pendidikan baik di sekolah maupun luar sekolah. Prinsip-prinsip yang

dimiliki oleh manajemen pendidikan tidak berbeda dengan prinsip-prinsip yang ada

pada konsep manajemen pada umumnya, demikian pula dengan fungsi-fungsi

manajemen pendidikan, juga merupakan rangkaian konsep dari rumusan manajemen.

Penerapan manajemen di bidang pendidikan diarahkan pada usaha untuk menunjang

kelancaran (termasuk kebijakan pendidikan). Pendekatan dalam analisis analycentric

lebih ditujukan pada dekomposisi masalah sosial makro strategis menjadi beberapa

masalah yang lebih operasional.

Sebagai contoh, masalah mutu pendidikan dapat didekomposisikan menjadi beberapa

komponen masalah yang berkaitan secara langsung atau tidak, seperti mutu guru,

mutu siswa, mutu pengelolaan, mutu proses pendidikan, mutu sarana prasarana, mutu

proses pengajaran. Selanjutnya dilakukan analisis kebijakan terhadap masing-masing

komponen secara tuntas sehingga menghasilkan beberapa alternatif kebijakan yang

masing-masing diperkirakan mempunyai akibat yang komplementer terhadap

pemecahan masalah makro mutu pendidikan tersebut, dan setiap akibat yang

ditimbulkan masing-masing bagian harus terorganisasi dalam kesatuan konsep.

Dalam analisis efisiensi pendidikan baik internal maupun eksternal, pendekatan

analycentric menganggap bahwa pendidikan dapat dianalogikan sebagai suatu

industri, yang mana output pendidikan merupakan fungsi dari berbagai faktor input

pendidikan. Sumbangan masing-masing input terhadap output pendidikan dapat


diukur secara tepat sehingga dimungkinkan untuk dilakukan simulasi yang mampu

menghasilkan kesimpulan, seberapa besar suatu input pendidikan dapat

ditingkatkan/ ditekan agar menghasilkan suatu tingkat output yang diinginkan.

Namun demikian, perspektif tersebut sangat kental pengaruh model-model ekonomi

yang mengutamakan aspek rasionalitas dan pendekatan kuantitatif – dari teori

ekonomi (neo-classical economic theory), ekonomi mikro (micro economics),

ekonomi kesejahteraan (welfare economics), dan teori kuantitatf dalam pengambilan

keputusan (quantitative decision theory) – sehingga masalah kebijakan pendidikan

yang sangat kompleks dan beragam cenderung direduksi dan dipandang hanya

sekedar persoalan teknis semata yaitu bagaimana mengalokasikan sumberdaya

ekonomi (the eceonomic models of resources) secara tepat diantara sejumlah

alternatif.

Dalam kompleksitas kebijakan pendidikan, sungguh sulit mengaplikasikan

bagaimana mengalokasikan sumberdaya politik (political resources) – status,

legitimasi, kewenangan, kekuasaan, kepentingan – secara tepat. Dalam kasus lain,

sesungguhnya sangat sulit untuk merumuskan realitas masalah sosial politik dalam

ukuran kuantitatif. Demikian pula dengan sejumlah isu dan masalah politik

problematik yang dihadapi akan cenderung disederhanakan untuk menyesuaikan diri

pada keinginan analis dan metode kuantitatif yang dipakai, sehingga mengakibatkan

hal mendasar menyangkut konteks realitas sosial politik yang bersifat keperilakuan

dan dianggap tidak bisa dikuantitatifkan, dan cenderung diabaikan dan tidak dapat

digambarkan secara penuh.

Perspektif kualitatif dari kebijakan pendidikan pada dasarnya merupakan proses

pemahaman terhadap masalah kebijakan sehingga dapat melahirkan gagasan /


pemikiran mengenai cara-cara pencapaian tujuan pendidikan, sedangkan untuk fungsi

dan strategi dari konsep manajerial pada prinsipnya sama dengan yang diterapkan

dalam lingkup manajemen.

Manajemen pendidikan dapat dikatakan sebagai kegiatan penataan aspek pendidikan,

termasuk dalam sistem penyelenggaraan pendidikan yang tercakup dalam proses

pembuatan kebijakan pendidikan, seperti yang dilakukan dalam kegiatan manajemen

pendidikan di level nasional (makro) maupun level regional (messo). Aspek

pendidikan yang merupakan kajian manajemen pendidikan merupakan public goods

bukan private goods. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan barang dan jasa

milik umum (publik), yang mana masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan

pendidikan dan pengajaran (pasal 31 UUD 1945), dan pendidikan merupakan

kewajiban pemerintah untuk melaksanakannya, utamanya peranan mendasar

menyediakan kesempatan belajar. Oleh karena pendidikan merupakan public goods,

maka sudah semestinya kajian kebijakan pendidikan masuk dalam perspektif

kebijakan publik dalam dimensi kajian manajemen pendidikan yang multidisipliner.

PERSPEKTIF KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Dalam aplikasi yang terbatas dan selektif, perspektif kebijakan pendidikan secara

kuantitatif dapat meningkatkan derajad rasionalitas dalam proses pembuatan

keputusan di sektor publik pemecahannya. Masalah kebijakan pendidikan sendiri

bersifat kualitatif sehingga proses pemahaman tersebut juga penuh dengan pemikiran

yang bersifat kualitatif. Pemahaman terhadap masalah kebijakan pendidikan

dilahirkan dari cara berpikir deduktif, cara berpikir yang dimulai dari wawasan

teoritis yang dijabarkan menjadi satuan konsep yang lebih operasional dan dapat

dihubungkan dengan kenyataan. Wawasan teoritis sendiri tidak berdiri sendiri karena
sangat tergantung pada subjektivitas seorang analis dalam memperspektifkan

kebijakan pendidikan.

Perbedaan wawasan tidak semata disebabkan oleh sifat dan jenis masalah kebijakan,

namun cenderung diakibatkan oleh cara pandang berlainan atau perbedaan paradigma

pemikiran atau filsafat pemikiran yang berlainan.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Implikasi Penelitian

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai