Anda di halaman 1dari 82

Cerdas Berbahasa

Aug
20

CONTOH MEREVIEW BAB VI TES BAHASA DAN IDENTITAS SOSIAL Oleh Arono
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Fuad Abdul Hamied, M.A.
Matakuliah: Tes dan Evaluasi Bahasa
IDENTITAS BUKU
Judul Buku : Language Testing: The Social Dimension
Penulis : Carsten Roever dan Tim McNamara
Tahun Terbit : 2005
Halaman yang Direview : 149 s.d. 202
Penerbit : University of Wisconsin-Madison
Saat ini pendidikan karakter menjadi permbicaraan dalam setiap lini kehidupan karena salah satu uapaya
yang dapat dilakukan untuk menggali karakter atau nilai-nilai dalam masyarakat adalah dengan tes
bahasa sebagai identitas sosial. Walaupun penilaian karakter bisa subjektif, seperti apa yang dikatakan
penulis dan bisa juga objektif. Kesubjektifan karakter mencakup keseluruhan nilai-nilai, pemikiran, dan
perilaku atau perbuatan yang telah membentuk diri seseorang agar menjadi lebih baik. Keobjektifan
kareakter mencakup penggunaan bahasa yang digunakan oleh penutur secara outentik. Dengan demikian,
karakter dapat disebut sebagai jati diri seseorang yang telah terbentuk dalam proses kehidupan melalui
bahasa oleh sejumlah nilai-nilai etis dimilikinya, berupa pola pikir, sikap, dan perilakunya. Salah satu
aspek yang dibahas dalam bab enam ini adalah aspek sosiolinguistik sebagai ceriminan karakter dalam
masyarakat melalui tes bahasa.
Bab enam ini penulis mengawali pembicaraan mengenai bab-bab sebelumnya, yaitu sejauh mana dan cara
apa dimensi sosial dalam pengujian bahasa bisa dipahami dalam validitas tes bahasa serta hubungnnya
dengan prosedur psikometri untuk peningkatan tes bahasa. Bab enam ini penulis menjelaskan
penggunaan tes bahasa untuk membentuk identitas sosial khusunya dalam pengaturan kompetensi dan
konflik antarkelompok sosial. Bab enam ini juga penulis mengemukakan bahwa konstruksi sosiolinguistik
merupakan karakter dan kinerja uji signifikan sebagai indikator dari suatu keanggotaan kelompok. Hal ini
berbeda dengan tes bahasa konstruksi dalam teori validitas dan masalah umum sekitar psikolinguistik
konstruksi (yaitu konstruksi seperti kemahiran berbahasa “atau berbagai aspek itu” yang sifat-sifat
kognitif dimiliki oleh individu dalam derajat terukur). Kurangnya penguatan bahawa tes bahasa dapat
dilakukan sebagai uji identitas, agak mengherankan mengingat cara bahasa menawarkan petunjuk alokasi
kategori sosial dalam kehidupan sehari-hari: menafsirkan kelas sosiolinguistik, regional, etnis, dan
kategorisasi nasional di awal pertemuan tatap muka dengan orang asing. Untuk itu, penulis
menggambarkan secara historis perkembangan tes bahasa sebagai uji identitas, seperti bahasa bertindak
sosial sebagai penanda identitas, dan sebagai identitas linguistik di antara anggota masyarakat bahasa,
tes bahasa dapat digunakan sebagai prosedur untuk mengindentifikasi dan mengklasifikasi individu dalam
hal kategori sosial yang relevan. Fungsi ini sangat penting dan berguna pada saat kekerasan terbuka
antargolongan, berhasil mengidentifikasi musuh (untuk serangan atau pertahanan) adalah penting, tetapi
juga berguna dalam hal apa pun: identitas sosial apa pun (misalnya ras atau identitas etnis) adalah dasar
bagi hak atau klaim terhadap perlindungan hukum. Fungsi dari tes bahasa kurang menonjol dalam
literatur pada isi pengujian bahasa, kemudian orientasi yang berlaku kognitif dan individualis.
Penulis menggambarkan secara sistematis bagaimana perkembangan tes bahasa awalnya digunakan oleh
masayarakat di berbagai negara besar sebagai tes dalam konteks kekerasan dengan menggunakan
semboyan pengujian; tes identitas linguistik digunakan dalam menentukan hak-hak dalam pengaturan
tanpa melibatkan konflik kekerasan dan persaingan antargolongan secara formal; tes bahasa dalam
verifikasi identitas sosial lingusitik melibatkan penentuan klaim para pencari suaka; tes bahasa digunakan
sebagi diteksi pencari suaka dalam program imigrasi negara; tes bahasa sebagai bagian dari prosedur
kewarganegaraan. Dari beberapa perkembangan terhadap penggunaan tes bahasa sebagai identitas sosial
tersebut, penulis mengambil contoh atau gambaran suatu tes bahasa yang dianggap bijak atu mengalami
pembaharuan dalam tes bahasa bagi penulis, yaitu tes bahasa yang diadakan di Kanada. Tes bahasa yang
dilakukan di Kanada lebih kepada pelaksanaan tes bahasa bagi pegawai negeri sipil yang dikenal dengan
ESL(Evaluation Second Language), tetapi dalam perjalanannya mengalami permasalahan dari beberapa
pengambil tes. Kontroversi tes yang dilakukan di Kanada ini disebabkan bilingualime (Perancis dan
Inggris); tes bahasa diterapkan bukan sebagai keterampilan berbahasa, melainkan kepada pemberian
sertifikat oleh penguasa; danya pengelompokkan kaum elit dan masyarakat biasa atau yunior dengan
senior. Kalau kita cermati bahawa pemasalahan di Kanada menunjukkan bahwa pengujian timbul dari
persaingan antarkelompok lama dan identitas dwibahasa dipromosikan melalui UU Bahasa Resmi
diberikan melalui tes itu sendiri. Pengujian dalam konteks imigran beroperasi dalam cara yang sama, yaitu
beberapa jenis “diterima” sebagai identitas yang didenda dengan uji, padahal uji adalah prosedur untuk
identitas (mengenali individu). Hal tersebut sangat tepat jika apa yang ditawarkan Focuault (1972) bahwa
posisi subjek yang diartikulasikan dalam wacana. Subjektivitas didefinisikan dalam wacana praktik klinis
modern. Klinis sebagai suatu sistem yang terdiri dari unsur yang meliputi status pembicara, tempat
berbicara, dan posisi subjek pembicara: obat klinis harus dianggap sebagai membangun hubungan, dalam
wacana medis, antara sejumlah elemen berbeda, beberapa di antaranya yang bersangkutan status dokter,
selain itu situs kelembagaan dan teknis dari mana mereka berbicara, yang lain posisi mereka sebagai
subjek mengamati, menjelaskan, mengajar, dll. Dapat dikatakan bahwa hubungan antara unsur-unsur
yang berbeda dipengaruhi oleh wacana klinis: sebagai praktik yang menetapkan antara mereka semua
merupakan suatu sistem yang berhubungan.
Pada bagian kesimpulan bab ini penulis mengemukakan perspektif fungsi sosial dan politik dari tes
bahasa. Kita tidak hanya menjadi pemain di dunia diskursif, melainkan tes bahasa dibangun sebagai alat
yang tepat intelektual dan analitis yang memungkinkan kita untuk mengenali peran bahwa tes akan
bermain dalam operasi kekuasaan dan sistem kontrol sosial. Kita perlu mempunyai kesadaran kritis agar
mengenali dan kemudian memutuskan apakah menolak posisi subjek kita sendiri dalam sistem kontrol
sosial di mana tes memainkan peranan konferensi penelitian dalam pengujian bahasa. Hal tersebut
menunjukkan bahwa konteks sosial pengujian akan membantu kita untuk memahami wacana. Hal ini akan
mempersiapkan kita untuk berharap, untuk mengenali, dan untuk menangani sebagai konstruktif seperti
yang kita bisa dengan berbagai macam tekanan pada tes sebagai hasil dari fungsi mereka sebagai situs
kontrol sosial. Kita harus mengharapkan bahwa mempertahankan kendali pengaturan skor demi
kepentingan kebijakan. Selain itu, kita tidak akan mengharapkan subjektif terletak di wacana apapun yang
akan stabil, tetapi digantikan mengingat situasi yang tepat. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Messick
(1989) bahwa semua tes bahasa menyiratkan nilai-nilai. Itu artinya kita membutuhkan pengenalan tes
yang diungkapkan. Nilai-nilai tersebut dapat dipahami dan paling bermanfaat dalam hal wacana di mana
tes bahasa agar memiliki arti tersendiri, di luar sosial dan politik. Kita perlu perspektif teoretis yang
berbeda untuk memungkinkan kita mengakui kenyataan ini dan maknanya.
Manusia yang perilakunya selalu digerakkan oleh nilai-nilai (value driven) yang telah terinternalisasi dalam
diri dan tidak sekadar hasil proses reaksi dari sebuah aksi. Sementara itu, nilai didapat dari pemikiran atau
konsep yang memiliki nilai khas dalam artian memiliki the view of life. Pemikiran yang dimiliki tidak
sekadar menjadi kepuasan intelektual semata melainkan menginternalisasi dalam diri individu tersebut.
Manusia yang berkarakter, antara lain berpikir maju, berpandangan luas, tidak memaksakan kehendak,
mampu bekerja sama, bersifat tegas, bersifat cerdas, berani menghadapi risiko, memiliki imajinatif,
memiliki kemandirian, memiliki keluwesan, dan lain-lain sehingga sangat tepat apa yang dikatakan
penulis bahwa pada prinsipnya penilaian mengenai karakter atau nilai-nilai sesungguhnya dapat dikatakan
subjektif dan dapat pula dikatakan objektif. Jika kita hubungkan dengan sebuah suatu pendekatan
penilaian bahasa maka pendekatan komunikatif mengimplementasikan dalam tes bahasa dan identitas
sosial ini karena salah satunya kompetensinya adalah kompetensi sosiolingistik, seperti yang
dikemukakan oleh Savignon (1972; 1985); Morrow (1981), dan Carroll (1983) mengembangkan tes bahasa
yang lebih komunikatif. Tes bahasa yang benar-benar komunikatif adalah tes bahasa yang mengukur
performansi testi dalam komunikasi yang sesungguhnya yang di dalamnya tercermin kompetensi
gramatikal, kompetensi sosiolinguistik, dan kompetensi strategik (Canale dan Swain, 1980). Dalam
pendekatan komunikatif ini, peranan konteks diperluas, yakni dengan memperhatikan unsur-unsur yang
mengambil bagian dalam terwujudnya suatu komunikasi yang baik. Oleh karena itu, perlu adanya tes
bahasa dengan pendekatan komunikatif, seperti yang diekemukakan oleh Carroll (1983:19) disebut
analisis kebutuhan komunikatif sehingga tes bahasa yang diinginkan bisa dilakukan secara objektif.
Posted in Uncategorized | No Comments »

Aug
20

Hegemoni Bahasa Politik dalam Kasus Sidang Dispendagate Gubernur Nonaktif Provinsi

Bengkulu Oleh Arono


Abstrak: Bahasa politik merupakan kajian kritis yang sifatnya tekstual. Dalam masyarakat terdapat
realitas-realitas bahasa yang harus dihampiri secara kritis yang perlu dilakukan secara intens dan
komprehensif. Hegemoni bahasa politik dalam pemakaianannya terdapat uraian makna-makna dalam
dibandingkan simbol-simbol luar bahasa karena bahasa sudah masuk pada wilayah-wilayah nonlinguistik.
Bahasa tidak hanya sebagai bahasa, tetapi telah berubah sesuai keberfungsian dan kebermaknaan
pemakaiannya. Dalam bahasa politik, keberfungsian dan kebermaknaan itu tampak secara terang. Bahasa
menyimpan kepentingan-kepentingan di luar sebagai simbol komunikasi manusia sehingga hegemoni
bahasa politik yang digunakan lebih mengacu kepada pemakaian bahasa oleh agen pemerintah dengan
tidak mengabaikan agen partai politik dalam menggerakan masyarakat banyak sehingga termuat ideologi
dan kekuasaan untuk mencapai maksud-maksud atau tujuan politik tertentu terhadap kasus yang dialami
Agsurin M. Najamuddin. Bentuk hegemoni bahasa politik yang digunakan, yaitu, eufimisme, sarat makna
ideologis, dan propaganda. Sebaliknya, JPU sebagai kelompok yang dikuasai lebih netral dan objektif
dalam mengambil keputusan terhadap bahasa yang digunakan.
A. P e n d a h u l u a n
Agusrin ditetapkan sebagai pemenang pilkada dalam rapat pleno KPU Kota Bengkulu tanggal 11 Oktober
2005 pada pemilukada pertama. Agusrin dan M. Syamlan sebagai wakilnya mendapat perolehan suara
52.053 atau 54,30% dari total suara sah sebanyak 96.764 suara. Pasangan ini dicalonkan Partai Keadilan
Sejahtera dan Partai Bintang Reformasi. Awal karier Gubernur Bengkulu ini adalah seorang pengusaha
yang pernah menangani proyek pengadaan perlengkapan peralatan operasional di salah satu rumah sakit
di Provinsi Riau. Saat itu ( Januari s.d. Mei 2011) Agusrin Maryono Najamuddin sebagai gubernur Bengkulu
nonaktif.
Pada pemilukada kedua, ia bersama Junaidi Hamzah mengalahkan pasangan calon lainnya dalam
Pemilukada gubernur Bengkulu putaran kedua, Muslihan–Rio yang hanya memperolah 45,70% atau
sejumlah 43.801 suara. Pasangan ini dicalonkan Partai Demokrat. Satu bulan setelah terpilih sebagai
gubernur pada periode pertama, Agusrin meninggalkan PKS dan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat
Bengkulu. Pada periode kedua (2005-2010) suara yang memilih Agusrin kalah di perkotaan, dan hanya
menang di daerah pedesaan. Itu semua karena diimingi handtraktor. Masyarakat perkotaan sendiri sudah
tahu sepak terjang Agusrin dan keluarganya.
Saat Agusrin tengah menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ia didakwa korupsi APBD
daerahnya sendiri senilai Rp 27 miliar. Agusrin didakwa melanggar pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan
Tipikor. Kasus korupsi Gubernur Bengkulu Ir. Agusrin M. Najamudin dimulai dari temuan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) Republik Indonesia pada pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah
Provinsi Bengkulu tahun 2006. Saat itu BPK menemukan penyimpangan dana bagi hasil Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Propinsi Bengkulu sebesar Rp.
21.323.420.895, 66 (Dua Puluh Satu Milyar lebih). Mencermati perkembangan perkara dugaan korupsi
penyimpangan dana perimbangan khusus bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tahun anggaran 2006 – 2007 yang melibatkan Gubernur Bengkulu
Ir. Agusrin M. Najamudin yang berstatus terdakwa. Sementara itu Gubernur Bengkulu Agusrin M
Najamuddin didakwa pasal 2 ayat (1) junto pasal 18 Undang-undang (UU) nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara oleh Jaksa
Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin siang.
Menurut JPU, Agusrin telah menyetujui dan memerintahkan pembukaan rekening di luar kas umum daerah
dan menyetujui pemindahan dana PBB serta penerimaan lainnya. Disebutkan, hasil pemindahan dari
rekening tersebut oleh terdakwa diperintahkan untuk digunakan tidak sesuai dengan peruntukan dan
tanpa persetujuan DPRD Provinsi Bengkulu sehingga negara dirugikan Rp20,162 miliar. Dalam pasal 2 ayat
(1) UU nomor 31 tahun 1999 ini mengancam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1
miliar bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara.
Kasus korupsi yang melibatkan Gubernur Bengkulu itu terungkap setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
regional Palembang mengaudit APBD Provinsi Bengkulu 2006. Dari pemeriksaan tersebut ditemukan dana
bagi hasil pajak tidak dimasukkan ke kas daerah, melainkan ke penampungan sementara guna
mempermudah pengambilan dana tersebut dan tidak perlu izin DPRD. Hasil temuan BPK itu telah
ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu, dan menetapkan Kepala Dispenda Chairuddin
sebagai tersangka. Dalam persidangan di PN Bengkulu, Chairuddin mengaku bahwa seluruh pengeluaran
uang yang dilakukannya atas sepengetahuan Agusrin Maryono Najamuddin. Atas dakwaan JPU ini, Agusrin
merasa keberatan karena merasa tidak ada uang negara yang hilang dalam kasus pemindahan rekening
tersebut.
Gubernur Bengkulu terpilih, Agusrin M Najamuddin, yang menjadi terdakwa dugaan korupsi dana bagi
hasil Pajak Bumi dan Bangunan, mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 10 Januari
2011. Kejaksaan Tinggi Bengkulu, Jumat (10/12), melimpahkan berkas Gubernur Bengkulu, Agusrin
Najamuddin ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait dugaan korupsi bagi hasil Pajak Bumi dan
Bangunan. Sejak Juni 2009, berkas Gubernur Bengkulu tersebut telah dilimpahkan ke PN Jakarta Pusat
pada awal Juli 2009, namun sampai sekarang sidangnya belum digelar. Kejagung menyatakan kelanjutan
perkara Agusrin M Najamuddin sebagai tersangka dugaan korupsi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan,
ditentukan seusai pelantikan dirinya menjadi Gubernur Bengkulu periode 2010-2015.
Agusrin sendiri sudah dilantik menjadi gubernur pada 29 November 2010.
Dalam kasus tersebut, Kejati Bengkulu sudah menetapkan Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Kadispenda)
Bengkulu Chairuddin sebagai tersangka dugaan korupsi pajak bagi hasil senilai Rp21,3 miliar. Kemudian,
Pengadilan Negeri (PN) Bengkulu sudah memutus hukuman satu tahun penjara bagi Chaerudin. Pada
tingkat banding putusan itu diperberat enam bulan. Kasus korupsi itu terungkap setelah Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) regional Palembang melakukan audit terhadap APBD Provinsi Bengkulu 2006. Dalam audit
tersebut ditemukan adanya dana bagi hasil pajak sebesar Rp21 miliar dari total Rp25 miliar tidak jelas
penggunaannya. Dana tersebut seharusnya dibagikan untuk provinsi dan kabupaten/kota di Bengkulu.
Agusrin terjerat kasus korupsi dana bagi hasil pajak daerah Provinsi Bengkulu tahun 2006 sebesar Rp 21,3
miliar. Dia menjadi tersangka sejak Agustus 2008, namun berkas perkaranya baru dilimpahkan akhir
November. Menyusul dikabulkannya gugatan praperadilan yang diajukan Muspani oleh majelis PN Jakarta
Pusat, awal November 2010, Agusrin disidangkan pada 10 Januari 2011 di PN Jakarta Pusat. Sejak kasus
Agusrin M. Najamudin bulan Juni 2009 dilimpahkan ke PN Jakarta Pusat hingga disidangkan pada 10
Januari 20011 sampai sekarang, kasus gubernur nonaktif Bengkulu ini masih belum menemukan
keputusannya. Berbagai tanggapan Agusrin dan orang kepercayaannya dalam mempertahankan kasusnya
memperlihatkan adanya suatu hegemoni bahasa politik yang mereka gunakan. Begitu juga wartawan
sebagai jurnalis tentunya tidak tertutup kemungkinan andil dalam menggali informasi terhadap
penggunaan bahasa yang ada di dalamnya.
Bahasa politik dalam kasus dispendagate gubernur nonaktif Bengkulu merupakan sumber data penulis
dalam penganalisisannya. Sumber data tersebut penulis dapatkan dari berbagai sumber koran harian baik
lokal maupun nasional, seperti Rakyat Bengkulu, Bengkulu Ekspres, Media Indonesia, Tempo,
Antaranews.com., Jurnas.com., Suarakarya.online.com., Beritasatu.com., Nasional.inilah.com.,
Harianpelita.com., Kompas, Politikindonseia.com., Vivanews.com., dan Detik.news.com. Sumber tersebut,
penulis akses secara online melalui internet dari terbitan Juli 2010 s.d. Mei 2011 dengan mengacu pada
model analisis yang dikemukakan oleh Darma (2009:206-207). Model analisis wacana kritis ini melalui
beberapa tahapan, yaitu (1) penulis menentukan teks atau wacana kritis yang akan dianalisis dengan cara
mengakses teks-teks berita yang berkaitan dengan kasus dispendagate gubernur nonaktif Bengkulu
kemudian mengopikannya ke dalam bentuk file lalu mengeprinnya sebagai data penganalisisan. (2)
Penulis menentukan subjek penceritaannya, yaitu subjek penceritaannya adalah Agusrin M. Najamudin
beserta pengacara dan pihak keprcayaannya juga keluarganya. (3) Penulis menentukan objek
penceritaannya, yaitu pihak Jaksa Penutut Umum (JPU) dan masyarakat. (4) Penulis menentukan deskripsi
bahasa yang berhubungan dengan hegemoni bahasa politik yang mereka gunakan. (5) Penulis
menentukan interpretasi jenis ideologi dari bahasa yang mereka kemukakan. Untuk memudahkan analisis,
penulis menganalisis berdasarkan urutan waktu saat berita dimuat agar memudahkan penulis dalam
menginterpretasikannya dengan perincian 19.932 kata dalam teks berita dan 3.411 kata yang
membangun konteks hegemoni bahasa politik yang digunakan. Itu artinya sekitar 17.11% kata yang
digunakan dalam membangun konteks hegemoni bahasa pilitik dalam kasus dispendagate gubernur
nonaktif Provinsi Bengkulu. (6) Penulis menentukan eksplanasi ketidakadilan dalam kasus dispendagate di
Provinsi Bengkulu.
Bahasa koran dikenal dengan istilah bahasa jurnalistik. Hadi (1997) menyebutkan bahwa bahasa jurnalistik
berpedoman pada bahasa Indonesia baku. Di Indonesia, buruknya bahasa koran merupakan cermin
buruknya bahasa birokrat karena koran lebih banyak diisi oleh ucapan dan perkataan para birokrat.
Bahasa para birokrat ini sering ditandai dengan banyaknya pemakaian akromin, terutama di kalangan
militer yang menginfelterasi media massa dengan sangat cepat dan luas. Bahasa pejabat juga ditandai
dengan eufimisme dan pada gilirannya akan melahirkan “pemiskinan makna”. Eufimisme menurut Dale
dan Tarigan juga dapat dikatakan pandai berbicara atau berbicara baik (dalam Haris, 2008: 165).
Eufimisme kalau dikaji menurut teori Buhler termasuk dalam appeal, yaitu bahasa yang berisi perintah
atau permintaan yang ditujukan pembicara kepada lawan bicara agar apa yang diminta atau diperintahkan
dikerjakan oleh lawan bicara (Kleden, 1978:70). Buruknya bahasa koran di satu sisi mendapatkan
pemakluman oleh banyak pihak dan pada sisi lain menjadi alat legitimasi para wartawan untuk tidak
memakai bahasa Indonesia baku (standar). Dalam perkembangannya, bahasa koran semakin jauh dari
bahasa Indonesia baku dan membentuk “komunitas” bahasa tersendiri, dengan segala karakteristiknya.
Buruknya bahasa koran disebabkan beberapa faktor. Pertama, berita di koran dikutip dari pembicaan
narasumber yang kebanyakan pejabat yang kebanyakan dari mereka pemakaian bahasanya buruk.
Sesungguhnya buruknya bahasa koran mencerminkan buruknya bahasa pejabat. Kedua, tidak semua
wartawan mengerti pemakaian bahasa Indonesia yang baku. Untuk mendapatkan wartawan ekonomi,
perusahaan koran tidak merekrut sarjana sastra yang sehari-harinya belajar bahasa, melainkan
mengambil sarjana ekonomi yang tidak mengerti seluk beluk pemakaian bahasa. Pengetahuan bahasa
diberikan melalui sebuah training wartawan yang dilakukan media tersebut. Ketiga, terbatasnya ruang dan
waktu sehingga berita yang disajikan berprinsip asal informasi sampai (prinsip berita 5W dan H), tidak
berpikir jauh tentang bagaimana struktur bahasa ditertibkan. Wartawan dikejar deadline berita karena
mereka harus menyajikan berita setiap hari. Akhirnya ukuran “konvensi” bahasa koran adalah kelogisan
dan inipun kadang-kadang dilanggar oleh para wartawan. Unsur kelogisan dalam pemberitaan pun alih-
alih menjadi alasan tidak menariknya sebuah berita. Banyak berita menarik karena dianggap tidak logis.
Ketidaklogisan sebuah berita bisa dilihat dari isi (content) dan struktur bahasa. Tulisan ini tidak
berkompeten dalam melihat kelogisan bahasa dan hanya ingin memusatkan pada kelogisan struktur
bahasa yang dipergunakan.
Ragam bahasa jurnalistik memiliki ciri-ciri, yaitu bersifat sederhana, komunikatif, dan ringkas. Sederhana
karena harus dipahami secara mudah; komunikatif karena jurnalistik harus menyampaikan berita yang
tepat; dan ringkas karena keterbatasan ruang (dalam media cetak) dan keterbatasan waktu (dalam media
elektronik). Dalam ragam bahasa jurnalistik ini awalan me- dan di- sering ditanggalkan, yang dalam
penulisan berbahasa baku harus digunakan. Kalimat Gumbernur tinjau daerah banjir dalam bahasa baku
akan berbentuk Gubernur meninjau daerah banjir (Chaer dan Agustina, 1995:90-91).
B. P e m b a h a s a n
Menurut Heryanto (1989:15-16) bahasa Indonesia pada hakikatnya merupakan komoditas industrial.
Bahasa tidak lahir dan tumbuh dari dinamika komunal masyarakat, tetapi merupakan produk rekayasa
para profesional yang dirancang untuk dipasarkan secara massal. Bahasa ini bukan bahasa ibu bagi
makhluk manapuan di planet ini. Penutur bahasa ini hanyalah para konsumen yang hanyna dapat
bergantung pada sesuatu keputusan para pejabat “pembinaan dan pengembangan” bahasa sebagai
komoditas, tidak aneh jika nilai bahasa ini dapat dihayati dengan jargon ekonomi. Bahasa Indonesia “yang
baik dan benar” merupakan komoditi yang langkah.
Kemerdekaan berbahasa adalah kemerdekaan untuk mengikuti aturan-aturan bahasa yang telah
disepakati para pemakai bahasa. Berpolitik bahasa adalah bertata politik. Kemerdekaan politik adalah
kemerdekaan menghormati dan mengikuti aturan-aturan politik yang telah disepakati oleh para pelaku
politik. Dengan demikian, politisasi bahasa adalah rekayasa menggunakan bahasa, memberlakukan aturan
bahasa, dan memaksa pemaknaan bahasa. Bahasa dengan demikian, “dibermaknakan” sesuai dengan
konteks politik penguasa (Alwasilah, 1994).
Menurut Lewuk (1995:186) terdapat empat kategorisasi ideologi kebahasaan yang dipergunakan oleh
kelompok kekuasaan. Keempat kategori tersebut, yaitu bahasa berdimensi satu, orwelianisme bahasa,
jaringan bahasa takut-takut, dan bahasa yang menyembunyikan pikiran. Bahasa berdimensi satu
menuntut orang yang menyatakan sikap dan pernyataan yang sama (satu), sesuai dengan kemauan
penguasa. Di sini tidak ditemukan “logika protes”, seperti halnya tidak ada tempat bagi para oposisi di
masa Orde Baru. Pemikiran “dialektis-negatif”: digantikan dengan pemikiran “positif” yang hanya
mengafirmasikan dan menyesuaikan diri dengan realitas. Di masa Orde Baru setiap pemikiran harus
relevan dan tidak boleh berbeda dengan konsep pembangunan. Bagi mereka yang antipembangunan,
penguasa menyebut dengan “antipembangunan” atau “anti-Pancasila”. Orwelianisme bahasa dalam
konteks ini adalah teknik penyatuan dua pengertian yang sebenarnya bertentangan, sehingga perbedaan
antara yang benar dengan yang salah menjadi kabur. Ungkapan-ungkapan tentang kebebasan
mengeluarkan pendapat, diartikan sebagai kepatuhan terhadap instruksi yang dikeluarkan pihak
penguasa. Untuk menunjukkan “sikap demokratis”, dipakai istilah “kritik konstruktif” atau “kritik
membangun” yang maknanya setiap kritik tidak boleh menyinggung kebijakan dan tidak boleh
bertentangan dengan kehendak kekuasaan. Dalam dunia pers, untuk menghindari konflik dengan
kekuasaan, pers melalukan kritik melalui “karikatur” dan “pojok”. Keduanya menyampaikan kritik melalui
humor, dan ternyata efektif pada masa itu, terbukti tidak ada pers yang dibreidel karena kritik “karikatur”
atau kritik “pojok”. Bahasa takut-takut adalah bahasa yang diucapkan masyarakat yang memiliki
kepanutan monoloyalitas terhadap berbagai instruksi yang dilambangkan melalui simbol bahasa. Pada
saat Pemilu, kita mendengar “golput haram” atau “Golput berarti tidak bertanggung jawab terhadap
demokrasi”. Munculnya kepanutan-kepanutan yang dipaksakan karena terjadi “hukum bahasa” bagi orang
yang melanggarnya. Pada era reformasi, muncul istilah “antireformasi” atau “Orba bagi mereka yang tidak
setuju terhadap pemisahan kota/kabupaten.
Terakhir, bahasa menyembunyikan pikiran, artinya bahasa bukan lagi sebagai alat menyatakan pikiran. Di
balik pikiran itu terdapat kepentingan yang memanipulasi bahasa itu sendiri. Kita bisa menyaksikan model
bahasa yang terakhir ini di saat kampanye Pemilu. Idiom-idiom yang berupa janji-janji partai dengan
mudah bertebaran dilontarkan oleh partai politik hanya untuk memanipulasi rakyat yang awam politik.
Jenis bahasa terakhir ini termasuk di dalamnya bahasa-bahasa propaganda. Bahasa-bahasa propaganda
ditebar untuk menyiarkan kebencian (warmongering). Propaganda dilakukan dalam rangka pembusukan
nama baik orang lain (defamatory). Propaganda juga dilakukan untuk membakar permusuhan dan konflik
dalam masyarakat (subversive). Propaganda bisa berbentuk perang urat saraf berupa perang media dan
memanipulasi fakta-fakta (psychological warfare).
Bahasa politik merupakan bahasa yang dipergunakan para elite politik dan elite birokrasi untuk
menyampaikan kepentingan-kepentingan kekuasaan. Berdasarkan uraian di atas dan fakta-fakta di
lapangan, bahasa politik akan bercirikan: 1) terjadinya politisasi makna atas bahasa-bahasa yang
dipergunakannya; 2) terjadi penghalusan makna, dalam bentuk eufimisme bahasa yang dalam terminologi
Lubis sebagai sebuah “penyempitan makna”. Fenomena eufimisme, misalnya, kata “serangan bersahabat”
untuk mengatakan “salah sasaran” yang terjadi antarsesama tentara gabungan pada perang Irak.
Mungkinkah antarsahabat saling menyerang?; dan 3) terjadinya bentuk-bentuk bahasa propaganda dalam
rangka meyakinkan pihak lain, terutama masyarakat. Propaganda yang paling “berbahaya” adalah bahasa-
bahasa agitasi (menebar permusuhan) dan bahasa-bahasa rumor (tidak jelas sumber beritanya).
Bahasa politik merupakan bahasa hegemoni. Istilah hegemoni diletakkan oleh Gramsci di saat mendekam
di penjara Prancis. Teori ini menjelaskan mengapa revolusi sosialis tidak terjadi di negara Barat yang
dianggap demokratis. Hegemoni dipergunakan untuk menunjukkan adanya kelas dominan yang
mengarahkan “tidak hanya mengatur” masyarakat melalui pemaksaan kepemimpinan moral dan intelektual
(Storey, 2003:172). Hegemoni di atur oleh mereka yang oleh Gramsci disebut “intelektual organic”. Mereka
adalah tokoh moral dan intelektual yang secara dominan menentukan arah konflik, politik, dan wacana
yang berkembang di masyarakat. Mereka bekerja untuk melanggengkan kekuasaan atas kelompok yang
lemah. Dominasi “intelektual organic” diwujudkan melalui rekayasa bahasa sebagai sebuah kekuasaan.
Melalui berbagai media bahasa ditunjukkan hadirnya kekuasaan dan pengaturan hegemoni tersebut.
Berbagai kebijakan negara, misalnya, disampaikan dalam bahasa “untuk kepentingan bangsa di masa
mendatang” atau “demi kemandirian bangsa” telah menghegemoni masyarakat untuk senantiasa
menerima berbagai keputusan negara, yang merugikan sekalipun.
Hegemoni bahasa politik digunakan oleh para politisi untuk membantu bagaimana bahasa digunakan
dalam persoalan-persoalan (1) siapa yang ingin berkuasa, (2) siapa yang ingin menjalankan kekuasaan,
dan (3) siapa yang ingin memelihara kekuasaan (Beard, 2000:2). Pernyataan beikut ini mengimplikasikan
bahwa kekuasaan itu ada pada yang ingin menjalankan kekuasaan. Yang ingin menjalankan kekuasaan
dalam hal ini adalah Agusrin M. Najamuddin. Hal tersebut dibuktikan dengan belum adanya tanggapan
berkas pelimpahan kasus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diduga ada muatan politik sebagai partai
besar saat ini yang sedang berkuasa, seperti pada kutipan berikut ini.
Dia mengaku kecewa men¬de¬ngar berkas kasus Bengkulu be¬lum diterima PN Jakpus. Po¬litisi PDIP ini
khawatir pe¬nun¬tasan ka¬sus itu diduga ada mu¬atan po¬li¬tiknya. “Apa¬kah ka¬re¬na dia ber¬asal
dari partai ber¬ku¬asa jadi pe¬nuntasannya su¬sah,” tu¬dingnya. (rakyatmerdeka.co.id, 24 Juli 2010).
Kekuasaan itu terlihat dari pernyataan orang-orang yang ada di sekitar Agusrin M. Najamuddin dalam
menanggapi kasusnya. Kata orang dekat dan kolega menyatakan adanya suatu kelompok kekuasaan
dalam hal ini berpihak kepada Agusrin M. Najmudin. Sebagai orang dekat, Cupli Risman, merasa yakin
bahwa kasus ini telah selesai karena secara hukum bahwa orang yang terlibat dalam kasus ini sudah
dihukum, yaitu kepala Dispenda Bengkulu, Caheruddin. Hukuman yang dijatuhkan kepada Caheruddin
sebagai bendahara Agusrin waktu itu dengan masa tahanan 1,5 tahun atau yang disebut kasus
Dispendagate jilid I, seperti pada kutipan berikut ini.
Cupli Risman yang merupakan orang dekat Agusrin Maryono Najamuddin mengatakan, kasus yang
melibatkan koleganya itu sudah lama selesai.
“Orang yang diduga memal¬sukan adalah kepala Dispenda Bengkulu, Chaeruddin. Dia su¬dah dihukum
untuk kasus ini. Jadi masalah korupsi Dispenda sudah selesai,” katanya. (rakyatmerdeka.co.id, 24 Juli
2010).
Kasus ini tidak sampai di situ saja, Muspani, bekas anggota DPD Bengkulu mengajukan berkas kasus ini
ke PN Jakarta sehingga tindakan yang dilakukan oelah wakil masyarakat ini tidak disenangi bagi kelompok
penguasa, Agusrin. Hal tersebut bagi mereka dianggap fitnah keji yang tidak bisa dibuktikan. Kata fitnah
keji mengimpilkasikan bahwa tindakan yang dilakukan oleh JPU, masyarakat, dan Muspani danggap
sesuatu yang bohong dengan menjelekkan nama orang, Agusrin, apalagi kata keji mengimplikasikan
sesuatu itu sangat rendah, kotor, dan tidak sopan. Seolah-olah apa yang dilakukan oleh yang dikuasai
dalam hal ini masyarakat itu tidak ada gunanya, seperti pada kutipan beikut ini.
Dia menduga, tudingan kasus dugaan korupsi APBD Bengkulu 2006 ke Agusrin itu untuk fitnah keji, dan
tidak bisa dibuktikan. “Tapi apa daya isu tersebut tidak terpengaruh sama sekali. Ini terbukti Agusrin
terpilih lagi menjadi Gubernur di Bengkulu,” ucapnya. (rakyatmerdeka.co.id, 24 Juli 2010)
Kata putus asa merupakan sesuatu yang sudah menyerah dengan keadaan, sepertinya tidak ada jalan lain
yang dapat dilakukan. Keputusasaan masyarakat disebabkan adanya tekanan dan tindakan penguasa yang
sudah tidak bisa diharapkan lagi atas masa pemerintahannya. Artinya masyarakat tidak percaya lagi
dengan kebijakan dalam pemerintahannya sehingga mengalami kehilangan gairah dalam bekerja, apalagi
untuk mengusut kasusnya. Kata intervensi politik sebagai masa terbesar saat ini, apalagi di tingkat pusat
pun pimpinannya adalah kelompok yang sama dalam dunia perpolitikan. Hal itu mengimpikasikan secara
tidak langsung adanya pengaruh terhadap kebijakan kasus yang sedang bergulir. Masyarakat dalam hal ini
sebagai orang yang dikuasai tidak bisa berbuat banyak selain mempercayakan urusan kepada JPU dan
pemerintah yang bersih dalam memperjuangkan hukum yang benar, seperti pada kutipan berikut ini.
“Tinggal Ke Tuhan Saja Kita Mengadu” Muspani, Bekas Anggota DPD Bengkulu Bekas anggota DPD dari
Beng¬kulu, Muspani mengaku sudah pu¬tus asa kasus dugaan korupsi APBD Provinsi Bengkulu 2006
de¬ngan tersangka Agusrin Mar¬yono Najamudin bisa tuntas, sebab sam¬pai saat ini berkasnya saja
belum diterima Pengadilan Jakarta Pusat. “Saya lihat intervensi politik dalam kasus ini sangat kuat,
se¬hingga proses penuntasan kasus ini sangat lambat. Jika Kejagung dikatakan independen, maka ha¬rus
secepatnya dilimpahkan,” ka¬tanya, kemarin. (rakyatmerdeka.co.id, 24 Juli 2010).
Keputusasaan juga terlihat dari masyarakat, Muspani, sebagai orang yang penuh perjuangan dalam
memperjuangkan kasus Agusrin. Kekuasaan Agusrin menjadikan Muspani tidak bisa berbuat banyak dan
seolah-olah dia mengalami jalan buntu. Hal tersebut terlihat pada kata Tuhan yang dia gunakan sebagai
tempat mengadu karena mengadu dengan pimpinan yang berkuasa yang lain sudah tidak ada tanggapan
lagi. Gaya bahasa personifikasi digunakan oleh Muspani sebagai obat dalam menyenangkan hatinya.
Tuhan dianggap mempunyai sifat yang sama dengan manusia. Selain itu, pernyataan gaya bahasa ratusan
kali sebagai gaya hiperbola. Pernyataan itu mengimplikasikan bahwa begitu seringnya masyarakat
menanggapi dalam bentuk aksi/demo terhadap kasus Agusrin, tetapi belum ada juga tanggapan, seperti
pada kutipan berikut ini.
Muspani menjelaskan, ma¬sya¬rakat Bengkulu sudah ratusan kali menggelar aksi menuntut se¬cepatnya
kasus itu disidangkan, tapi belum juga dilaksanakan. “Terus mau kemana lagi kita harus mengadu, ke
Presiden tidak akan direspons. Tinggal ke Tuhan saja kita belum mengadu, karena semua pasti
responsnya sama saja,” ucapnya. (rakyatmerdeka.co.id, 24 Juli 2010).
Analisis wacana dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan
apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti diapakai, topik apa yang dibicarakan.
Dengan pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan,
terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam
masyarakat, seperti dukungan dan tanggapan dari berbagai kalangan terhadap kasus Agusrin dari
masyarakat kian hari kian memberikan respon positif. Desakan Hwian Cristianto untuk menuntaskan dan
menyikapi kasus Agusrin. Keberpihakan pengamat hukum ini sebagai orang yang termasuk dalam
penegakkan hukum, pro terhadap masyarakat.
Pengamat Hukum dari Uni¬versitas Petra Surabaya, Hwian Cristianto mendesak Kejaksaan Agung untuk
lebih transparan dalam menuntaskan kasus Beng¬kulu, sebab berkasnya sudah lama menggantung.
“Seharusnya Kejagung tidak mengulur-ulur waktu lagi, karena akan menimbulkan pra¬sangka macam-
macam dari ma¬syarakat,” katanya. (rakyatmerdeka.co.id, 24 Juli 2010).
Kenetralan penguasa hukum terhadap permasalahan Agusrin terlihat dalam pernyataannya bahwa kasus
Agusrin perlu ditindaklanjuti. Jika Agusrin bersalah, Agusrin harus menjalani hukuman. Jika Agusrin tidak
bersalah, Agusrin dibebaskan dari kasus tersebut. Pernyataan ini dikemukakan oleh pengamat hukum
mengimplikasikan bahwa ia memberikan solusi terbaik bagi masyarakat dan penguasa dalam hal ini
Agusrin, seperti pada pernyataan berikut.
Menurutnya, belum dilim¬pah¬kannya berkas kasus Bengkulu ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
membuat ketidakpastian hukum kepada tersangkanya.
“Kalau sudah masuk penga¬dilan kan tinggal diputuskan, apakah dia bersalah atau tidak. Jika bukti-bukti
kuat, maka harus menjalani hukuman penjara. Tapi kalau tidak ada, maka dibe¬bas¬kan,” tandasnya.
Janji Marwan Effendy, Berkas Dilimpahkan Ke PN Jakpus 2009. (rakyatmerdeka.co.id, 24 Juli 2010)
Pernyataan tangan kuat sebagi metafora yang dikemukakan oleh pihak yang dikuasai dalam hal ini
masyarakat. Masyarakat mengemukakan hal itu berdasarkan kinerja pemerintahan saat ini yang lebih
mementingkan urusan kelompok tertentu. Belum adanya respon positif dari Kejaksaan Negeri Jakarta
mengimpilkasikan adanya keterlibatan politik dalam hal ini partai besar yang andil dalam permasalahan
kasus Agusrin sehingga kasus beliau belum ada jalan keluarnya. Tangan kuat di sini berarti orang yang
berkuasa baik secara pemerintahan dan politik yang menggunakan kekuasaannya demi kepentingan
kelompok tertentu, seperti pada pernyataan berikut.
Sumber Tempo menyebutkan ada “tangan kuat” yang memerintahkan Kejaksaan mengamankan Agusrin.
Ini, ujar sumber itu, berkaitan dengan kepentingan politik.( tempointeraktif.com, 15 November 2010)
Kata perkara dan kasus merupakan penghalusan arti pada permasalahan yang dihadapai oleh penguasa.
Bagaimanapun permsalahan secara hukum harus segera dituntaskan, tetapi sebaliknya pada kenyataannya
belum dapat diatasi. Muspani sebagai orang yang memperjuangkan keadilan dalam menegakan kasus ini
ditemukan masih adanya mafia hukum. Kata mafia saat ini juga terdapat di bidang lain, seperti mafia
pajak dan mafia dalam bidang kriminal atau kejahatan. Kata mafia ini mengalami generalisasi atau
perluasan makna yang mengimplikasikan bahwa kejahatan itu bisa terjadi di mana-mana dan kapan saja
yang tidak memandang siapa dan untuk apa termasuk pemerintah terhadap rakyat atau rakyat terhadap
pemerintah. Apalagi kasus hukum saat ini mendapatkan citra yang kurang baik lagi bagi masyarakat
karena setiap kasus yang diselesaikan oleh ukum hanya selesai atau tuntas bagi orang yang berkuasa baik
secara jabatan, ekonomi, politik, dan pangkat, seperti dalam pernyataan berikut.
Kejaksaan Agung diharapkan segera melimpahkan dugaan perkara korupsi Gubernur Bengkulu Agusrin M
Najamudin ke pengadilan. Muspani berpendapat tidak ada alasan untuk tidak memproses dugaan perkara
korupsi Agusrin karena kasus tersebut telah dinyatakan P21.
Hal tersebut dikatakan mantan anggota DPD RI periode 2004-2009 dari Provinsi Bengkulu, Muspani pada
acara Dialog Interaktif bertajuk “Membenahi Persoalan Mafia Hukum” di gedung DPD RI, Jumat (19/11).
Beberapa waktu lalu, Muspani mengajukan Permohonan Praperadilan kepada Kejaksaan Agung dan KPK di
PN Jakarta Pusat karena Kejaksaan Agung dinilai sengaja tidak memproses perkara koruspsi Gubernur
Bengkulu, Agusrin M Najamudin.( jurnas.com, 19 November 2010).
Setiap usaha akan membuahkan hasil. Begitu yang dialami oleh Muspani, tetapi perjuangan tidak sampai
disitu. Kasus ini masih terlalu panjang dan berat dalam penyelesaiannya, apalagi yang dihadapi adalah
orang yang nomor satu di Provinsi Bengkulu.Walaupun secara hukum, PN Jakarta Pusat telah mengabulkan
permohonan praperadilan atas nama Muspani. Dengan ditetapkan sebagai tersangka, secara otomatis
Agusrin akan dinonaktifkan sebagai gubernur. Kata tersangka berarti diduga atau dicurigai memberikan
peluang kepada Agusrin sebagai terdakwa dalam kasus sidang ini. Tersangka dari kata sangka berarti
duga atau kira yang identik pada perilaku kejahatan oleh orang terhadap masalah yang dihadapinya.
Muspani mengaku memenangkan permohonan praperadilan kepada Kejagung dan KPK. Dikatakannya,
berdasarkan putusan PN Jakarta Pusat Nomor 04/Pid.Prap/20/2010/PN.Jkt.Pst, memutuskan mengabulkan
permohonan Praperadilan atas nama Pemohon Muspani. Juga memerintahkan kepada termohon I
(Kejaksaan Agung RI) untuk melanjutkan proses perkara korupsi dugaan Penyimpangan Dana
Perimbangan Khusus Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPH-TB) tahun anggaran 2006-2007 atas nama tersangka Agusrin M Najamudin, agar segera
dilimpahkan ke PN Jakarta Pusat. ( jurnas.com, 19 November 2010).
Ketidak berdayaan Muspani sebagai orang yang memperjuangkan perkara ini terlihat dalam pernyataannya
apabila tidak mampu melimpahkan perkara tersebut… Tidak ada cara lain yang dapat ditempuh selain
selain PN Jakarta Pusat. Kekuasaan di sini dimaksudkan sebagai ranah hukum dalam hal ini PN Jakarta
Pusat yang bisa meneruskan dan menindaklanuti kasus yang ada. Pernyataan ini memberi harapan
baahaawa dibalik yang berkuasa, tetapi ada yang lebih kuasa, seperti pernyataan berikut.
Menurut Muspani, dalam putusan PN Jakpus, juga menyebutkan, apabila tidak mampu melimpahkan
perkara tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, memerintahkan kepada Termohon II (KPK),
mengambil alih perkara dugaan PBB dan BPH-TB tahun 2006-2007 atas nama tersangka Agusrin ke, dan
segera dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
( jurnas.com, 19 November 2010).
Kegigihan dan ketulusan pihak masyarakat dalam hal ini Muspani menunjukkan kekuatannya bahwa yang
benar itu perlu diluruskan dan ditegakkan siapa pun dia termasuk presiden sekalipun seperti pernyataan
Muspani meminta presiden untuk menegur dan memerintahkan… Kata meminta merupakan penghalusan
bahasa yang santun dibalik sebuah keinginan. Bagaimanapun keinginan itu jika dinyatakan untuk orang
yang lebih tinggi maka diperlukan pernyataan yang tepat agar tidak menyinggung atau sebagai bentuk
penghormatan terhadap jabatan yang diembannya. Bagaimanapun Muspani di sini lebih kratif memilih
kata-katanya sebagai orang yang dikuasai. Bagaimanapun pihak yang berkuasa harus tahu akan hal ini,
seperti kata pelecehan. Kata pelesehan ini sungguh tidak manusiawi lagi. Pelecehan umumnya terjadi pada
kriminal dari segi seksologi atau perlikau menyimpang. Penyimpangan ini juga terjadi terhadap lembaga
pengadilan, seperti dalam pernyataan berikut.
Dalam suratnya kepada Presiden, Muspani meminta Presiden untuk menegur dan memerintahkan Jaksa
Agung agar segera melimpahkan berkas perkara korupsi Gubernur Bengkulu, Agusrin M Najamudin ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. “Membiarkan kasus korupsi tersebut berlarut-larut merupakan bentuk
pelecehan terhadap lembaga pengadilan dan menciderai citra Indonesia sebagai negara hukum,” katanya. (
jurnas.com, 19 November 2010).
Mafia merupakan perkumpulan atau organisasi yang bersifat rahasia yang bersifat kejahatan atau kriminal.
Mafia di sini seolah-olah dikondisikan oleh kelompok orang-orang tersebut dalam hal ini pihak penguasa,
apalagi dinyatakan kata praktik. Praktik berarti suatu kegiatan nyata, tetapi dengan adanya mafia
kenyataan itu seolah ditutupi atau dikuasai oleh orang-orang tertentu sehingga disangsikan kasus ini
mengalami kesulitan jalan keluarnya, seperti pada pernyataan berikut.
Muspani juga meminta Satgas Pemberantasan Mafia Hukum untuk mengusut dugaan terjadinya praktek
mafia hukum terhadap kasus tersebut. “Dengan berkerasnya Jaksa Agung tidak melimpahkan perkara
tersebut yang telah dinyatakan P21 kep PN Jakarta Pusat, patut diduga menurut hukum bahwa praktek
mafia hukum itu terjadi,” kata Muspani. ( jurnas.com, 19 November 2010).
Bagaimanapun sedikit banyaknya interfensi dari pihak berkuasa terhadap kekuasaanya akan memberikan
dampak yang cukup berarti. Hal itulah diragukan oleh Muspani sebagai orang yang sepertinya sudah tahu
betul bagaimana Agusrin menjalankan wewenang dan jabatannya. Kata terlalu jauh dan penghentian
hukum merupakan kunci bahwa memang kasus ini tidak main-main karena banyak orang-orang yang
berperan di balik layar dalam menyiasati kasus ini. Kekuasaannya terlihat jelas bagi kalangan Agusrin dan
fenomena yang diamatai terhadap partai besar saat ini dalam setiap pengentasan setiap kasus yang ada,
seperti pada pernyataan berikut ini.
“Demokrat terlalu jauh masuk ke kasus mafia kehutanan. Ada upaya melakukan penghentian
hukum.”Muspani, mantan anggota DPD dari Bengkulu yang mempraperadilankan Kejaksaan Agung dan
KPK dalam kasus dugaan korupsi Gubernur Bengkulu, Agusrin M Najamuddin, berharap agar Partai
Demokrat tidak mencampuri proses hukum persidangan Agusrin. Harapan tersebut dikemukakan
Muspani, menyikapi apa yang disebutnya sebagai campur-tangan hukum yang dilakukan oleh Demokrat
terhadap kasus mafia kehutanan di Nunukan Kalimantan Timur yang diduga melibatkan salah satu
petingginya, Hartati Murdaya. “Terus terang, Demokrat terlalu jauh masuk ke kasus mafia kehutanan.
Mereka sudah ikut campur ke penegakan hukum. Ada upaya melakukan penghentian atau memacetkan
masalah hukum. Karena itu saya berharap [campur tangan Demokrat] ini tidak terjadi pada Agusrin,” kata
Muspani kepada wartawan beritasatu. (beritasatu.com, 4 Januari 2011).
Pihak yang dikuasai dalam hal ini Muspani semakin menunjukkan kekuasaannya bahwa kasus ini bisa
dituntaskan dan dibuktikan. Berbagai fakta dan data dikemukakan bahwa campur tangan atas
kekuasaannya mengimplikasikan hal itu bisa terjadi. Muspani merasa yakin jika kasus ini dijalankan
dengan baik dan benar status Agusrin dari tersangka bisa terdakwa bahkan bisa dihukum sesuai dengan
tingkat kesalahannya. Muspani merasa puas dan yakin, tetapi tidak sampai di situ kekhawatirannya tetap
ada. Bagaimanpun suatu perjuangan tidak hanya sampai disitu kata..selesai…bukanlah akhir dari
segalanya, tetapi awal perjuangan titik baru yang lebih berat lagi dalam menegakkan keadilan, seperti
pernyataan berikut.
Muspani menilai, dengan mulai disidangkannya Agusrin, maka tugasnya mengawal kasus ini sudah
selesai. Tapi dengan adanya campur-tangan Demokrat terhadap kasus mafia kehutanan di Nunukan,
membuatnya khawatir, proses hukum Agusrin akan dipenuhi permainan.
“Maka itu kita berharap supaya pengadilan dan jaksa melakukan pemeriksaan secara benar, jangan sampai
ada permaianan yang menyebabkan kasus ini mandeg,” kata Muspani. (beritasatu.com, 4 Januari 2011).
Kata anak buah mengimplikasikan konotasi negatif. Hal itu memperlihatkan kekuasaan Agusrin dalam hal
ini dikemukakan oleh kuasa hukumnya. Seolah-olah Agusrin tidak bersalah dan tidak berbuat apa-apa,
tetapi yang melakukan itu adalah bawahannya. Kalau ada anak buah berarti otomatis ada bosnya. Konotasi
dari anak buah merupakan suatu konotasi negatif begitu juga dengan bosnya. Hal itu menunjukkan suatu
pekerjaan yang bisa diatur oleh mereka bahwa bos adalah segalanya. Bos itu tidak pernah salah, bersih,
dan orang yang paling kuasa. Yang bersalah adalah anak buahnya atau jika bosnya salah otomatis yang
menjadi sasaran memang biasanya anak buahnya. Sepertinya kuasa hukum ini membangun anggapan
masyarakat kepada Chairudin yang tidak baik, sebaliknya mencoba membangun anggapan terhadap
Agusrin menjadi lebih baik, seperti pernyataan berikut.
Kuasa Hukum berpendapat yang melakukan kejahatan korupsi adalah anak buah Agusrin, Kadispenda
Bengkulu, Chairuddin yang sudah dihukum oleh PN Bengkulu. Dia menggunakan putusan Chairuddin
sebagai penguat bahwa Majelis Hakim tidak menyatakan Agusrin sebagai pelaku bersama-sama
Chairuddin dalam kejahatan itu. (nasional.inilah.com, 25 Januari 2011)
Dukungan dari masyarakat pun bergulir terhadap pembenaran kasus Agusrin. Tidak ketinggalan pakar
hukum dari Universitas Bengkulu ikut andil dalam kasus Agusrin. Sebagai orang yang mengerti hukum, dia
menyikapi tindakan ini sebagai respon positif terhadap permasalahan yang melanda Agusrin M.
Najamuddin. Kata sudah layak dari penyataannya mengimplikasikan bahwa hukuman yang akan diberikan
bagi Agusrin sudah setimpal dengan pebuatan yang telah dia lakukan terhadap rakyat. Sepertinya Juanda
di sini sangat memahami kondisi yang dikuasai dalam hal ini JPU agar lebih mengantispasi dalam
memperkuat data dan fakta setiap sanksi yang diberikan, seperti pernyataan berikut.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Bengkulu Prof Dr Juanda berharap hakim memutuskan perkara
kasus Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin M Najamudin secara objektif. Juanda di Bengkulu, Jumat,
menilai tuntutan 4,5 tahun kepada Agusrin dari jaksa penuntut umum (JPU) Sunarta pada sidang lanjutan
Selasa (19/4) lalu sudah layak. (suarakarya-online.com, 23 April 2011).
Kelayakkan Agusrin sebagai terdakwa tidak dapat menjadi jaminan karena ada pembelaan dari
pengacaranya bagaimanpun alasannya tetap mempertahankan kliennya agar tidak dihukum dan didenda.
Tuntutan dari JPU bukan tidak beralasan melainkan sesuai dengan fakta di lapangan, yaitu penjelasan dari
saksi-saksi dan pengakuan langsung dari Agusrin. Apalagi dalam kasus ini ada sesuatu yang dikaburkan,
seperti pada kutipan berikut.
“Tuntutan dari versi JPU sudah layak Agusrin dikenakan penjara 4,5 tahun dan subsider Rp 500 juta
namun pembelaan dari pengacaranya pasti berseberangan dan menyatakan kalau Agusrin tidak merugikan
keuangan negara dan minta bebas demi hukum,” katanya. Ia mengatakan hakim memutuskan setelah
mendengar tuntutan JPU dan pembelaan dari pengacara Agusrin. Ia menambahkan JPU hendaknya bisa
meyakinkan hakim hingga dapat menjerat terdakwa dengan tuntutan 4,5 tahun. (suarakarya-online.com,
23 April 2011).
Pernyataan …Jangan sampai pengacara lebih mampu…di sini mengimplikasikan bahwa JPU idealnya
mempunyai kekuatan secara hukum dan lebih kuat dalam menetapkan berbagai keputusan. JPU
sebenarnya lebih mempunyai kuasa dalam penegakkan hukum ini, tetapi segala sesuai tergantung kepada
keputusan hakim di persidangan. Dalam hal ini JPU harus menyiasati dan memberikan berbagai alternatif
untuk menjegal pihak penguasa, dalam hal ini Agusrin, agar tidak mencari jalan tengah atau
memanipulasi hakim terhadap kasus yang dia hadapi. Dukungan dari masyarakat yang merasa dirugikan
atas perilaku Agusrin sudah menuai titik temu walaupun keputusan itu belum tampak, seperti pada
pernyataan berikut.
“Jangan sampai pengacara lebih mampu dari JPU dalam meyakinkan hakim kalau Agusrin dianggap tidak
bersalah, meskipun versi tuntuan jaksa agar terdakwa dihukum 4,5 tahun sudah maksimal,” kata dia. Bagi
Prof Juanda, dalam memutuskan perkara bukan maksimal atau tidak tetapi pembuktian kebenarannya
sehingga dapat dirasakan oleh semua pihak. Juanda menambahkan, tafsirannya bukan tuntutan maksimal
atau tidak karena harus ada pembuktian yang benar dan dengan adanya pembelaan yang disampaikan
oleh pengacara tersebut. “Vonis bebas bisa saja diberikan hakim karena alasan yang akan dikemukakan
pengacara Agusrin tersebut jelas yaitu tidak adanya kerugian sebab sudah dikembalikan ke kas negara,”
katanya. (suarakarya-online.com, 23 April 2011).
Posisi hakim di sini memberikan kukuatan dan penentuan secara hukum terhadap kasus yang dialami
Agusrin. Hakim harus memberikan dan menemukan keputusan yang bijak dari bukti dan pengakuan baik
dari terdakwa maupun JPU. Namun sebaliknya, keraguan masyarakat terhadap kasus Agusrin terlihat dari
pernyataan hakim harus benar-benar bisa memutuskan bersalah dengan bukti-bukti yang berasal dari
keterangan saksi dihadirkan di persidangan sebelumnya mengimplikasikan bahwa pihak jurnalis/wartawan
menyangsikan terhadap tindak tanduk hakim di Indonesia, apalgi terdakwa sebagai orang nomor satu di
Provinsi Bengkulu dengan kekuasaannya, seperti pada pernyataan berikut..
Dengan demikian hakim harus benar-benar bisa memutuskan bersalah dengan bukti-bukti yang berasal
dari keterangan saksi dihadirkan di persidangan sebelumnya. Kalaupun nantinya ada pembelaan atau
banding yang diajukan pihak terdakwa, putusan pidana harus tetap ada, bisa saja nanti putusan akhir satu
tahun atau dua tahun atau satu bulan. Namun, dilihat bukan seberapa besar hukuman yang diputuskan,
tapi lebih kepada efek jera ditimbulkan dari putusan tersebut terbukti akan berdampak pada
psikologisnya. (suarakarya-online.com, 23 April 2011).
Kekhawatiran Juanda akan sikap dan kebijakan hakim terlihat dari pernyataan beliau bahwa hakim harus
objketif dan memiliki kekuatan hukum. Jika memang hukuman dijatuhkan kepada Agusrin, Agusrin akan
terlihat beban psikologis. Jabatan yang diidamkan selama dua periode ini harus berakhir di tahanan
sebagai tersangka hendaknya. Suatu keberhasilan yang luar biasa jika hal ini dapat disikapi dengan baik,
seperti pernyataan berikut.
“Dengan adanya kekuatan hukum tetap secara otomatis jabatan sebagai gubernur akan dicopot dan dari
situlah beban psikologis akan muncul,” kata Juanda. Keputusan itu harus bisa diikuti dengan objektivitas
hakim karena kalau benar bukti sudah cukup banyak, itulah seharusnya dijadikan acuan untuk
menjebloskan orang nomor satu di Bengkulu tersebut. “Hakim juga mengetahui kalau kasus ini sangat
besar untuk Provinsi Bengkulu sehingga pihaknya tidak bisa main-main dalam menanganinya,” kata
Juanda. (suarakarya-online.com, 23 April 2011).
Bagaimana suatu tindakan perlu disikapi dengan baik seperti yang dilakukan oleh pihak pengacara
Agusrin. Usaha untuk memenagkan perkara ini terlihat dari pernyataanya bahwa dakwaan terhadap
kliennya tidak memiliki dasar yang kuat. Kekuatan dan kekuasaan pihak Agusrin mempertanyakan alat
bukti dan petunjuk yang ditemukan oleh JPU dianggap lemah. Tarik-menarik perkara ini memperlihatkan
akan kekuasaan dan kekuatan masing-masing. Kalau JPU kekuatannya pada data dan bukti, tetapi semua
terkembali pada keputusan hakim. Sebaliknya, Agusrin sepertinya kekuatannya pada kekuasaannya
sebagai orang nomor satu di Provinsi Bengkulu seolah tidak melakukan kesalahan. Keyakinan secara
gambang dinyatakan Agusrin ini membuat kita bertanya-tanya sepertinya ada suatu permainan di balik ini
semua, seperti pernyataan berikut.
Kuasa hukum Gubernur Bengkulu nonaktif, Agusrin M Najamuddin, menyatakan dakwaan terhadap
kliennya tidak memiliki dasar yang kuat. Alat bukti terhadap Agusrin dianggap lemah. “Jaksa hanya
menyandarkan alat bukti pada alat bukti petunjuk. Menurut pendapat ahli pidana Wirjono Projodikoro, alat
bukti petunjuk merupakan alat bukti yang paling lemah,” ungkap kuasa hukum Agusrin, Martin
Pongrekun, dalam sidang pembacaan nota pembelaan atau pledoi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
Selasa (26/4). (mediaindonesia.com, 26 April 2011).
Keyakinan Agusrin terhadap kasusnya ini sebagai bentuk persaingan politik yang tidak sehat terhadap
dirinya. Di sini Agusrin menganggap dirinya sebagai orang yang teraniaya atau memerlukan bentuk
perhatian dari masyarakat sehingga pernyataannya sebagai kamuplase saja yang tidak beralasan, seperti
pada kasus ini janggal dan dijadikan alat untuk menjegal dirinya untuk kembali mencalonkan diri sebagai
gubernur Bengkulu. Pasalnya pemberitaan dirinya menjadi tersangka disebarluaskan dari rumah ke rumah
di Bengkulu. Lalu terlihat juga dari pernyataan Agusrin bahwa dia mengemukakan bahwa dia tidak pernah
diperiksa lalu tiba-tiba sudah dinyatakan sebagai tersangka, padahal kasus ini merupakan kasus
kelanjutan dari kasus dipendagate I atau yang disebut kasus dispendagate jilid II. Pernytaan tersebut
mencoba mencari simpati masyarakat dan ingin memggunakan kekuasaannya demi sebuah
keadilan,seperti pada pernyataan berikut.
Dalam pledoinya, Martin menegaskan menyatakan JPU tidak dapat membuktikan dakwaannya. Pasalnya
semua bukti yang dijadikan dalil oleh JPU hanya mengacu pada alat bukti petunjuk. “Ahli pidana juga
menyarankan untuk menghilangkan alat bukti petunjuk dihilangkan. Ini juga sesuai dengan pasal 188 ayat
(3) KUHAP yang menyatakan menghindari alat bukti petunjuk,” paparnya. Salah satu alat bukti petunjuk
yang lemah, lanjut Martin, terlihat pada hasil scaning tanda tangan kliennya yang terbukti palsu. Martin
menuding JPU telah memanipulasi fakta persidangan. “Jadi tidak ada surat yang asli yang ditandatangani.
Fakta ini tidak terbukti dalam persidangan. Jaksa memanipulir keterangan saksi Charudin (Kadispenda
Pemprov Bengkulu). Terutama tanda tangan Terdakwa atas penerbitan rekening baru,” tegasnya.
Sementara itu dalam pledoi pribadinya, Agusrin juga menyatakan kasus ini janggal dan dijadikan alat
untuk menjegal dirinya untuk kembali mencalonkan diri sebagai gubernur Bengkulu. Pasalnya
pemberitaan dirinya menjadi tersangka disebarluaskan dari rumah ke rumah di Bengkulu.
“saya tidak pernah diperiksa lalu tiba-tiba sudah dinyatakan sebagai tersangka. Yang penting saya
tersangka dulu, masalah terbukti atau tidak urusan belakangan. Ini hanya akal-akalan biar saya tidak bisa
mencalonkan diri,” tegasnya. (mediaindonesia.com, 26 April 2011).
Penyataan Agusrin sebagai orang yang terdakwa dengan gaya bicara yang diplomasinya merasa yakin
betul bahwa tidak bersalah. Pernyataan “Apa salah kami, sampai hari ini kami tidak tahu. Kalau korupsi,
apa yang kami korupsi. Kalau ada keuangan negara yang diambil, keuangan negara mana yang kami
ambil,” mengimplikasikan terdakwa seolah tidak tahu dan berdalih terhadap setiap temuan kasus yang
didapatkan oleh JPU. Bagaiman dengan scan-an tanda tangan, bagaimana dengan pembukaan rekening,
mengapa Cahirudin berani melakukan itu? Dari sana masyarakat sebenarnya dapat menilai setiap apa yang
dinyatakan kadangkala tidak berhubungan dengan kasus yang dia hadapai. Penrytaaan Agusrin ini
merupakan pernyataan masih memosisikan dirinya sebagai orang yang berkuasa di Provinsi Bengkulu
padahal dia tidak menyadari saat itu dia sebagai terdakwa yang perlu disikapi secara profesional dan
tenang dari kasus-kasus yang ditemukan, seperti pernyataan berikut ini.
Terdakwa kasus dugaan korupsi dana bagi hasil Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Gubernur Bengkulu, Agusrin M Najamuddin merasa dizalimi Kejaksaan
Agung (Kejagung). Menurutnya, sampai dengan ditetapkan sebagai tersangka dirinya tidak pernah
diperiksa oleh Kajaksaan Agung. “Apa salah kami, sampai hari ini kami tidak tahu. Kalau korupsi, apa yang
kami korupsi. Kalau ada keuangan negara yang diambil, keuangan negara mana yang kami ambil,” gugat
Agusrin dalam pembelaannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gajah Mada, Jakarta. (detikNews,
26 April 2011)
Pernyataan tidak ada kerugian negara oleh JPU menjadi bumerang bagi Agusrin. Tidak adanya kerugian
negara di sini setelah diketahui oleh KPK dalam artian seandainya tidak diketahui otomatis uang tersebut
tidak akan dikembalikan. Bagaimanapun mengambil tanpa sepengetahuan tetap harus diselesaikan secara
hukum. Walaupun uangnya sudah dikembalikan. Di sinilah kesan politik penguasa yang sangat tidak baik,
ketahuan bersalah mundur dari jabatan, ketahuan korupsi uangnya dikembalikan. Lalu bagaimana posisi
hukum saat ini di Indonesia? Hukum begitu juga kalau tahu siapa dan keperluan apa status dari segi
terdakwa menjadi ladang bagi mereka dalam mencari keuntungan. Di sinilah tampak hegemoni politik
yang mereka gunakan. Seperti pada pernyataan berikut ini.
Oleh karenanya, dia juga mengungkapkan terimakasih kepada Jaksa Penuntut Umum yang dalam
tuntutannya mengakui bahwa dalam kasus Dispendagate ini tidak ada kerugian negara.”Terimakasih
kepada Jaksa Penuntut Umum, karena Jaksa Penuntut Umum sudah mengakui tidak adanya kerugian
negara,” terang gubernur non aktif ini. (detikNews, 26 April 2011).
Agusrin dalam penjelasan terhadap kasusnya sepertinya menyadari bahwa pernyataannya selama ini
berbelit-belit. Menurutnya dia sudah menjelakannya dengan gamblang. Agusrin lebih memfokuskan pada
tidak adanya kerugian negara tanpa melihat mengapa dan bagaimana kerugian negara tidak mengalami
kerugian. Seolah-olah masalah seperti itu biasa baginya, padalal secara hukum perlu adanya penggalian
secara mendalam sebab dan akibat yang telah ditimbulkan dalam kasus tersebut. Pemakaian kami yang
digunakan Agusrin seoalah ada keberpihakkan dia dengan kelompoknya yang proterhadap kasus yang
beliau hadapi, kecuali konsep kami di sini tidak termasuk masyarakat yang kontra, JPU, dan Kejaksaan
sebagai lawan dalam kasusnya.
Sepertinya Agusrin sebagai penguasa sangat bijak dalam menyikapi kasus ini. Itu terbukti dengan ucapan
terima kasih dari beliau atas pengakuan JPU bahwa dalam kasus Agusrin ini tidak mengalami kerugian
negara. Pernyataan ini menjadikan jurus ampuh bagi Agusrin ketidakbersalahannya dalam kasus yang dia
hadapi. Kerugian negara seperti apa yang diinginkan oleh Agusrin di sini tidak begitu jelas. Bagaimana
kasus yang sebenarnya tentu Agusrin dan orang-orang yang terlibat di dalamnya yang lebih tahu
walaupun kata beliau dia pun telah menjelaskan secara gamblang setiap kasus di dalam sidang.
Bagaimana dengan perilakunya sebelum adanya kerugian negara tersebut? Memang suatu delima dalam
hal ini. Bagaimanapun suatu kesalahan tetap dianggap salah dan secara hukum itu ada sanksinya, seperti
pernyataan kutipan berikut.
Meski demikian, dirinya mengaku heran karena dengan tidak adanya kerugian negara tapi JPU masih
menuntut selama empat setengah tahun penjara.”Kami tidak tahu juga dengan fakta-fakta itu kenapa
kami dianggap, berbelit-belit dari mana dasarnya. Setiap persidangan kami menjelaskan dengan
gamblang,” tutur Agusrin di depan ketua majelis hakim Syarifuddin. (detikNews, 26 April 2011)
Keyakinan dan kekuatan Agusrin terhadap kasus yang dia alami menjadikan Agusrin menjadi sangat kuat
dan percaya bahwa dia benar-benar tidak bersalah. Dia sampai yakinnya melakukan perekaman terhadap
kasus yang dia alami dalam setiap sidang di kejaksaan. Pemakaian kata kami sebagai kelompok yang
berkuasa pada dirinya merasa kelompoknya benar-benar memang tidak bersalah secara hukum. Agusrin
sepertinya lebih asyik dengan substansi di luar sidang, di luar kasusnya, seperti perekaman. Perekaman ini
apakah memang khsus momen sidang saat itu saja atau semua sidang direkamnya. Itu artinya kalau
perekaman dilakukan hanya pada waktu sidang tertentu sepertinya ada sesuatu di balik perekaman itu,
seperti dalam pernyataan berikut.
Terkait dengan tuduhan dirinya terima uang, Agusrin membantah hal itu. “Bagaimana saya menerima,
tahu juga baru setelah kasus ini dibuka. Hal itu juga sudah dibantah sendiri oleh Chairudin, dan yang
katanya diberikan ke ajudan saya, itu juga sudah dibantah,” kisah Agusrin.
Di akhir pledoinya, Agusrin menyerahkan rekaman sidang dari awal sampai dengan akhir kepada majelis
hakim, agar majelis hakim memutuskan dengan seksama dengan berdasarkan pada fakta-fakta
dipersidangan bukan karena opini-opini yang berkembang.”Seluruh kesaksian dan semua fakta yang
diungkap dalam persidangan ini terekam dengan baik, untuk suatu hari nanti dapat dilihat anak cucu
kami, agar mereka dapat melihat dengan jelas di fakta persidangan bahwa, kami Agusrin M Najamuddin
tidak pernah melakukan korupsi seperti yang dituduhkan,” tutup Agusrin diujung persidangan.
(detikNews, 26 April 2011).
Kasus korupsi yang dialami Agusrin ini merupakan kelanjutan dari kasus yang telah dialami oleh Chairudin
atau yang disebut kasus Dispendagate Jilid I. Itu artinya masih ada hubungan dengan kasus sebelumnya
sehingga disebut dengan kasus Dispendagste Jilid II secara otomatis kasus saat ini mempunyai hubungan
terhadap kasus sebelumnya. Kesiapan JPU merasa yakin akan data dan saksi tanggapan JPU atas
pembelaan Agusrin, tetapi karena sidang belum dilaksanakan JPU belum bisa menjelaskan seperti apa isi
tanggapan JPU terhadap tanggapan pembelaan Agusrin, seperti kutipan pernyataan berikut.
Sidang kasus dugaan korupsi dispendagate jilid II dengan terdakwa Gubernur Bengkulu nonaktif, H
Agusrin M Najamudin ST ditunda oleh Majelis Hakim PN Jakarta Pusat hingga 10 Mei. Adapun agendanya
adalah pembacaan tanggapan tim JPU (Jaksa Penuntut Umum) atas pembelaan Agusrin. ”Kita sekarang
sedang mempersiapkan materi untuk penyampaian tanggapan JPU atas pledoi terdakwa,” ujar salah
seorang anggota Tim JPU, Yeni Puspita SH. Apa saja tanggapan JPU itu? Sejauh ini Yeni Puspita belum
bersedia membeberkan. “Yang jelas materinya sudah ada. Kini sedang kita susun bersama tim JPU
lainnya,” katanya. (bengkuluekspress.com, 3 Mei 2011).
Tersangka Agusrin dalam kasus ini sangat dilindungi oleh kuasa hukumnya. Ia sangat yakin Agusrin tidak
bersalah. Agusrin merupakan korban penzaliman secara hukum. Korban penzaliman secara hukum ini
mengimplikasikan bahwa ada seseorang atau kelompok yang ingin menjatuhkan Agusrin dengan
kekuasaannya selama ini. Apalagi selama dua periode ini ia berhasil memenangkan dalam setiap pilkada.
Tidak itu saja, ada orang yang mencoba mempermaikan hukum dalam kasus yang dihadapi Agusrin.
Alasannya masih pada tidak adanya kerugian negara karena kalau yang bersalah sudah ada Chairudin
yang sudah dihukum atas kasus tersebut. Itu pun, JPU bagi kuasa hukum Agusrin dianggap sudah
memanipulasi keterangan Chairudin, seperti pada pernyataan berikut ini.
Sebelumnya, dalam sidang pembelaan, kuasa hukum Agusrin, Marthen Pongrekun SH mengungkapkan
bahwa kliennya telah menjadi korban penzaliman secara hukum. Apalagi sampai ditetapkan sebagai
tersangka, Agusrin samasekali tidak pernah diperiksa oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). “Apa salah klien
kami. Sampai hari ini klein kami tidak tahu. Kalau korupsi, apa yang klein kami korupsi? Kalau ada
keuangan negara yang diambil, keuangan negara mana yang klien kami ambil?” gugat Marthen. Dikatakan
Marthen, JPU juga dinilai telah memanipulasi keterangan saksi, mantan Kadispenda Provinsi Drs
Chairuddin.”Tuntutan JPU tak memiliki dasar dan tak sesuai dengan fakta persidangan. JPU juga terkesan
memanipulasi keterangan saksi, Chairudin.”, katanya. (bengkuluekspress.com, 3 Mei 2011).
Kekuasaan terdakwa dalam hal ini Agusrin sangat yakin dengan kesaksian Chairudin bahwa tanda tangan
Agusrin diplasukan sehingga yang bersalah dalam hal ini jelas Cahirudin. Jadi, kata kuasa hukumnya tidak
memberi rasa keadilan jika Agusrin dituntut 4,5 tahun penjara dan 500 juta denda. Kuasa hukum
menyatakan tidak memberi rasa keadilan, itu artinya ada keadilan yang seprti yang diharapkan
daintaranya bebas atau tetap dihukum, tetapi dengan masa waktu tertentu atau lebih ringan. Konsep
keadilan sebagai orang yang berkasus atau konsep keadilan sebagai orang yang berkuasa yang ingin
ditawarkan oleh pengacaranya terhadap Agusrin. Sungguh ironis jika memang demikian, seperti
penggalan pernyataan berikut.
Dia menegaskan, tuntutan JPU, 4,5 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta tidak memberi rasa keadilan.
“Fakta dipersidangan, Chairudin pada persidangan sebelumnya mengaku tanda tangan terdakwa
dipalsukan. Tak ada surat yang asli ditandatangani terdakwa,” jelasnya. (bengkuluekspress.com, 3 Mei
2011).
Menerima uang secara langsung yang tidak dia lakukan atau menerima secara rekining yang tidak dia
lakukan, tetapi dalam hal ini dia membantah bahwa terdakwa tidak menerima uang apa-apa dari
Chairudin. Keluguan atau adanya usaha untuk menutupi setiap kasus yang dia lakukan bahwa Agusrin
tahu kasus yang dia hadaapi setelah sidang dibuka atau dari keterangan saksi-saksinya. Bagiamana
dengan pembukaan rekening? Apakah itu tidak menrima dalam bentuk uang? Seperti dalam penggalan
dialog berikut.
Terkait dengan tuduhan dirinya terima uang, Agusrin membantah hal itu. “Bagaimana saya menerima,
tahu juga baru setelah kasus ini dibuka. Hal itu juga sudah dibantah sendiri oleh Chairudin, dan yang
katanya diberikan ke ajudan saya, itu juga sudah dibantah,” kisah Agusrin. (bengkuluekspress.com, 3 Mei
2011).
Ketika Agusrin sebagai gubernur nonaktif Provinsi Bengkulu menjadi terdakwa, Sultan B. Najamudin
memberikan sikap terhadap kasus yang dihadapi kakanya. Sikap positif yang diberikan Sultan memberikan
kekuatan tersendiri bagi Agusrin. Dia yakin kakaknya sangat siap menghadapi setiap sidang yang
dilakukan dalam kasus Dispendagate II. Ketepatan waktu dalam sidang membuktikan bahwa Agusrin juga
proaktif dalam setiap sidang yang diadakan, seperti dalam penggalan kutipan berikut.
Anggota DPD RI Sultan B Najamudin yang juga merupakan adik kandung Gubernur Bengkulu non aktif H
Agusrin M Najamudin ST menegaskan kakaknya sangat siap menghadapi sidang Dispendagate II. Bahkan
kakaknya selalu datang tepat waktu. (bengkuluekspress.com, 10 Mei 2011)
Dalam sidang yang diselenggarakan, Agusrin terlihat rileks. Persoalan hukum sudah diserahkan dengan
kuasa hukumnya. Sultan sepertinya juga memahami kasus yang dialami oleh kakaknya. Hal itu terlihat
ketika Sultan meminta kepada orang-orang yang kontra terhadap Agusrin agar tidak memojokknnya
karena bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Hal-hal tidak diinginkan mengimplikasikan
dampak yang tidak baik jika Agusrin memenangkan dalam kasus ini. Secara otomatis orang-orang yang
berseberangan akan menjadi tekanan bagi pihak penguasa dalam ini masa pemerintahannya. Kata-kata
adiknya, Sultan, ini sepertinya juga sangat bijak dalam menghadapi kasus yang dialmai kakaknya.
Bagaimanapun secara kekluargaan adiknya secara otomatis akan membela kakaknya. Hal ini terlihat
bahwa keluarganya sudah tenang setiap mendengar isu-isu ynag tidak sedap yang ditujuan kepada
Agusrin ataupun keluarganya. Selain itu, dia dan keluarganya selalu berdoa untuk kebebasan Agusrin,
seperti dalam penggalan berikut ini.
“Agusrin tampak rileks dalam menghadapi persidangan. Apalagi seluruh persoalan hukum sudah
diserahkan kepada kuasa hukum,” ujar Sultan. Dikatakan Sultan, keluarga Najamuddin saat ini juga sudah
bisa tenang menghadapi isu-isu yang tak sedap. Hanya saja dia meminta juga pihak -pihak yang selama
ini berseberangan untuk tak terus memojokkan. Soalnya hal itu bisa memicu hal-hal yang tak
diinginkan.“Keluarga Alhamdulillah bisa tenang. Kita juga terus berdoa untuk Agusrin,” kata Sultan.
(bengkuluekspress.com, 10 Mei 2011).
Bukan saja pengacara, Agusrin, atau kelompok yang berpihak kepadanya, tetapi juga adiknya, Sultan,
sangat yakin dalam kasus Dispendagate ini Agusrin akan bebas murni. Kekuasaan akan sikap ini diperkuat
dari sikap kedelapan saksi yang tidak ada mengaitkan dengan kasus Dispendagate II. Hanya mantan
Kadispenda Provinsi Chaiuddin saja yang memojokkan, tetapi beliau mengakui menscan tandanganan
gubernur. Jika hal ini tidak ada intrik politik, Sultan yakin Agusrin akan bebas. Kata intrik
mengimplikasikan bahawa ada sesorang atau kelompok orang yang menginginkan jatuhnya Agusrin atau
menginginkan Agusrin agar tetap ditahan. Hal tersebut bisa dilakukan dalam bentuk kabar bohong yang
disebarkan agar dapat menjatuhkan lawan. Lawan di sini artinya Agusrin melawan JPU atau rakyat yang
pro terhadap kebenaran hukum. Seolah di sini apa yang diputuskan di kejaksaan oleh JPU tidak sesaui
dengan realita yang dialami kakaknya, seperti kutipan berikut ini.
Di sisi lain, Sultan yang terus mengikuti persidangan Agusrin menyakini jika sidang ini tanpa intrik, hakim
dan JPU objektif, dia optimis Agusrin akan bebas murni. Apalagi sudah 8 saksi yang diajukan, semuanya
tak pernah mengaitkan Gubernur dengan kasus Dispendagate II. Hanya mantan Kadispenda Provinsi
Chairuddin saja yang memojokkan. Tapi dalam persidangan, Chairuddin mengakui kalau menscan tanda
tangan Gubernur.
“Harapan kita sidang ini berlangsung fair dan objektif. Tanpa ada intrik politik. Soalnya saat ini nuansa
politis sangat kental tercium,” ujar Sultan. (bengkuluekspress.com, 10 Mei 2011).
Agusrin sebagai penguasa atau gubernur nonaktif walaupun sebagaai terdakwa masih tidak lupa terhadap
peran dan tanggung jawabnya terhadap roda pemerintahan. Himbauan terhadap pejabat pemrov agar
tetap fokus pada pekerjaan sehingga pemerintahan tetap berjalan dengan baik. Bukan itu saja, dia
menghimbau kepada pihak keluarga dan rakyat yang pro terhadap Agusrin agar tetap tenag. Hal ini
terlihat bahwa Agusrin walaupun sebagai terdakwa, tetapi tetap menggunakan wewenangnya sebagai
orang nomor satu di Provinsi Bengkulu, seperti kutipan berikut ini.
Sebelumnya Agusrin sendiri mengimbau pejabat Pemprov untuk tetap fokus dengan pekerjaan. Sehingga
roda pemerintahan tetap berjalan dengan baik. Selain itu, dia juga meminta keluarga Najamuddin dan
pendukung Agusrin untuk tetap tenang. Tak reaktif terhadap isu-isu yang tak sedap terkait proses
persidangan. (bengkuluekspress.com, 10 Mei 2011).
Kata konspirasi merupakan eufimisme dari kata komplotan atau persengkololan. Penghalusan kata
tersebut mengimplikasikan bahwa jika diketahui secara umum, pernyataan tersebut akan menimbulkan
ketidakwajaran. Namun, hal ini diharapkan hanya dapat dipahami oleh orang-orang tertentu atau
kelompok tertentu saja. Apalagi ada kata tingkat tingginya, menandakan hal itu terjadi pada orang-orang
yang andil dalam penentuan kebijakan, seperti petinggi, kejasaan, pengacara, atau orang-orang politik
saja. Sungguh berani dan dramatis jika memang hal itu benar-benar terjadi, seperti pada kata konspirasi
politik tingkat tinggi yang sengaja ingin menghancurkan karir politik Agusrin. Kekuatan dan kesigapan
Agusrin dan kelompoknya perlu disikapai dengan baik jika hal ini benar ataau hanya sebagai intervensi
publik dalam menarik simpati masyarakat, seperti kutipan pernyataan berikut.
Sementara itu, pihak keluarga dan pendukung Agusrin sendiri meyakini jika tak ada konspirasi politik
tingkat tinggi, mereka optimis Agusrin akan bebas. Soalnya Agusrin tak pernah menilep uang negara
dalam dalam kasus Dispendagate II. “Yang kita khawatirkan bukan persidangan. Tapi konspirasi politik
tingkat tinggi yang sengaja ingin menghancurkan karir politik Agusrin,” ungkap salah seorang anggota
keluarga Najamuddin tak mau disebutkan namanya. (bengkuluekspress.com, 10 Mei 2011)
JPU akan mengadakan kasasi jika Agusrin bebas, tetapi sebaliknya jika Agusrin terbukti melakukannya
atau dihukum maka kuasa hukum Agusrin akan mengajukan banding. Perseteruan di sini sangat kuat.
Semua berpihak pada pembenaran sehingga yang benarpun menjadi kabur.
Dia juga memastikan akan mengajukan banding jika nantinya Agusrin tidak divonis bebas. Begitupun jika
nantinya jaksa tidak puas dengan putusan hakim dan mengajukan banding. “Sudah pasti itu. Kami akan
mengajukan banding dan meminta vonis bebas pada hakim. Kalau jaksanya yang banding, kami juga siap
melayani. Kami siap membuat memori kasasi.”, tegas Marten Pongrekun, ketika dihubungi kemarin. (RB,
23 Mei 2011).
Pengggunaan bahasa bukan untuk menyatakan ide, pendapat dan pikirannya, tetapi juga untuk
menyembunyikan ide, pendpat, dan pikirannya. Dibalik itu semua terdapat kepentingan-kepentingan yang
harus diamankan, seperti pada pernyataan pihak keluarga dalam hal ini dilakukan oleh Sultan. Dia sangat
hati-hati dalam mengemukakan ide dan pikirannya terhadap kasus yang menimpa kakaknya. Sultan
mengemukakan pendapat yang sesuai dengan keputusan jaksa dalam persidangan. Tidak ada
penambahan argumen yang berusaha menggali kasus ysang menimpa kakanya mala bersifat penegasan
saja. Kesiapan dan kesabaran menjadikan dorongan yang kuat dalam mengentaskan kasus yang menimpa
kakaknya. Cara yang tepat dilakukan oleh pihak keluarga salam rangka mencari keamanan dan berusaha
netra setiap perkembangan kasus yang ada. Sabar dan berdoa dalam setiap menerima keputusan itulah
yang dapat dilakukannya, seperti pada penggalan pernytaan berikut.
“Sesuai dengan fakta hukum di persidangan, kami yakin sekali beliau (Agusrin) tidak bersalah sama sekali.
Apapun hasilnya nanti insya Allah keluarga siap,” tutur Sultan yang saat dihubungi tengah berada di Berlin,
Jerman untuk menghadiri pertemuan parlemen.“Bagi kami, kebenaran tetap kebenaran dan tidak akan
tertukar yang benar dengan yang salah. Keluarga yakin Allah akan menunjukkan kebenaran. Sampai
sekarang keluarga nggak tahu hakim akan memutuskan apa. Kami semua pasrah dan berdoa,” imbuhnya.
(RB, 23 Mei 2011).
Kehati-hatian JPU dalam rangka mencari titik aman dalam setiap kasus yang ditemukan menjadikan JPU
tidak bisa berbuat mendahului keputusan jaksa. JPU sangat percaya dengan keputusan jaksa. Hal ini
seolah-oloah JPU kurang percaya dengan temuan yang dilakukannya. Kebenaran JPU akalau tetap benar
memang harus diperjuangkan dengan jaksa bukan semua dikembalikan kepada jaksa. Seolah apa yang
ditemukan dan akan dilakukan menjadi kurang bernilai dimata JPU dan masyarakat. Berkoordinasi dengan
pimpinan mungkin itulah kata yang bijak untuk menetralkan keadaan. Kata berkoordinasi merupakan kata
penghalusan makna seolah setiap kasus tidak mempunyai kekuatan apa-apa kalau belum adanya
koordinasi dengan pimpinan. Hal itu mengimplikasikan bahwa setiap keputusan perlu ada persetujuan
dari orang yang berkuasa di antara yang kuasa. Hal ini sepertinya tidak bagi terdakwa ada sesuatu yang
disembunyikan, tetapi dari JPU adanya sesuatau yang tersebunyi dibalik setiap keputusan, seperti pada
penggalan pernyataan berikut.
“Belum mau berandai-andai. Tapi JPU diberi kesempatan mengajukan keberatan atas putusan hakim
melalui banding atau kasasi. Umumnya, jika suatu terdakwa divonis bersalah yang intinya menyatakan
dakwaan JPU terbukti dan dihukum jauh lebih rendah dari tuntutan, JPU bisa menyatakan banding.
Kemungkinan itu yang akan kami lakukan, banding dan ajukan kasasi dengan berkoordinasi dengan
pimpinan,” kata Yeni. (RB, 23 Mei 2011)
Kegigihan dan keyakinan JPU patut menjadi acungan jempol dengan mengungkap kasus demi kasus
Agusrin. JPU yakin betul bahwa Agusrin bersalah dan terbukti melakukan pelanggaran hukum.
Kemungkinan banding dan kasasi akan tetap dilakukan pihak JPU, tetapi di ujung pernyataannya
mengmpilkasikan JPU lebih menghargai putusan hakim daripada kebenaran fakta yang ada, seperti
pernyataan berikut ini.
‘’Kami sendiri optimis terdakwa (Agusrin) bersalah. Artinya dalam vonis hakimpun kami yakin terdakwa
dinyatakan bersalah. Silahkan saja terdakwa dan penasihat hukumnya berpendapat sebaliknya. Jika
vonisnya terbukti bersalah, tinggal lihat hukumannya. Jika menurut kami belum memenuhi rasa keadilan,
tentu saja kami akan banding. Begitu juga kalau dinyatakan bebas, kami akan kasasi sebagai upaya
hukum lebih tingi. Namun kami tetap menghargai apapun putusan hakim,’’ ujar Yeni kepada RB. (RB, 23
Mei 2011)
Terdakwa telah menyetujui dan menandatangani surat pemberitahuan pembukaan rekening untuk dana
bagi hasil PBB dan BHPT …Pernyataan itulah salah satu yang menjadi tumpuan JPU sehingga dia merasa
yakin bahwa Agusrin memang bersalah ditambah lagi keterangan-keterangan saksi di persidangan.
Keyakinan antaraa kelompok terdakwa dengan JPU menjadikan akan keprcayaan dan keyakinan
masyarakat pada kelompok tertentu. Sehingga masyarakat kadangkala mengalami kekeliruan,
ketidakmampuan, dan ketidak tepatan dalam menafsirkan bahasa politik yaang dihasilkan oleh kedua
kelompok ini, seperti pada penggalan paragraf berikut ini.
‘’Sebenarnya permasalahan menyatakan seseorang bersalah atau tidak memang sudah menjadi
kewenangan hakim dalam persidangan. Namun sebagai penuntut, menurut kami, terdakwa jelas terlibat
dan besalah dalam perkara ini. Tentunya kami tidak sembarang menuntut, semuanya didukung
keterangan saksi, bukti dan fakta di persidangan. Dimana, terdakwa telah menyetujui dan
menandatangani surat pemberitahuan pembukaan rekening untuk dana bagi hasil PBB dan BPHTB,’’
pungkas Yeni. (RB, 23 Mei 2011)
Kami tidak ingin berandai-andai….merupakan pernyataaan penggunaan bahasa berkonotasi netral dan
objektif. Pernyataan itu menjdai bijak dan sederhana dalam pemahaman masyarakat tanpa adanya
pernyataan tersebut sebenarnya masyarakat awam sudah bisa memahami kalau demikian jawabannya.
Dengan demikian, pernyataan itu akan kurang memengaruhi masyarakat dalam mencari dukungan, seperti
dalam pernyatan berikut ini.
‘’Ya, kita lihat saja apa isi dalam putusan hakim nanti. Kami juga tidak ingin berandai-andai. Lebih baik
kita bicara yang pasti-pasti saja. Jika sudah jelas apa isi putusan nanti, tentu kami bisa menyatakan apa
langkah yang akan kami tempuh selanjutnya,’’ demikian Yeni. (RB, 23 Mei 2011)
Pernyataan…akhirnya menjatuhkan vonis bebas murni merupakan akhir sebuah perjalanan panjang dalam
penyelesaian kasus Agusrin. Akhirnya Agusrin M. Najamuddin diputuskan bebas murni dai segala
tuntuannya tanggal 24 Mei 2011. Namun, perjuangan tidak sampai disitu saja JPU memastikan
mengajukan kasasi terhadap putusan hakim PN Jakarta seseuai dengan pernyataan JPU pada kasus-kasus
kemungkinan sebalumnya. Kemenangan di sini ada pada keputusan hakim belum pada JPU maupun pihak
terdakwa, seperti pada penggalan pernyataan berikut ini.
Tuntas sudah perjalanan panjang sidang Dispendagate Jilid II yang menyeret Gubernur Bengkulu (nonaktif)
H. Agusrin M Najamudin, ST sebagai terdakwa. Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dalam
sidang yang digelar Selasa (24/5) kemarin akhirnya menjatuhkan vonis bebas murni terhadap Agusrin.
Atas putusan ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) memastikan mengajukan kasasi. (RB, 25 Mei 2011)
Keputusan seperti di bawah inilah sepertinya yang ditunggu oleh JPU dalam setiap kasus yang ada.
Ketidakberdayaan JPU mejadikan JPU seharusnya lebih siap lagi dalam memperjuangan setiap bukti dan
keputusan yang ada. JPU harus lebih ekstra lagi mengambil keputusan dan kebijakan untuk kasasi karena
bagaimanpun terdakwa sudah dinyatakan tidak bersalah yang secara hukum sudah sah, seperti pada
pernyataan berikut.
“Mengadili, menyatakan, terdakwa Agusrin tidak terbukti secara sah dan tidak meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana korupsi. Membebaskan Agusrin dari dakwaan primer dan sekunder,” tegas Ketua
Majelis Hakim, Syarifudin saat membacakan putusannya. (RB, 25 Mei 2011)
Keyakinan JPU terhadap kasasi nantinya bahwa Agusrin tidak akan bebas murni seperi keputusan saat itu.
Pernyataan itu seolah mengimplikasikan sebagai obat penyegaran bagi masyarakat atau JPU sendiri karena
dari bukti yang ada dalam perjalanan sidang selama ini JPU tidak bisa berbuat banyak apalagi dalam
sidang-sidang selanjutnya. Hegemoni kekuasaan di sini terlihat bahwa yang berkuasa itulah yang
mempunyai hak mutlak dalam mengambil keputusan walau kadangkala di luar logika manusia, seperti
dalam pernyataan berikut ini.
“Kami menghormati putusan hakim. Tapi kami masih punya hak mengajukan upaya hukum kasasi. Kami
yakin Agusrin tidak bebas murni,” tukas Zuhandi. (RB, 25 Mei 2011)
Celah temuan yang membuat terdakwa bebas dari tahanan menjadikan kekuatan hukum yang
membebaskan terdakwa dari sega tuduhan. Terdakwa tidak terbukti penggunaan uang untuk kepentingan
pribadi dan begitu juga penggunaan uang untuk membeli travel. Selian itu, Agusrin tidak terbukti
menyalahgunakan wewenang sebagai gubernur, seperti dalam pernyataan berikut ini.
Sisanya senilai Rp 7,17 miliar yang dituding digunakan untuk kepentingan pribadi terdakwa tidak terbukti.
Begitu juga dengan penggunaan uang untuk membeli travel cek sebanyak 200 lembar senilai Rp 2 miliar.
Selain itu menurut Syarifuddin, Agusrin juga tidak terbukti menyalahgunakan wewenang sebagai
gubernur. Soalnya perbuatan Chairuddin murni inisiatif sendiri. Hal tersebut diakui Chairuddin saat
menjadi saksi dalam sidang Agusrin beberapa waktu lalu. (RB, 25 Mei 2011).
Kuasa hukum Agusrin merasa yakin dengan keputusan yang telah diambil dan diperjuangan selama ini.
Keputusan hakim sudah tepat yang tiak memberatkan Agusrin dipersidangan. Keyakinan kuasa hukum
Agusrin mampu akan mengajukan kontra memori kasasi jika hal itu dilakukan kasasi oleh JPU. Pergolakan
sengit hegemoni di sini terlihat pada posisi pembenaran. Posisi JPU berada pada posisi yang kuat secara
fakta, sedangkan kuasa hukum Agusrin kuat juga kuat secara fakta. Selain itu juga kuasa hukum Agusrin
juga kuat secara kekuasaan yang menentukan kebijakan. Hal inilah yang akan berpengaruh kuat terhadap
keputusan selanjutnya jika akan dilakukan kasasi oleh JPU, seperti pada penggalan pernyataan berikut ini.
Sementara itu, kuasa hukum Agusrin, Marten Pongrekun menyatakan putusan hakim sudah tepat.
Menurunya, tidak ada fakta yang memberatkan Agusrin di persidangan. “Putusan majelis hakim PN Jakpus
bukan putusan asal-asalan. Kami siap mengajukan kontra memori kasasi,” kata dia. (RB, 25 Mei 2011)
Kesiapan JPU melakukan kasasi menambah keyakinan yang memerlukan kekuatan dari segala elemen
masyarakat yang proterhadak pembenaran hukum. Kami digunakan oleh JPU mengmplikasikan kami pada
kelompok JPU yang berseberangan dengan kelompok Agusrin termasuk di sini kajati. Perjuangan
antarkelompok di sini terlihat penggunaan kami baik kelompok Agusrin maupun kelompok JPU
mengisyaratkan bahwa perjuanagn ini dua kelompok besar yang menjunjung pada konsep pembenaran
setiap kasus yang ada, seperti pernyataan berikut ini.
Sementara itu, menyikapi vonis bebas Agusrin, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yeni Puspita, SH, MH
menyatakan siap mengajukan kasasi. Namun tidak dilakukannya langsung usai vonis dibacakan.
Melainkan pikir-pikir dahulu dengan tenggat waktu 7 hari. ‘’Tentunya kami akan berkoordinasi dulu
dengan pimpinan (Kajati, red) untuk menentukan langkah selanjutnya. Walaupun secara hukum, kami
pasti kasasi,’’ ujar Yeni kepada RB. (RB, 25 Mei 2011) (RB, 25 Mei 2011)
Keengganan berkomentar dalam setiap keptusan yang ada sebagai jalan aman setiap permasalahan begitu
juga rasa hormat terhadap keputusan dalam setiap persidangan. Hal itulah yang sering dilakukan oleh
anggota JPU. Pernyataan ini diharapkan dapat menjangkau semua lapisan masyarakat. Bahasa tersebut
memberikan tempat yang strategis dalam bidang politik sebagai fungsi regulatif yang sangkat komplek,
seperti dalam pernyataan berikut ini.
Disentil terkait pertimbangan hakim yang meringankan Agusrin sehingga berani memvonis bebas, Yeni
enggan berkomentar panjang. Ia hanya menyatakan bahwa putusan ini belum memenuhi rasa keadilan.
Namun sebagai aparat hukum, ia sangat menghargai apa yang menjadi putusan majelis hakim. ‘’Kalau
pertimbangannya masalah kerugian negara sudah dikembalikan, menurut kami itu tidak menghapus
perbuatan melawan hukumnya,’’ pungkas Yeni. (RB, 25 Mei 2011)
Pernyataan yang kuat meyakinkan JPU bahawa Agusri memang bersalah ada pada adanya tanda tangan asli
Agusrin dalam pembukaan rekening baru untuk pengalihan dana bagi hasil. Hal ini sangat kontra dengan
pernyataan terdakwa yang baru tahu dan ketidaktahuannya seoalah menutupi fakta yang ada. Yang
menjadi pertanyaan jika hal itu benar, mengapa Agusrin tetap juga bebas. Sepertinya ada pembalikan
fakta dari kelompok Agusrin pada pernyataan semula adanya mafia hukum. Atau sebaliknya sebenarnya
siapa yang menjadi lakon dalam mafia hukum sebenarnya. Sungguh hukum yang luar biasa bagi tumpuan
semua orang dalam pembuktian pembenaran, seperti dalam pernyataan berikut.
‘’Justru dari keterangan saksi-saksi itulah terungkap ada tandatangan asli Agusrin dalam surat
pemberitahuan pembukaan rekening baru untuk pengalihan dana bagi hasil. Artinya Agusrin itu bukan
hanya sekadar tahu, melainkan menyetujui pengalihan itu,’’ pungkas Yeni. (RB, 25 Mei 2011)
Pernyataan kelompok JPU akan membentuk idelogi tertentu dalam pengentasan kasus yang ada. Higemoni
pun akan terlihat jelas bahwa kekuasaan ada pada Kejati dan Makamah Agung, padahal JPU harus
mempunyai kekuasaan dan kekuatan yang lebih terhadap setiap kasus yang ditemukan. Usaha dan upaya
JPU patut menjadikan jiwa penyemangat bagi masyarakat yang proterhadap pembenaran publik terhadap
kasasi nantinya, seperti dalam pernyataan berikut.
“Tujuan kami datang ke Kejati nanti tentunya mempertanyakan langsung mengapa Agusrin bisa bebas.
Dan yang paling penting meminta pihak JPU untuk melakukan kasasi ke Makamah Agung. Kami akan
giring terus hingga kasasi ke Makamah Agung,” tandas Sony. (RB, 25 Mei 2011)
Kelompok JPU sebenarnya merupakan kelompok yang kuat dengan masyarakat luas sebagai
pendukungnya. Berbeda dengan terdakwa yang hanya mengandalkan kuasa hukumnya. JPU mempunyai
peluang besar dalam kemenangan saat kasasi nantinya, tetapi sebaliknya seperti diutarakan di awal
dimungkinkan adanya mafia hukum, konspirasi hukum, dan penzaliman hukum. Masyarakat sebenarnya
bisa mencerna siapa yang bermain di balik semua ini. Anggota JPU yang merasa yakin memenangkan
dalam kasasi nantinya bukan saja Yeni Puspita, tetapi Sony juga sangat berharap vonis bersalah akan
berlaku pada Agusrin, seperti pernyataan berikut ini.
“Kami sangat berharap dalam putusan kasasi nanti memvonis Agusrin bersalah,” tandas Sony. (RB, 25 Mei
2011)
Berbagai reaksi masyarakat terhadap keputusan hakim atas bebasnya Agusrin. Menjadikan kasus ini makin
memanas. Adanya kelompok-kelompok yang mendukung Agusrin dan ada juga kelompok yang
proterhadap keputusan agar hukuman dijatuhkan kepada Agusrin (JPU). Berbagai bentuk rekasi
masyarakat baik mahasiswa maupun masyarakat umum, misalnya mahasiswa akan tetap berjuang akan
menggiring Agusrin sampai pada kasasi dan memvonis bersalah. Hegemoni dibentuk sebenarnya dari
masyarakat dan oleh masyarakat sendiri. Masyarakat seharusnya banyak belajar darai fenomena yang ada.
Apa yang ditentukan hari ini akan berdampak pada dikemudian hari. Masyarakat janganlah berpikiran
sesaat dan mementingkan kelompok tanpa memikirkan ke depan demi kemajuan dan kemaslahatan orang
banyak pimpinan yang ada atau kekuasaan yang ada saat ini merupakan cerminan dari masyarakatnya
secara umumnya.
Permasalahan semakin lebih kompleks ketika kasus Syarifudin sebagai jaksa tertangkap tangan oleh KPU
dalam kasus suap. KPK resmi menetapkan Syarifuddin sebagai tersangka Kamis (2/6), pukul 14.00 WIB
atau setelah 20 jam menjalani pemeriksaan. Hakim bertubuh gempal itu diringkus di rumahnya Rabu (1/6)
pukul 22.15 WIB. Dari rumahnya, penyidik menyita uang tunai Rp392 juta, 116.128 dolar Amerika, 245
ribu dollar Singapura, serta belasan ribu uang Kamboja dan Yen. Kasus itu akhirnya dihubung-hubungkan
dengan kasus bebasnya Agusrin dari tuduhan kasus korupsi oleh kejaksaan, Syarifudin. Kasus ini secara
kebetulan atau memang masih ada hubungan kasus yang dialami Agusrin dengan kasus suap oleh PT Sky
Camping Indonesia (PT SCI). Hal tersebut disinyalir sebagai uang persahabatan. Uang persahabatan atau
disebut juga uang sebagai ucapan terima kasih. Apapun namanya hal tersebut merupakan bentuk
penghalusan bahasa atau eufimisme kaum hegemoni dalam hal ini penyuap dan penerima suap untuk
mempertahankan dan memperlancar kasusnya. Kalau memang sebagai ucapan terima kasih, tidak
mungkin uang tersebut diberikan sebanyak itu atau hal yang sudah biasa dalam kasus di kejaksaan. Hal
yang tidak kalah pentingya sehubungan dengan kasus ini bahwa tim ICW telah menemukan kejanggalan
dalam kasus Agusrin. Terbukti atau tidaknya Agusrin, tetapi kejanggalan itu ada dua belas pokok
kejanggalan yang patut dipertanyakan.
C. S i m p u l a n
Bahasa politik merupakan kajian kritis yang sifatnya tekstual. Dalam masyarakat terdapat realitas-realitas
bahasa yang harus dihampiri secara kritis tidak dengan pendekatan struktural. Pendekatan ini tidak akan
cukup mampu mengungkap makna dibalik fenomena bahasa. Terlebih, pendekatan kritis mensyaratkan
terjadinya interdisipliner dalam melakukan kajian. Bagaimanapun untuk menggali ideologi yang tersimpan
dibalik simbol-simbol bahasa perlu dilakukan secara intens dan komprehensif. Berdasarkan uraian di atas
terdapat uraian makna-makna dalam dibandingkan simbol-simbol luar bahasa karena bahasa sudah
masuk pada wilayah-wilayah nonlinguistik. Bahasa tidak hanya sebagai bahasa, tetapi telah berubah
sesuai keberfungsian dan kebermaknaan pemakaiannya. Dalam bahasa politik, keberfungsian dan
kebermaknaan itu tampak secara terang. Bahasa menyimpan kepentingan-kepentingan di luar sebagai
simbol komunikasi manusia.
Hegemoni bahasa politik yang digunakan dalam penjelasan di atas lebih mengacu kepada pemakaian
bahasa oleh agen pemerintah dengan tidak mengabaikan agen partai politik dalam menggerakan
masyarakat banyak sehingga termuat ideologi dan kekuasaan untuk mencapai maskud-maksud atau
tujuan politik tertentu terhadap kasus yang dialami Agsurin M. Najamuddin. Bentuk hegemoni bahasa
politik yang digunakan, yaitu, efimisme, sarat makna ideologis, dan propaganda. JPU sebagai kelompok
yang dikuasai lebih netral dan objektif dalam mengambil keputusan terhadap bahasa yang digunakan.
Daftar Pustaka
Adiputri, Novi Christiastuti. 2010. “Kejaksaan Segera Limpahkan Berkas Korupsi Gubernur Bengkulu ke
Pengadilan” http://www.detiknews.com/read/2010/12/02/203949/1508001/10/kejaksaan-segera-
limpahkan-berkas-korupsi-gubernur-bengkulu-ke-pengadilan. Bandung, 15 Mei 2011.
Alwasilah, A. Chaedar. 1994. “Bahasa dan Kemerdekaan”. Artikel Kompas, 29 Agustus 1994.
Andriani, Santi. 2011. ”Lagi, Orang Agusrin Bakal Disingkirkan”
http://nasional.inilah.com/read/detail/1176132/gayus-disebut-sebut-di-sidang-agusrin. Bandung, 15
Mei 2011
Antaranews.com.2010. ”Agusrin Disidangkan 10 Januari 2011”.
http://www.antaranews.com/berita/1293527363/agusrin-disidangkan-10-januari-2011. Bandung, 15
Mei 2011.
_________. 2010. ”Mendagri: Agusrin Nonaktif Jika Jadi Terdakwa”.
http://www.antaranews.com/berita/1291035932/mendagri-agusrin-nonaktif-jika-jadi-terdakwa.
Bandung, 15 Mei 2011.
Anwar, Rosihan. 1991. Bahasa Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Beard, A. 2000. The Language of Politic. London:Routedge.
Bengkuluekspress. 2011. “Sakit, Majelis Hakim Stop Sidang Agusrin”. http://bengkuluekspress.com/?
p=1492. Bandung, 15 Mei 2011.
_________ . 2011. “3 Saksi Beberkan Pencairan Uang di Bank” http://bengkuluekspress.com/?p=2645.
Bandung, 15 Mei 2011.
_________. 2011. ”Sultan: Sidang Tanpa Intrik, Agusrin Bebas”. http://bengkuluekspress.com/?p=1023.
Bandung, 15 Mei 2011.
¬¬¬¬¬¬¬¬¬_________. 2011. ”Sidang Agusrin 10 Mei, Tim JPU Siapkan Sanggahan”.
http://bengkuluekspress.com/?p=5763. Bandung, 15 Mei 2011.
_________.com. 2011. ” KY Segera Periksa Hakim Syarifuddin”.http://bengkuluekspress.com/?p=7190.
Bandung, 7 Juni 2011.
Beritasatu.com. 2011. ”Muspani takut Demokrat intervensi kasus Agusrin”.
http://www.beritasatu.com/articles/read/2011/1/2215/muspani-takut-demokrat-intervensi-kasus-
agusrin. Bandung, 15 Mei 2011.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik, Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung:Yrama Widya.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
Fathoni, Riza. 2011. “Agusrin Tetap Ditahan”. Kompas, 20 April 2011.
Gresnews.com. 2011. ”Gubernur Bengkulu Agusrin: Kami Tak Korupsi, Kami Merasa Dizalimi”.
http://gresnews.com/ch/TopStories/cl/Dana-Bagi-Hasil/id/2064247/read/1/Gubernur-Bengkulu-
Agusrin-Kami-Tak-Korupsi-Kami-Merasa-Dizalimi. Bandung, 15 Mei 2011.
Hadi, Parni. 1997. “Bahasa Koran yang Direndahkan”. Republika, 16 Maret 1997.
Harianpelita. Com. 2011. “Sidang Agusrin Najamuddin Mulai 10 Januari”.
http://www.harianpelita.com/read/12905/1/politik-&-keamanan/sidang-agusrin-najamuddin-mulai-10-
januari/. Bandung, 15 Mei 2011.
Heriyanto, Ariel. 1996. “Bahasa dan Kuasa: Tatapan Posmodernisme” dalam Bahasa dan Kekuasaan (Latif
dan Ibrahim, ed.) Bandung: Mizan.
Hooker, Virginia Matheson. 1996. “Bahasa dan Pergeseran Kekuasaan di Indonesia: Sorotan Terhadap
Pembakuan Bahasa Orde Baru” dalam Bahasa dan Kekuasaan, Politik Wacana di Panggung Orde Baru (Latif
dan Ibrahim, ed.). Bandung: Mizan.
Jurnas.com. 2010. ”Kejagung Diminta Limpahkan Kasus Agusrin ke Pengadilan
Jakarta”.http://www.jurnas.com/news/13671/Kejagung_Diminta_Limpahkan_Kasus_Agusrin_ke_Pengadila
n/233/Nasional. Bandung, 15 Mei 2011.
Kleden, Ignas. 1978. “Eufimisme Bahasa, Konsensus Sosial, dan Kreativitas Kata”. Prisma, Desember 1978
hlm. 67-72.
Kress, Gunther. 1984. “Linguistic and Ideological Transformations in News Reporting” dalam Language,
Image, Media ( Davis & Walton, ed.). England: Basil Blackwell Publisher Limited.
Lewuk, Peter. 1995. Kritik Filosofis Atas Pembangunan, Beberapa Serpihan Pemikiran. Jakarta: Posko‘66.
Mediaindonesia.com. 2011. “Alat Bukti Agusrin Dianggap Lemah”.
http://m.mediaindonesia.com/index.php/read/2011/04/26/221097/284/1/
_Alat_Bukti_Agusrin_Dianggap_Lemah. Bandung, 15 Mei 2011.
_________. 2011. “Agusrin Diduga Palsukan Rekening Pemprov
Bengkulu”.http://m.mediaindonesia.com/index.php/read/2011/04/19/219383/284/1/
_Agusrin_Diduga_Palsukan_Rekening_Pemprov_Bengkulu. Bandung, 15 Mei 2011.
Metronews. 2010. “Demokrat Tidak Campuri Kasus Gubernur Agusrin”.
http://www.metrotvnews.com/metromain/newscat/hukum/2010/12/17/37089/Demokrat-Tidak-
Campuri-Kasus-Gubernur-Agusrin. Bandung, 15 Mei 2011.
Muhamad, Gunawan. 1991.”Bahasa Jurnalistik Indonesia” dalam Pengetahuan Dasar Jurnalistik (Wibisono,
ed.) Jakarta: Media Sejahtera.
Mulyana, Deddy. 1999. Nuansa-Nuansa Komunikasi, Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi
Masyarakat Kontemporer. Bandung: Rosdakarya.
Nurudin. 2001. Komunikasi Propaganda. Bandung: Rosdakarya.
Politikindonesia.com. 2011. “Gubernur Bengkulu Dituntut 4,5 Tahun Penjara”.
http://www.politikindonesia.com/index.php?k=hukum&i=21093-
Gubernur+Bengkulu+Dituntut+4%2C5+Tahun+Penjara. Bandung, 15 Mei 2011.
________ . 2011. “Eksepsi Agusrin Ditolak, Sidang Berlanjut” http://www.politikindonesia.com/index.php?
k=hukum&i=17917. Bandung, 15 Mei 2011.
Rakhmat, Jalaluddin. 1999. Rekayasa Sosial, Reformasi atau Revolusi?. Bandung: Rosdakarya.
Rakyat Bengkulu. 2011. “Agusrin Bebas” http://harianrakyatbengkulu.com/?p=3138. Bandung, 25 Mei
2011.
_________. 2011. “2 Zikir, Doakan Bebas dan Vonis Penjara” http://harianrakyatbengkulu.com/?p=3130.
Bandung, 24 Mei 2011
_________. 2011. ”Jelang Vonis Gubernur Nonaktif JPU Berdebar, Agusrin Lebih Religius“
http://harianrakyatbengkulu.com/?p=3116. Bandung 23 Mei 2011.
_________. 2011. ”Jelang Vonis Agusrin Tolak Pleidoi, JPU Bertahan Tuntutan 4,5 Tahun“
http://harianrakyatbengkulu.com/?p=2868. Bandung, 11 Mei 2011.
_________. 2011. ”Jelang Vonis Agusrin Vonis Bebas, JPU Pastikan Kasasi”.
http://harianrakyatbengkulu.com/?p=2857. Bandung, 9 Mei 2011.
_________. 2011. ”Sidang Agusrin, Jaksa dan Hakim Ribut”. http://harianrakyatbengkulu.com/?p=1114.
Bandung, 15 Mei 2011.
_________. 2011. “Dikonfrontir, Mantan Sopir Chairuddin Kembali ke BAP”
http://harianrakyatbengkulu.com/?p=925. Bandung, 15 Mei 2011.
_________. 2011. “Duit Penyertaan Modal Atas Perintah Agusrin”. http://harianrakyatbengkulu.com/?
p=1747. Bandung, 15 Mei 2011.
_________. 2011. ”Agusrin Merasa Dizalimi“. http://harianrakyatbengkulu.com/?p=3323. Bandung, 7 Juni
2011.
_________. 2011. ” Nasib Agusrin di Tangan MA “. http://harianrakyatbengkulu.com/?p=3323. Bandung, 7
Juni 2011.
Rakyatmerdeka.co.id. 2010. ”Perintah Jaksa Agung Dicuekin Anak Buahnya”.
http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2010/07/24/99291/Berkas-Kasus-Bengkulu-Belum-Diterima-
PN-Jakpus. Bandung, 15 Mei 2011.
Rimanews.com. 2010.”Agusrin M Najamudin Gubernur Bengkulu Disidang Setelah Dilantik”
http://rimanews.com/read/20101105/4999/agusrin-m-najamudin-gubernur-bengkulu-disidang-
setelah-dilantik. Bandung, 15 Mei 2011.
Santoso, Anang. 2003. Bahasa Politik Pascaorde Baru. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Strabhar, Joseph dan Robert La Rose. 1996. Communication Media in the Information Society. New York:
Wadsworth Publishing Company and International Publishing Company.
Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop, Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies.
Yogyakarta: Qalam.
Suarapembaruan.com. 2010. “Berkas Agusrin Dilimpahkan ke Pengadilan”
http://www.suarapembaruan.com/home/berkas-agusrin-dilimpahkan-ke-pengadilan/1882. Bandung, 15
Januari 2011.
Sumadiria, Haris. 2008. Bahasa Jurnalistik: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis. Bandung: Remaja
Rosdakarya Offset.
Syamsuddin A.R. 1992. Studi Wacana: Teori-Analisis-Pengajaran. Bandung: Mimbar Pendidikan dan Seni
IKIP.
Syurkani, Panca. 2010. “SBY: Saya Tidak Bisa Menolong Pejabat Korup”. Tempo, 1 Desember 2010.
Vivanews.com. 2011. ”Terdakwa Korupsi Gubernur Bengkulu Dinonaktif Agusrin kini terancam dibui
selama seumur hidup dan denda maksimal Rp1 miliar”.
http://nasional.vivanews.com/news/read/199089-terdakwa-korupsi-gubernur-bengkulu-dinonaktif.
Bandung, 15 Januari 2011.
Webb, Graham. 1996. “Becoming Critical of Action Research for Development” dalam New Directions in
Action Research (Skirritt, ed.). London: The Falmer Press.
Wriston, Walter B. 1996. The Twilight of Sovereignty. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Posted in Uncategorized | No Comments »

Feb
17

Puisi-puisi Dank-Aron
Daun itu patah
Bandung, 26 November 2010
Kala Paris Van Java kulewat
Ku putar gaya hidup dan citra didik
Begulir satu rupiah sisi dua
Kumasuki pintu itu
Walau banyak pintu kutemui
Tak tampak kemegahan dan kesucian pintuNya
Aku pun larut dalam lorong-lorong pintu
Memang kejam, tetapi semua cepat dan mudah
Dalam ekstraservis keterlalaian
Jalanku jatuh di sebuah persimpangan
Gemerlap hawa sejuk menerpa wajahku
Aku pun dapat
Semua serba murah dan mudah
Imam Asy Syafii hadang aku
Sibukkan aku dalam kebenaran
Bukan kebatilan
Kini…
Berharap pencerahan dalam tugas mulia
Walau larut kan tiba
Separuh Jiwaku Papa
Bandung, 3 Oktober 2010
Seandainya kau di sini
Kita bisa bercerita dan bermain bersama
Seaindainya kau di sini
Akan kutemani dalam ajaran kasih
Seaindainya kau di sini
Tak kan ku buang waktu dalam sekejap
Seandainya…
Engaku pun di sini
Layu bagai papa menatapku sedih
Harap dekapan hangat sesejuk kalbu
Sentuhkan kasih bersama dalam buaian damai
Berharap ada jalinan mutiara indah bergayut
Seandainya separuh jiwaku pergi
Ia kan bertemu dibalik gumpalan awan
Bermain dalam lompatan gelombang awan sore itu
Cerah disentuh hangat sinar mentari
Berpindah satu tujuan
Kasih sayang tak kan ku bagi paruh jiwaku
Bersama kasih untukmu
Mobil Biru
Oleh Dank Aron
Ketika aku datang
Masih ada sebatang pohon rindang
Bergugur kala ku tiba
Ranting menepis setiap daku menatap
Bungapun sinis tuk aku kembali
Pupus sudah harapan tuk mengepakkan sayap
Meniti jalan janji bersama
Ku terjaga dan menjaga
Akan kata dan nada yang tak tentu arah
Lambaian pun terhenti di celah kaca peraduan
Yang tinggal aku dan dia
Masih kah ingat selalu kala
Puput menghilang di persimpangan
Jantungku berhenti pana akan suasana itu
Rantingpun berdetak
Tinggalkah aku dalam damai
Bersama impian terbang
Lagi …
Bumi Raflesia, 2 Juni 2008
Permata Hatiku
Bandung, 27 Agustus 2010
Dosakah ayah,
Bila setiap pagi dikau tak ku sapa
Kala mentari memberikan sebuah harapan
Menerangai butiran kasih dalam dekapan mesra
Beranjak ku belai dalam hantaran cita nan asa
Tuang kasih hatiku dalam dekapan bunda
Ayah berdosa,
Bila tak mengenag getaran hatimu dan hatinya
Tebaran tasbih dalam senyuman keceriaan
Langkakan gontai menatapmu begitu kuat
Dalam hari disambut hasrat bersama
Rangkulan dekapan hati kita bercerita
Dalam hitungan kian semesta
Ayah,
Kau sapa kan beranjak dewasa
Air mata kan bahagia bila selalu bersama
Menggerakkan dalam getaran yang tergerak
Lompatan demi lompatan pacuan ilahi
Semakin mantap dan gagah
Dalam ketiadaan
Ya…ayah selalu digetarkan dalam hati permataku
Ikhlaskan…
Belahan Hati
Bandung, 20 Agustus 2010
Kala sepenggal hati ku bawa
Kala itu getaran jiwa menjadi ada
Butiran kasih pun menjadi nyata
Seiring dalam senyuman aku dan dia
Kedamaian dalam rengkuhan rindu berpadu
Kita tata dan sulam jalinan benang cinta
Kala pancaran itu kian nyata
Aku pun menuju persimpangan lurus maju
Butiran kristal pun mengalir jatuh di sudut matmu
Aku pun lewat dengan senyum getirmu
Dekaplah jiwaku kan ku dekap erat kasih tulusmu
Genggamlah hatiku kan ku getarkan dalam setiap nafasmu
Jangan abaikan itu…
Aku memang jauh, tapi tak sejauh kasihku
Aku memang sedih, tapi tak sesedih rasaku
Tarian jiwaku bersama dalam setiap getaran hati-hatiku
Bangun dan rasakan selalu walau kala itu
Engakalau belahan hatiku yang takkan terbelah
Pagi yang Mendung
Bandung, 21 Agustus 2010
Awan itu lewat saat ku tatap
Ia kuintip di balik kaca seakan mau jatuh diperigian rumah
Putih kecoklatan warnamu
Seakan enggan kusapa saat itu
Engkaupun lalu saat pecahkan warnamu
Aku tak pernah meminta hangatkan jiwaku
Aku pun tak meminta akan bersihkan ragaku
Aku hanya bisa memberi apa yang kubisa
Merasa dan dirasa apa yang kumiliki
Padahal tak pernah…
Aku pun tak bisa menyapa lagi
Saat kaupun tiba menjadi bagian diriku
Lalu diantara jeruji jari-jariMu
Akankah aku pun lewat bersamaMu
Dalam angan dan asa merangkai gelombang awan keputihan
Peminta DT
Bandung, 22 Agustus 2010
Hati ini terenyuh menatap seakan dia tatap
Sebongkah recehan dan sebuntal gendongan
Dia kadahkan setiap yang lewat
Tak satupun digugah
Rautmu sama tak seirama hatinya
Lewat bisu dan pecah
Aku ingin tapi keihklasan hatinya tak kutemui
Bersimbah air mata tersimbah untukmu peminta
Adakah kau dengar saat ia berkata
Kuatkan jiwa dalam dekapan cinta
”hanya memberi tak harap kembali”
Engkau masih juga di situ
Andai engkau duduk di sini
Bersama kita rajutkan tasbih ilahi
Di antara kata butiran cinta
Kan kuberi semua kasih dalam lindungan
Sirami dia dengan air mata cinta
Engkau masih juga berdiri di situ
Berputar-putar ke sana ke mari
Di mana ada kasih akan memberi
Tak jua kau dapatkan
Andai kau di sini
Kan ku kasihi seperti apa yang pernah engkau mengasihiku
Kini…masih di situ. Kan ku tunggu.
Aku Ada karena Kau Ada
Bumi Raflesia, 2 Juni 2008
Percintaan itu terjadi tadi malam
Menggetarkan jiwa
Menyatukan raga
Melebur lebih kencang
Aku ada karena kau ada
Getaran itu terasa
Darahpun mengalir seirmama jantungku dan dirimu
Posted in Uncategorized | No Comments »

Feb
17

PENERAPAN MODEL KAJIAN SINTAKSIS WARRINER PADA BENTUK REDUNAN DAN SALINAN

BAHASA BAWAAN: STUDI KASUS BAHASA BIMA DAN BAHASA INDONESIA Oleh Arono
Penerapan Model Kajian Sintaksis Warriners pada Bentuk Redunan dan Salinan Bahasa Bawaan: Studi Kasus
Bahasa Bima dan Bahasa Indonesia
Oleh Arono
Abstrak: Model kajian sintaksis Warriners, terutama bagi bahasa yang bersifat redunan dan salinan
bawaan pada bahasa Bima dan bahasa Indonesia dalam penganalisisannya tidak mengabaikan aliran
struktur baik dasar maupun pendukung. Adapun hasil analisisnya bahwa model Warriner dalam sintaksis
bahasa Indonesia adalah (1) satu model pilihan, terutama bagi cara menggambarkan kaitan kalimat inti
dan perluasan secara bertahap, (2) Pembawaan redunan pada suatu bahasa berpengaruh pada seluruh
tataran pembahasan, termasuk analisis tataran sintaksisnya, (3) Sekalipun pada dasarnya model Warriner
dapat diterapkan pada analisis sintaksis BB, namun diperlukan pula beberapa modifikasi, terutama yang
berhubungan dengan penyebutan ulang (copy) terhadap unsur pokok dalam kalimat BB, (4) Dalam
beberapa hal, subjek BB cenderung ditempatkan pada akhir kalimat. Redunan unsur pokok, terutma S dan
O agaknya sulit ditiadakan mengingat unsur redunan itu dapat menggantikan S atau O itu sendiri, dan (5)
Paling tidak, ada kemungkinan penerapan model Warriner pada BB, yaitu mengumpulkan unsur utama dan
copy-nya pada sebuah kotak, misalnya pada kotak S dan kedua dengan cara penyebaran copy iti pada
posisi tempat ia menempel dengan tanda-tanda khusus.
I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Aliran struktural sangat terpengaruh pada bidang linguistik. Aliran linguistik disebut juga sebagai aliran
linguistik modern dengan beberapa ciri, yaitu pada tingkat bunyi bahasa mempersoalkan perbedaan bunyi
bahasa, pada tingkat kata memperkenalkan istilah dan pengertian morfem yang berbeda dengan
pengertian kata, pada tingkat kalimat membicarakan tidak didasarkan pada tinjauan filsafat, tetapi
didasarkan pada tinjauan atas struktur dari sebuah kalimat, bahasa yang diselidiki adalah bahasa yang
hidup, semua bahasa baik dan bermanfaat bagi penuturnya, mengabaikan nilai-nilai semantik dalam
sebuah kalimat, dan perhatian kurang pada bidang perbandingan bahasa.
Bahasa Bima (BB) memiliki ciri spesifik antara lain sistem pengulangan unsur-unsur gramatis tertentu yang
secara fisik mirip dengan ciri redunan. Di samping penunjukkan kembali unsur tersebut melalui
penggunaan pronominal maupun bentuk ungkapan lain dalam beberapa hal terdapat pada bahasa
Indonesia (BI) juga walaupun tidak sama persis.
Pengulangan dan tunjuk ulang itu wajib ada pada BB agar kesatuan makna gramatis dan rasa berbahasa
terwujud. Dengan perkataan lain hal itu merupakan salinan wajib bawaan (onligate copy) pada BB. Hal ini
masih perlu ditinjau pada BI.
Dikaitkan dengan analisis kalimat, gejala yang ada pada BB ini cukup menarik bukan hanya karena
bertentangan dengan kaidah redunan yang sebaiknya dihilangkan. Karena itu, terdapat kesulitan
menemukan teori analisis yang tepat untuk diterapkan pada BB maupun BI, sedangkan dalam BI agaknya
tidak setegas pada BB.
Dalam hubungan dengan sifat bawaan BB ini teori analisis yang dicobakan adalah yang dikemukakan oleh
Warriner dkk. yang masih bersifat struktural, namun memiliki kekhususan. Teori ini memandang kalimat
seolah-olah sebuah garis lurus yang disekat menurut unsur-unsur utamanya dan memandang sisi sebelah
atas garis itu sebagai tempat unsur gramatikal utama, sedangkan sisi bawah untuk unsur-unsur
tambahan.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam makalah ini dapat diidentifikasi model kajian sintaksis
Warriners, terutama bagi bahasa yang bersifat redunan dan salinan bawaan pada bahasa Bima dan bahasa
Indonesia dengan tidak mengabaikan aliran struktur baik dasar maupun pendukung.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, penulisan makalah ini dapat dirumuskan,
yaitu bagaimana penerapan model kajian sintaksis Warriners pada bentuk redunan dan salinan bahasa
Bawaan ditinjau berdasarkan studi kasus bahasa Bima dan bahasa Indonesia?
D. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulisan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan penerapan
model kajian sintaksis Warriners pada bentuk redunan dan salinan bahasa bawaan ditinjau berdasarkan
studi kasus bahasa Bima dan bahasa Indonesia.
II. Pembahasan
A. Aliran Struktur
Perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa teori struktural itu cukup penting dan lengkap sebagai
usaha memahami struktur bahasa, termasuk sintaksis. O’Grady dan Dobrovolsky melengkapi beberapa ciri
kajian ini, namun kemudian terjadi perkembangan yang beraneka, terutama ditinjau dari sudut pandang
yang kurang sependapat bahwa struktur bahasa termasuk sintaksis tidak dikaitkan dengan semantik,
penentuan ciri lain seperti peran, fungsi, kategori dan beberapa sudut pandang dari disiplin ilmu lain
seperti pola pikirmatematis, nalar, rasional, dan komputerisasi ilmu bahasa.
Aliran struktur sangat terpengaruh pada bidang linguistik, malahan disebut juga aliran Linguistik Modern
dengan beberapa ciri: (1) Pada tingkat bunyi bahasa aliran ini mempersoalkan perbedaan bunyi bahasa
ada yang tidak berpengaruh bagi penentuan arti suatu kata. Yang pertama, dimasukkan ke dalam
kelompok fonetik, termasuk juga varian-varian bunyi dari fonem. Sedangkan yang kedua, dinamakan
kelompok fonem. Dengan demikian, maka muncullah untuk pertama kalinya istilah dan pengertian fonem
yang berbeda dengan varian-variannya. Kedua hal itu tidak pernah dipersoalkan oleh aliran
Neongramarian maupun yang sebelumnya. (2) Pada tingkat kata, aliran ini memperkenalkan istilah dan
pngertian morfem yang berbeda dengan pengertian kata. Bagi aliran ini kata merupakan salah satu bentuk
morfem. Pada masa sebelumnya, unsur bahasa di atas bunyi adalah kata saja. (3) Pada tingkat kalimat,
pembicaraannya tidak lagi didasarkan pada tujuan atas struktur dari sebuah kalimat. Jadi, tidak lagi
disinggung maslah subjek, predikat, dan keterangan. Kalimat atau sentence disingkat S dibentuk oleh dua
unsur utama yaitu frasa nomina atau noun phrase disingkat NP dan frasa verbal atau verbal phrase
disingkat VP. Dari kedua struktur itu dipecah sampai pada unsur sekecil-kecilnya, terutama pada level
kata sehingga gambaran kalimat dapat dianalisis secara singkat dengan skema S=kalimat, NP=noun
phrase, dan VP= verbal phrase. VP V=NP (VP dipecah menjadi V dan NP), NP Adjective + Noun (NP dipecah
menjadi Adjiktif dan Noun), V Adverb. + Verb (Verba dipecah menjadi Adverb dan Verba).
Contoh kalimat Mad dogs savagely bite innocent strangers, dapat dianalisis sebagai berikut.
S
NP VP
Adj N Adv V
NP
Adj N
Mad dogs savagely bite innocent strangers
(4) Bahasa yang diselidiki adalah bahasa yang hidup atau bahasa yang sedang digunkan oleh masyarakat
penuturnya, berbeda dengan masa sebelumnya yang meneliti bahasa naskah (bahasa mati). (5) Aliran ini
mengakui bahwa semua bahasa baik dan bermanfaat bagi para penuturnya. Pada masa sebelumnya
bahasa yang baik hanya bahasa Latin dan Romawi, atau keturunannya. (6) Aliran struktural cenderung
mengabaikan nilai-nilai semantic di dalam sebuah kalimat. (7) Perhatian pendukung aliran struktural
sangat kurang pada bidang perbandingan bahasa.
Aliran struktural terbagi atas struktur mentalistik dan struktural behavioristik dengan beberapa
perbedaan. (1) Mentalistik: a) Tentang teori mempelajari dan menguasai bahasa menurut Ferdinand de
Saussre melalui tori penguasaan konsep (c) menuju kepada perlambangan bunyi bahasa atau sound image
(s), dan bisa juga proses sebaliknya. Penguasaan melalui jalur c dinamakan penguasaan pasif. Oleh karena
itu, teori ini dinamakan juga teori belajar dan menguasai bahasa secara kejiwaan aktif. b)hakikat bahasa
dapat ditinjau dari kenyataan penggunaan tuturan para pemakainya yang relatif lebih bebas dan dapat
juga ditinjau dari segi norma yang relatif agak terikat pada satu bahasa. Yang pertama disebut la parole
sedangkan kedua la lague. c) Ferdinand de Sausure membedakan dua macam penelitian bahasa, yang
pertama disebut penelitian diakronis dan kedua sinkronis. Penelitian sinkronis menurut de Saussure harus
didahului oleh penelitian diakronis. Penelitian diakronis menjurus ke arah penentuan pengelompokkan
bahasa secara genetis, sedangkan penelitian sinkronis menuju kepada pembahasan bahasa menurut apa
adanya. Pendukung Ferdinand de Saussure diantaranya Turbetzkoy, Jacobson, van Wijk, dan Andre
Martinet.
(2) Behavioristik. a) Aliran ini sangat dipengaruhi oleh aliran behaviorisme dalam lingkungan ilmu jiwa,
terutama yang dikembangkan Pavlov dan Skinner. Pavlov melakukan percobaan dengan seekor anjing dan
skinner dengn tikus, tetapi keduanya menghasilkan simpulan yang hampir sama bahwa sistem belajar
manusia (seperti juga yang terjadi pada binatang percobaan) adalah melalui stimulus (S) dan respon (R)
yang berakhir dengan kebiasaan. Oleh karena itu, teori ini dinamakan juga dinamakan teori belajar secara
kejiwaan pasif. b) tentang makna kata, bukan ditentukan oleh fungsinya secara subjek, predikat, dan
sejenisnya, tetapi ditentukan oleh konteks kalimatnya. c) Bloomfield memperkenalkan sistem penentuan
fonem melalui pasangan minimal bagi kata-kata mirip dengan sistem perbedaan distribusinya apabila
kata itu tidak mempunyai pasangan minimal. Contoh minimum pairs: a-p-a dengan a-p-i. Contoh melalui
perbedaan distribusi: s-u-s-u dengan u-s-u-s. Pendukung aliran behavioristik antara lain L. Pike , Eugen
Nida, Z. Harris, dan N. Chomsky. Kedua terakhir ini menimbulkan aliran baru yang dikenal dengan aliran
Transformation Generative Grammar (TGG).
B. Struktur Dasar dan Pendukung
1. Struktur dasar sintaksis, yaitu Frasa Nomina (NP) dengan Frasa Verb (VP). Struktur dasar itu didukung
oleh struktur-struktur pelengkap yang dikenal dengan istilah kategori atau kelompok jenis kata yang
dibagi atas kategori mayor dan minor. Kelompk mayor, yaitu leksim-leksim kata benda ( Noun), kata kerja
(Verb), kata sifat (Adjektif), kata keadaan (Adverb). Kelompok minor, yaitu leksim-leksim kata penentu
(diterminant), kata kerja bantu (auxialary verb), kata depan (preposition), kata ganti (pronoun), dan kata
hubung (conjunction).
2. Selain kategori kata, di dalam kalimat dijumpai juga kategori frasa, atau kelompok kata ada yang
bergantung dengan kata benda disebut frasa benda (noun phrase), seperti the controversial book,
kelompok kata yang bergantung dengan kata depan (preposition phrase), seperti in the park. Kelompok
kata yang bergabung dengan kata kerja (verb phrase), seperti dropthe ball; dan kelompok kata yang
bergabung dengan kata keadaan (adverbial phrases), seperti very quickly. Semuanya bervariasi
berdasarkan pasangan kata yang bergabung. Contoh: NP the student terbagi atas Ket + N sehingga ditulis
dalam diagram phon the conterversial book itu sebagai berikut:
NP NP
Del N Des Adj N
The student The Contoversial book
{NP[the Des the] [N student] [ND[Del the] [Adj Center] [N book]}
3. Terdapat juga struktur intermediate, yaitu dikenal dengan istilah N (N bar) N yang lebih kecil dari NP.
Contoh leksikal one lebih kecil dari misalnya book about Australia dalam kalimat: The book about
Australis is longer that one.
4. Kadang-kadang dijumpai juga frasa bentuk lain misalnya frasa Adj yang digabungkan dengan cirri
spesifik dari adj tersebut contoh: very intelligent yang diagram pohonnya:
Adj P
Spec Ag
Verry intelligent
{AdjP[spec very] [Adj Intellegent]}
5. Pada dasarnya setiap bahasa memiliki kemampuan membentuk struktur kalimat dengan struktur
pendukung terbatas dan dengan unsure pendukung yang lebih panjang atau lebih banyak. Kaidah ini
merupakan salah satu kaidah dalam tata bahasa Transformasi semantic yang dikenal dengan istilah
recursion. Contoh dengan pendukung terbatas. This book on the shelf. Contoh dengan pendukung lebih
luas This book on the shelp in the corner…dsb.
6. Dalam beberapa hal dijumpai juga struktur sintaksis yang membingungkan, misalnya fast cars an
motorcycles merupakan FN, tetapi penjabarannya dalam diagram pohon dapat berbeda sebagai berikut.
a. NP b. NP
Adj N NP C NTP
N C N Adj N N
Fast Cars and motorcycle fast cars and motorcycle
Jadi, struktur kalimat (S) membawahi NP dan VP dan S sendiri titik penguasaan atas NP dan VP bersaudara.
NP sendiri sebuah titik penguasaan bagi diterminasi Det dan N. VP sebuah titik penguasaan yang meliputi
V, NP, dan PP sebagai bersaudara di bawah VP. Hal ini merupakan rincian diagram akhir struktur murni.
7. Struktur kalimat menurut tata bahasa generatif, terutama bagi kalimat iversi, kalimat tanya yes dan no
dirinci sebagai berikut.
S NP (M) VP
NP (Del) (Adj) N (PP)
VP V (NP) (PP)
PP P NP
Contoh: Will Tiffany learn?
8. Pemahaman struktur dalam dan struktur luar kalimat dapat memungkinkan analisis kalimat model
pulau/pulau-pulau yang dikelilingi oleh air laut yang dikenal dengan istilah analisis of sentences
structure. Pada pola ini terdapat dua buah S yaitu S bar (S dan S) sebagai kalimat utama. Contoh struktur
dalam: {S[S the votes would choose who]}. Contoh struktur luar: {who [S would the voters choose]}.
9. Kajian struktur sintaksis di Indonesia belum banyak memanfaatkan model kajian mutakhir, tetapi lebih
cenderung menggunakan kajian tradisional yang diperkaya dengan sudut-sudut pandang filsafat, fungsi,
jabatan, dan pernan unsure pembentuk kalimat seperti yang dikemukakan oleh Verhaar yang
menggambar skema kalimat sebagai tiga kotak kosong.
Kotak ini bermakna dan berfungsi setelah diisi oleh jenis kata, fungsi, dan peranan gramatikal.
10. Sehubungan dengan itu, dalam pembahasan ini akan diulas model kajian Warriners, terutama bagi
bahasa yang bersifat redunan dan salinan bawaan. Model kajian Monteque dari sudut pandang logika
matematika, model kajian tata bahasa kasus, dan kearah pendekatan sintaksis.
C. Redundan
Istilah redunan (redundant) sering digunakan pada pembahasan tingkat fonologi/fonetik dalam hubungan
dengan penentuan ciri pembeda dan kelasnya baagi setiap fonem (distinctive feature and natural classes).
Penentuan ciri kentara dan tersembunyi dilakukan dengan cara memberi tanda positif (+) dan tanda
negative (-). Tanda-tanda ini bersifat oposan. Karena itu, disebut juga ciri-ciri binary (binary distinctive
feature).
Menurut Chomsky dan Halle ada tiga puluh enam ciri pembeda yang dapat muncul pada bunyi bahasa
manusia, tetapi oleh Sloat, Taylor, dan Hoard hanya dibahas enam belas buah, yaitu (1) consonantal (+/-),
(2) sonoran (+/-) bersifat nasal dan likuida, (3) silabik (+/-) berciri vocal, (4) tinggi (+/-), (5) rendah
(+/-), (6) belakang (+/-), (7) bundar (+/-), (8) obstruent (+/-) terhambat, (9) strident (+/-) intensitas dan
frekuensi tinggi (nyaring), (10) terbagi (+/-), (11) nasal (+/-), (12) lateral (+/-), (13) bersuara (+/-), (14)
tens (+/-) muskuler (kuat), (15) coronal (+/-) daun lidah, dan (16) anterior (+/-) rongga hidung.
Pada dasarnya ciri-ciri itu hanya ada tiga kelas utama: (1) + consonantal, yaitu ciri yang dihasilkan oleh
kerjasama antara daerah artikulasi dan titik articulator yang menghasilkan konsonan murni stop, frikatif,
nasal, lateral, dan tril); (2) + soronant yaitu ciri yang terjadi karena bergetar selaput selaput suara yang
menghasilkan semua vocal dan sebagai konsonan seperti glide, nasal, lateral, dan r; (3) + syllabic yaitu
cirri yang dapat mendominasi silabi (umumnya vocal). Contoh penentuan ciri binary sebagai berikut.
Consonantal Sonorant Syllabic
Liquids & nasals + + -
Vowels - + +
Glides - + -
Obstruents + - -
Ketiga kelas ciri tersebut dilengkapi dengan high, low, back, dan rounded sehingga terjadilah ke-16 ciri di
atas. Perlu dijelaskan bahwa daerah cirri-ciri anterior dan coronal itu secara singkat sebagai berikut. (a) +
anterior berada pada daerah bagian rongga hidung dari arah depan sampai pertengahan, sedangkan –
anterior dari pertengahan sampai tenggorokan. (b) + coronal terletak antara ujung lidah sampai
pertengahan lidah, sedangkan –coronal dari ujung lidah sampai ujung bibir dan dari tengah lidah sampai
tenggorokkan.
Tidak perlu semua ciri dikemukakan kalau sebuah cirri sudah terkandung di dalam cirri yang sudah ada.
Memaksakan pencantuman ciri yang sudah terkandung menimbulkan redunan (mubazir). Redunan artinya
ciri fonem yang dapat diduga /diketahui walaupun terucapkan karena kaidah implikasional (redundant,
predictables, feture, values are not listed but are understood to be present because of implication rules).
Atau istilah lainnya adalah super fluous, superabundances, unnecessary repetition ecp. of words, or an
instance of this. (the Lexion Webster Dictionary, 1987). Contoh fonem /c/ berciri utamanya +strident
(+Str.) berarti pasti tidak berciri nasal (-ns). Jadi ciri –nas tdak perlu dicantumkan atau juga fonem /n/
bersifat nasal (+nas) pasti juga mempunyai cirri sonorant (dengung) atau +son. Ciri-ciri ini dapat kita
jumpai pada semua bahasa dan tidak hanya pada tataran fonologi tetapi juga pada tataran yang elbih
besar (morfologi dan sintaksis) seperti dikemukakan beberapa ahli berikut ini.
Hartman dan Strok, 1973 mengemukakan bahwa redunan itu sebagai informasi melebihi kebutuhan
minimal. Contohnya It was terrible, dreadful awful. Sanders (dalam Moravesik, 1980:242) merumuskan
redunan itu sebagai (A=A, B, B adalah suatu unsure yang sama dan memantapkan A). Pendapat Sanders ini
mirip dengan Cooper dalam sumber yang sama dengan Doroty, 1979 dalam Safir, 1985:95. demikian juga
Kempson, 1986:92. Ia memberi contoh: Jhon killed Bill but he was not cause of Bill’s deth adalah redunan
karena bagian kedua dari kalimat itu sama dengan but didn’t die. Dari sudut pandangan ini terlihat bahwa
redunan itu agak “negative”. Karena itu, para ahli cenderung berpendapat bahwa setiap redunan
ditiadakan.
Namuan dalam beberapa hal, redunan diperlukan terutama untuk mengatasi ketaksaan kalimat atau
pernyataan seperti dikemukakan oleh Bauer, 1987:95, Levinson, 1987:120; Bolinger, 1975:180 yang
mengemukakan redundancy or the amount of explicitness needs to avoid ambliguity.
D. Redunan dan Salinan Bawaan Bahasa Bima
Contoh kalimat BB sebagai berikut.
No. Kalimat BB Arti sebenarnya
1 Namburira rare Padi berbulirlah
2 Doho! Duduk!
3 Nana sesi nawancuku ngango elina angi. Angin kalau kencang ribut bunyinya.
4 Ede, nambotoku masala taake. Aduh, banyak masalah di sini.
5 Tapiada take ita, Elo. Tuan Ali, (silahkan) pindah ke sana.
6 Halimah ededu ana dou malonga. Halimah hádala anak yang pintar.
7 Welina mbege labo jimba siadoho. Mereka membeli kambing dan domba.
8 Colana di nahu dua riwu rupia sia. Dia membayar lepada saya dua ribu rupiah.
9 Kone sakali watipu radahuna nuntu ese panggo na loa lampa cari dou mantanda kai nuntu maponco-
ponco la Dola. Si Abdullah walau hanya sekali Belem pernah gentar berbicara di atas panggung dan selalu
bisa menjadikan penonton tertawa dengan pembicaraan yang lucu-lucu.
Untuk BB, arti-arti sesungguhnya dari kalimat-kalimat di atas, diawali dengan urutan arti unsur subjek,
padahal menurut konstruksinya unsur objek itu terletak pada akhir kalimat, kecuali kalimat nomor enam
yang merupakan kalimat pembatasan, kenyataan ini menunjukkan bahwa salah satu ciri bawaan BB hádala
menempatkan subjek pada akhir kalimat. Hal ini erat hubungannya dengan sifat redunan dan salinan
bawaan. Di samping itu, kalau diperhatikan lebih cermat struktur dan konstruksi pendukung kalimat,
agaknya masih ada arti lain yang tersembunyi. Berikut ini analisis dari segi morfosintaksis BB.
No. 1 {na + mburi + ra} fare
dia berbulir lah padi
No. 2 Doho (nggomi) Duduk (kamu)!
No. 3 {Na+ naqe + si } { na + wancu + ku} ngango
Dia besar kalau nya sangat alngkah ribut
{eli + na} {biasa + na} angi.
bunyinya biasa nya angin.
No. 4 Ede { na + mboto + ku} masala taake.
Aduh dia banyak alangkah masalah di sini.
No. 5 Ita {ta + pinda} taaka Elo
Tuan penanda hormat pindah ke sana Ali
No. 6 Halima ededu ngara dou siwe
Halimah hádala nama orang perempuan.
No. 7 {Heli + na} mbeqe labo jimba siadoho.
Beli nya kambing dengan domba mereka.
No. 8 Dua riwu rupia {cola + na } di + nahu sia
Dua ribu rupiah bayar nya pada saya dia
No. 9 Kone sakali watipu {ra + dahu + na} nuntu
Walaupun sekali belum pernah takut nya berbicara
ese panggo labo {na + loa + mpa
di atas panggung dia biasa saja
{ka + hari} dou {ma + ntanda} kai
menjadikan tertawa orang yang menonoton dengan
nuntu { ma + ponco-ponco} la Dola.
pembicaraan yang lucu-luco si Abdullah.
Terlihat bahwa kalimat BB di samping didukung oleh unsur-unsur fungsional utama yang dituntut oleh
ketentuan gramatikal (S,P,O,K) juga didukung oleh unsur copy dari unsur utama itu Copy itu menurut
native speaker BB tidak dapat ditiadakan karena dapat mengubah pengertian kalimat atau paling sedikit
menimbulkan kejanggalan perasaan dalam kalimat.malahan dalam beberapa hal, terutama dalam situasi
normal penghilangan unsur utama, terutama subjek biasa terjadi. Itulah sebabnya subjek dapat berada
pada akhir kalimat, seperti pada contoh kalimat satu.
Proklitik na- pada namburira adalah copy dari fare ‘padi’ (subjek). Unsur na- itu tidak dihilangkan karena
mburi fare bermakna ‘bulir padi’, sedangkan yang dimaksud adalah ‘padi berbulirlah’. Sebaliknya fare
‘padi’ bias tidka usah disebut karena sudah diketahui. Perlu dijelaskan bahwa BB termasuk bahasa yang
minim afiks. Makna afiks terkandung pada kata/bentuk dasar setelah berada dalam bentuk konteks.
Sekarang timbul persoalan. Menurut toeri redunan di atas, sesuatu yang sudah terkandung pada ciri
utama dicantumkan lagi agar tidak redunan. Dalam hal ini, menurut ketentuan gramatikal, subjek dalam
sebuah kalimat termasuk unsur utama, sedangkan copy-nya tidak. Jadi, seharusnya copy itulah yang
harus dihindari, sedangkan dalam BB hal itu seabliknya. Hal inilah yang dimaksud dengan salinan ulang
atau “copy” dalam BB.
Pada kalimat No. 2 tidak terjadi redunan. Redunan lain terlihat pada kalimat no. 3 terdapat redunan
subjek, kalimat no. 7 dan 8 terdapat redunan subjek pada posisi enklitik, kalimat n0 5 dan 6 terjadi
redunan subjek tidak dalam bentuk klitik pronominal, tetapi dalam bentuk aposisi. No. 5. ita ’tuan’ dan
Elo ’Ali sebagai subjek’. No. 6 Halima dan dou malonga ’orang yang pintar’ (S). Kata edeDu ’adalah’ yang
terdapat pada klaimat no. 4 pada umumnya tidak pernah dipakai kalau bukan merupakan penegasan. Jadi,
yang memenuhi ketentuan menghindar redunan itu adalah kalimat-kalimat no. 4 ini kalau eduDu dibuang.
Hal ini sesuai pula dengan sifat bahasa Austronesia yang tidak mewajibkan pemakaian kopula sebagaai
predikat dalam kalimat.
Kalimat itu menjadi sebagai berikut no. 4 Halima…anadou malonga ’Halimah anak pintar’. Kalimat no. 3
agak sulit menganalisisnya karena di sini terjadi redunan beberapa kali, yaitu pada kata-kata na + nage +
si dia besar kalau; na + wancu + ku dia besar alangkah; elina + bunyinya; biasana biasanya; angi angin
(sebagai subjek asli). Jadi, di sini terjadi lima kali penyebutan subjek. Secara lengkap kalau kalimat itu
disusun ulang sebagai beikut.
No. 3 {Na+ naqe + si } { na + wancu + ku} ngango
dia besar kalau nya sangat alngkah ribut
{eli + na} {biasa + na} angi.
bunyi nya biasa nya angin.
Sifat-sifat spesifik seperti pada BB di atas sedikit banyak menimbulkan kendala bagi kegiatan analisisnya
pada tataran sintaksis. Namun demikian, tidak berarti bahwa tidak ada kemungkinan pola analisis yang
diperkirakan dapat dipakai sebagai pasangan dasar, walaupun tidak seluruhnya. Salah satu pola atau
model yang akan dicobakan adlah model Warriner et.al. yang beberapa ahli yang lain disebutkan sebagai
Red and Kellog Daigram.
E. Anailisis Kalimat Model Warriner
Model analisi kalimat itu cukup banyak versinya. Agar mudah memahaminya, analisis berikut ini
dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar. Pertama analisis model tradisional dan kedua analisis
struktural. Yang terakhir ini terbagi lagi atas struktural versi Eropa seperti analisis kasus dan beberapa
bentuk lain. Kemudian analisis versi Amerika seperti yang dilakukan oleh Bloch, Hockett, Weils, Harris, dan
Chomsky.
Model Warriner menurut negaranya termasuk aliran struktural Amerika, namun dalam beberapa hal ia
termasuk model campuran tradisional dan struktural dengan ciri-ciri (1) Sebuah kalimat diibaratkan
sebagai sebuah garis lurus atau datar dengan dua sisi utama, yaitu sisi atas dan sisi bawah (2) Unsur
utama sebuah kalimat (S,P) dan kadang-kadang dilengkapi O dan K berada pada sisi atas utama yang
dipenggal dua atau lebih bergantung pada kandungan kalimat. Unsur tambahan diletakkan paada sisi
bawah yaang juga dipenggal-penggal susuai dengan kandungan unsur tambahan itu. (3) Penggalan sisi
atas tegak lurus dengan garis datar untuk unsur utama S, P, dan O, sedangkan untuk K dengan garis
miring. Garis penggalan itu berhenti pada garis datar, kecuali untuk pengalan antara S dan P tembus
melewati sisi bawah. (4) Penggalan untuk sisi bawah pada umumnya dengan garis miring dan dimulai dari
garis datar. (5) Garis lurus/datar diisi oleh jenis kata benda dan kata kerja, sedangkan jenis kata lain
mengisi garis miring. Mungkin juga kata benda mengisi garis miring kalau kata itu berfungi sebagai
keterangan (bukan sebagai subjek atau objek kalimat).
Analisis model Warriners ini mempergunakan bebarapa kalimat dalam bahasa Inggris (Big) sebagai
berikut: (1) He paid me two dollars. (2) Hilda is popular. (3) They sell bicycles and sleds. (4) There are
several problem here. (5) Move there. (6) A lawn with many trees is beautiful. (7) Flowers wilt. (8) The
unusually strong wind howled very noisily. (9) Nell is never afraid of the stage and always impresses an
audience with her witty comments.
Padanan bentuk kalimat bahasa Inggris di atas ke dalam BB dan BI sesuai dengan sifatnya masing-masing
sebagai berikut. (1) a. Racolana Di nahu Dua dola (BB) b. Dibayarnya kepada saya dua dolar (BI). (2) a.
Mbou ngarana la Amina (BB). b. Terkenal namanya si Aminah (BI). (3) a. Weli menana sapeda laBo kareta
sia Doho (BB). b. Membeli semuanya sepeda dan kereta mereka (BI). (4) a. Nambotoku masala take (BB). b.
Banyak masalah di sini (BI). (5) a. Pinda ta aka (BB). b. Pindah ke sana (kamu) (BI). (6) a. Lapanga mpori
mamboto fuqu haju mantika i (BB). b. Padang rumput dengan banyak rumput itu indah (BI). (7) a. Male
Bunga-bunga (BB). b. Bunga-bunga layu (BI). (8) a. Nawancu ipi elina angi fode manaqe (BB). b. Angin
puting beliung sangat kuat dan keras bunyinya (BI). (9) a. Kone sakali watipu radahuna nuntu esopanggo
laBo naloaampa kahari dou mantanda kai nuntu maponco-ponco la Dola (BB). b. Abdullah belum pernah
sekalipun gentar berbicara di panggung dan selalu membuat penonton tertawa melalui pembicaraan yang
lucu-lucu (BI).
Kalimat-kaalimat Big tersebut dianalisis menurut diagram model Warriners sebagai berikut.
(1) He paid me two dollars.
He paid dollars.
me two
(2) Hilda is popular.
Hilda is popular.
(3) They sell bicycles and sleds.
bicycles
They sell and
sleds.
(4) There are several problem here.
they
problems are
several here.
(5) Move there.
(you) Move
there.
(6) A lawn with many trees is beautiful.
lawn is beautiful.
A with
trees
many
(7) Flowers wilt.
Flowers wilt.
(8) The unusually strong wind howled very noisily.
wind howled
The strong noisily.
unusually very
(9) Nell is never afraid of the stage and always impresses an audience with her witty comments.
is afraid
never of
Nell and stage
impresses audience always with an
comments.
her witty
Kalimat-kalimat di atas berpola (1) S + V + OTL (2) S + V + Komplemen (3) S + V + O1 + O2 (4) There + V
+ S + Adj (kalimat di awali dengan there) (5) S (elips) + V + Adv (kalimat elips) (6) S + Adj + V Adj (kalimat
kompleks) (7) S + V (kalimat sederhana) (8) Adv + Adj + S + V + Adv (kalimat kompleks) (9) S + V + Adv
+ Adj + O + Adj (kalimat majemuk rapatan).
F. Penerapan Pola: Kendala dan Pemecahan pada BB dan BI
1. Penerapan pada BB
Pada situasi normal, subjek kalimat BB cenderung ditempatkan di belakang. Kenyataan seperti ini
merupakan salah satu kesulitan dalam rangka penerapan kerangka pola analisis Wrriner karena harus
memutarbalikkan kerangka pola itu, seperti (1) (nggomi) doho!
(2) doho (nggomi) (?)
Agaknya untuk mengatasi kesulitan pembalikan pola secara keseluruhan mungkin lebih mudah kalau
disepakati bahwa semua subjek yang terletak di belakang dan cenderung tidak disebut itu diklasifikasikan
sebagai bentuk elips saja. Dengan demikian pola kerangka untuk contoh no. 2 menjadi.
(1) nggomi doho (!)
(2) ’(Kamu) duduk’
Kesulitan lain yang dihadapi adalah yang berkaitan dengan redunan unsur subjek atau objek yang
berulang kali disebut melalui pronomina yang menempel pada verba atau kata lain di dalam kalimat,
seperti contoh kalimat no. 5. (ita tapinda taaka, Elo). Ita ’ Tuan’ = Elo ’Ali’, juga ta pada tapinda = Ali (ta-
di sini merupakan bentuk hormat kepada orang II).
Jadi, pada kalimat ini terjadi tiga kali menyebutkan tentang subjek, yaitu Elo, Ita, dan ta. Kenyataan ini
menyulitkan pembentukan kerangka pola sehingga bisa terjadi beberapa kemungkinan. Kemungkinan
pertama, setiap indikator subjek atau objek dikumpulkan pada posisinya masing-masing dengan memberi
tanda kurung kecil untuk subjek yang bersifat elips. Kerangka pola ini walaupun subjeknya sebenarnya,
yaitu Elo ’Ali’ di elipskan namun kata itu ”disubstitusi” oleh ita ’Tuan’ dan ta- ’tanda hormatan’.
Berdasarkan pemikiran ini, pola kerangka untuk kalimat no. 5, yaitu:
(Elo, ita, ta-) pinda taaka
Kemungkinan kedua adalah dengan cara menempatkan indikator subjek itu pada tempat kata itu berada
atau berdekatan, namun tetap dengan cirinya, yaitu terletak pada garis cabang subjek sedang subjek atau
objek yang asli tetap pada posisinya. Gambaran untuk contoh no. 5 itu menjadi.
(Elo) pinda taaka
ita ta-
Dibandingkan dengan kerangka pola pada Warriner (a lawn with many trees is beautiful) atau
dibandingkan dengan (the ussually strong wind hold very noisly), maka melihat kedua kemungkinan
kerangka pola pada BP tersebut berbeda jauh. Kalimat BB no. 5 itu termasuk kalimat sederhana, sama pula
dengan kalimat BB yang lain kecuali no. 1, 4, dan 5. Pada kalimat sederhana saja terlihat kesulitan pola
uraian kalimat apalagi terhadap kalimat kompleks atau majemuk seperti no. 3 dan 9 (BP).
Tahap pembentukan kalimat no. 3 mulai dari kalimat inti sampai perluasannya, yaitu Angi nanaqesi
nawancuku ngango elina biasana. Angi ngango (kalimat inti). Angi ngango elina (perluasan I). Angi
nanaqesi ngango elina (perluasan II). Angi nanaqesi nawancuku ngngo elina (perluasan III). Angi nanaqesi
nawancuku ngango elina biasana (perluasan IV). Perlu dicatat bahwa na- sebagai salinan S pada nanaqesi
dan nawancuku diberi no. 1 dan 2, juga pada kata tempatnya menempel. Atas dasar bentuk perluasan ini
dapat diperkirakan dua kemungkinan pola sebagai berikut.
Kemungkinan I
12
(angi)l; na- ; na- ngango elina
biasana
nagesi
wawancuku
Kemungkinan II
(angi) ngango elina
na na- biasana
naqesi wancuku
Kalimat BB no. 9 ini berasal dari dua buah kalimat sederhana sebagai inti yaitu:
(9a) (La Dola) bubtu ese panggo
‘Abdullah’ berbicara di atas panggung’
(9b) (Sia) kahari dou. Sia ‘dia’ dielipskan.
‘Ia membuat orang tertawa’.
Dari kedua inti ini berkembang secara beruntun 9a (1) (La Dola) nuntu ese panggo. (2) (La Dola) radahuna
nuntu ese panggo. (3) (La Dola) watipu radahuna nuntu ese panggo. (4) (La Dola) kone sakali watipu
radahuna nuntu ese panggo. 9b (1) (Sia) cari dou. (2) (Sia) cari dou mantanda. (3) (Sia) naloampa cari dou
mantanda. (4) (Sia) naloampa cari dou mantanda kai nuntu. (5) (Sia) naloampa cari dou mantanda kai
nuntu maponco-poco. Berdasarkan pemunculan ini kita bisa memperkirakan pola kerangka umum, lalu
dikaitkan dengan kemungkinan letal redunan seperti pada contoh no. 9a –na pada radahuna (menunjuk S).
Redunan pada 9b hádala Na- pada naloampa (menunjuk S).
Adapun kemungkinan kerangka pola sebagai berikut (berdasarkan kemungkinan kedua).
nuntu ese panggo
radahuna
watipu
kone sakali
(La Dola) Labo
kahari dou
mantanda
na-
loampa kai nuntu
maponco-ponco
2. Penerapan pada Bahasa Indonesia
a. Kalimat BI untuk Big No. 1 hampir benar-benar sepadan dengan Big, kecuali pada BI harus ditambahkan
kata sudah _ sebelum membayar sebagai terjemahan dari paid dan BI tidak perlu menambah bentuk jamak
sebagai terjemahan dari dollars, sehingga kalimat BI menjadi (1) Ia sudah membayar pada saya dua dolar.
b. Kalimat BI untuk Big No. 2 harus mengabaikan kopula is dalam BIg karena hal itu tidak wajib dalam BI
sehingga kalimat BI menjadi (2) Hilda terkenal (terpopuler).
c. Kalimat BI untuk Big No. 3 sebaiknya ditambahkan kata semua untuk menghilangkan ketaksaan apakah
semua membeli atau hanya sebagian dari mereka dan untuk menghindari pengulangan jamak pada kata
sepeda (bicycles) dan kereta (sleds) sehingga kalimat BI menjadi (3) Mereka (semua) membeli sepeda dan
kereta.
d. Kalimat BI untuk Big No.4 berbeada pembawaan. Bentuk there are (Big) tidak wajib hadir dalam BI,
sehingga kalimat menjadi (4) Banyak masalah di sini.
e. Kalimat BI untuk BIg No. 5 sepadan dengan BI sehingga menjadi (5) Pindah ke sana!
f. Kalimat BI untuk BIg No. 6 terdapat perbedaan pembagian dalam bis is debagai predikat, sedngkan
beautiful sebagai komplemen. Dalam BI, is adalah tidak wajib hadir, sedangkan beautiful penting dan
berfungi sebagai predikat. Karena itu, kalimat BI menjadi (6) (Sebuah) taman dengan beberapat pohon itu
indah.
g. Kalimat BI untuk BIg No. 7 sepadan sehingga kalimatnya menjadi (7) Bunga-bunga layu.
h. Kalimat BI untuk BIg No. 8 terdapat perbedaan: The unusually strong wind di Indonesia diberi nama
angin puting beliung sehingga untuk kalimatnya menjadi (8) Angin puting beliung.
i. Kalimat BI untuk BIg No. 9 dapat dikatakan sepadan, kecuali kehadiran is tidak wajib seperti kalimat No.
2, 4, dan 6 di atas. Kalimat BI menjadi (9) Abdullah belum perbah sekalipun gentar berbicara di panggung
dan selalu membuat penonton tertawa melalui pembicaraan yang lucu-lucu.
Atas dasar analisis di atas, diagram Warriners untuk BI dapat disusun sepadan benar atau dengan
modifikasi sesuai dengan pembawaan BI seperti juga dilakukan BB
III. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut, model Warriner dalam sintaksis bahasa Indonesia dapat disimpulkan
bahwa (1) analisis sintaksis model Warriner agaknya cukup menarik sebagai salah satu model pilihan,
terutama bagi cara menggambarkan kaitan kalimat inti dan perluasan secara bertahap, (2) Pembawaan
redunan pada suatu bahasa berpengaruh pada seluruh tataran pembahasan, termasuk analisis tataran
sintaksisnya, (3) Sekalipun pada dasarnya model Warriner dapat diterapkan pada analisis sintaksis BB,
namun diperlukan pula beberapa modifikasi, terutama yang berhubungan dengan penyebutan ulaang
(copy) terhadap unsur pokok dalam kalimat BB, (4) Dalam beberapa hal, subjek BB cenderung ditempatkan
pada akhir kalimat. Redunan unsur pokok, terutma S dan O agaknya sulit ditiadakan mengingat unsur
redunan itu dapat menggantikan S atau O itu sendiri, dan (5) Paling tidak, ada kemungkinan penerapan
model Warriner pada BB, yaitu mengumpulkan unsur utama dan copy-nya pada sebuah kotak, misalnya
pada kotak S dan kedua dengan cara penyebaran copy iti pada posisi tempat ia menempel dengan tanda-
tanda khusus.
Daftar Pustaka
Bauer, Laurie. 1987. English Word-Formation. Cambridge: Cambridge University Press.
Bolinger, Dwight. 1975. Aspects of Language. New York: Hereourt Brace Javanovick.
Kempson, Rith M. 1986. Semantic Theory. London: Cambridge University Press.
Levitson, Stephen C. 1987. Pragmatic. Cambridge: Cambridge University Press.
O’Grady, William and Michael Dobbrovolsky. 1989. Contemporary Linguistics: an Introduction. New York:
St. Martin’S Press.
Safir, Edward. 1949. Language an Introduction to the Study of Speech. London: Harcourt Brace Jovanovich.
Posted in Uncategorized | No Comments »

Feb
17

STUDI PENDIDIKAN PERBANDINGAN NEGARA AMERIKA SERIKAT: LATAR BELAKANG FILSAFAT

DAN BUDAYA YANG MEWARNAI FILSAFAT DAN TEORI PENDIDIKAN DI AMERIKA Oleh Arono

dan Elvi Susanti


Posted in Uncategorized | 2 Comments »

Feb
17

PRAANGGAPAN DAN IMPLIKATUR WACANA DIALOG DALAM PEMBELAJARAN BAHASA

INDONESIA Oleh Arono


Abstract: Not all of presupposition and implicatur have relation each other. Research problems that were
discussed in this research were teacher’s presupposition and student’s implicatur. The aim of this
research was to know teacher’s presupposition and student’s implicatur. This research was descriptive
qualitative by using content analysis. The result of this research showed that there were cooperation
without unsure answer (quantity contexts), cooperation using appropriate answer (quality), cooperation
dends on questioner interpretation (relation), cooperation because of habit (manner). So, presupposition
and implicatur had based on appropresteness, mutual knowledge, and cooperative principle.
Kata kunci: praanggapan, implikatur, wacana dialog, pembelajaran bahasa
PENDAHULUAN
Interaksi pembelajaran bahasa Indonesia menciptakan suatu tindak turur antara siswa dengan guru atau
sebaliknya. Tindak tutur tersebut perlu dicermati agar tujuan dan ketercapaian pembelajaran dapat diukur
atau dilaksanakan dengan baik. Interaksi yang baik ketika tindak tutur antara penutur dan petutur dapat
saling memahami, namun pada kenyataannya interaksi tersebut masih didominasi oleh guru bahkan
belum bisa dipahami dengan baik oleh mitra tuturnya. Guru lebih dominan yang berbicara dalam
pembelajaran, sedangkan siswa jarang diberikesempatan untuk mengemukakan pendapatnya apalagi bisa
berinteraksi dengan baik. Kondisi demikian akan berpengaruh terhadap tindak tutur yang mereka lakukan
serta akan tercermin dalam kemampuan memahami bahasa lisan. Selaian itu, dalam setiap tindak tutur
yang mereka lakukan sangat tergantung dengan situasi lisan saat itu serta yang tidak kalah pentingnya
berdasarkan kompetensi dasar yang telah guru rancang dalam setiap pembelajaran.
Guru merupakan cermin bagi siswa dalam berbahasa. Baik buruknya suatu ujaran guru disadari atau tidak
akan menjadikan pembelajaran bagi anak. Hal tersebut sangat terlihat ketika guru mengajukan pertanyaan
kepada anak atau memerintah anak untuk melakukan sesuatu. Ujaran yang demikian akan menciptakan
reaksi yang beragam bagi anak, seperti anak akan malas belajar, tidak berani bertanya, tidak mau
melakukan perintah gurunya, bahkan setiap pembelajaran anak tidak mau masuk kelas. Atau sebaliknya
anak akan lebih bergairah, semangat, aktif, kreatif, bahkan berprestasi. Hal tersebut merupakan salah satu
reaksi dari tuturan yang dilakukan oleh guru apalagi dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Pembelajaran bahasa yang kurang menyenangkan bagi kalangan siswa saat ini salah satu
permasalahannya, yaitu kemasan bahasa yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran bahasa Indonesia
kurang menarik. Misalnya kehalusan bahasa yang digunakan, kesantunan dalam bertutur sapa, sikap dan
keramahtamahan guru, serta wawasan kebahasaan dan sastra guru dalam penerapannya masih belum
terkuasai dengan baik. Padahal bahasa sebagai cermin bangsa. Kalau gurunya sebagai pemakai bahasa
sekaligus pengembang dan pembina bahasa Indonesia kurang baik maka secara otomatis akan sulit
menerapkan pemakaian bahasa Indonesia dengan baik pula.
Bahasa bukan saja merupakan property yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh para ahli
bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antarpersona komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang
di dalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang wacana, maka tidak pernah bersifat absolute; selalu
ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu kepada tanda-tanda yang yang terdapat dalam
kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu, tidak pernah lepas dari konteks budaya dan
keberadaaannya selalu dibayangi oleh budaya (Yasin, 2002). Oleh karena itu, analsis wacana merupakan
upaya mengkaji rekaman kebahasaan secara utuh dalam peristiwa komunikasi sehingga mampu
mengungkapkan kajian wacana tulis dan wacana lisan.
Brown dan Yule (1996: 1-4) membedakan wacana berdasarkan dua kriteria. Pertama adalah berdasarkan
fungsi bahasa. Berdasarkan fungsi itu wacana dibedakan menjadi dua kategori, yakni wacana
transaksional dan wacana interaksional. Wacana transaksional adalah wacana yang digunakan untuk
mengekspresikan isi atau informasi yang ditujukan kepada pendengar, sedangkan wacana interaksional
digunakan untuk menciptakan hubungan sosial dan hubungan personal, seperti wacana yang terdapat
dalam dialog dan polilog. Dalam hal ini initeraksi dalam pembelajaran de kelas antara siswa dan guru,
guru dengan siswa atau anatara siswa dengan siswa. Hal ini sesuai dengan namanya, wacana interaksional
lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat interaksi.
Pada dasarnya analisis wacana ingin menganalisis atau menginterpretasikan pesan dimaksud pembicara
atau penulis dengan cara merekonstruksi teks sebagai produk ujaran atau tulisan sehingga diketahui
segala konteks yang mendukung wacana pada saat wacana itu dalam proses dihasilkan melingkupi
pembicara atau penulis akan dihadirkan kembali (direkonstruksi) dan dijadikan alat untuk
menginterpretasi. Hal tersebut dapat menggunakan prinsip lokalitas dan analogi.
Jika penganalisis melakukan analisis terhadap wacana lisan atau tulisan, analisis itu dapat dilakukan pada
tingkat tataran, yaitu (1) tataran struktural gramatikal kalimat, (2) tataran makna, dan (3) tataran
organisasi ujaran. Ketiga tataran ini menuntun penganalisis untuk bisa membedakan pola gramatikal, pola
kalimat semantis, dan pola kalimat komunikatif. Praanggapan dan implikatur dalam wacana dialog seperti
yang akan dibahas dalam tulisan ini bisa dikatakan sebagai konstruksi pada kalimat komunikatif, yang
bisa diorientasikan pada istilah pragmatic function termasuk analisis fungsi pragmatik. Van Dijk (dalam
Suparno, 1991: 19) manyatakan bahwa informasi pragmatis terdiri atas tiga komponen, yaitu (1) informasi
lama yang berhubungan dengan dunia, yang juga informasi umum (general information), (2) informasi
situasional (situational information), yaitu infomasi diturunkan dari pemahaman atau pengalaman
partisipan dalam situasi tempat terjadinya interaksi, dan (3) informasi kontekstual (contextual information)
yaitu informasi yang diturunkan dari ekspresi yang telah diarahkan peristiwa komunikasi.
Sebagai wacana lisan interaksional dalam pembelajaran di kelas dianalisis merupakan bahan yang menarik
bagi penganalisis wacana. Hal ini terjadi karena di samping memuat hubungan antara pernyataan, juga
dialog sangat kaya dengan unsur-unsur paralinguistik yang akan membantu pendengar atau penganalisis
dalam menginterpretasi, memberi makna, dan menemukan hubungan antarpernyataan tersebut.
Analisis wacana menganalisis penggunaan bahasa dalam konteks pembicara atau penulis. Dengan
demikian analisis wacana akan mendeskripsikan apa yang dimaksudkan oleh pembicara dan pendengar
melalui wacana tersebut. Dalam kaitan dengan ini yang perlu diperhatikan adalah referensi (reference) dan
infrensi (inference), praanggapan (presuppotion) dan implikatur (implicature), konteks situasi (the contex
of situation) dan ko-teks (co-text), tematisasi dan penahapan, konstruksi tema-rema, pronomina serta
interpretasi lokal (local interpretation).
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, dalam kajian analisis wacana secara langsung
ataupun tidak semua aspek tersebut akan mempengaruhi dan saling keterkaitan. Oleh karena itu, untuk
melihat keterkaitan tindak tutur antara guru dengan siswa atau sebaliknya maka dalam kesempatan ini
penulis hanya memfokuskan pada kajian praanggapan dan implikatur dalam pembelajaran bahasa
Indonesia pada kompetensi pembelajaran sastra, baik puisi maupun prosa dalam bentuk transkripsi.
Tuturan yang telah transkripsi itulah penulis menganalisis tuturan tersebut berdasarkan praanggapan dan
implikatur guru dengan siswa atau sebaliknya dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Sesuai dengan pemikiran di atas, maka tulisan bertujuan untuk mendeskripsikan keterakitan antara
praanggapan guru dengan implikatur siswa dan menemukan hubungan antara pernyataan-pernyataan
guru dan siswa pada pembelajaran bahasa Indonesia khususnya pembelajaran prosa dan puisi. Kemudian
dilanjutkan dengan menginterpretasi, merekontruksi, dan memberi makna pada wacana tersebut.
Analisis wacana adalah kajian tentang penggunaan oleh komunitas bahasa yang melibatkan baik kajian
tentang bentuk maupun fungsi bahasa (Yasin, 2002). Analisis wacana berkaitan juga dengan masyarakat
dan masalah komunikasi setiap hari yang bersifat interaktif atau dialogis (M. Stubbs, 1983; dalam Yasin,
2002). Selanjutnya ia membagi wacana secara garis besar yaitu ada wacana lisan dan ada wacana tulis.
Wacara lisan berbentuk komunikasi verbal antarpersona, sedangkan wacana tulis menampilkan dalam
bentuk teks. Wacana harus dibedakan dari teks. Wacana menekankan pada proses, sedangkan teks pada
produk kebahasaan. Sebuah unit percakapan dapat dilihat dari teks apabila menganalisis melihat
hubungan kebahasaan antartuturan. Sebaliknya, percakapan dilihat dari wacana apabila dikaji adalah
proses komunikasi sehingga menghasilkan interpretasi. Adapun wacana lisan tersebut yang akan dibahas
di sini adalah dalam bentuk dialog Liputan Enam Petang SCTV sebagai suatu ucapan, percakapan, dan
kuliah yang berbentuk ujaran lisan dalam proses komunikasi.
Praanggapan adalah praanggapan pragmatis, yaitu yang ditentukan batas-batasnya berdasarkan
anggapan berbicara mengenai apa yang kemungkinan akan diterima oleh pendengar tanpa tantangan
(Givon, 1979; dalm Brown dan Yule, 1996: 28-29). Senada dengan itu praanggapan apa yang
dikemukakan penutur sebagai dasar bersama bagi para peserta percakapan (Stalnaker, 1978; dalam Brown
dan Yule, 1996: 29). Dalam hal ini praanggapan kedua belah pihak, baik itu dari guru ataupun siswa atau
sebaliknya memiliki dasar pemahaman yang sama sehingga komunikasi dapat berlangsung sehingga
diperlukan juga implikatur di dalam suatu percakapan/dialog penutur dengan petutur. Dalam artian
bahwa praanggapan adalah sebagai suatu hal yang dianggap penutur sebagai dasar berpijak untuk
menuturkan suatu kalimat dalam ujaran.
Hubungan antara pernyataan dalam analisis wacana menggunakan dua konsep dasar, yaitu kewajaran
(apropresteness atau felicity) dan pengetahuan bersama (mutal knowledge atau commen ground atau join
assumtion) (Lawrensen, 1983 dalam Lubis, 1991: 61). Oleh sebab itu, tuturan guru hendaklah dapat
diketahui oleh siswa supaya siswa dapat memahami tuturan guru.
Istilah “implikatur” dipakai oleh Grice (1975) untuk menerangkan apa yang mungkin diartikan, disamakan
atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda apa yang sebenarnya dikatakan oleh penutur (Brown dan
Yule, 1996: 31). Artinya implikatur adalah informasi implisit yang dapat ditentukan berdasarkan suatu
tuturan. Dalam implikatur hanya sebagian arti literal yang turut mendukung artinya sebenarnya dari
sebuah kalimat, selebihnya berasal dari fakta-fakta di sekeliling kita dalam hal ini analogi lokal sangat
berperan penting, situasi, dan kondisinya.
Secara garis besar implikatur dikelompokan menjadi dua hal yaitu implikatur konvensional dan implikatur
percakapan. Implikatur konvensional, diartikan oleh arti konvensional kata-kata yang dipakai. Sedangkan
implikatur percakapan yang dituturkan dari asas umum percakapan ditambah sejumlah petuah yang
biasanya dipatuhi oleh penutur. Asas umum ini disebut Asas Kerja Sama (cooperative principle) baik itu
konteks kuanatitas (kerja sama dalam bentuk jawaban yang belum pasti), kualitas (kerja sama dalam
bentuk sesuai), hubungan atau relasi (kerja sama dalam bentuk jawaban yang belum sesungguhnya,
bergantung pada interpretasi penanya), maupun cara (kerja sama dalam bentuk yang tidak langsung
menjawab pertanyaan karena kebiasaan) (Brown dan Yule, 1996: 30). Dalam banyak hal, implikatur itu
harus tidak dinyatakan karena sudah menjadi pengetahuan umum.
Menurut Levenson (dalam Lubis, 1991: 70) ada empat macam faedah konsep implikatur itu, yaitu (1) dapat
memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta kebahasaan yang tak terjangkau oleh teori linguistik, (2)
dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah yang dari yang dimaksud si pamakai
bahasa, (3) dapat memberikan pemerian sementik yang sederhana tentang hubungan klausa yang
dihubungkan dengan kata penghubung yang sama, dan (4) dapat memberikan berbagai fakta yang secara
lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan (seperti metafora). Hal tersebut telah dibuktikan juga
oleh H.P. Grice tahun 1967 yang menyatakan bahwa implikatur percakapan untuk menanggulangi
persoalan makna bahasa yang tak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Jadi konsep implikatur ini
dipakai untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat antara apa yang diucapkan dengan apa yang
diimplikasikan (Nababan, 1989: 28).
METODOLOGI
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan content analysis dengan tidak
mengabaikan konteks dalam dialog. Secara deskriptif penelitian ini dilakukan semata-mata berdasarkan
pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara emperis dilakukan oleh penuturnya, sedangkan
secara kualitatif dengan pendekatan content analysis bertujuan mengungkapkan isi dan
pesan-pesan/maksud yang terkandung pada setiap ujaran berdasarkan hubungan kerja samanya pada
setiap ujaran yangdikemukakan baik oleh guru maupun siswa. Hal tersebut untuk memberi makna pada
pesan yang terkandung di dalamnya terutama praanggapan dan implikatur setiap ujaran dengan
menggambarkan gejala tindak ujar yang terjadi (Mardalis, 1995:26 dan Muhadjir, 1996:49). Data dari
tulisan ini adalah turan siswa dengan guru dari dua belas kegiatan pembelajaran pada saat pembelajaran
bahasa Indonesia telah ditranskripsikan oleh Suryanti (2009), Maria (2000), dan Subekti (2006). Kemudian
data dianalisis dengan teknik meyeleksi tindak tutur guru dengan siswa tersebut untuk layak dianalisis
berdasarkan transkipsi rekaman yang sudah ada, menginventarisasikan dan mengklasifikasikan,
menabuliasikan, dan merumuskan kesimpulan (Irawan, 1999:85).
PEMBAHASAN
Tindak tutur pembelajaran dianalisis berdasarkan kompetensi dasar yang telah ditranskripsikan, baik pada
pada jenjang SD, SMP, ataupun SMA. Adapun kompetensi yang dikaji, yaitu mendengarkan puisi dan cerita
rakyat, menulis berbagai karya sastra, mendiskusikan masalah, membaca puisi, memahami pantun,
menentukan kalimat utama, membaca puisi, menemukan pokok isi bacaan, menggunakan huruf kapital,
membandingkan isi teks, menggunakan kata ulang, dan membaca cerita rakyat. Berdasarkan kompetensi
dasar inilah akan dianalisis tidak tutur yang guru dan siswa lakuakan karena suatu tindak tutur yang
dihasilkan sangat tergantung kepada kompetensi atau tujuan pembelajaran.
Untuk memudahkan dalam penganalisisan baik itu menginterpretasikan, memberikan makna, melihat
keterkaitan antar ujaran praanggapan dan implikatur dalam dialog yang dikemukakan guru dengan siswa,
penulis membagi ke dalam tiga bagian besar kelompok isi wacana lisan antara lain bagian pembuka, isi,
dan penutup. Pembagian ini sesuai dengan kegiatan pembelajaran di kelas.
1. Pembuka
Membuka pelajaran adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk menciptakan suasana siap mental
dan menimbulkan perhatian siswa agar terpusat pada hal-hal yang akan dipelajari (Saadie, 2007:3.46).
Kegiatan membuka pelajaran tersebut tidak hanya dilakukan pada awal jam pelajaran, melainkan juga
pada awal setiap penggal kegiatan dari inti kegiatan yang diberikan selama jam pelajaran itu berlangsung.
Untuk menciptakan suasana siap mental siswa terhadap hal-hal yang dipelajari, guru dapat melakukan
usaha-usaha, seperti memberikan acuan dan apersepsi (membuat kaitan antara pelajaran yang telah
diberikan dengan bahan baru yang akan dipelajari).
Apabila guru sudah melaksanakan membuka pelajaran dengan baik, siswa akan siap secara mental karena
guru telah memberikan atau menjelaskan tujuan pembelajaran, masalah-masalah pokok yang harus
diperhatikan, langkah-langkah kegiatan belajar yang akan dilakukan, dan batas-batas tugas yang harus
dikerjakan untuk mengusasi pelajaran tersebut. Selian itu, untuk menumbukan perhatian dan motivasi
siswa terhadap hal-hal yang dipelajari, guru dapat melakukan usaha-usaha, seperti menimbulkan rasa
ingin tahu, menunjukkan sikap hangat dan antusias, memberikan variasi mengajar (termasuk di dalamnya
variasi gaya mengajar, gerak dan mimik, variasi media dan alat pembelajaran, serta variasi pola interaksi).
Siswa yang telah termotivasi dan penuh perhatian, akan melaksanakan tugas dengan penuh gairah,
semangat yang tinggi, serta cepat bereaksi terhadap pertanyaan-pertanyaan guru.
Adapun komponen-komponen membuka pelajaran yang harus dikuasai guru, yaitu menarik perhatian
siswa, menimbulkan motivasi, memberikan acuan, dan membuat kaitan (Saadie, 2007:3.49 s.d. 3.53).
Menarik perhatian siswa dapat dilakukan dengan gaya mengajar, seperti gerak atau posisi guru, kontak
pandang atau suara guru, dan penggunaan pause atau kementar yang jelas; penggunaan berbagai media,
seperti gambar disertai model atau benda yang sebenarnya; perubahan pola interaksi guru, seperti guru
bertanya siswa menjawab atau sebaliknya atau siswa diskusi dalam kelompok kecil. Menimbulkan motivasi
dapat dilakukan dengan kehangatan dan penerimaan guru, seperti semangat, antusias, dan bersahabat;
menimbulkan rasa ingin tahu, seperti bercerita dalam bentuk teka-teki; mengemukakan konsep
bertentangan, seperti mengemukakan suatu masalah; memperhatikan minat siswa, seperti menyesuaikan
pokok pelajaran dengan tingkat perkembangan;karakteristik anak. Memberikan acuan dapat dilakukan
dengan komentar pada awal pelajaran, seperti menghubungkan sedikit materi yang lalu; menentapkan
tujuan untuk tugas tertentu, seperti memberikan gambaran ruang lingkup materi; menyarankan langkah-
langkah yang akan dilakukan, seperti penjelasan cara kerja sebelum praktik; mengajukan pertanyaan,
seperti mennanyakan seusatu apa yang dilihat atau diamati. Membuat kaitan dapat dilakukan dengan
menghubungkan aspek yang relevan, seperti meninjau kembali; membandingkan pengetahuan baru
dengan yang sudah; menyajikan konsep.
Berbagai variasi guru dalam memulai pembelajaran. Hal tersebut kadang kala disesuaikan dengan aturan
yang berlaku di sekolah, seperti pada pembuka pelajaran berikut ini. Saat guru measuki kelas, semua
siswa sudah dalam keadaan berdiri untuk menghormati dan memberi salam kepada guru atas instruksi
dari ketua kelas. Kemudian guru memriksa masing-masing siswa mengenai kerapian dan kebersihan
pakaian dan kelas. Setelah guru sudah memeriksa satu persatu, guru akhirnya berpraanggapan dengan
tuturan G: Ketua kelas siapkan! Tanpa menjawab ya atau tidak atau baik, Bu, ketua kelas langsung
mengomandoi teman-teman dengan implikaturnya S: Beri salam kepada Ibu guru. Itu mengimplikasikan
bahwa kondisi kelas sudah baik dan siap untuk menerima materi pembelajaran oleh guru sehingga siswa
yang lain mengucapkan salam dan guru pun menjawab salam. Kondisi ini mengimplikasikan bahwa dalam
tuturan antara siswa dan guru dalam prinsip kerja sama mengacu pada maksim relevansi.
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan
masalah pembicaraan. Seperti yang dilakukan oleh guru dan siswa tersebut. Hal itu juga terlihat pada
tuturan berikut. G: Ketua kelas sepidolnya mana? Saat itu guru mengecek kesiapan siswa sebelum
memulai pelajaran, tetapi sudah mencari-cari sepidol di laci meja dan di tempat kotak sepidol, guru tidak
menemukan sepidol sehingga guru bertanya kepada ketua kelas. Ketua kelas menjawab S: Bu Meri belum
datang Bu. Sebelum pembelajaran di mulai sebenarnya ketua kelas sudah menyiapkan semua
perlengkapan kelas, tetapi sepidol masih belum bisa didapatkan karena ruang TU masih tutup atau dalam
artian staf/Bu Meri sampai pembelajaran dimulai belum juga datang. Implikatur siswa walaupun
sepidolnya diambil maka akan percuma atau tidak bisa didapatkan. Guru pun memahami hal itu sehingga
guru mengeluarkan sepidol yang ada di dalam tasnya.
Saat guru membuka pelajaran yang tidak kalah pentingnya, yaitu memberikan acuan dan apersepsi
(membuat kaitan antara pelajaran yang telah diberikan dengan bahan baru yang akan dipelajari). Dalam
konteks ini sebenarnya prinsip kerja sama pada maksim relevansi jarang terjadi, tetapi hal tersebut masih
ada tuturan siswa yang implikaturnya mengacu pada maksim relevansi, seperti pada tuturan guru dengan
siswa berikut. G: Pada pelajaran yang lalu kita telah belajar tentang pantun. Anak-anak sebagian ada yang
sudah bisa membuat pantun? Sebelum kita belajar anak-anak ini ada pantun. Coba Adi bacakan di depan
kelas! Guru menyuruh Adi membacakan di depan kelas karena praanggapan guru bahwa Adi sangat mahir
dalam membaca pantun sehingga guru menyuruh Adi untuk memberikan model/contoh yang baik bagi
teman-temannya. S: Saya masih batuk, Bu. Implikatur Adi sebenarnya ingin membacakan pantun itu,
tetapi karena batuk sehingga suaranya agak terganggu. Membaca pantun bagi Adi memerlukan suara
yang baik agar enak didengar oleh teman-teman dan gurunya. Guru sangat memahami implikaturnya Adi.
Apalagi ketika Adi menjawab pertannyaan darinya suara Adi memang agak serak.
Prinsip kerja sama dalam praanggapan dan implikatur guru dan siswa lebih dominan terjadi pada maksim
kualitas. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal yang sebenarnya dengan
bukti-bukti yang memadai. Hal ini terjadai pada tuturan saat guru dan siswa melakukan apersepsi dalam
pembelajarannya, seperti pada tuturan berikut ini.
G: Kalau kata teman Anda, narasi itu cerita. Cerita yang bagaimana?
S: Cerita yang memiliki tema, alur, tokoh, amanat, setting.
G: Cerita ada setting, ada tokoh, ada amanat, ada apa lagi?
Ditambah lagi apa?
S: Alur
G: Alur itu menceritakan berdasarkan apa?
S: Berdasarkan urutan waktu.
Guru mengajukan pertannyaan berturut-turut kepada siswanya itu praanggapan guru bahwa guru ingin
menggali informasi pemahaman siswa terhadap materi yang sudah dipelajari agar dapat menghubungkan
materi yang akan dipelajari. Implikasinya bahwa siswa sangat memahami pelajaran yang telah dipelajari
sehingga siswa menjawab pertanyaan guru dengan pemahaman yang sebenarnya. Setelah mengajukan
pertanyaan, guru memngajak siswa untuk melanjutkan materi pelajaran yang masih ada hubungan dengan
pelajaran sebelumnya, yaitu membaca wacana eksposisi.
Guru dapat juga melakukan suatu tuturan yang dapat menarik perhatian siswa. Tuturan ini lebih mengacu
kepada prinsip kerja sama maksim cara. Maksim cara di sini dimaksudkan guru menuturkan praanggapan
berikut dikarenakan suatu kebiasaan. Kebiasaan ini merupakan retoris dalam berbahasa. Hal tersebut
mengmpliasikan bahwa keinginan guru agar siswa tidak lagi ribut. Walaupun jawaban siswa sebenarnya
hanya sekadar penguatan semata karena tanpa ditanyapun sebenarnya guru sudah tahu jawaban dari
siswa tersebut, seperti pada tuturan berikut ini.
G: Mau belajar enggak?
S: Mau..(menjawab serentak)
G: Kalau mau belajar, jangan ribut. Bagaimana mau belajar kalau ribut terus itu…(membuka buku paket
dan mencari materi pelajaran yang akan diajarkan)
2. Isi
Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD yang dilakukan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat
dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan inti menggunakan metode yang
disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran, yang dapat meliputi proses eksplorasi,
elaborasi, dan konfirmasi.
Dalam kegiatan eksplorasi, guru melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang
topik/tema materi yang akan dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar
dari aneka sumber; guru menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran dan
sumber belajar lain; guru memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta didik
dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya; guru melibatkan peserta didik secara aktif dalam
setiap kegiatan pembelajaran; dan guru memfasilitasi peserta didik melakukan percobaan di laboratorium,
studio, atau lapangan.
Guru melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas dan dalam tentang topik/tema materi yang
akan atau sedang dipelajari dengan menerapkan prinsip alam takambang jadi guru dan belajar dari aneka
sumber. Hal itu terlihat ketika guru menanyakan tentang gravitasi bumi yang berhubungan dengan teks
bacaan. Tindak tutur ini lebih menerapkan prinsip kerja sama maksim kualitas. Kesesuaian jawaban
tersebut terlihat ketika siswa menjawab dan guru membenarkan dari jawabannya dalam bentuk
pengulangan di dalam pertanyaannya, seperti pada penggalan tuturan berikut ini
G: Ya, ada yang pernah baca gravitasi bumi? Ada yang tahu? Apa itu gravitasi bumi, Alita?
S: Gaya tarik.
G: Siapa bisa mencontohkan terjadinya gaya tarik bumi. Eko coba contohkan!
S: Suatu benda jatuh.
Guru menggunakan beragam pendekatan pembelajaran, media pembelajaran dan sumber belajar lain. ;
………..
Guru memfasilitasi terjadinya interaksi antar peserta didik serta antara peserta didik dengan guru,
lingkungan, dan sumber belajar lainnya. Selain itu guru juga melibatkan peserta didik secara aktif dalam
setiap kegiatan pembelajaran, seperti pada tuturan berikut.
G: Kalau puisi karangan terikat, kalau prosa karangan bebas. Terikat bagaiman bingung ibu?
S: Maksudnya kalau puisi itu ada aturan-aturannya misalnya bait.
G: Ada baitnya.
S: Terus maknanya ada tersirat.
G: Kata-katanya bermakna konotasi, kalau prosa maknanya denotasi.
Berdasarkan tuturan di atas dapat diimplikasikan bahwa guru dengan aktifnya berusaha melibatkan siswa
supaya terjadi interaksi secara aktif. Hal itu terlihat ketika praanggapan guru seolah-olah bingung yang
menginginkan pembenaran dan jawaban dari siswa agar yang diinginkan guru dalam pemahaman siswa
menjadi benar adanya. Interaksi tuturan tersebut menggunakan prinsip kerjasama kamsim kualitas.
Kesesaian jawaban menjadikan tuturan demi tuturan berjalan dengan baik.
Dalam kegiatan elaborasi, guru membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui
tugas-tugas tertentu yang bermakna; guru memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas, diskusi,
dan lain-lain untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis; guru memberi
kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa rasa takut; guru
memfasilitasi peserta didik dalam pembelajaran kooperatif can kolaboratif; guru memfasilitasi peserta
didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar; guru memfasilitasi peserta didik
membuat laporan eksplorasi yang dilakukan balk lisan maupun tertulis, secara individual maupun
kelompok; guru memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan r iasi; kerja individual maupun kelompok;
guru memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan;
guru memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya
diri peserta didik.
Guru membiasakan peserta didik membaca dan menulis yang beragam melalui tugas-tugas tertentu yang
bermakna, seperti pada tuturan dialog berikut. Walaupun teks bacaan sudah dibacakan oleh siswa yang
lain, guru masih mencoba membiasakan agar siswa yang lain dapat membacanya kembali. Secara lisan,
guru menginginkan apa yang dibaca bisa dipahami dengan baik dan membacanya juga dengan suar yang
nyaring. Hal itu tidak saja paham secara individu, tapi paham juga bagi teman yang lain selain melatih
artikulasi anak dalam membaca nyaring.
G: Tadi kaliansudah membaca semua, tapi ada yang belum mendengar karena suaranya kurang keras atau
kurang lantang. Sekarang kita ulangi sekali lagi. Bapak mulai dari kelompok empat silahkan!
S: (siswa membaca bergantian hingga selesai)
G: Jadi, dari bacaan itu tentu kamu dapat mengetahui apa tujuan daripada kisah si Badi tadi. Tentu setelah
kamu baca berulang-ulang kamu dapat memahami hal-hal tersirat dalam hati kita tentang si Bandi tadi.
Mengapa si Bandi tadi menurut kamu? (memandang seluruh siswa) Apa anak pintar, apa anak durhaka?
S: Anak durhaka (menjawab serentak)
Tuturan di atas berdasarkan prinsip kerja sama menggunakan maksim kualitas. Artinya adanya kesesuaian
apa yang diinginkan dengan penutur dengan petutur. Keseuaian tersebut terlihat dari jawaban siswa
secara serentak. Selain itu, apa yang diinginkan oleh penutur dapat dipahami dengan baik oleh siswa. Hal
itu juga terlihat bahwa guru memfasilitasi peserta didik melalui pemberian tugas dan diskusi dalam
kelompok untuk memunculkan gagasan baru baik secara lisan maupun tertulis.
Guru memberi kesempatan untuk berpikir, menganalisis, menyelesaikan masalah, dan bertindak tanpa
rasa takut. Di sini siswa memberikan pemecahan suatu masalah dalam pendapatnya. Guru menyiasati
siswanya agar rasa takut itu dapat diatasi oleh mereka maka guru membentuk diskusi dalam bentuk debat
sehingga apa yang dikemukakan oleh siswa dapat membangun suatu opini yang alami dari teman-
temannya. Dalam kelompok itu siswa bekerja sama dalam membahas dan menyelesaikan suatu
permasalahan sehingga apa yang diputuskan/dihasilkan menjadi suatu kesepakatan bersama. Itu artinya
bahwa guru juga memfasilitasi siswa dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif. Jika dilihat
berdasarkan dialog berikut, tuturan berikut ini lebih mengacuk pada prinsip kerja sama dengan maksim
kualitas karena jawaban dari siswa dalam memecahkan suatu masalah sudah didukung dengan bukti-
bukti yang kuat.
G: Ya, kita anggap di sini adalah sebuah kerajaan. Di sini ada anak dalangnya. Silahkan! Silahkan, Nak!
Mau pro pada Mohammad Yofanza atau pro kepada kepala suku.
S: Kalau masalah kebersihan tidak mungkin bisa menimbulkan penyakit. Lain seperti malaria, demam
berdarah, penderita TBC. Kalau penyakit flu burung itukan berasal dari hewan. Hewan itukan bernafas
dengan mengeluarkan virus. Virus yang mereka keluarkan kepada orang lain sehingga orang tersebut
terkena virus tersebut. Jadinya saya tidak setuju dengan pendapat Mohammad Yofanza yang mengatakan
baahwa virus flu burung itu berasal dari kebersihan karena virus flu burung itu menyebar melalui udara,
Bu.
Guru memfasilitasi peserta didik berkompetisi secara sehat untuk meningkatkan prestasi belajar.
Bekompetensi secara sehat di sini bahwa guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menampilkan
kemampuannya baik secara lisan maupun tulis. Secara lisan misalnya siswa tampil di depan kelas untuk
membacakan puisi. Siswa yang lain diberi kesempatan untuk memberikan penilaian pada teman yang
tampil. Sebaliknya yang menilai tadi akan tampil juga untuk dinilai. Selian itu, dapat dikatakan bahwa guru
telah memfasilitasi peserta didik membuat laporan eksplorasi yang dilakukan baik lisan maupun tertulis,
secara individual maupun kelompok; guru memfasilitasi peserta didik untuk menyajikan kreasi; kerja
individual maupun kelompok. Itu artinya, penialaian dari mereka untuk mereka akan memberikan
perbaikan pembelajaran yang baik sehingga siswa bekompetensi dengan temannya sendiri secara sehat
dan wajar, seperti pada tuturan berikut ini.
G: Diana, Erin mana?
S: Saya Bu.
G: Ya, Erin.
S: (siswa membacakan puisi di depan kelas)
S: (menyimak dengan saksama)
S: (selesai membacakan puisinya)
S: (bertepuk tangan)
S: Terlalu monoton.
G: Suaranya keras lagi, Van.
S: Terlalu monoton, Mimik wajahnya seperti itu-itu terus, Nilainya
7,5.
Tuturan di atas implikaturnya bahwa yang diinginkan oleh guru dari siswanya dapat memberikan suatu
penampilan puisi yang baik. Tuturan yang dikemukakan oleh guru dalam menanyakan siswanya
menunjukkan bahwa gurunya ingin informasi yang jelas dan mendukung shingga apa yang diharapkan
memang demikian adanya. Beigitu juga pada komentar terhadap penempilan siswa lainnya dalam
membacakan puisi. Jawaban siswa tersebut sangat diharapkan oleh gurunya dapat memberikan data yang
kuat terhadap penampilan temannya. Berdasarkan prinsip kerja sama tuturan itu menggunakan maksim
kuantitas.
Guru memfasilitasi peserta didik melakukan pameran, turnamen, festival, serta produk yang dihasilkan.
Produk yang dihasilkan di sini maksudnya adalah puisi yang telah dibuat oleh siswa kemudian diberikan
kesempatan untuk membacakannya di depan kelas. Hal tersebut dapat kita lihat dalam dialog berikut.
G: Sekarang kita lihat dulu Vina. Nuri kamu beri penilaian untuk Vina (Vina selesai membaca puisi di depan
kelas. Guru dan seluruh siswa bertepuk tangan)
G: Nuri berikan komentar.
S: Ehm…Vina masih terpaku pada teks. Matanya masih terfokus pada teks.
G: Jadi kontak dengan penonton kurang? Ya, terus.
S: Cara membacanya terlalu cepat. Jedahnya, Bu.
Kesesuaian tuturan dari dialog di atas dapat dilihat ketika praanggapan dari impilkatur siswa diulang
kembali oleh guru. Kata ya, terus membuktikan bahwa jawaban yang telah dikemukakan sebelumnya
memang demikian adanya. Berdasarkan prinsip kerja sama tuturan di atas mengacu pada maksim kualitas.
Alasan lain selain itu adalah bahasa yang digunakan oleh guru secara lugas sehingga dapat dipahami
dengan baik oleh siswa.
Guru memfasilitasi peserta didik melakukan kegiatan yang menumbuhkan kebanggaan dan rasa percaya
diri peserta didik. Tuturan yang bisa dilakukan guru dalam menumbuhkan rasa percaya diri siswa seperti
pada turan berikut ini.
G: Ya, bagus. Siapa lagi yang mau mencoba? Jangan takut, siapa yang mau mencoba majulah ke depan ini.
Pelangi kan bisa. Kalau Pelangi bisa, kalian harus bisa.
S: (Siswa yang lain maju)
G: Ya, bagus Rani. Tepuk tangan. Siapa lagi?
Tuturan yang dikemukakan guru sangat bijaksana dalam menumbuhkan rasa percaya diri anak “Kalau
Pelangi bisa, kalian harus bisa”. Itu artinya siswa akan lebih tertantang untuk mencoba dan percaya diri
pun lebih kuat untuk mencoba. Praanggapan guru dengan kata-kata demikian akan memberikan peluang
besar bagi siswa yang lain untuk mencoba. Begitu juga sebaliknya, siswa dalam implikaturnya akan
merasa lebih mudah dalam mengerjakan latihan tersebut. Ini terbukti setelah siswa mengerjakan tugasnya
baru ada pembenaran dsari guru terhadap apa yang telah dikerjakannya. Hal tersebut sesuai dengan
prinsip kerja sama pada maksim kualitas.
Dalam kegiatan konfirmasi, guru memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan,
tulisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik, guru memberikan konfirmasi
terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai sumber, guru memfasilitasi peserta
didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah dilakukan, guru memfasilitasi
peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar:
berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi
kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku dan benar; membantu menyelesaikan masalah;
memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan pengecekan hasil eksplorasi; memberi informasi
untuk bereksplorasi lebih jauh; memberikan motivasi kepada peserta didik yang kurang atau belum
berpartisipasi aktif.
Guru memberikan umpan balik positif dan penguatan dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat, maupun hadiah
terhadap keberhasilan peserta didik, seperti pada tuturan berikut. Guru memberikan penguatan secara
verbal maupun nonverbal. Hal itu bukan saja dilakukan oleh guru, melainkan siswa yang lain ikut
berpartisipasi aktif terhadap keberhasilan teman-temannya.
G: Ya, bagus! Tepuk tangan!
S: (bertepuk tangan)
G: Sekarang siapa lagi yang berani. Coba yang laki-laki. Ayo siapa bisa! Megi bisa?
S: (Megi maju ke depan membacakan pantun)
G: Ya, bagus. Tepuk tangan lagi!
S: (bertepuk tangan)
Penguatan tersebut berdasarkan prinsip kerja sama termasuk maksim kualitas. Walaupun tidak dijawab
secara langsung atau lisan melainkan sebgian ada dalam bentuk tepukan dan sebagian lagi dalam bentuk
ujaran, penguatan tersebut sudah ada kerja sama dengan baik dalam kesamaan pemahaman antara siswa
dengan guru atau antara siswa dengan siswa.
Guru memberikan konfirmasi terhadap hasil eksplorasi dan elaborasi peserta didik melalui berbagai
sumber. Eksplorasi tersebut berupa kalimat yang digunakan guru lebih kontektual atau ada di lingkungan
siswa sendiri. Seperti pada tuturan berikut bahwa guru memberikan konfirmasi kepada siswa terhadap
jawaban yang telah mereka kemukakan sendiri. Jawaban dari tuturan siswa memberikan kontribusi yang
cukup yang dibutuhkan guru. Kata Satu antaranya ingat! Utuh yang dituturkan oleh guru membuktikan
bahwa informasi yang dibutuhkannya sudah cukup sehingga guru melanjutkan ke pertanyaan
berikutnya.Hal tersebut terlihat bahawa guru menggali informasi terhadap pertanyaan yang dikemukakan.
Berdasarkan prinsip kerja sama tuturan berikut mengacu pada maksim kuantitas.
G: Sekarang coba coba perhatikan. Di ruang kelasku, banyak
terdapat jendela-jendela yang terbuka. Jendela-jendela itu kata
apa itu?
S: Kata ulang (serentak)
G: Kata ulang, kata ulang itu ada berapa macam?
S: Ada empat.
G: Empat? Yakin empat? Empat atau lima?
S: Empat (serempak).
G: Siapa yang lima? Empat atau tiga?
S: Empat (serempak).
G: Empat atau lima?
S: empat (serempak)
G: Kita buktikan sekarang. Sekarang tidak usah saling curiga,
saling suara nanti kalian bingung. Kalau utuh bagaimana?
S: Tidak berubah (serempak).
G: Kalau jendela-jendela di kelasku banyak terbuka. Itu jenis kata
ulang apa?
S: Utuh (serempak).
G: Sekarang yang kedua. Satu antaranya ingat! Utuh. Yang kedua
tidak ada yang menulis. Kalau mobil-mobilan?
S: Berimbuhan (serempak)
Guru memfasilitasi peserta didik melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar yang telah
dilakukan. Refleksi di sini diberikan oleh guru dalam mendukung dalam memperkuat argumen siswa.
Argumen siswa tersebut dapat meyakinkan guru bahwa yang terjadi memang benar adanya, seperti pada
tuturan berikut.
G: Oh…begitu.
S: Melalui foto mesra itu akan nampak biar orang tahukan. Wah… ini pasangan yang setia, mesra, dan
serasi.
S: Huuuu…(sebagian siswa bertepuk tangan)
G: O..ya bagus sekali. Silahkan dari kubu yang tidak setuju.
S: Ha…ha..ha…(tertawa serempak)
G: Ayo lagi yang mana Ki lawan Ki!
S: Saya perwakilan dari kubu yang tidak setuju karena kan rata-rata yang undangan yang ada foto mesra
itukan, rata-rata kelas elite kan Bu. Jadi, nampak nanti kesenjangan sosial kalau undangan yang bagus ada
foto-foto berartikan itu orang-orang kaya, sedangkan yang sederhana itu kurang mampu.
Tuturan guru dengan siswa di atas memperlihatkan hubungan kerja sama dengan menggunakan maksim
kualitas. Maksim ini memberikan praanggapan dan implikatur adanya kesesuaian antara pertanyaan
dengan jawaban. Di sini guru menginginkan siswa menjawab dengan baik dan siswapun menjawabnya
sesuai apa yang diinginkan berdasarkan pertanyaan yang diajukan oleh guru. Hak tersebut membuktikan
bahwa guru dapat memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam
mencapai kompetensi dasar. Selain itu, guru juga berfungsi sebagai narasumber dan fasilitator dalam
menjawab pertanyaan peserta didik yang menghadapi kesulitan, dengan menggunakan bahasa yang baku
dan benar; membantu menyelesaikan masalah; memberi acuan agar peserta didik dapat melakukan
pengecekan hasil eksplorasi; memberi informasi untuk bereksplorasi lebih jauh; memberikan motivasi
kepada peserta didik yang kurang atau belum berpartisipasi aktif.
3. Penutup
Kegiatan menutup pelajaran adalah kegiatan yang dilakukan guru untuk mengakhiri kegiatan inti
pembelajaran (Saadie, 2007:3.47). Kegiatan menutup pelajaran dimaksudkan untuk memberikan
gambaran menyeluruh tentang apa yang telah dipelajari siswa, serta mengetahui tingkat pencapaian siswa
dan tingkat keberhasilan guru dalam proses pembelajaran. Usaha-usaha yang dapat dilakukan guru,
antara lain merangkum kembali atau meminta siswa membuat ringkasan dan mengadakan evaluasi
tentang materi pelajaran yang baru saja dibahas. Kegiatan menutup pelajaran ini juga dilakukan guru
tidak saja pada akhir pelajaran, tetapi juga pada akhir setiap penggal kegiatan dari inti pembelajaran yang
diberikan selama jam pelajaran itu.
Tuturan kegiatan menutup pelajaran dalam prinsip kerjasama lebih dominan mengacu pada maksim
kualitas. Maksim kualitas ini mengimplikasikan bahwa siswa dan guru sudah sangat saling memahami apa
yang telah dipelajari sehingga tuturan yang dihasilkan sesuai dengan keadaan sebenarnya, seperti pada
tuturan beikut ini.
G: Ada lagi Nak selain tempo?
S: Ekspresi, Bu.
G: Ya, membaca puisi tidak bisa dikatakan berhasil jika kalian tidak bisa mempengaruhi orang yang
mendengar. Jangan ragu-ragu menampakkan mimik muka kalian. Kalau sedih, tunjukkan sedih. Kalau
gembira, tunjukkan gembira. Kalau meremehkan, tunjukkan dengan meremehkan. Seperti tadi kata Ade,
Bu puisi ini saya ciptakan sebagai kritik terhadap wanita. Jadi selamat berkarya dan sampai jumpa.
Tuturan dalam bentuk pertanyaan mengimplikasikan bahwa guru menginginkan penguatan dari siswa
bahwa siswa telah memahami terhadap materi yang telah dipelajari. Selain itu, guru berpraanggapan hal
itu perlu dikuatkan lagi dalam bentuk simpulan. Namun, berdasarkan tuturan yang ditemui dari sembilan
kegiatan pembelajaran, guru jarang menyimpulkan dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Kegiatan
yang dilakukan lebih kepada penugasan. Kegiatan menutup ini lebih pada inti dari menutup pelajaran,
seperti pada tuturan berikut.
G: Anak-anak waktu sudah habis.
S: Sudah (sebagian)
S: Belum, Bu (sebagian)
G: Ya, yang belum selesai lanjutkan di rumah sekarang kumpulkan
tugas puisi yang kemarin.
G: Siapkan ketua!
Berdasarkan prinsip kerja sama pada maksim kualitas memang guru dan siswa sudah melakukan tuturan
dengan sebenarnya, tetapi guru masih belum memahami dalam kegiatan pembelajaran. Implikaturnya
bahwa guru masih kurang mampu mengajak siswa untuk menerapkan kegiatan pembelajaran menutup
yang baik. Menutup tidak sekadar tutup dan salam saja. Padahal, menutup pelajaran dilakukan untuk
memperoleh gambaran yang utuh tentang pokok-pokok materi yang dipelajari dengan cara meninjau
kembali dan mengevaluasi (Saadie, 2007:3.53 s.d. 3.54). Meninjau kembali dapat dilakukan dengan cara
merangkum inti pelajaran dan membuat ringkasan, sedangkan mengevaluasi dapat dilakukan dengan cara
mendemonstrasikan keterampilan, mengaplikasikan ide baru, mengekspresikan ide guru,
mengekspresikan ide baru, mengekspresikan pendapat, dan memberikan soal.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan dan analisis di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tidak semua
peranggapan guru dan implikatur siswa memiliki kesesuaian atau dalam arti hanya pada maksim kualitas,
melainkan ada juga maksim yang lain yaitu maksim kuantitas, maksim hubungan, dan maksim cara. Ada
beberapa gejala konsep pemahaman yang guru dengan siswa perlihatkan ketika peristiwa tutur terjadi
antara lain: [a] Ada kesamaan pemahaman secara langsung atau eksplisit yang diperlihatkan guru dan
siswa sehingga praanggapan implikatur yang mereka perlihatkan sesuai dalam hal ini menggunakan
prinsip kerja sama maksim kualitas. (b) ada kesamaan pemahaman secara tidak langsung atau implisit,
tetapi untuk sampai pada pengertian yang maksudkan, guru harus menggali jawaban yang dimaksud
siswa dengan memunculkan pertanyaan baru. Kecenderungan hal ini prinsip kerjasama yang digunakan
dengan maksim kuantitas, dan cara. (c) tidak ada kesesuaian antara praanggapan dan implikatur dalam
arti lain yang ditanya, lain yang dijawab (maksim relevansi atau hubungan).
Praanggapan dan implikatur hanyalah salah satu bagian dari kajian analisis wacana. Karena itu, pada
kesempatan lain bagi penganalisis wacana agar dapat melakukan peninjauan lebih jauh dan aspek lain dan
kompleks atau pada konteks wacana yang berbeda, baik itu mengenai kontruksi tema – rema, referensi
(Reference), dan infrensi (inference), konteks situasi (the contec optituation) dan ko-teks (co-text),
tematisasi dan penahapan, pronomina dalam wacana, serta yang lainnya. Dengan analisis yang lebih
mendalam dan beragam diharapkan dapat merepresentasikan isi wacana dalam rangka menemukan
makna wacana lisan yang bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Gillian dan Yuli. 1996. Analisis Wacana. (Terj. I Soetikno). Jakarta: PT Gramedia.
Irawan, Prasetya. 1999. Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta: STIA-LAN Press.
Mardalis. 1995. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Maria S., Rumi. 2000. “Pelaksanaan Pengajaran Apresaisi Puisi Siswa Kelas 1 SMUN 1 Kuala Lempuing
Kotamadya Bengkulu”. Bengkulu: Skripsi FKIP Unib.
Muhadjir, Neong. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin.
Nababan.. 1989. Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktoran Jendral Pendidikan Tinggi.
Pranowo. 1996. Analisis Pengajaran bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Saadie, Mamur. dkk. 2007. Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.
Subekti, Susilo. 2006. “Pelaksanaan Pengelolaan Kelas dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
Kelas X SMAN 2 Kota Bengkulu Tahun Ajaran 2005/2006”. Bengkulu: Skripsi FKIP Unib.
Sukarno. 1993. Kontruksi Tema Rema dalam Bahasa Indonesia Lisan tidak Resmi masyarakat Kodya
Malang. Jakarta: Depdikbud.
Suryanti, Lilis. 2009.” Penggunaan Bahasa Indonesia oleh Guru Sekolah Dasar Negeri di Seluma”. Bengkulu:
Skripsi FKIP Unib.
Yasin, Anas. 1991. Gramatika Komunikatif: Sebuah Model. (Disertasi) IKIP Malang.
Yasin, Anas. 2002. Aplikasi Analisis Wacana dalam Pengajaran Bahasa Asing. Makalah disampaikan pada
pertemuan regional – Masyarakat linguistik Indonesia (PIR-MLI) 18 Mei 2002.
Yasin, Anas. 2002. Arah kajian bahasa: Kaitannya dengan Perkembangan Pendidikan, Iptek, dan Sosial
Budaya. Makalah dalam SEKOLAR Volume 3, Nomor 1, Juni 2002.
Posted in Uncategorized | No Comments »

Feb
17

Beberapa Studi Kasus dalam Penelitian Pendidikan Bahasa Oleh Arono


Abstrak: Beberapa studi kasus dalam penelitian pendidikan bahasa dapat dikaji dalam penelitian kualitatif
dan kuantitatif. Penelitian kualitatif pada aspek studi kasus penelitian pendidikan bahasa terdapat dalam
keterampilan berbahasa, kebahasaan, dan sastra serta pembelajarannya. Karakteristik pembelejaran
dengan metode kasus, yaitu menekankan pada analisis situasional, pentingnya menghubungkan antara
analisis dan tindakan, perlunya keterlibatan mahasiswa, peran pengajar yang tidak tradisional, dan suatu
keseimbangan antara sasaran-sasaran substansi dan proses pembelajaran.Tujuan yang dapat dicapai dari
pembelajaran dengan menggunakan metode kasus adalah memungkinkan menggabungkan teori dan
praktik dalam proses pembelajaran, memungkinkan mahasiswa belajar pengalaman dari tangan pertama
dari pelaku kasusnya, memungkinkan mentransfer managerial wisdow ke dalam ruang kelas,
memungkinkan mahasiswa mengembangkan sense of judgement mereka, memahami praktik
pembelajaran sesungguhnya dengan cara yang efisien, meningkatkan komunikasi mahasiswa, melatih
mahasiswa berpikir secara konstruktif, dan mendorong mahasiswa mempunyai kemampuan sintesa dan
evaluasi. Adapun tujuan penelitian pendidikan/pengajaran bahasa, yaitu a. menemukan dan
mengembangkan teori, model, atau strategi baru dalam pendidikan/pembelajaran bahasa; b. menerapkan,
menguji, dan mengevaluasi kemampuan teori, model, strategi pendidikan/pengajaran bahasa dalam
memecahkan masalah pendidikan/pembelajaran bahasa; c. mendeskripsikan dan menjelaskan keadaan
atau hubungan berbagai isu atau pikiran yang terkait dengan masalah bahasa. d. memecahkan masalah
pendidikan/pembelajaran bahasa; e. menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah
pendidikan/pembelajaran bahasa; f. membuat keputusan atau kebijakan mengenai
pendidikan/pembelajaran bahasa.
I. Pendahuluan
Pelaksanakan proses pendidikan yang berkualitas memerlukan keputusan-keputusan profesional.
Keputusan tersebut sangat penting sebab akan berpengaruh dalam jangka pendek maupun jangka
panjang terhadap siswa, orang tua siswa, dan masyarakat. Keputusan tersebut dapat berupa diantaranya
penerapan kurikulum, sarpras, model, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
Sebagai contoh, untuk meningkatkan motivasi siswa, peneliti harus membuat keputusan tentang upaya
yang tepat dilakukan guru, orang tua siswa, dan lingkungan sekitar siswa. Hasil penelitian DeRita dan
Weaver (1991) dapat memutuskan bahwa guru dapat memberikaan strategi drama untuk meningkatkan
motivasi membaca siswa. Di samping itu, orang tua hendaknya memberikan fasilitas memadai serta model
yang mendukung peningkatan motivasi membaca siswa. Masyarakat sekitar sangat efektif dalam
memberikan suasana kondusif bagi peningkatan motivasi membaca siswa. Masyarakat sekitar sangat
efektif dalam memberikan suasana kondusif bagi peningkatan motivasi membaca siswa dengan
didirikannya rumah baca atau sanggar baca.
Sebagian besar pendidik membuat keputusan berdasarkan pada beberapa sumber, misalnya pengalaman
pribadi, pendapat ahli, pendapat umum, intuisi, dan akal sehatnya untuk memutuskan sesuatu. Berbagai
sumber tersebut dapat saja digunakan dalam membuat keputusan, tetapi keputusan yang diambil
berdasarkan penelitian ilmiah adalah yang paling tepat.
Lingkungan masyarakat, kelompok profesional, organisasi masyarakat, memerlukan studi khusus untuk
menentukan kebijakan dalam kegiatannya. Sebagai contoh, kelompok direksi membutuhkan strategi
mewicara yang tepat agar gagasannya dapat dimengerti dan dilaksanakan oleh anggota yang dipimpinnya.
Sebagian dari penentu kebijakan lebih menyenangi penelitian yang berdasarkan pada informasi yang
berselaras dengan masalah kebijakan tertentu. Sebagai contoh, penelitian dibutuhkan untuk menentukan
standar kebahasaan dan penilaian kebahasaan. Valencia & Wixson (2000) menjelaskan berbagai
kemungkinan penelitian sekait dengan hal tersebut, di antaranya perilaku berbahasa siswa, deskripsi
prestasi berbahasa siswa, dan penelaahan pokok-pokok bahasan bahasa.
Pentingnya penelitian pendidikan bahasa dapat dilihat berdasarkan fungsi dan penggunaan jenis
penelitian pendidikan bahasa, yaitu (1) Fungsi penelitian dasar, yaitu untuk menguji teori dengan sedikit
atau tanpa aplikasi hasil penelitian pada masalah praktis. Secara khusus berkenaan dengan mengetahui,
menerangkan, dan memperkirakan fenomena alam dan sosial, penelitian dapat dimulai dengan satu teori,
prinsip dasar, atau suatu generalisasi. (2) Fungsi terapan, yaitu untuk suatu bidang praktik dan berkenaan
dengan aplikasi pengetahuan berdasarkan riset mengenai praktik tersebut. (3) Fungsi evaluasi, menilai
kebaikan, kelayakan atau kebermanfaatan suatu praktik. Praktik yang dievaluasi bisa berupa pelaksanaan
program atau penggunaan hasil.
Informasi yang dapat dipercayalah yang diharapkan oleh masyarakat, yaitu informasi dari penelitian.
Kegiatan penelitian yang dapat menggambarkan dan mengukur fenomena secara akurat merupakan
sumber pengetahuan yang paling baik dibandingkan dengan kebenaran yang didapatkan secara non
ilmiah.
Berdasarkan latar belakang makalah di atas, penulis dapat mengidentifikasi beberapa permasalahan dalam
makalah ini diantaranya beberapa masalah dalam studi kasus dalam penelitian pendidikan bahasa baik
dalam pengajaran bahasa, keterampilan berbahasa, sastra, dan kebahasaannya berdasarkan penelitian
kualitatif. Adapun rumusan makalah ini, yaitu begaimana studi kasus dalam penelitian pendidikan bahasa
dengan tidak mengabaikan aspek pengajaran bahasa, keterampilan berbahasa, sastra, dan kebahasaannya
berdasarkan penelitian kualitatif? Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penulisan makalah ini
untuk menggambarkan bebrapa studi kasus dalam penelitian pendidikan bahasa dengan tidak
mengabaikan aspek pengajaran bahasa, keterampilan berbahasa, sastra, dan kebahasaan berdasarkan
penelitian kualitatif.
II. Pembahasan
A. Pengertian Studi Kasus
Creswell (1998) menjelaskan bahwa suatu penelitian dapat disebut sebagai penelitian studi kasus apabila
proses penelitiannya dilakukan secara mendalam dan menyeluruh terhadap kasus yang diteliti, serta
mengikuti struktur studi kasus seperti yang dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (dalam Heigham dan
Croker, 2009), yaitu permasalahan, konteks, isu, dan pelajaran yang dapat diambil. Banyak penelitian yang
telah mengikuti struktur tersebut tetapi tidak layak disebut sebagai penelitian studi kasus karena tidak
dilakukan secara menyeluruh dan mendalam. Penelitian-penelitian tersebut pada umumnya hanya
menggunakan jenis sumber data yang terbatas, tidak menggunakan berbagai sumber data seperti yang
disyaratkan dalam penelitian studi kasus sehingga hasilnya tidak mampu mengangkat dan menjelaskan
substansi dari kasus yang diteliti secara fundamental dan menyeluruh. Oleh karena itu, diperlukan kehati-
hatian dan kecermatan untuk mencantumkan kata ‘studi kasus’ pada judul suatu penelitian, khususnya
penelitian kualitatif.
Menurut Yin (2003), kasus sebagai objek penelitian dalam penelitian studi kasus digunakan untuk
memberikan contoh pelajaran dari adanya suatu perlakuan dalam konteks tertentu. Kasus yang dipilih
dalam penelitian studi kasus harus dapat menunjukkan terjadinya perubahan atau perbedaan yang
diakibatkan oleh adanya perilaku terhadap konteks yang diteliti. Menurutnya, penelitian studi kasus pada
awalnya bertujuan untuk mengambil lesson learned yang terdapat di balik perubahan yang ada, tetapi
banyak penelitian studi kasus yang ternyata mampu menunjukkan adanya perbedaan yang dapat
mematahkan teori-teori yang telah mapan, atau menghasilkan teori dan kebenaran yang baru.
Dari sifat kasusnya yang kontemporer, dapat disimpulkan bahwa penelitian studi kasus cenderung bersifat
memperbaiki atau memperbaharui teori. Dengan kata lain, penelitian studi kasus berupaya mengangkat
teori-teori kotemporer (contemporary theories). Penelitian studi kasus berbeda dengan penelitian
grounded theory, phenomenology, dan ethnography yang bertujuan meneliti dan mengangkat teori-teori
mapan atau definitif yang terkandung pada objek yang diteliti. (Meyer dalam Wahyono, 2009). Ketiga jenis
penelitian tersebut berupaya mengangkat teori secara langsung dari data temuan di lapangan (firsthand
data) dan cenderung menghindari pengaruh dari teori yang telah ada. Sementara itu, penelitian studi
kasus menggunakan teori yang sudah ada sebagai acuan untuk menentukan posisi hasil penelitian
terhadap teori yang ada tersebut. Posisi teori yang dibangun dalam penelitian studi kasus dapat sekadar
bersifat memperbaiki, melengkapi, atau menyempurnakan teori yang ada berdasarkan perkembangan dan
perubahan fakta terkini.
Seperti halnya Stake (1995) dan Creswell (1998), Yin (2003) berpendapat bahwa penelitian studi kasus
menggunakan berbagai sumber data untuk mengungkapkan fakta di balik kasus yang diteliti. Keragaman
sumber data dimaksudkan untuk mencapai validitas dan reliabilitas data, sehingga hasil penelitian dapat
diyakini kebenarannya. Fakta dicapai melalui pengkajian keterhubungan bukti-bukti dari beberapa sumber
data sekaligus, yaitu dokumen, rekaman, observasi, wawancara terbuka, wawancara terfokus, wawancara
terstruktur, dan survey lapangan. Di samping fakta yang mendukung proposisi, fakta yang bertentangan
terhadap proposisi juga diperhatikan, untuk menghasilkan keseimbangan analisis, sehingga objektivitas
hasil penelitian terjaga.
Meskipun tampaknya berbeda, pengertian tersebut pada dasarnya menuju pada satu pemahaman yang
sama. Penjelasannya tidak bertentangan, bahkan saling melengkapi. Kelompok pengertian yang pertama
memulai penjelasan dari adanya objek penelitian, yang disebut sebagai kasus, yang membutuhkan jenis
penelitian kualitatif tertentu, dengan metode penelitian yang khusus, yaitu metode penelitian studi kasus.
Sementara itu, kelompok yang kedua memandang penelitian studi kasus sebagai salah satu jenis metode
penelitian kualitatif yang digunakan untuk meneliti suatu objek yang layak disebut sebagai kasus. Kedua
kelompok pendapat ini memiliki kesamaan pemahaman, yaitu menempatkan penelitian studi kasus
sebagai jenis penelitian tersendiri, sebagai salah satu jenis penelitian kualitatif.
Menurut Bogdan dan Bikien (1982) studi kasus merupakan pengujian secara rinci terhadap satu latar atau
satu orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu peristiwa tertentu . Surachrnad
(1982) membatasi pendekatan studi kasus sebagai suatu pendekatan dengan memusatkan perhatian pada
suatu kasus secara intensif dan rinci. SementaraYin (1987) memberikan batasan yang lebih bersifat teknis
dengan penekanan pada ciri-cirinya. Ary, Jacobs, dan Razavieh (1985) menjelasan bahwa dalam studi
kasus hendaknya peneliti berusaha menguji unit atau individu secara mendalarn. Para peneliti berusaha
menernukan sernua variabel yang penting.
Studi kasus dalam pendidikan bahasa adalah bentuk penelitian pendidikan bahasa yang mendalam
tentang suatu aspek pendidikan bahasa, termasuk lingkungan pendidikan bahasa dan manusia yang
terlihat dalam pendidikan bahasa di dalamnya (Nunan, 1992). Oleh karena beberapa klasifikasi “kasus”
sebagai objek studi (Stake, 1955) dan “kasus” lainnya dianggap sebagai suatu metodologi (Yin, 1994)
maka penjelasan studi kasus merupakan studi yang mendetail yang dapat menggunakan banyak sumber
data untuk menjelaskan sebuah variabel atau hal yang diteliti. Kasus bisa dipilih karena keunikannya atau
kasus bisa digunakan untuk mengilustrasikan suatu isu.
Fokus penelitian dapat berupa satu entitas (penelitian di suatu tempat) atau beberapa entitas (studi multi
tempat/multi-site). Penelitian ini mendeskripsikan kasus, analisis tema atau isu, dan interpretasi atau
pembuktian penelitian terhadap kasus. Studi kasus dalam pendidikan bahasa dapat dilakukan terhadap
seorang individu, sekelompok individu, lingkungan hidup manusia, serta lembaga sosial yang terkait
dengan pendidikan bahasa. Studi kasus dalam pendidikan bahasa dapat difokuskan pada perkembangan
sesuatu di bidang pendidikan bahasa. Misalnya, pengaruh didirikannya pondok baca di daerah pedesaan;
studi longitudinal tentang perkembangan kemampuan linguistik anak. Berdasarkan batasan tersebut dapat
dipahami bahwa batasan studi kasus meliputi: (1) sasaran penelitiannya dapat berupa manusia, peristiwa,
latar, dan dokumen; (2) sasaran-sasaran tersebut ditelaah secara mendalam sebagai suatu totalitas sesuai
dengan latar atau konteksnya masing-masing dengan maksud untuk mernahami berbagai kaitan yang ada
di antara variabel-variabelnya.
B. Tujuan Penelitian Pembelajaran Bahasa
Penelitian merupakan art and science guna mencari jawaban terhadap permasalahan (dan Yoseph dalam
Syamsuddin dan Damaianti, 2006:2). Karena merupakan seni dan ilmiah, penelitian memberikan ruang-
ruang yang akan mengakomodasikan adanya perbedaan tentang konsep penelitian. Penelitian dapat pula
diartikan sebagai cara pengamatan atau inkuiri dan bertujuan mencari jawaban permasalahan atau proses
penemuan, baik discovery atau invention. Discovery diartikan sebagai hasil penemuan yang sebetulnya
memang sudah ada. Invention dapat diartikan sebagai penemuan hasil penelitian yang betul-betul baru
dengan dukungan fakta. Secara umum tujuan kegiatan penelitian adalah menjelaskan dunia di sekitar kita
melalui upaya yang sistematis (Kamil, 1995).
Berdasar pada rumusan tersebut, tujuan penelitian pendidikan/pembelajaran bahasa adalah upaya yang
sistematis untuk menjelaskan, memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah-masalah
pendidikan/pembelajaran bahasa. Secara rinci tujuan penelitian pendidikan/pengajaran bahasa adalah
sebagai berikut: a. menemukan dan mengembangkan teori, model, atau strategi baru dalam pendidi-
kan/pembelajaran bahasa; b. menerapkan, menguji, dan mengevaluasi kemampuan teori, model, strategi
pendi- dikan/pengajaran bahasa dalam memecahkan masalah pendidikan/pembelajaran bahasa; c.
mendeskripsikan dan menjelaskan keadaan atau hubungan berbagai isu atau pikiran yang terkait dengan
masalah bahasa. d. memecahkan masalah pendidikan/pembelajaran bahasa; e. menemukan faktor-faktor
yang mempengaruhi masalah pendidikan/pembelajaran bahasa; f. membuat keputusan atau kebijakan
mengenai pendidikan/pembelajaran bahasa. Masalah pendidikan/pembelajaran bahasa mencakup
masalah-masalah linnguistik atau kebahasaan dan keterampilan berbahasa. Masalah linguistik yang
menjadi fokus penelitian pendidikan/pembelajaran bahasa di antaranya adalah fenomena-fenomena
linguistik yang terkait dengan penutur bahasa dan penggunaan bahasa. Masalah lain yang berhubungan
dengan penelitian/pembelajaran bahasa ialah bagaimana mengidentifikasi sifat-sifat bahasa serta model-
model pengembangannya. Adapun masalah keterampilan berbahasa yang menjadi fokus penelitian bahasa
mencakup keterampilan membaca, menulis, berbicara, dan mendengarkan.
C. Tujuan Penelitian Membaca dan Menulis
Penelitian membaca didasari dan dipengaruhi oleh penelitian-penelitian psikologi. Pada awal abad ke-20
sampai tahun 1960-an, penelitian difokuskan pada bagian-bagian keterampilan membaca. Selanjutnya,
penelitian membaca menghasilkan pemikiran yang sistematis tentang belajar membaca (Kamil, 1995).
Penelitian murni tentang membaca berupaya menjelaskan peristiwa-peristiwa membaca yang ada di
sekitar kita dan berupaya untuk mengembangkan pengetahuan tentang membaca yang berpengaruh pada
penemuan teori membaca. Selanjutnya, teori yang telah dirumuskan diharapkan dapat menjelaskan
berbagai permasalahan membaca. Misalnya, dengan teori tersebut kita dapat menjawab apakah membaca
itu, siapakah yang melakukan kegiatan membaca, serta kapan, bagaimana, mengapa, di mana peristiwa
membaca terjadi. Dari berbagai penelitian, teori-teori membaca semakin lengkap. Teori ini kemudian
dikembangkan dalam penelitian membaca terapan untuk menjelaskan berbagai peristiwa membaca yang
ada di sekitar kita dan memecahkan permasalahan membaca dalam kehidupan sehari-hari.
Dari waktu ke waktu permasalahan membaca lebih banyak berupa isu tentang membaca terapan karena
adanya kebutuhan dan keinginan berupa penerapan teori membaca dalam kegiatan pendidikan,
pengajaran, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, masih banyak teori membaca yang tidak
dapat memecahkan permasalahan pendidikan dan pengajaran membaca. Hal ini menyebabkan pentingnya
pemberian informasi secara terus-menerus dari pendidik dan pengajar tentang permasalahan yang
ditemukannya. Hasil penelitian membaca seharusnya dapat diaplikasikan dalam setting yang tepat. Hasil
penelitian yang baik dapat menjadi umpan balik bagi kerangka kerja atau model kegiatan yang sedang
berlangsung. Ruang lingkup penelitian membaca terapan meliputi evaluasi program membaca individual
atau kelompok, metode, teknik, atau strategi pembelajaran membaca, serta model-model pembelajaran
membaca. Untuk menentukan variabel dan metodo1ogi dilakukan berdasarkan titik pandang
permasalahan membaca serta teori membaca. Penelitian membaca di satu sisi, sebenarnya, tidak
terlampau berbeda dengan penelitian menulis. Permasalahan penelitian menulis diarahkan pada
peningkatan pemahaman dan kemampuan menulis serta penjelasan proses menulis. Akhir-akhir ini
penelitian menulis lebih holistik cakupannya (Shaughnessy, 1977). Selanjutnya, penelitian menulis
berkembang ke arah pengkajian bagian bagian dan proses menulis (Hayes and Flower, 1980).
Baik penelitian bidang membaca maupun penelitian bidang menulis banyak dipengaruhi model dan teori
membaca dan menulis. Ada tiga model yang mempengaruhi penelitian membaca dan menulis, yaitu: a.
model bottom-up atau model keterampilan, dengan tokoh penelitian membacanya adalah Cough, Alford,
Holley-Wilcox (1972) dan tokoh penelitian menulis dengan model ini adalah Warriner dan Griffith (1977);
b. model top-down atau holistik, dengan tokoh penelitian membacanya adalah Goodman Smith (1971)
dan tokoh penelitian menulis dengan model ini adalah Britton (1970); c. model interaktif atau
keseimbangan, dengan tokoh penelitian membacanya adalah Rummelhart (1977) dan tokoh penelitian
menulis melalui model ini adalah Hayes dan Flower (1980).
Penelitian kontemporer dalam membaca dan menulis banyak dipengaruhi oleh psikologi kognitif,
psikologi sosial, linguistik, antropologi, teori belajar, ilmu komputer, dan praktik pendidikan. Beberapa
penelitian membaca dan menulis bertujuan memahami sifat-sifat dasar dan teori-teori proses membaca.
Upaya-upaya itu termasuk menghasilkan model-model dan teori-teori proses membaca, misalnya,
penelitian yang banyak dihasilkan oleh Singer & Ruddeil (1976), Carver (1977-1975). Tujuan lain
penelitian membaca dan menulis adalah untuk meningkatkan praktik-praktik pendidikan membaca dan
menulis, baik di dalam kelas maupun pada seting lainnya.
D. Tujuan Penelitian Berbicara dan Mendengarkan
Penelitian pendidikan berbicara dan mendengarkan pada umumnya bertujuan untuk mengatasi masalah-
masalah peningkatan kemampuan berbicara dan mendengarkan serta mengatasi masalah kesulitan
berbicara dan mendengarkan. Melalui penelitian eksperimen, kesulitan berbicara dan mendengarkan
dapat dilakukan dengan mengkaji atau menelaah faktor-faktor sebab-akibat kesulitan berbicara dan
mendengarkan. Salah satu contoh penelitiannya ialah tentang melihat pengaruh model pembelajaran
berbicara untuk meningkatkan kemampuan berbicara; melihat pengaruh suatu terapi terhadap perilaku
seseorang yang mengalami kesulitan berbicara. Pertanyaan penelitian yang muncul adalah apakah suatu
model pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan berbicara? Apakah terapi menyebabkan perubahan
dalam perilaku berbicara? Adakah pengaruh keter- lambatan simakan terhadap kemampuan berbicara?
Ada empat karakterisik penelitian eksperimen dalam bidang berbicara dan mendengarkan, yaitu sebagai
berikut. (1) Eksperimen diawali dengan maksud, tujuan, pertanyaan, atau hipotesis tentang masalah atau
perilaku khusus tentang berbicara atau mendengarkan. (2) Eksperimen dapat mengontrol berbagai
variabel yang diperkirakan menyebabkan perilaku khusus mengenai berbicara atau mendengarkan. (3)
Penelitian eksperimen dapat dirancang secara sistematis untuk memberikani perlakuan terhadap
kelompok yang dijadikan subjek penelitian. Penelitian lain dalam bidang berbicara dan mendengarkan
bertujuan mendeskripsikan perbedaan kemampuan berbicara dan mendengarkan dua kelompok subjek
penelitian, menggambarkan kecenderungan perkembangan kemampuan berbicara dan mendengarkan dan
menggambarkan hubungan antara kemampuan mendengarkan dan berbicara.
Pada penelitian deskriptif, peneliti tidak melakukan manipulasi terhadap kondisi-kondisi yang sedang
diteliti. Ada empat tipe penelitian deskriptif dalam bidang ini, yaitu: (1) komparasi, (2) perkembangan, (3)
hubungan, dan (4) survei. Penelitian kesejarahan dapat pula dilakukan untuk membuat generalisasi
mengenai hubungan di masa lain tentang faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mengalami
kesulitan dalam berbicara atau mendengarkan serta implikasinya pada kemampuan mendengarkan dan
berbicara pada saat ini. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah merekam atau mencatat
gambaran peristiwa masa lalu yang terkait dengan kemampuan seseorang dalam berbicara dan
mendengarkan. Kemudian peneliti menganalisisnya serta mensintesiskannya ke dalam materi yang sedang
diteliti, yaitu yang berkenaan dengan masalah kesulitan berbicara dan mendengarkan.
E. Sifat Penelitian Pendidikan Bahasa
Karena kegiatan penelitian dipandang sebagai metode ilmiah, karakteristik atau sifat metodologi
penelitian pendidikan bahasa sama dengan bidang-bidang lainnya. Menurut Tuckman (1982), Nunan
(1992), McMillan & Schumacher (2003), Sukardi (2003) sifat metodologi penelitian pendidikan bahasa
adalah sebagai berikut. a. Bertujuan Penelitian mutlak memiliki tujuan yang dapat memberikan arah dan
target yang hendak dicapai. Tujuan ini dapat dipakai sebagai tolok ukur dan penilaian ketercapaian hasil
penelitian.b. Sistematis Penelitian merupakan proses yang terstruktur sehingga diperlukan langkah-
langkah yang tepat untuk melaksanakannya. Pelaksanaan penelitian yang baik dilakukan secara terencana
dan sistematis sejak tahap awal ditentukannya per-masalahan penelitian sampai dengan penarikan
simpulan hasil penelitian. Sistematika permasalahan tersebut dituangkan ke dalam langkah-langkah
proses penelitan. Langkah-langkah dalam proses penelitian akan bergantung pada pendekat-an/metode
yang digunakan dalam sebuah penelitian. Penelitian positivistik kuantitatif tentu akan berbeda
sistematikanya dengan pendekatan naturalistik/kualitatif. c. Objektif Objektivitas mengacu kepada
kualitas data yang dihasilkan oleh prosedur yang dapat mengontrol subjektivitas. Penelitian itu ada objek
yang diteliti. Untuk dapat memahami, memecahkan, dan mengantisipasi masalah, sebuah penelitian,
benar-benar memerlukan data dan objek yang diteliti.. Karena objek tersebut dapat diindera manusia,
semua pihak akan memberikan persepsi yang sama terhadap objek itu. Akan tetapi, karena keterbatasan
kemampuan indera manusia dalam melakukan pengamatan, peneliti dapat menggunakan alat-alat bantu,
seperti instrumen penelitian. Instrumen ini harus melalui uji validitas dan reliabilitasnya agar lebih akurat.
d. Logis. Penelitian dilakukan melalui langkah-langkah yang sistematis, yaitu dengan urutan atau proses
berpikir yang logis, sehingga validitas internalnya secara relatif dapat dipenuhi. Dengan demikian,
simpulan dan generalisasi akan mudah dicek kembali oleh peneliti maupun oleh pihak lain.
Peneliti dapat melakukan penelitian melalui langkah-langkah logis, baik secara deduktif maupun induktif.
Secara deduktif, peneliti melakukan penelitian dari suatu pernyataan umum ke simpulan khusus.
Sebaliknya, penelitian dapat dilakukan secara induktif, yaitu bila peneliti mencapai suatu simpulan dengan
mengamati kasus tertentu kemudian membentuk generalisasi. Simpulannya terbatas pada kasus yang
diamati. e. Empiris Penelitian berkenaan dengan dunia empiris/nyata yang dapat diindera oleh
pancaindera manusia yang bersifat objektif. Karakteristik sebuah penelitian dilihat melalui pendekatan
yang empiris. Bagi peneliti, bukti adalah data, yaitu hasil-hasil nyata yang diperoleh melalui penafsiran
dan penyimpulan dari suatu penelitian (McMillan & Schumacher, 2003). f. Reduktif Bila sebuah penelitian
menggunakan prosedur yang analitis untuk menda-patkan data, sebenarnya peneliti telah mereduksi
berbagai kebingungan tentang suatu fenomena atau masalah. Fenomena itu semula tidak dimengerti dan
membingungkan. Akan tetapi, dengan penelitian yang tepat, fenomena atau kejadian itu dapat diketahui
maknanya. Proses reduksi sebenarnya merupakan bagian dari usaha menerjemahkan realitas menjadi
kenyataan yang bersifat konseptual sehingga dapat digunakan untuk memahami hubungan kejadian yang
satu dan kejadian lainnya. g. Replicable dan Transmitable Suatu penelitian kuantitatif pada umumnya
dapat diulangi oleh peneliti lain untuk mengecek kebenarannya. Agar dapat diulang dengan mudah,
laporan penelitian harus dibuat secara sistematis dan jelas, mulai dan kejelasan variabel, populasi dan
sampel, prosedur mendapatkan sampel, instrumen, uji hipotesis, data yang dihasilkan, analisis hasil,
sampai pada simpulan dan saran yang diajukan. Selama itu, penelitian pendidikan bahasa harus bersifat
transmitable, artinya penelitian harus mampu memecahkan masalah-masalah sehingga dapat digunakan
oleh berbagai pihak untuk berbagai keperluan (Sugiyono, 1994).h. Penjelasan Singkat Penelitian berusaha
menjelaskan hubungan yang ada terhadap fenomena-fenomena tertentu yang dapat mengurangi realitas
yang kompleks menjadi penjelasan yang sederhana (McMillan & Schumacher, 2003). i. Simpulan Bersyarat
Hasil penelitian pendidikan, khususnya pendidikan bahasa merupakan sebuah simpulan yang bersyarat
atau tidak mutlak. Kesalahpahaman yang sering muncul, yaitu bahwa hasil penelitian adalah mutlak dan
simpulannya bersih dari kekeliruan.
F. Sikap llmiah Seorang Peneliti
Seorang peneliti seyogyanya memiliki sikap ilmiah. Berikut ini terdapat sembilan sikap ilmiah yang
selayaknya dimiliki oleh seorang peneliti. a. Sikap Ingin Tahu Seseorang yang bersikap ilmiah itu selalu
bertanya-tanya mengenai berbagai hal yang dihadapinya. Ia selalu tertarik pada hal-hal yang lama dan
yang terutama ia selalu tertarik pada hal-hal yang baru. Hal-hal yang lama, walaupun biasanya telah
dipertanyakan oleh para ahli sebelumnya mungkin saja masih memerlukan pemikiran lebih lanjut. Hal-hal
yang baru menarik untuk dipelajari agar dapat, dicapai suatu pernyataan umum. b. Sikap Kritis Orang
yang bersikap kritis itu tidak puas dengan jawaban tunggal. Ia akan selalu berusaha mencari hal-hal yang
ada di belakang gejala, bahkan yang ada di belakang fakta yang dihadapinya. Sikap ingin tahu itu
menimbulkan motivasi yang kuat untuk belajar dan karena motivasi itu, timbullah sikap kritis. Ia tidak
akan lekas percaya. Karena memiliki sikap ingin tahu itulah, ia mencari informasi sebanyak mungkin
sebelum ia menentukan pendapat untuk ditulis. Ia tidak gegabah mengucapkan atau menulis suatu
pernyataan umum. Bagi seseorang yang bersikap kritis, hukum-hukum alam dan data empiris merupakan
hal yang nomor satu. Ia dapat membedakan dengan baik antara hukum alam, hipotesis, teori, dugaan, dan
pendapat. Ia meneliti dalam upaya membandingkan fenomena-fenomena yang serupa. e. Sikap Terbuka
Orang yang bersikap ilmiah itu selalu bersikap terbuka, yaitu selalu bersedia mendengarkan keterangan
dan argumentasi orang lain walaupun berbeda dengan pendiriannya. Orang yang bersikap terbuka itu,
tidak menutup mata terhadap kemungkinan yang lain. Ia tidak emotif dalam menanggapi kritik, sangkalan
bahkan celaan terhadap pendapatnya. d. Sikap Objektif Bersikap objektif itu adalah menyisihkan perasaan
pribadi (personal bias), atau mengesampingkan kecenderungan yang tidak beralasan, dengan kata lain
dapat menyatakan apa adanya, dapat melihat secara nyata, dan aktual. Peneliti yang bersikap objektif
tidak ‘dikuasai’ oleh pikiran-pikirannya sendiri atau perasaannya sendiri, dan tidak dipengaruhi oleh
prasangka. e. Sikap Rela Menghargai Karya Orang Lain Peneliti yang bersikap ilmiah memiliki jiwa yang
cukup besar untuk menghargai karya orang lain tanpa merasa dirinya kecil. Peneliti yang congkak, dan
merasa lebih tidak mungkin bersikap objektif, dan karya tulisnya akan bernada sombong, memerintah
atau menggurui. Peneliti congkak itu biasanya bersikap meng-’aku’. Peneliti yang berjiwa ilmiah pantang
mengaku karya orang lain sebagai karya orisinal yang berasal dan dirinya sendiri. Ia rela dan dengan
senang hati mengakui dan mengucapkan terima kasih atas gagasan (ide) atau karya orang lain yang
semata-mata ia kutip.f. Sikap Berani Mempertahankan Kebenaran Peneliti yang bersikap ilmiah berani
menyatakan kebenaran dan apabila perlu, Ia mempertahankannya. Kebenaran itu mungkin berupa fakta
atas hasil penelitiannya sendiri atau hasil penelitian atau karya orang lain. Sikap itu menimbulkan
kebulatan dalam cara berpikir dan menimbulkan konsistensi dalam penulisan yang merupakan syarat
mutlak bagi karya tulis ilmiah. g. Sikap Menjangkau ke Depan Peneliti yang bersikap ilmiah mempunyai
pandangan jauh ke depan. Perkembangan etika dan kebudayaan pada umumnya menarik perhatian bagi
orang-orang yang bersikap ingin tahu, kritis, terbuka dan objektif. Oleh karena itu, ia berpandangan jauh
ke depan. Peneliti ini bersifat ‘futuristik’, yaitu mampu melihat jauh ke depan. Apabila ia juga seorang
peneliti yang baik, ia mampu membuat hipotesis dan membuktikannya, serta ia dapat menyusun teori.
Bahkan jika ia seorang yang beraka budi yang cerdik (jenius), ia dapat sarnpai pada penjangkauan
hukurn-hukum alam. Sikap menjangkau ke depan itu membuat seseorang yang bersikap ilmiah gernar
membaca, menganggap meneliti itu sebagai suatu kebutuhan, dan ia menganggap menulis secara ilmiah
itu sebagai kewajiban.
Berdasarkan tujuan, penelitian dapat dikelompokkan menjadi penelitian dasar dan penelitian terapan.
Penelitian dasar bertujuan untuk mengembangkan teori dan tidak langsung memperhatikan kegunaan
praktis. Penelitian terapan bertujuan menerapkan, menguji, dan mengevaluasi kemampuan suatu teori
yang diterapkan dalam memecahkan masalah-masalah praktis sehingga dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan manusia, baik secara individual maupun kelompok (Gay dalam Syamsuddin dan Damaianti,
2006:20-21).
Penelitian berdasarkan jenis data dibedakan menjadi penelitian kuantitatif dan kualitatif. Proses penelitian
kuantitatif didasarkan pada paradigma positivisme yang bersifat logico-hipothetico-verifikatif dengan
berlandaskan pada asumsi mengenai objek empiris dan bersifat linier. Penelitian kuantitatif menyajikan
hasil-hasil statistik yang diawali oleh angka-angka, sedangkan penelitian kualitatif menyajikan data yang
dinarasikan dengan kata-kata, skema, dan gambar.
Penelitian berdasarkan aspek metode dapat dilihat dari pengelompokkan penelitian kualitatif dan
kuantitaif. Penelitian kuantitafif dibedakan menjadi penelitian ekperemental dan nonekspremental,
sedangkan penelitian kualitatif dapat dibedakan menjadi penelitian interaktif dan noninteraktif
(Syamsuddin dan Damaianti, 2006:22-30). Penelitian eksperemental terdiri atas jenis penelitian
ekperemen, ekperemen kuasi, dan subjek tunggal. Penelitian nonekperemen terdiri atas penelitian
deskriptif, komparatif, korelasional, survei, dan ex post facto.
Penelitian kualitatif interaktif adalah suatu studi mendalam yang menggunakan teknik tatap muka untuk
mengumpulkan data dari orang-orang yang ada di dalam seting penelitian tersebut. Para peneliti
interaktif menjelaskan konteks studi, mengilustrasikan perspektif-perspektif yang berbeda atas
fenomena, dan merevisi pertanyaan-pertanyaan secara berkelanjutan dari pengalaman mereka di dalam
bidang tersebut. Adapun penelitian interaktif, yaitu ethnografi, fenomenologik, studi kasus, grounded
theory, dan studi kritis.
Pengajaran dan pembelajaran bahasa merupakan bidang dari linguis terapan. Ciri yang menonjol dari
linguistik terapan adalah kepraktisannya mengacu pada konsumen atau pemakai bahasa (Alwasilah,
2009:48-54). Adapun beberapa kajian lingusitik terapan, antara lain : (1) Linguistik klinis, yang
memanfaatkan temuan-temuan linguistik untuk mengkaji persoalan medis, seperti kelainan berbahasa
dalam bentuk kecelakaan otak dan tunarungu. (2) Linguistik edukasional, yang mengkaji bahasa untuk
kepentingan kependidikan, khususnya yang terkait dengan bahasa daerah. Wilayah kajian meliputi
pengajaran dan kesulitan siswa dalam membaca dan menulis atau kurikulum bahasa. (3) Leksikografi,
yakni profesi yang memanfaatkan temuan-temuan dan metodologi linguistik untuk menggeluti seni dan
praktik penyusunan kamus. (4) Terjemahan, yakni segala sesuatu –linguis maupun nonlinguis- yang
berkaitan dengan pengalihbahasaan makna yang melibatkan dua bahasa. (5) Pengajaran dan pembelajaran
bahasa. Adapun bidang penerapan linguistik, yaitu (1) metodologi pengajaran, pembelajaran dan tes
bahasa kesatu dan kedua. (2) Pendidikan multikultural dalam masyarakat. (3) Teknologi pengajaran
bahasa. (4) Problem bahasa dan individu (pemerolehan bahasa dan disfungsi bahasa). (5) Problem bahasa
dan masyarakat (perencanaan bahasa dan pembakuan bahasa). (6) Teori dan praktik penerjemahan. (7)
Analisis dan interpretasi wacana lisan dan tertulis (termasuk stilistika, puisi, dan pragmatik). (8) Studi
bahasa dan kaitanya dengan sistem semiotik lain (termasuk film dan teater, tari, kode, pakaian, ornamen,
mitologi, dan foklor).
Kepraktisan linguistik terapan terlihaat dari pertanyaannya, yaitu mengajar apa, kapan mengajarnya, dan
berapa banyak yang diajarkannya. Seperti tabel berikut linguistik terapan sebagai mediator antara
pemerintah dan guru bahasa di lapangan
Tabel Hierarki Perencanaan Pengajaran Bahasa
Hirerki Pelaku Isu-isu yang dihadapi
Tingkat 1. Politik Pemerintah Apakah perlu diajarkan, bahasa apa, dan untuk siapa.
Tingkat 2. Linguitik dan Sosiolinguistik Linguistik terapan Apa yang diajarkan kapan dan berapa banyak
Tingkat 3 Psikolinguistik dan Pedagogi Guru kelas Bagaimana mengajarkannya
Ada tiga jenis sains terapan, khususnya yang berkaitan dengan linguistik, yaitu (1) Metode dan hasil dari
satu cabang sains digunakan untuk mengembangkan cabang ilmu lain, misalnya dari cabang linguistik
dikembangkan model kajian filologi dan stilistika. (2) Metode dan hasil dari satu cabang sains digunakan
untuk memecahkan persoalan-persoalan praktis seperti pengajaran bahasa. (3) Penerapan atau aplikasi
itu sendiri, seperti halnya yang dilakukan guru dalam kelas, atau penerjemah dalam melakukan
terjemahannya. Guru dengan kata lain merupakan ujung tombak atau yang melaksanakan kajian-kajian
linguis terapan. Prinsip-prinsip penerapan linguistik dalam bagaan merikut ini sesungguhnya merupakan
pengembangan prinsip-prinsip keilmuan linguistik.
Diagram Linguistik Terapan
H. Keuntungan dan Kelemahan Studi Kasus
Sumber daya yang tersedia untuk penelitian selalu langka dan studi kasus menyediakan sarana untuk
mencakup sejumlah besar daerah kasus menyediakan sarana untuk mencakup sejumlah besar daerah
dengan biaya yang tidak terlalu besar. Lebih khusus lagi, cara ini menyediakan sarana untuk mempelajari
masalah yang agak rumit secara mendalam. Dengan menggunakan studi kasus, demikianlah peneliti
untuk membandingkan sejumah pendekatan yang berbeda-beda terhadap suatu masalah dengan cukup
rinci untuk mengambil pelajaran yang dapat diterapkan secara umum.
Karena sifatnya, studi kasus digunakan untuk menggambarkan hal-hal umum dan untuk memperoleh
kesimpulan yang dapat dirampatkan untuk mencakup keadaan yang lebih banyak. Akan tetapi, dari segi
statistik, cara ini tidak absah untuk sampel yang dipilih secara tepat. Oleh karena itu, seberapa jauh
perampatan yang absah dapat dibuat bergantung pada seberapa jauh derajat studi kasus itu sendiri
bersifat khas dan juga pada pola ketelitian pengambilan kesimpulan. Oleh karena itu, sangat penting,
peneliti memberikan perhatian khusus pada kedua hal ini, apabila mengamati hasil penelitian berdasarkan
studi kasus.
Studi kasus sering digunakan untuk memperjelas proses yang rumit, hasilnya, dan apa yang terjadi
sebelumnya. Cara ini dapat merupakan proses yang banyak menyita waktu, terutama kalau mengamati
perubahan organisasi, penelitain bisa berlangsung berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Kelemahan ini
ialah bagian lain dari dunia tidak menunggu hasil penelitian dan ketika terbitan itu muncul, sering sudah
ditinggalkan keadaan.
Studi kasus yang baik memiliki lima kreteria. Pertama, studi kasus dikatakan signifikan apabila kasus itu
sendiri menyangkut sesuatu yang luar biasa, yang berkaitan dengan kepentingan umum atau bahkan
dengan kepentingan nasional. Kedua, studi kasus dikatakan lengkap apabila batas-batasnya dapat
ditentukan dengan jelas. Ketiga, studi kasus yang baik haruslah mampu menunjukkan bukti-bukti yang
paling penting saja. Terakhir, studi kasus yang baik hendaknya ditulis dengan gaya yang menarik
sehingga mampu terkomunikais dengan pembaca.
I. Janis-jenis Studi Kasus
Pendekatan studi kasus dalam penelitian sering diletakkan pada penelitian kulitatif (Bigdan dan Biklen,
1982; Burges, 1985). Sependapat dengan pemahaman di atas Vredenbergt (1978); Ary dan Razavieh
(1985) menjelaskan sifat studi kasus sebagai suatu pendekatan yang bertujuan untuk memepertahankan
keutuhan objek, artinya data yang dikumpulkan dalam rangka studi kasus dipelajari sebagai suatu
keseluruhan yang terintegrasi. Tujuan dari studi kasus adalah untuk mengembangkan pengetahuan yang
mendalam mengenai objek yang bersangkutan yang berarti bahwa studi kasus harus berupa suatu
penelitian eksploratif dan deskriptif (Arikunto, 1989). Studi kasus yang bersifat eksploratif dan deskriptif
digunakan untuk menjawab pertanyaan ”apa”, sedangkan yangbersifat eksplanatoris digunakan untuk
menjawab ”bagaimana” dan ”mengapa”. Namun demikian, jika dibandingkan dengan metode-metode
lainstudi kasus pada dasarnya lebih banyak berurusan dengan pertanyaan mengapa dan bagaimana.
Studi kasus juga merupakan ciri penelitian yang lebih mudah dibandingkan studi lainnya, yaitu studi multi
situs atau studi muklti subjek (Bogdan dan Biklen, 1982). Studi kasus kualitatif memiliki beberapa jenis,
masing-masing memerlukan pertimbangan khusus untuk menetapkan apakah suatu masalah dapat diteliti
dan prosedur apa yang akan digunakan. Jenis studi kasus menurut Bogdan dan Biklen (1982)
diklarifikasikan sebagai berikut.
1. Studi kasus kesejarahan mengenai organisasi dipusatkan pada perhatian organisasi tertentu dan dalam
kurun waktu tertentu, dengan menelusuri perkembangan organisasinya. Studi ini kurang memungkinkan
untuk diselenggarakan karena sumbernya kurang mencukupi untuk dikerjakan secara minimal.
2. Studi kasus observasi, mengutamakan teknik pengumpulan datanya melalui observasi peran serta atau
pelibatan, sedngkan fokus studinya pada suatu organisasi tertentu atau beberapa segi organisasinya.
Bagian-bagian organisasi yang menjadi fokus studinya antara lain: (a) suatu tempat tertentu di dalam
sekolah; (b) satu kelompok siswa; (c) kegiatan sekolah.
3. Studi kasus sejarah hidup, yang mencoba mewawancarai satu orang dengan maksud mengumpulkan
narasi orang pertama. Untuk jenis wawancara yang dilakukan oleh ahli sejarah disebut sebagai sejarah
lisan, mereka biasanya memwawancarai orang-orang dengan kepemilikan sejarah yang khas, sedangkan
kepada orang tidak memiliki latar belakang khusus seringkali disebut sejarah ”orang kebanyakan”.
4. Studi kasus kemasyarakatan, merupakan studi tentang kasus kemasyarakatan yang dipusatkan pada
suatu lingkungan tetangga atau masyarakat sekitar.
5. Studi kasus analisis situasi, jenis studi kasus ini mencoba menganalisis situasi terhadap peristiwa atau
kejadian tertentu.
6. Mikroethnografi, merupakan jenis studi kasus yang dilakukan pada unit organisasi yang snagat kecil.
J. Implementasi Penelitian Studi Kasus
Di dalam mengimplementasikan pendekatan studi kasus Bogdan dan Biklen (1982) memberikan petunjuk
desain yang disajikan dalam bentuk cerobong. Cerobong ini melukiskan proses penelitian yang berawal
dari eksplorasi yang bersifat luas dan dalam, kemudian berlanjut dengan aktivitas pengumpulan dan
analisis data yang lebih menyempit dan terarah pada suatu topik tertentu. Bentuk ini merupakan langkah
sistematis penelitian, mula-mula peneliti menjajaki tempat dan orang yang dapat dijadikan sumber data
atau subjek penelitian, mencari lokasi yang dipandang sesuai dengan maksud pengkajian, dan selanjutnya
mengembangkan jaringan yang lebih luas untuk menemukan kemungkinan sumber data, seperti cerobong
Owens (1987) sebagai berikut.
General Outline of Plan for a Naturalistic Study
Penggunaan bentuk cerobong dalam penelitian kasus, mengisyaratkan peneliti untuk berusaha memeroleh
perian dan eksplanasi yang dapat membantu mengonstruksi dan mengklasifikasi kenyataan-kenyataan
dan mengintegrasikan data ke dalam seperangkat konstruk teoretik (Owens, 1987). Apabila peneliti di
lapangan mendapatkan berbagai kekurangan pengetahuan tentang apa yang diteliti, peneliti disarankan
untuk membentuk konstruk-konstruk teoretik (DiCaprio, 1974). Konstruk-konstruk teoretik itu disusun
berdasarkan postulat yang bersifat pembuktian sediri selama hal itu dianggap relevan dan sesuai dengan
situasi kondisi di lapangan. Selanjutnya Kadir (1992) memberikan garis besar tahapan dalam melakukan
studi kasus, yaitu (1) Pemilihan kasus: dalam pemilihan kasus hendaknya dilakukan secara bertujuan dan
bukan secara rambang. (2) Pengumpulan data: terdapat beberapa teknik dalam pengumpulan data, tetapi
yang lebih dipakai dalam penelitian kasus adalah observasi, wawancara, dan analsis dokumentasi. (3)
Analisis data: setelah data terkumpul peneliti dapat memulai mengagregasi, mengorganisasi, dan
mengkalsifikasi data menjadi unit-unit yang dapat dikelola. (4) Perbaikan: meskipun semua data telah
terkumpul, dalam pendekatan studi kasus hendaknya dilakukan penyempurnaan atau penguatan data
baru terhadap kategori yang telah ditemukan. (5) Penulisan laporan: laporan hendaknya ditulis secara
komunikatif, mudah dibaca, dan mendeskripsikan suatu gejala atau kesatuan sosial secara jelas sehingga
memudahkan pembaca untuk memahami seluruh informasi penting. Adapun petunjuk menggunakan studi
kasus, yaitu menentukan cakupan dan sifat kajian, memilih studi kasus (sifat dan pendekatan resmi),
memperoleh kerja sama, membina hubungan kerja sama yang efektif dengan mereka yang akan diteliti,
dan tidak mengganggu keobjektifan kerja (Syamsuddin dan Damaianti, 2006:187-188)
K. Studi Kasus Bahasa
Studi kasus bahasa (LCaS) mencoba untuk membiasakan guru bahasa dengan metode studi kasus dan
untuk merangsang guru bahasa dan pelatih guru membuat studi kasusnya sendiri sesuai dengan
kebutuhan pengajaran mereka. Ruang lingkup dan keterbatasan proyek pengajaran bahasa. Komunikatif
telah menjadi metode utama selama bertahun-tahun, namun interaksi kelas sangat sering terbatas pada
antara siswa dan guru. Penggunaan pendekatan problem-based learning dan metode pengajaran yang
berorientasi tugas, seperti proyek kerja, simulasi dan studi kasus otentik, telah terbukti menjadi sarana
yang efisien dalam memungkinkan peserta didik untuk meningkatkan keterampilan bahasa mereka dalam
kemampuan membaca, menulis dan berbicara, dan mengembangkan strategi pemecahan masalah dan
kerja sama tim. Hal tersebut otentik bahan memotivasi peserta didik, meningkatkan proses belajar, dan
memiliki dampak positif pada kompetensi bahasa.
Tujuan LCaS untuk meningkatkan pengajaran bahasa di tingkat menengah dan universitas dengan
memperkenalkan berorientasi tugas pendekatan melalui penggunaan studi kasus dalam pengajaran
bahasa; mengembangkan modul pelatihan guru termasuk bahan mengajar diujicobakan untuk digunakan
dalam kelas. Adapun karakteristik LcaS isu-isu pengajaran bahasa lebih luas. Pentingnya bahasa mengajar
dan belajar, dan pertukaran internasional dan kerjasama telah meningkat sejak 1980-an dan 1990-an
ketika globalisasi dan komunikasi dalam bahasa asing menjadi semakin penting. Ini telah memiliki cukup
berdampak pada pengajaran bahasa: setelah dominasi andtranslation-tata bahasa metode dalam kelas
bahasa di Eropa, “komunikasi” dan “kompetensi komunikatif” telah menjadi kata kunci selama tiga puluh
tahun terakhir. Metode tata bahasa-terjemahan memberi peserta didik pengetahuan teoretis yang baik
tentang bahasa dan kompetensi yang disediakan dalam menerjemahkan teks. Bahasa kelas tersebut
didasarkan pada teks tertulis, kompetensi lisan sementara itu dianggap kurang penting. Dengan
meningkatkan pertukaran dan kerjasama di kemudian setengah abad ke-20, metode ini tidak lagi sesuai
dengan kebutuhan peserta didik dan teknik baru yang diterapkan, dipengaruhi oleh teori-teori seperti
strukturalisme, transformasi tata bahasa, dan metode komunikatif. Tetapi bahkan metode komunikatif,
dalam prakteknya, sering terbatas komunikasi yang nyata dalam bahasa belajar kelas untuk memainkan
peran pendek dan latihan. Ini adalah terbatas waktu dan tidak berhubungan dengan kegiatan lain di dalam
kelas karena mereka mengikuti tata bahasa dan kegiatan kosakata atau membaca dan mendengarkan
latihan. Memainkan peran itu, dalam banyak kasus, tidak terkait dengan status dan pengalaman peserta
didik dan tidak sangat otentik. Oleh karena itu, pelajar kadang-kadang enggan untuk bertindak keluar
bermain peran, atau mereka dialog berlebihan sehingga seluruh situasi menjadi lucu. Hal ini karena
beberapa memainkan peran mengharuskan para siswa mengambil peran realistis atau tidak diinginkan
atau karena mereka tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik dalam suatu situasi tertentu.
Studi kasus yang tegas berdasarkan analisis dan pemahaman tertulis, dan dalam beberapa kasus oral,
material. Pembelajar dihadapkan dengan sejumlah besar teks, yang mereka harus menganalisis untuk
memahami soal yang diberikan dan untuk menemukan informasi tentang berbagai aspek kasus ini. Ketika
bekerja pada studi kasus, peserta didik mendapatkan asli, atau “hampir otentik”, yaitu, ringan diedit,
material pada situasi tertentu dan harus memecahkan masalah dengan tugas menyelesaikan, meneliti, dan
menyelidiki. Tingkat keaslian tugas dapat terletak di suatu tempat antara simulasi global, yang memiliki
unsur fiktif yang kuat, dan proyek pekerjaan, yang sangat nyata sejauh tugas dan keterlibatan peserta
didik adalah bersangkutan.
Penggunaan studi kasus membantu pelajar untuk mengembangkan keahlian riset, yang mereka akan
hampir tentu perlu dalam kehidupan masa depan profesional mereka. Sifat menerima tugas jauh kuat
dibanding dengan dua metode lain yang disebutkan sebelumnya. Selain itu, studi kasus dapat
memerlukan waktu kelas lebih sedikit untuk guru dan pelajar dari pekerjaan proyek atau global simulasi,
dan dapat dengan mudah diintegrasikan ke dalam silabus yang ada. Ketika bekerja pada sebuah studi
kasus, siswa diminta untuk menganalisis materi (reseptif elemen) dan kemudian mengembangkan solusi
untuk masalah, yang mereka akan harus hadir
secara lisan dan tertulis (elemen produktif). Membaca adalah bagian integral dari kegiatan dan peserta
didik dilatih dalam pemahaman membaca yang efektif.
Studi kasus juga merangsang kerja tim, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan presentasi,
diskusi keterampilan, keterampilan negosiasi, kompetensi dalam pembuatan kompromi, antarbudaya
kompetensi dan kemampuan belajar. Tapi sebagian besar dari semua, studi kasus sangat memotivasi:
pelajar menghabiskan lebih banyak waktu membaca teks dalam bahasa asing, mereka merasakan
kebutuhan nyata untuk mengekspresikan diri menggunakan bahasa target dan lebih berupaya untuk
mempersiapkan mereka presentasi. Proses belajar karena itu diintensifkan dan menjadi lebih sukses, yang
menyebabkan hasil linguistik yang lebih baik dalam situasi komunikasi yang otentik. Perbedaan antara
LCaS dan studi kasus dalam disiplin lain. LCaS dan studi kasus dalam disiplin lain yang digunakan dalam
dua cara yang berbeda: di lain disiplin topik dan isi studi kasus secara langsung berhubungan dengan
aspek silabus atau subjek diajarkan atau dinilai; konten adalah elemen kunci dari kasus studi, dan
kebenaran dan rincian ditekankan. Bila menggunakan LCaS, konten adalah alat dan bahasa menjadi tujuan
dari kegiatan ini - setidaknya di guru perspektif, sehingga konten biasanya kurang rinci dan hasilnya
dinilai terutama kompetensi linguistik mereka.
Beikut ini diuraikan salah satu contoh penyajian dalam menggunakan LCaS di kelas dengan dua belas
tahapan (Fischer, 2008:29-31):
1. Menyajikan LCaS kepada peserta didik
a.Menjabarkan masalah
b.Mengalokasikan peran
c.Memeriksa pemahaman
2. Membagi peserta didik dalam kelompok kecil
a. Membaca LcaS
b. Memahami skenario
3. Membahas masalah dengan pembelajar
a. Memahami masalah
b. Menyelesaikan kesulitan
4. Penelitian
a. Memahami navigasi LcaS
b. Dipandu penelitian
c. Guru fasilitasi
5. Mengevaluasi temuan
a. Klarifikasi informasi
b. Beratnya argumen
6. Bersiap untuk menyajikan solusi
a. Penyusunan poin utama
b. Memeriksa waktunya
c. Memeriksa makna dan ejaan
d. Menyediakan solusi
7. Presentasi kelompok: bekerja dari catatan
a. Kelompok ini terlibat dengan para penonton
b. Membuat poin-poin kunci
c. Improvisasi
d. Mempertahankan kontak mata
e. Melewati ke pembicara berikutnya
8. Presentasi kelompok: menggunakan alat bantu visual
a. Menggunakan OHP
b. Kekuatan MS PowerPoint
c. Menjawab pertanyaan
9. Pleno: kelompok mencari solusi untuk LcaS
a. Bergantian
b. Mengembangkan toleransi
c. Bertukar ide
d. Menjelajahi kompromi
10. Memberikan dan menerima umpan balik
a. Mendengarkan orang lain
b. Penilaian diri
c. Menjadi positif
11. Diri dan penilaian sejawat: menonton rekaman
a. Menemukan daerah untuk perbaikan
b. Melihat bahasa tubuh secara rinci
12. Refleksi LCaS kerja
a. Apa yang berjalan dengan baik
b. Apa yang disajikan kesulitan
c. Gagasan untuk masa depan
d. Apa yang telah dipelajari
Tahap ini adalah contoh dan tergantung pada tujuan pembelajaran dan
tingkat kompetensi - baik linguistik dan metalinguistik - aspek tertentu dapat
memerlukan perhatian lebih dari orang lain dalam setiap kelompok individu.
Bila menggunakan studi kasus di kelas guru harus memberikan perhatian khusus untuk: manajemen
waktu (misalnya, bagaimana untuk menyertakan studi kasus dalam
semester/mingguan program; bagaimana merencanakan silabus); pelajaran perencanaan (misalnya,
bagaimana memasukkan bekerja studi kasus di jam
alokasi untuk pelajaran, bagaimana untuk menyajikan seperangkat bervariasi kegiatan, bagaimana untuk
membagi
kerja antara kerja kelas dan pekerjaan rumah, bagaimana untuk memungkinkan untuk yang tak terduga);
menjelaskan tugas kepada siswa (misalnya, bagaimana untuk memeriksa pemahaman; bagaimana
menggunakan istilah dan bahasa yang jelas, bagaimana untuk menjawab pertanyaan, bagaimana untuk
memperoleh
pertanyaan); pengorganisasian kerja berpasangan (misalnya, pemahaman dinamika kelas; pemahaman
keterampilan komplementer; mendapatkan respon, bagaimana tidak untuk mendominasi); mengorganisir
kelompok (misalnya, pemahaman manfaat dari kerja kelompok, pemanfaatan kelompok, membuat
pengelompokan produktif, belajar untuk berdiri kembali, memunculkan umpan balik, pemahaman
kebisingan); siswa mempersiapkan diri untuk hadir (misalnya, memberikan contoh, memberikan
bahasa, mendadak presentasi, presentasi singkat, teks berubah untuk bahasa lisan, menjelaskan
psikologi); perencanaan dan film presentasi (misalnya, mengatasi technophobia, menggunakan teknologi,
perencanaan rincian teknis, waktu, urutan
presentasi, dengan menggunakan tips film); pengorganisasian kelas menulis (misalnya, menyediakan
model untuk menyalin, memberikan
tanggapan singkat tugas, mengorganisir ide-ide, mengajar mendaftar, menggabungkan membaca dan
menulis).
Karakteristik pembelejaran dengan metode kasus, yaitu menekankan pada analisis situasional, pentingnya
menghubungkan antara analisis dan tindakan, perlunya keterlibatan mahasiswa, peran pengajar yang
tidak tradisional, dan suatu keseimbangan antara sasaran-sasaran substansi dan proses pembelajaran
(Jugiyanto, 2007:36-39). Lebih lanjut Corey (dalam Jugiyanto, 2007:39-41) menjelaskan bahwa
pembelajaran metode kasus dapat menyediakan elemen-elemen dari pembelajaran yang efektif, yaitu
pembelajaran dengan penemuan, pembelajaran melalui investigasi, pembelajaran lewat latihan
berkelajutan, pembelajaran dengan perbedaan dan pembandingan, pembelajaran lewat keterlibatan, dan
pembelajaran lewat motivasi. Adapun tujuan yang dapat dicapai dari pembelajaran dengan menggunakan
metode kasus adalah memungkinkan menggabungkan teori dan praktik dalam proses pembelajaran,
memungkinkan mahasiswa belajar pengalaman dari tangan pertama dari pelaku kasusnya, memungkinkan
mentransfer managerial wisdow ke dalam ruang kelas, memungkinkan mahasiswa mengembangkan sense
of judgement mereka, memahami praktik pembelajaran sesungguhnya dengan cara yang efisien,
meningkatkan komunikasi mahasiswa, melatih mahasiswa berpikir secara konstruktif, dan mendorong
mahasiswa mempunyai kemampuan sintesa dan evaluasi.
L. Isu-isu dalam Penelitian Kualitatif
Beberapa permasalahan dalam penelitian kualitatif yang sering ditemui saat ini baik dalam penelitian teisis
maupun disertasi, diantaranya berkenaan dengan pertanyaan penelitian, metode penelitian, termasuk
prosedur penelitian atau pengambilan data serta analisis data ( Furqan dan Emilia, 2010:37-59).
1. Pertanyaan Penelitian
Mengingat penelitian kualitatif dianggap sebagai penelitian yang memfokuskan perhatiannya terhadap
proses, selain produk, dan memberi penjelasan dengan sangat rinci maka penelitian kualitatif sering
hanya menggunakan pertanyaan penelitian yang sifatnya menanyakan proses seperti ”Bagaimana…, dan
Mengapa, …”. Pertanyaan penelitian yang sifatnya ”leading question” sering dihindari oleh peneliti dengan
alasan bahwa leading question menjadi tidak populer karena dianggap kurang powerful padahal
pertanyaan penelitian bisa berubah dan berkembang sejalan dengan proses penelitian.
2. Desain dan Metode Penelitian
Metode penelitian yang sering dipakai dalam penelitian kualitaif bisa tergolong pada paradigma pada
paradigma penelitian empiris, interpretif, kritis, posmodernisme, dan postrukturalisme. Metode penelitian
yang bisa dipakai terdiri atas beberapa macam, di antaranya studi kasus, etnografi, evaluasi program,
action research, posfeminisme, posmodernisme, dan analisis teks.
Motode penelitian yang digunakan hendaknya digiring oleh teori yang dipakai dan penelitian sebelumnya
mengenai bidang yang diteliti mengingat pustaka yang harus dilihat ada dua macam, yakni pustaka yang
berkaitan dengan metodologi, yang disebut methodological literature dan pustaka yang berkaitan dengan
definisi, kualitas, dan cakupan atau skop, yang disebut dengan topic literature. Apabila metode penelitian
yang dipakai tidak tepat, atau tidak sesuai dengan metode penelitian yang digunakan oleh para ahli di
bidang itu, peneliti akan sulit untuk menjustifikasi bahwa metode penelitian ini tepat dan akurat, seusai
dengan apa yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang paling umum dipakai dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi,
wawancara, dan analisis dokumen. Pemilihan ketiga teknik pengumpulan data ini harus relevan dengan
pertanyaan penelitian. Observasi merupakan teknik pengumpulan data yang fundamental dan sangat
penting dalam semua penelitian kualitatif. Dalam melaporkan observasi, penulis perlu menjelaskan
beberapa hal, yaitu satuan analisis (apa atau siapa yang diobservasi), jenis observasi apa yang dipakai,
manfaat atau kelemahan jenis observasi yang dipakai, berapa kali dan berapa lama observasi dilakukan,
apa yang dilihat dalam observasi, bagaimana cara merekam data observasi, upaya yang dilakukan untuk
mengurangi bias dalam proses observasi, perlu menghubungkan data observasi dengan sumber atau
teknik data yang lain, satu teknik pengumpulan data untuk menjawab semua pertanyaan penelitian,
kelemahan apa yang ada dalam proses observasi, dan masalah yang ada dalam implementasi program
perlu juga disebutkan.
Wawancara memainkan peran yang sangat penting dalam penelitian kualitatif. Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan dalam melakukan wawancara, yaitu jenis wawancara yang dipakai, siapa yang
diwawancarai, apakah wawancara dilakukan perorangan atau kelompok, apa yang ditanyakan, data
wawancara disimpan di aman, proses wawancara (direkamkah, tujuan, di mana, mengapa, apakah),
penjelasan yang membuat yang diwawancarai merasa bebas, kelemahan proses wawancara, kesadaran
bahwa wawancara mempunyai potensi bias, penjelasan apakah pertanyaan wawancara diujicobakan, dan
penjelasan apakah peneliti mengembalikan hasi transkripsi kepada partisipan.
Dalam memaparkan langkah teknik analisis dokumen peneliti sering mengalami kegagalan dalam
menernagkan beberapa hal, seperti tujuan dari analisis dokumen, apakah dokumen yang dianalisis cukup,
apa yang dicari dari dokumen yang dianalisis, di mana data dari analisis dokumen disimpan di disertasi,
dan apa makna dari data yang diperoleh dari dokumen.
4. Analisis Data
Masalah yang paling umum ditemukan dalam penelitian kualitatif adalah bahwa peneliti gagal untuk
kembali kepada teori yang telah dipaparkan dalam kajian pustaka. Dengan demikian, peneliti tidak bisa
mengambil kesimpulan apakah peneliti ini mendukung atau bertentangan dengan penelitian sebelumnya,
apakah penelitian ini telah menghasilkan teori baru yang belum pernah ditemukan dalam penelitian
sebelumnya untuk memperlihatakan kepada pembaca bagaimana penelitian menmperkokoh dasar
pengetahuan. Banyak penulis yang belum bisa melakukan dialog dengan wacana lain berkenaan dengan
penelitian yang dilakukannya.
Beberapa masalah khas dalam penelitian kualitatif, yaitu satuan analsisi (perorangn atau kelompok),
kurangnya kesadaran peneliti bahwa analisis data kualitatif sebaiknya data dianalisis segera setelah data
itu diperoleh, peneliti sering terpengaruh mitos bahwa menulis laporan penelitian dilakukan ketika semua
data sudah terkumpul dan dianalisis, peneliti kurang sadar bahwa analisis data dalam penelitian kualitatif
bersifat theory driven, peneliti tidak menjelaskan tahapan-tahapan dalam menganalisis data yang
diperloleh dari setiap sumber data, kurangnya kesadaran para peneliti bahwa analisis data dalam
pemilihan data yang dipaparkan tidak bersifat netral, tetapi sangat bergantung pada kreativitas,
pengetahuan , dan kerja keras peneliti, ketika menginterpretasi data atau mengomentari data atau
mencermati makna dari data yang diperoleh, peryataan seyogiyanya ditulis dengan hati-hati dengan
menghindari kalimat yang bersifat menggeneralisasi.
III. Simpulan
Beberapa studi kasus dalam penelitian pendidikan bahasa dapat dikaji dalam penelitian kualitatif dan
kuantitatif. Penelitian kualitatif pada aspek studi kasus penelitian pendidikan bahasa terdapat dalam
keterampilan berbahasa, kebahasaan, dan sastra serta pembelajarannya. Karakteristik pembelejaran
dengan metode kasus, yaitu menekankan pada analisis situasional, pentingnya menghubungkan antara
analisis dan tindakan, perlunya keterlibatan mahasiswa, peran pengajar yang tidak tradisional, dan suatu
keseimbangan antara sasaran-sasaran substansi dan proses pembelajaran.Tujuan yang dapat dicapai dari
pembelajaran dengan menggunakan metode kasus adalah memungkinkan menggabungkan teori dan
praktik dalam proses pembelajaran, memungkinkan mahasiswa belajar pengalaman dari tangan pertama
dari pelaku kasusnya, memungkinkan mentransfer managerial wisdow ke dalam ruang kelas,
memungkinkan mahasiswa mengembangkan sense of judgement mereka, memahami praktik
pembelajaran sesungguhnya dengan cara yang efisien, meningkatkan komunikasi mahasiswa, melatih
mahasiswa berpikir secara konstruktif, dan mendorong mahasiswa mempunyai kemampuan sintesa dan
evaluasi. Adapun tujuan penelitian pendidikan/pengajaran bahasa, yaitu a. menemukan dan
mengembangkan teori, model, atau strategi baru dalam pendidikan/pembelajaran bahasa; b. menerapkan,
menguji, dan mengevaluasi kemampuan teori, model, strategi pendidikan/pengajaran bahasa dalam
memecahkan masalah pendidikan/pembelajaran bahasa; c. mendeskripsikan dan menjelaskan keadaan
atau hubungan berbagai isu atau pikiran yang terkait dengan masalah bahasa. d. memecahkan masalah
pendidikan/pembelajaran bahasa; e. menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah
pendidikan/pembelajaran bahasa; f. membuat keputusan atau kebijakan mengenai
pendidikan/pembelajaran bahasa.
Daftar Pustaka
Ary, D. Jacobs. et.al.1977. Introduction to Reseach in Education. New York: Holt Rinehart and Winston.
Bogdan, R.C & Biklen, S.K. 1982. Methods of Social Research Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Cresswell, J.W.1998. Research Design:Qualitative & Quantitative Approaches. London: SAGE Publicational.
Creswell, J.W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing among Five Traditions. New Delhi:
Sage Publications, Inc.
Creswell, J.W. 2008. Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and
Qualitative Research. New Jersey: Pearson Merril Prentice Hall.
Denzin, N.K. and Lincoln, Y.S. 2009. Handbook of Qualitative Research. Terjemahan oleh Dariyatno dkk.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fischer, Johann. et.al. 2008. LCaS: Language Case Studies Teacher Training Modules on the Use of Case
Studies in Language Teaching at Secondary and University Level. Austria: Council of Europe Publishing.
Fraenkel, J.R & Wallen, N.E. 1993. How to Design Evaluate Reseach in Education. New Yoek: McGraw Hill.
Furchan, Arief, (Penerjemah). 2004. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Guba, Egon G. & Lincoln, Yvonna S. 1981. Effective Evaluation. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.
Heigham, J. and Croker, R.A. 2009. Qualitative Research in Applied Linguistics A Practical Introduction.
Great Britain: Palgrave MacMillan.
Kirk, J. & Miller, M.I. 1986. Reability and Validity in Qualitative Research, Vol.1, Beverly Hills: Sage
Publication.
Lincoln, Yvonna S. & Guba, Egon G. 1985. Naturalistic Inquiry. California, Beverly Hills: Sage Publications.
McMillan, J. & Schumacer, S. 2001. Reseach in Education. New York: Longman.
Moleong, L. J. 2001. Metologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosydakarya.
Muhadjir, Noeng. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV. Yogyakarta: Rake Sarasin• Noeng
Muhadjir. 2001. Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme. Edisi II. Yogyakarta:
Rake Sarasin.
Sayekti P. S. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif (Diktat). Program Pascasarjana Universitas Negeri
Yogyakarta.
Stake, R.E. 1995. The Art of Case Study Research. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Surachmad, W. 1982. PengantarPenelitian. Bandung: Tarsito.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:Remaja Rosdakarya
Syamsuddin A.R. & Damaianti, V.S. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Wiriaatmadja,Rochiati. 2007. Metode penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wahyono, H. 2009. Penelitian Studi Kasus. Tersedia: http://penelitianstudikasus.blogspot.com/
Yin, R.K. 2003. Case Study Research: Design and Methods (3rd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage
Publications.
Posted in Uncategorized | No Comments »

Feb
17

Kritik Disertasi (Mengkritisi Disertasi) oleh Arono


Studi analisis disertasi berikut ini diuraikan dalam bentuk analisis berdasarkan tahapan yang dikemukakan
Fraenkel & Wallen (2007:281), yaitu pupose/justification, definitions, prior research, sample,
instrumentation, procedures/internal validity, data analysis, results, dan disccussion/interpretations.
A. Pupose/Justification
Masalah dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang memerlukan pembahasan, pemecahan, informasi,
atau keputusan. Dalam bidang penelitian, secara teknis masalah menyiratkan adanya kemungkinan
dilakukannya suatu penyelidikan empiris, yakni pengumpulan dan analisis data (Hadjar, 1999:38). Hal
tersebut, senada yang dikemukakan oleh Fraenkel & Wallen (2007:27) bahwa sebuah masalah bisa
dilakukan oleh semua orang mengenai apa saja yang ditemukan tidak memuaskan, beberapa macam
kesulitan, keadaan dari peristiwa membutuhkan pertukaran, apa saja itu adalah tidak bekerja sebaik
seperti kekuatannya. Ruang lingkup masalah melibatkan perhatian peneliti, memperbaiki kebutuhan
kondisi, kebutuhan kesulitan yang dihapuskan, dan pertanyaan untuk mencari jawaban. Ketidakpuasan
promovendus terhadap aktivitas menulis dapat dilihat dalam Bab 1 Subbab latar belakang masalah, seperti
sebagai seorang sarjana di pendidikan tinggi memiliki keampuan menulis ilmiah, tetapi pada
kenyataannya masih lemah/kurang (Suherli, 2002; Djiwandono, 1986; Moelyono, 1984; Sugiri, 1991),
kemampuan menulis memerlukan kemampuan bernalar dan pengetahuan tentang dasar-dasar retorika,
penguasaan bahasa Indonesia masih memprihatinkan disebabkan kekurangtepatan metode dan teknik
perkuliahan (Darjowidjojo, 1987; Samsuri dan Sadtono, 1976; Badudu, 1985; Baradja, 1994; Stern, 1986;
Arends, 2004; Nunan, 1998; Calkins, 1989) sehingga diperlukan metode dan strategi yang tepat
(Jarolemik, 1967; Sagala, 2005; Ely dan Gerlach, 1980; Joni, 1983; Joyce dan Weil, 1980; Lie, 2007),
beberapa penyebab rendahnya kemampuan menulis (Hilal, 1998; Udin, 2001; Fuad, 2005), beberapa
alasan pentingnya pembelajaran kooperatif (Johnson & Johnson, 1994; Yusron, 2008; Sharan &Sharan,
1992; Yusron, 2008; Costa, 1985; Rusyana, 1985), dan menulis sebagai suatu keterampilan yang perlu
ditingkatkan/dilatih (Akhadiah dkk, 2001; Tarigan, 1994; Syamsuddin, 1994; Alwasilah dan Suzana,
2005). Dilihat latar belakang perkembangan penelitian, penulis telah memaparkan beberapa
perkembangan penelitian yang telah dilakukan oleh peneliliti sebelumnya diantaranya Hilal, 1998; Udin,
2001; Fuad, 2005; Rusminto, 1995.
Beberapa pokok permasalahan yang terdapat dalam latar belakang masalah dijabarkan dalam setiap ide
pokok paragrafnya yang terdiri atas 34 paragraf sebagai berikut. Paragraf satu sampai enam,
promovendus memulai gagasnnya mengenai pembelajaran di perguruan tinggi dilihat berdasarkan tujuan
pendidikan tinggi kemudian dilanjutkan dengan pentingnya pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan
tinggi berdasarkan penggunaan bahasa ilmiah, kemaampuan menulis mahasiswa, kemampuan berbahasa
ilmiah, dan kesalahan penggunaan bahasa bagi mahasiswa. Argumen promovendus tersebut disertai teori
dan data pengamatan yang dialami promovendus selama di perguruan tinggi. Hal tersebut menunjukkan
bahwa promovendus mengemukakan masalah pentingnya penelitian dilakukan jika dilihat berdasarkan
profesi promovendus.
Promovendus mengemukakan pentingnya dalam pengembangan ilmu khususnya dalam keterampilan
berbahasa menulis dikemukakannya dalam paragraf tujuh sampai sembilan dan lima belas sampai tujuh
belas. Dalam gagasan paragraf tersebut, promovendus meninjau berdasarkan penelitian yang pernah
dilakukan baik kalangan mahasiswa maupun peneliti. Penelitian yang dilakukan umumnya dikemukakan
bahawa kemampuan menulis mahasiswa masih kurang/lemah. Lemahnya kemampuan menulis mahasiswa
tersebut, promovendus mengemukakan alasan dari beberapa para pakar bahasa mengenai berbagai factor
dan usaha yang dapat dilakukan. Pernyataan tersebut promovendus tuangkan dalam paragraf sepuluh
sampai empat belas, yaitu kekeurangtepatan metode dan teknik, mutivator pembelajaran, dan pola
pembelajaran yang kurang baik akan menyebabkan rendahnya kemampuan menulis mahasiswa. Adapaun
salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah pengggunaan dan pemilihan strategi serta metode yang
tepat.
Berbagai permasalahan pembelajaran menjadi promovendus resah sehingga diperlukan cara
penanggulangannya, seperti perlunya kesepakatan bersama dalam meningkatkan kualitas pembelajaran,
diadakannya cara belajar siswa aktif, dan adanya pradigma baru dalam pembelajaran, yaitu pembelajaran
kooperatif. Pembelajaran kooperatif khususnya investigasi kelompok dijelaskan oleh promovendus
berdasarkan teori dan hasil pengamatannya terdapat dalam paragraph lima belas sampai dua puluh
delapan. Selanjutnya promovendus memfokuskan permasalahan pada model investigasi kelompok pada
pembelajaran menulis yang berdasarkan proses pembelajarnnya dengan tidak mengabaikan tahap
prapembelajaran hingga pada hasil atau pascapembelajarannya, seperti bahan ajar, persiapan
pembelajaran, evaluasi, dan lain-lain. Permasalahan gagasan ini promovendus tuangkan dalam paragrapf
dua puluh sembilan sampai tiga puluh empat.
Berdasarkan penjelasan di atas, promovendus sudah menyajikan secara sitematis, logis, dan jelas, separti
yang dikemukakan Fraenkel & Wallen (2007:281) bahwa pembenaran memerlukan kelogisan, kesepakatan,
kecukupan, penulis menunjukkan hasil studi implikasi pentingnya teori, praktik, atau keduanya, serta
anggapan yang jelas. (Fraenkel & Wallen, 2007:281). Pembahasan latar belakang yang promovendus
sajikan telah menjelaskan alasan mengapa masalah yang diteliti itu timbul, hal yang penting untuk diteliti
ditinjau dari segi profesi promovendus, pengembangan ilmu, dan kepentingan pembangunan. Beberapa
butir penting yang telah disajikan dalam latar belakang masalah di antaranya alasan rasional dan esensial
yang membuat peneliti merasa resah, sekiranya masalah tersebut tidak diteliti; gejala-gejala kesenjangan
yang terdapat di lapangan sebagai dasar pemikiran untuk memunculkan permasalahan, kerugian-kerugian
yang mungkin timbul seandainya masalah tersebut tidak diteliti; keuntungan-keuntungan yang mungkin
diperoleh seandainya masalah tersebut diteliti, penjelasan singkat tentang kedudukan atau posisi masalah
yang akan diteliti dalam ruang lingkup bidang studi yang ditekuni oleh peniliti.
Setelah penyajian latar belakang secara deduktif, promovendus mengajukan rumusan maslah. Rumusan
masalah tersebut sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan UPI (2010) bahwa perumusan masalah
yang baik dalam sebuah penelitian memenuhi kriteria, yaitu menyatakan pertanyaan yang akan dijawab,
merinci ruang lingkup masalah berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah, disusun dengan jelas,
singkat, dan padat, menampilkan variabel-variabel yang diteliti, mencerminkan teknik analisis data yang
akan digunakan, serta dapat diuji secara empiris. Umunya dalam setiap rumusan penelitian atau karya
ilmiah selalu digunakan kata tanya. Kata tanya yang digunakan itulah mencirikan suatu keilmiahan
penelitian dalam perumusannya, misalnya kata tanya mengapa dan bagaiman. Kata tanya mengapa
memerlukan jawaban berbegai alasan dengan data dan fakta untuk meyakinkan pembaca, sedangkan kata
tanya bagaimana memerlukan penyajian atau pemaparan sejelas dan serinci-rincinya dengan data dan
fakta untuk menjelaskan kepada pembaca apa adanya dan sejelas-jelasnya. Kedua kata tanya ini
merupakan kata tanya tingkat analisis yang tinggi sehingga sering dipakai dalam setiap penelitian.
Seperti yang dikemukakan Hadjar (1999:56) bahwa masalah penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk
pernyataan tentang tujuan, pertanyaan, atau hipotesis. Pertanyaan digunakan bila peneliti kurang
mempunyai landasan yang memadai untuk membuat dugaan sementara tentang hasil penelitiannya,
sedangkan pernyataan dalam bentuk hipotesis digunakan bila peneliti mempunyai landasan teori maupun
hasil penelitian yang cukup untuk membuat dugaan tentang hasil penelitian yang direncanakan.
Promovendus di sini lebih menggunakan pertanyaan seperti dalam rumusan masalahnya, yaitu
dekelompokkan ke dalam pertanyaan umum dan khusus. Pertanyaan umumnya, yaitu Apakah penerapan
model investigasi kelompok berorientasi penilaian bersama yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat
meningkatkan kemampuan menulis? Rumusan masalah dalam bentuk pertanyaan secara khususnya, yaitu
Seberapa besarkah kemampuan menulis mahasiswa FKIP Unila sebelum dan sesudah mengikuti
perkuliahan MKPK Bahasa Indonesia? Seberapa besarkah peningkatan kemampuan menulis mahasiswa
FKIP Unila yang mengikuti perkuliahan dengan MIKBPB dam metode MPT? Aspek manakah yang sangat
kurang terbantu dalam pembelajaran menulis dengan MIKBPB? Aspek manakah yang sangat terbantu
dalam pembelajaran menulis dengan MIKBPB? Seberapa besarkah tingkat keefektifan pengajaran menulis
dengan model investigasi kelompok berorientasi penilaian bersaama (MIKBPB)?
Masalah penelitian sering dinyatakan dalam bentuk pernyataan tujuan yang menyiratkan pertanyaan
(Hadjar, 1999:56). Pernyataan masalah biasanya biasanyta dirumuskan dengan mengunakan kata-kata
“Tujuan penelitian ini adalah…” atau “Penelitian ini bertujuan untuk….”. Dalam penelitian penulis tujuan
penelitian dirumuskan dalam bentuk “…tujuan akhir penelitian ini adalah….” dan “Adapun tujuan khusus
dalam penelitian ini adalah…”. Tujuan akhir merupakan tujuan umum dari suatu penelitian, yaitu
menghasilkan pembelajaran yang efektif untuk meningkatkan kemampuan menulis mahasiswa FKIP Unila.
Tujuan penelitian secara khusus, yaitu mendeskripsikan kemampuan menulis mahasiswa FKIP Unila
sebelum dan sesudah mengikuti perkuliahan MKPK Bahasa Indonesia. Mendeskripsikan peningkatan
kemampuan menulis mahasiswa FKIP Unila yang mengikuti perkuliahan dengan MIKBPB dam metode MPT.
Mengkaji aspek yang sangat kurang terbantu dalam pembelajaran menulis dengan MIKBPB. Mengkaji
aspek yang sangat terbantu dalam pembelajaran menulis dengan MIKBPB. Menguji keefektifan model
pembelajaran antara MIKBPB dan metode pemberian tugas dalam meningkatkan kemampuan menulis
mahasiswa FKIP Unila.
Kalau dilihat berdasarkan pertanyaan di atas, promovendus lebih dominan mengacu kepada pertanyaan
deskriptif dan deferensial seperti yang dikemukakan oleh Hadjar (1999:57-61) bahwa pertanyaan
penelitian dapat digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu deskriptif (apa, berapa, dan bagaimana),
relasional (menanyakan tentang ada tidaknya atau bagaimana hubungan antara dua variabel dan
menyiratkan desain penelitian korelasional), dan deferensial (menayakan tentang ada tidaknya perbedaan
antara dua kelompok atau dua perlakuan atau lebih).
B. Difinitions
Definisi merupakan terminologi atau kata kunci yang jelas jika tidak kejelasan itu mengacu pada konteks
(Fraenkel & Wallen, 2007:281). Kata kunci yang dituangkan dalam penelitian ini dijelaskan berdasarkan
variabel yang terdapat dalam judul penelitiannya, yaitu pembelajaran menulis dengan model investigasi
kelompok berorientasi penilian bersama (MIKBPB) dan pembelajaran menulis dengan model pemberian
tugas (MPT) sebagai variabel bebas, sedangkan keterampilan menulis atau berbahasa tulis mahasiswa
sebagai variabel terikatnya.
Setiap variabel harus didefiniskan secara operasional serta ditunjukkan apakah ia kategori, terukur, atau
manipulatif. Definisi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu definisi konstitutif dan definisi operasional.
Definisi konstitutif merupakan definisi yang menjelaskan suatu istilah dengan menggunakan istilah lain,
sedangkan definisi operasional merupakan arti terhadap variabel dengan menunjukkan kegiatan atau
operasi tertentu untuk mengukur, mengelompokkan, atau memanipulasi variabel tersebut serta
menunjukkan apa yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan atau menguji hipotesis (Hadjar, 1999:54).
Dalam penelitian ini, promovendus mengacu pada definisi opersaional karena variabel setiap penelitian
bertujuan untuk mengukur, mengelompokkan, memanipulasi, menunjukkan dari setiap pertanyaan
penelitian. Dengan tidak mengabaikan definisi konstituitif karena sesuai dengan jenis penelitiannya, yaitu
kuasi ekperimen. Definsi konstituitif ini mengacu pada penjelasan beberapa variabel atau istilah yang
penulis gunakan., seperti MIKBPB merupakan metode belajar berkelompok yang dirancang dosen untuk
memecahkan suatu masalah, mengerjakan suatu tugas, mempresentasikan tugas, dan memberikan
penilaian bersama terhadaap produk dan proses pembelajaran. MPT merupakan metode belajar yang
dirancang dosen dalam kegiatan pembelajaran. Kemampuan menulis merupakan kemampuan mahasiswa
menyampaikan pendapat, ide, serta mengatasi masalah ditunjang fakta serta argumen dengan bahasa
tulis.
Dalam rumusan dan analisis masalah sekaligus juga diidentifikasi variabel-variabel penelitian beserta
definisi operasionalnya. Rumusan masalah dapat dinyatakan dalam bentuk kalimat bertanya setelah
didahului uraian tentang masalah penelitian, variabel-variabel yang diteliti, dan kaitan antara satu variabel
dengan variabel lainnya. Definisi operasional yang dirumuskan untuk setiap variabel harus melahirkan
indikator-indikator dari setiap variabel yang diteliti yang kemudian akan dijabarkan dalam instrumen
penelitian. Indikator dalam MIKBPB, yaitu pemilihan topik dan pembentukan kelompok, pembagian tugas
kelompok dan penyusunan kerangka laporan, pelaksanaan investigasi, penyusunan laporan kelompok,
presntasi laporan kelompok, dan penilaian bersama. Indikator MPT, yaitu kegiatan awal pembelajaran,
berlatih mengerjakan soal, mengerjakan tugas, serta mengoreksi tugas secara bersama-sama. Indikator
keterampilan menulis, yaitu isi, organisasi, kosakata, kalimat, dan ejaan.
Beberapa definisi di atas, penulis mengacu pada beberapa permasalahan penelitian yang dikaji dalam
sebua teori pembelajaran dan keterampilan menulis. Kajian inilah yang menjadi pondasi penulis dalam
pembahsan/kegiatan penelitian yang ditemukannya. Adapun permasalahan yang diangkat diantaranya
perihal belajar mengacu pada teori dan unsur belajar; strategi belajar-mengajar dan keefektifan
pembelajaran; model-model pembelajaran; pembelajaran melalui prinsip kerja sama; menulis sebagai
suatu keterampilan; pembelajaran model IK; pembelajaran dengan metode pemberian tugas. Hal yang
paling mendasar dalam perumusan teori ini, yaitu berdasarkan variabel penelitian mengacu pada menulis
sebagai suatu keterampilan; pembelajaran model IK; pembelajaran dengan metode pemberian tugas.
Menulis sebagai suatu keterampilan dirumuskan dari teori yang dikemukakan oleh Djiwandono, 1990;
Okaa, 1982; Keraf, 1980; Syafeii, 1988; Machmoed, 1976; Garder, 1993; Brown, 1984; Graves, 1991.
Pembelajaran model IK dirumuskan dari beberapa teori yang dikemukakan oleh Echols & Shadely, 1989;
Gega, 1994; Joyce, 1996; Slavin, 2008; Dewey, 1970; Clhoun, 2000. Pembelajaran dengan metode
pemberian tugas dirumuskan dari beberapa teori yang dikemukakan Surakhmad, 1986; Hastuti,
1986; .Roestiyah, 1985.
C. Prior Research
Signifikansi penelitian dimuat dalam pendahuluan yang menyebutkan masalah yang membawa ke
penelitian dalam hal kebutuhan kalangan pembaca tertentu berdasarkan signifikansi bagi peneliti,
praktisi, dan pengambil kebijakan. Dalam menyusun bagian ini penulis dapat memasukkan tiga atau
empat alasan mengapa penelitian tersebut menambahkan pada penelitian ilmiah dan pustaka di bidang
tersebut, tiga atau empat alasan bagaimana penelitian tersebut membantu mengembangkan praktik, dan
tiga atau empat alasan mengapa penelitian tersebut akan mengembangkan kebijakan (Cressweell,
1994:111).
Prioritas penelitian merupakan suatu peristiwa/pekerjaan/permasalahan yang sebelumnya membutuhkan
cakupan topik yang tepat serta mempunyai hubungan yang jelas terhadap studi yang kita
tekuni/kuasai/kaji (Fraenkel & Wallen, 2007:281). Dilihat latar belakang perkembangan penelitian,
promovendus telah memaparkan beberapa perkembangan penelitian yang telah dilakukan terutama
kualitas menulis mahasiswa, diantaranya penelitian oleh Hilal (1998) menyimpulan bahwa keterampilan
menulis mahasiswa Unila masih tergolong sedang. Udin (2001) menyimpulkan bahwa penerapan EYD
masih terdapat kesalahan/rendah (78%). Rusminto (1997) penulisan skripsi mahasiswa Unila banyak tidak
sesuai dengan unsur-unsurnya, tidak koheren, dan tidak efektif. Faud (2005) mengemukakan dalam
penyelsaian skripsi masih lambat dan masih terdapat kesalahan berbahasa.
Bertolak dari penelitian yang telah dilakukan terdahulu, promovendus belum begitu jelas menjelaskan
hasil penelitiannya dihubungkan dengan penelitian yang akan dilaksakannya. Promovendus menyatakan
bahwa perlu penelusuran benang merah dan cara penanggulangannya dalam persoalan bahasa ini
sehingga pemakaian bahasa Indonesia bisa ditempatkan sesuai fungsi dan kedudukannya. Dari penjelasan
tersebut terlihat bahwa peneliti hanya memaparkan bahwa infromasi penelitian yang dilakukan masih
bersifat informasi umum yang belum adanya diskusi atau kebermanfaatan penelitian bagi peneliti yang
akan dilakukan. Jika tersebut diuraikan dengan baik, peneliti akan lebih mengambil hubungan atau
benang merah masing-masing penelitian yang telah dilakukan sehingga penelitian yang akan dilakukan
akan berbeda dengan keinginan penulis atau bisa menjadi khasanah/kontribusi peneletian yang akan
peneliti lakukan.
D. Hypothesis
Hipotesis merupakan suatu pernyataan sementara yang diajukan untuk memecahkan suatu masalah, atau
untuk menerangkan suatu gejala. Hipotesis juga bisa dikatakan sebagai pernyataan tentang harapan
peneliti mengenai hubungan antara variabel-variabel di dalam suatu persoalan atau sarana pemecahan
bagi masalah. Hipotesis tersebut kemudian diuji di dalam penelitian dalam bentuk penyelidikan
selanjutnya yang akan membenarkan atau menolaknya (Ary, 1982:120). Seperti dalam penelitian ini,
promovendus memakai istilah asumsi dasar dan hipotesis. Asumsi dasar digunakan untuk menghindari
kesalahan interpretasi dalam memahami hasil-hasil penelitian berdasarkan variabel yang terlibat dalam
penelitian. Asumsi-asumsi dasar tersebut, yaitu (1) Seluruh mahasiswa Unila telah berbekal awal berupa
kemampuan menulis dalam bahasa Indonesia dan bekal awal tersebut dapat diukur. (2) Pengampu MPK
bahasa Indonesia di Universitas Lampung berkualifikasi sama atau setara. (3) Pelaksanaan pembelajaran
menulis di kelas-kelas bersifat relatif, tetapi bisa dikondisikan dan dapat dibuktikan melalui peningkatan
hasil belajar mahasiswa. (4) Penerapan model yang tepat dan sesuai berkontribusi positif pada
keeefektifan proses dan hasil pembelajaran. (5) MIKBPB merupakan salah satu model pembelajaran yang
berlandaskan teori belajar gestalt dan bisa diterapkan dalam pembelajaran menulis.
Adapun alasan dibuatnya hipetoesis, yaitu dasar kuat menunjukkan bahwa peneliti telah mempunyai
cukup pengetahuan untuk melakukan penelitian di bidang itu; hipotesis memberi arah pada pengumpulan
data penafsiran data; hipotesis dapat menunjukkan kepada peneliti prosedur apa yang harus diikuti dan
jenis data apa yang harus dikumpulkan, tidak hanya yang bersifat ekspremen saja (Ary, 1982:121).
Hipotesis yang diajukan oleh peneliti merupakan hipotesis statistik atau hipotesis nol, yaitu hipotesis yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara variabel-variabel dalam masalah tersebut. Selain itu, ada
juga disebut hipotesis terarah dan hipotesis tak terarah yang memerlukan hipotesis statistik (Ary,
1982:133). Promovendus menggunakan hipotesis statistik yang disebut dengan hipotesis kerja.
Kegunaan hipotesis, yaitu memberikan penjelasan sementara tentang gejala-gejala serta memudahkan
perluasan pengetahuan dalam suatu bidang; memberikan suatu pernyataan hubungan yang langsung
dapat diuji dalam penelitian; memberikan arah kepada penelitian; memberikan kerangka untuk
melaporkan kesimpulan penyelidikan baik secara deduktif (dari teori atau dari hasil-hasil penelitian
sebelumnya) ataupun induktif (dari pengamatan tingkah laku) (Ary, 1982:121-126). Adapun hipotesis
dalam penelitian ini memerlukan beberapa asumsi yang harus dipenuhi. H1 ditolak jika (1) tidak ada
perbedaan yang signifikan antara kemampuan menulis pada kelompok kontrol dengan kelompok
ekspremen, (2) diterima jika ada perbedaan yang signifikan antara kemampuan awal dan prestasi hasil
belajar dalam kelompok ekspremen, (3) diterima jika ada perbedaan yang signifikan antara kemampuan
awal dan prestasi hasil belajar dalam kelompok kontrol, (4) diterima jika skor awal dan skor hasil belajar
dalam kelompok ekspremen menunjukkan peningkatan keterampilan menulis mahasiswa dengan model
MIKBPB. Dengan demikian, hipotesis penelitian ini adalah pembelajaran dengan model investigasi
kelompok berorientasi penilaian bersama (MIKBPB) lebih efektif untuk meningkatkan keterampilan menulis
mahasiswa daripada metode pemberian tugas (MPT). Berdasarakan uraian tersebut, hipotesis
promovendus sudah memenuhi ciri hipotesis yang baik, yaitu telah mempunyai daya penjelas, telah
menyatakan hubungan yang diharapkan ada di antara variabel-variabel, dapat diuji, konsisten dengan
pengetahuan yang sudah ada, serta dinyatakan secara sedarhana dan ringkas.
E. Sample
Hal yang terpenting dalam sebauh sampel penelitian, yaitu bentuk sampel yang akan diteliti. Kejelasan
pengambilan sampel akan berpengaruh pada uraian yang akan peneliti lakukan sehingga berpengaruh
juga pada mengeneralisasikan populasi dari sebuah sampel yang benar (Fraenkel & Wallen, 2007:281).
Sampel merupakan kelompok kecil yang diamati, sedangkan kelompok lebih besar yang menjadi sasaran
generalisasi disebut dengan populasi (Ary, 1982:189). Adapun tujuan penarikan sampel untuk memeroleh
informasi mengenai populasi tersebut. Oleh karena itu, penting sekali diusahakan agar individu-individu
yang dimasukkan ke dalam sampel itu merupakan contoh yang representatif, yang benar-benar mewakili
semua individu yang ada di dalam populasi. Artinya, jika peneliti ingin dapat membuat generalisasi yang
meyakinkan, maka sampel yang diambil dari populasi harus benar-benar representatif.
Ada berbagai prosedur penarikan sampel menurut Ary (1982:191-198) diantaranya random sampling
(sampel acak/populasi mempunyai peluang yang sama dan tidak terikat untuk dimasukkan ke dalam
sampel), stratified sampling (sampel berlapis/populasi yang mempunyai ciri berbeda terdiri atas jumlah
subkelompok atau lapisan atau strata), cluster sampling (sampel berkelompok/populasi yang cakupannya
luas lalu diambil beberapa kelompok dari kelompok yang dijadikan populasi secara acak yang mempunyai
persamaan ciri yang ada hubungannya dengan variabel penelitian), systematic sampling (sampel secara
sistematis/k=N/n/penetapan subjek/sampel yang dikehendaki/n karena populasi/N sudah diketahui
maka membagi N dengan n untuk memeroleh interval penarikan sampel/k yang akan digunakan dalam
daftar populasi). Representatifnya sebuah sampel dapat diilustrasikan dalam bagan brikut.
Populasi dan sampel digunakan promovendus dengan istilah sumber data. Sumber data inilah disebut
sebagai populasi sekaligus sebagai sampel penelitian promovendus. Hal ini bisa dikatakan bahwa cara
penarikan sampel yang dilakukan promovendus menggunakan cara sampel berkelompok atau cluster
sampling. Sumber datanya mahasiswa S-1 Jurusan Pendidikan MIPA FKIP Unila (Pendidikan Fisika dan
Pendidikan Matematika) yang mengikuti kuliah MPK Bahasa Indonesia di semester satu 2008/2009.
Sumber data penelitian ini terdiri dua pasang kelompok, yaitu satu pasang yang mewakili kelompok
eksperemen (Pendidikan Matematika 46 mahasiswa) dan satu pasang mewakili kelompok control
(Pendidikan Fisika 42 mahasiswa). Pembelajaran menulis dengan MIKBPB diterapkan pada kelas
ekspremen, sedangkan pembelajaran menulis dengan MPT diterapkan pada kelas kontrol.
Promovendus mengakui bahwa penetapan sumber data masih lemah dan mengalami kendala dalam
menetapkan data secara acak. Oleh karena itu, promovendus mengemukakan berbagai pertimbangan
untuk meminimalkan ketidakhomogenan sumber data, yaitu mahasiswa yang diterima di Jurusan
Pendidikan MIPA FKIP Unila memiliki kemampuan dasar yang sama, kemampuan awal menulis mahasiswa
pada kedua program studi tersebut sama, berdasarkan uji sifat data, kedua program studi tersebut
homogen, seluruh mahasiswa mengontrak MPK Bahasa Indonesia, pelaksanaan perkuliahan MPK Bahasa
Indonesia pada hari yang sama, dan sikap dan tanggapan mahasiswa terhadap pelaksanaan pembelajaran
menulis sama.
Dalam pelaksanaan penelitian, promovendus belum menjelaskan secara gamblang mengenai siapa yang
melakukan pembelajaran atau dosen yang mengajar di kelas kontrol dan kelas eksperimen. Apakah
dosennya sama yang mengajar di kelas kontrol dengan di kelas eksperimen atau berbeda? Berdasarkan
penjelasan promovendus, penulis menarik kesimpulan bahwa penelitian ini dilakukan secara alami sesuai
dengan pengajar yang sudah. Artinya pembelajaran baik di kelas kontrol maupun di kelas ekperimen
dilakukan oleh dosen yang berbeda. Hal tersebut terlihat ketika promovendus melakukan dua kali uji coba
rancangan model pada program studi yang berbeda (hlm. 113 s.d. 117). Selain itu, promovendus
mengatakan bahwa dosen pengampu matakuliah dijadikan sebagai teman berkolaborasi dan penyusunan
program kerja dilakukan secara kolaboratif anatara peneliti dan pengampu matakuliah Bahasa Indonesia
(hlm. 109). Untuk memudahkan pengamatan dan kolaborasi antardosen dengan promovendus,
promovendus menetapkan jadwal perkuliahan MPK Bahasa Indonesia baik pada kelas eksperimen maupun
kelas kontrol selama delapan kali pertemuan (hlm. 109).
F. Instrumentation
Sebuah instrumen harus meyakinkan fakta-fakta atau argumen untuk validitas dari suatu kesimpulan
(Fraenkel & Wallen, 2007:281). Sebelum promovendus mengemukakan instrumennya, promovendus
terlebih dahulu menguraikan data-data yang diperlukan untuk mengembangkan instrumen, diantaranya
data kemaampuan awal mahasiswa, data keefektifan pelaksanaan pembelajaran dengan MK, data prestasi
hasil belajar, dan data peningkatan hasil belajar. Berdasarkan hal tersebut, promovendus menggunakan
tiga instrumen, yaitu (1) instrumen pengumpulan data berupa instrumen pengumpulan data kemampuan
awal mahasiswa, instrumen mengumpulkan data pelaksanaan perlakuan, dan instrumen data prestasi hasil
belajar. (2) Instrumen perlakuan berupa perangkat pembelajaran. (3) Instrumen pedoman penilaian berupa
menganalisis keterampilan menulis.
Dalam pengelolaan instrumen penelitian pengumpulan data, promovendus mengacu pada teori Jacob dkk.
(1981), Diwandono (1990), Nurgiantoro (2001), sedangkan instrumen pedoman penilaian keterampilan
menulis mengacu pada teori Nurgiantoro (2001) dan Yacobs (1981). Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Hadjar (1999:363) bahwa peneliti harus mengenalkan instrumen yang digunakan serta
alasan mengapa instrumen yang dipilihnya adalah yang paling sesuai dengan definisi operasional dari
variabel dalam pertanyaan atau hipotesis penelitiannya. Apabila instrumen tersebut dibuat sendiri, peneliti
harus menjelaskan langkah-langkah yang akan ditempuh untuk mengetahui validitas dan reliabilitasnya.
Bila instrumen yang akan digunakan diambil dari yang sudah ada, informasi tentang sumber perolehan,
reliabilitas, serta validitasnya perlu dipaparkan. Dalam hal ini, promovendus merancang dan
mengembangkan instrumen sendiri berdasarkan kajian teori yang promovendus gunakan.
G. Procedures/Internal Validity
Masalah validitas berhubungan dengan sejauh mana suatu alat mampu mengukur apa yang dianggap
orang seharusnya oleh alat tersebut dengan tiga valisitas, yaitu validitas isi, validitas yang dikaitkan denga
kriteria, dan validitas bangunan pengertian (Ary, 1982:281-291). Validitas isi menunjuk pada sejauh mana
instrumen tersebut mencerminkan isi yang dikehendaki didasarkan pada pertimbangan untuk setiap
situasi yang tidak dapat dinyatakan dalam bentuk angka. Validitas yang dikaitkan dengan kriteria merujuk
pada hubungan antara skor suatu instrumen pengukuran dengan suatu variabel (kriteria) luar yang yang
mandiri dan dipercaya dapat mengukur langsung tingkah laku atau ciri-ciri yang diselidiki. Validitas
bangunan pengertian merujuk kepada seberapa jauh suatu tes mengukur sifat atau bangunan pengertian
tertentu.
Promovendus melakukan uji-coba rancangan pengembangan pembelajaran sebelum melaksanakan
penelitian eksperemen kuasi. Tahap ini peneliti mengadakan uji coba rancangan pengembangan
pembelajaran sebanyak dua kali yang diberikan kepada responden (kelas terbatas). Hasil uji coba ini
dideskripsikan dan dianalisis. Hasil analisis uji coba tersebut kemudian dijadikan dasar bagi
penyempurnaan MIK (rekonstruksi model). Tahap uji coba ini meliputi persiapan, pelaksanaan, dan akhir
kegiatan pembelajaran menulis.
Validitas internal adalah masalah pengendalian. Disain yang mempunyai daya pengendalian memadai
adalah masalah bagaimana menemukan cara untuk menghilangkan variabel luar, yaitu variabel yang dapat
menimbulkan interpretasi lain. Segala sesuatu yang dapat membantu pengendalian disain juga akan
memperkokoh validitas internalnya. Campbell dan Stanley (dalam Ary, 1982:339-343) mengemukakan
bahwa ada delapan varibel luar yang akan mengancam validitas internal desain penelitian kalau tidak
dikendalikan dengan baik, yaitu sejarah, pematangan, pemberian pra-tes, alat pengukuran, kemunduran
statistic, pemilihan subjek yang berbeda, hilang dalam ekspremen, dan interaksi pematangan dengan
seleksi.
Ekspremen kuasi merupakan salah satu metode yang paling umum dipergunakan dalam penelitian
pendidikan yang terdiri dua kelompok. Masing-masing kelompok diberi pretes dan postes, tetapi hanya
satu kelompok yang diberi perlakuan. Kelompok tersebut dianggap sama, tetapi sekiranya ada pengaruh
variabel lain dilakukan analisis kovarians. Rancangan ekspremen kuasi dapat memperkecil ancaman atau
pencemaran kevalidan kesimpulan ekspremen, baik eksternal maupun internal. Desian yang digunakan
dalam penelitian ekspremen kuasi ini merujuk pada pendapat Fraenkel (1993). Desain yang dimaksud
adalah The Matching-Only Pretest-Posttest Control Group Design dengan langkah-langkahnya, yaitu
melaksanakan pretes, melaksanakan ekspremen, melaksanakan pencatatan dan penilaian, melaksankan
postes, mengadministrasikan hasil pengisian angket, mengelompokkan data dan mengurutkan data, dan
mengolah seluruh data yang telah dihimpun secara deskriptif.
Desain Ekspremen Kuasi
H. Data Analysis
Langkah pertama bagi peneliti dalam menganalisis data yang telah dikumpulkan adalah melihat kembali
usulan penelitian guna memeriksa rencana penyajian data dan pelaksanaan analisis statistik yang telah
ditetapkan semula. Sesudah hal ini dilakukan, peneliti kemudian mengembangkan strategi penyusunan
data mentah dan melaksanakan penghitungan yang diperlukan. Umumnya penelitian bidang pendidikan
dan ilmu perilaku lainnya sering bersifat kompleks dan memerlukan pekerjaan menghitung. Untuk
mencapai ketepatan dan untuk menghemat waktu dan tenaga, sebagian besar peneliti memilih untuk
memanfaatkan fasilitas alat hitung elektronik/komputer bagi ananlisis data mereka berhubungan dengan
alat masukkan, unit pengolahan sentral, unit penyimpanan, dan alat keluaran (Ary, 1982:475).
Analisis data secara statistik adalah menyusun pembahasan itu seputar hipotesis. Artinya menyebutkan
kembali hipotesis yang pertama kemudian mengemukakan hasil penelitian yang berhubungan dengan
hipotesis tersbut. Cara ini diulang untuk setiap hipotesis secara bergantian. Hal tersebut sesuai dengan
Hadjar (1999:364) bahwa paadaa analisis data peneliti menunjukkan teknik analisis statistik yang
digunakan dalam analisis data serta alasan pemilihan teknik tersebut. Alasan tersebut dapat berupa
argumen yang dikaitkan dengan tujuan penelitian, jumlah subjek, dan jenis data yang diperoleh melalui
instrumen yang digunakan (kategori atau kontinum). Alasan pemilihan teknik statistik harus berdasarkan
kesesuaian dengan pertanyaan atau hipotesis penelitian dan bukan kecanggihan teknik. Bila teknik
statistik yang sederhana sudah memadai, tak ada alasan untuk memilih teknik yang lebih rumit dan
canggih.
Berdasarkan masalah dan tujuan penelitian, analisis data kuantitatif diolah dengan menggunakan teknik
statistik. Data yang diolah adalah tes mengarang baik pretes maupun postes. Data tersebut berupa skor
pretes dan skor postes baik pada kelas eksperemen maupun kelas kontrol. Tahap-tahap pengujian data
penelitian ini meliputi uji normalitas data, uji homoginitas data, uji linieritas data, dan uji perbedaan.
Penganalisisan data dilakukan untuk pengujian hipotesis, jika nilaai Sig. (2-talied) > 0,025 maka Ho
diterima dan jika nilai Sig. (2-tailed) < 0,025 maka Ho diterima.
Sesuai dengan tujuan penelitian, data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan beberapa metode
analisis statistik deskriptif dan statistik inferensial dengan bantuan program Microscoft Exel XP 2003 dan
program SPSS Stastistics 14.0. Statistik deskriptif dipakai untuk menghitung dan menyajikan rentangan
skor, rerata, dan peningkatan kemampuan menulis mahasiswa Unila sebelum dan sesudah mengikuti MPK
Bahasa Indonesia. Hal teresebut sesuai dengan Basrowi (2007) bahwa statistik inferensial digunakan untuk
menguji normalitas, homogenitas (One-Way ANOVA), linieritas, dan uji perbedaan dua rata-rata antara
mahasiswa yang belajar melalui MIK dan mahasiswa yang belajar dengan metode pemberian tugas Uji-(t-
tes).
I. Results
Hasil penelitian itu ditafsirkan lagi dalam hubungaannya dengan hipotesis (atau pertanyaan) penelitian
(Ary, 1982:492). Penafsiran peneiliti terhadap hasil penelitian itu akan menghubungkan hasil-hasil
tersebut dengan teori dan penelitian lain di bidang itu serta dengan prosedur penelitiannya. Bagian ini
merupakan inti daripada laporan karena menjadi acuan untuk menjawab permasalahan yang menjadi
pokok penelitian. Bagian ini diawali dengan penyajian kembali tujuan atau hipotesis yang dinyatakan
dalam pendahuluan. Kemudian dilanjutkan dengan penyajian secara ringkas tentang teknik analisis data
serta alasannya.
Penyajian hasil diawali promovendus dengan analsis data prapenelitian, yaitu hasil wawancara dengan
dosen pengampu matakuliah, analisis statistik deskriptif untuk menunjukkan gambaran umum
kemampuan menulis mahasiswa, dan kondisi angket mahasiswa. Tujuan disajikan analisis data
prapenelitian oleh promovendus untuk mendapatkan gambaran umum tentang hal-ihwal pembelajaran
MPK Bahasa Indonesia baik persiapan, pelaksanaan pembelajaran, evaluasi, serta minat dan sikap
mahasiswa terhadap MPK Bahasa Indonesia saat itu yang dijadikan promovendus sebagai dasar bagi
penelitiannya. Berdasarkan hal tersebut, promovendus menyajikan analsis kebutuhan, perancangan model
pembelajaran, tahap uji coba ransangan model, temuan uji coba rancangan model, perbaikan model
pembelajaran dan rencana pelaksanaan perkuliahan, data proses pembelajaran dan kemampuan kerja
kelompok, data kemampuan menulis argumentasi, dan pengujian sifat data. Hasil analisis penelitian yang
dilakukan promovendus mudah dipahami karena selain disajikan secara sistematis dan deskriptif juga
disajikan dalam bentuk tabel atau grafik. Tabel dan grafik tersebut memberikan gambaran yang
menyeluruh tentang data dengan jelas dan ekonomis. Selanjutnya, hasil disajikan dalam perincian untuk
menjawab tujuan penelitian/hipotesis secara sistematis. Hal ini untuk mengingatkan pembaca agar
memfokuskan perhatian pada data yang diperlukan serta untuk memudahkan penilaian apakah data yang
disajikan tersebut sesuai untuk menjawab permasalahan penelitian. Hasil penelitian ini merupakan dasar
promovendus untuk menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan penelitian.
Rendahnya kualitas menulis mahasiswa Unila ditengarai dari produk atau karya tulis yang melampau batas
ambang dan strategi pembelajaran yang digunakan dosen kurang tepat sehingga diperlukaan model
investigasi kelompok berorientasi penilaian bersama dalam pembelajaran menulis dengan menggunakan
kelas control dan kelas ekspremen. Hal tersebut membuktikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara hasil belajar mahasiswa yang menggunakan model investigasi kelompok berorientasi penilaian
bersama dengan model pemberian tugas. Hal ini diperlihatkan dari selisih antara rata-rata peningkatan
hasil belajar pada kelas control dan kelas ekspremen sebesar 6,49. di samping itu, nilai probabilitas atau
sig untuk semua aspek menulis sebesar 0,000 lebih kecil daripada 0,05. Hal ini berarti bahwa kenaikan
relajar menulis yang terdiri atas lima aspek pada kelas ekspremen signifikan. Hasil uji perbedaan ini
menunjukkan bahwa kemampuan menulis argumentasi mahasiswa dengan model investigasi kelompok
berorientasi penialian bersama lebih tinggi daripada dengan model pemberian tugas.
Temuan penelitian ini mengemukakan bahwa pembelajaran dengan model investigasi kelompok lebih
meningkatkan kemampuan menulis argumentasi telah menunjang teori belajar, model pembelajaran, dan
analisis kebutuhan yang diharapkan. Implikasi penelitiah ini dapat mengatasi permasalahan pembelajaran
menulis bagi dosen bahasa Indonesia. Dosen menyampaian materi berlandaskan teori belajar gestalt dan
bukan teori belajar asosiasi. Model investigasi kelompok berorientasi penialaian bersama yang terdiri atas
enam tahap pembelajaran dapat dijadikan alternatif dosen dalam meningkatkan keterampilan berbahasa
terutama keterampilan menulis.
J. Disccussion/Interpretations
Studi yang konteksnya lebih luas; mengakui keterbatasan dari studi, berkaitan dengan populasi dan
ekologi umumnya dari hasil penelitian (Fraenkel & Wallen, 2007:281). Peneliti berusaha menunjukkan
bagaimana hasil-hasil yang diperoleh dapat dihubungkan dengan permasalahan atau hipotesis penelitian
(McMillad & Schumacher, 1989 dalam Hadjar 1999:364). Pembahasan ini merupakan penafsiran nonteknis
apakah penemuan-penemuan yang dihasilkan mendukung hipotesis atau menjawab pertanyaan. Jika hasil
yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan, peneliti berusaha menjelaskan kemungkinan
mengapa hal itu bisa terjadi. Penjelasan tentang hasil-hasil atau penemuan tersebut harus memuat
analisis terhadap metodologi atau bagian lain yang dapat menjelaskan mengapa hasil-hasil tertentu dapat
diperoleh.
Promovendus dalam hasil penelitaiannya telah membahas bahwa pendekatan pembelajaran menulis
dengan menggunakan model investigasi kelompok berorientasi penilaian bersama dapat diaplikasikan ke
dalam mata kuliah pengembangan kepribadian dan terbukti efektif meningkatkan kemampuan mahasiswa
dalam menulis argumentasi. Secara komprehensip promovendus mendiskusikan hasil-hasil yang
diperoleh dihubungkan dengan permasalahan atau hipotesis penelitian, seperti pada setiap pemhahasan
promovendus menguraikan perbedaan kemampuan menulis antara kelas ekspremen dengan kelas kontrol,
kekuatan dan kelemahan model pembelajaran, aspek menulis yang sangat kurang terbantu, aspek menulis
yang sangat terbantu, dan keefektifan MIKBPB dalam pembelajarn menulis.
Pada bagian ini sebenarnya harus memuat penjelasan tentang impilkasi atau rekomendasi dari penemuan
tersebut dalam kaitannya dengan penelitian yang akan datang dan penerapan dalam praktik kependidikan
(Hadjar 1999:364). Pembahasan ini sangat membantu dosen atau administrator perguruan tinggi yang
mungkin mempunyai kesulitan untuk bisa menemukan sendiri cara mengaplikasikan penemuan tersebut
dalam bidangnya. Namun, pada bagian ini promovendus tidak menguraikan impilkasinya melaikan
dikemukakan pada bagian saran.
Adapun implikasi dari penelitian ini dikemukakan promovendus dalam bentuk saran untuk penerapan
model pembelajaran pada Bab VI, yaitu di antaranya 1) Model pembelajaran ini memerlukan ruang kelas
yang cukup luas dan perlengkapan media yang memadai. 2) Pelaksanaan pemilihan topik dan
pembentukan kelompok melalui model pembelajaran ini memerlukan waktu yang cukup panjang serta
akan terjadi kegaduhan. Untuk itu, dosen harus turut membantu dalam proses pemilihan topik dan
pembentukan kelompok sesuai dengan alokasi waktu yang telah direncanakan. 3) Pembelajaran dengan
penerapan MIKBPB dapat meningkatkan kemampuan menulis argumentasi mahsiswa. Untuk itu, dosen
MPK-BI di Unila perlu mengganti paradigma lamanya dengan paradigma baru dalam bentuk MIKBPB dalam
pembelajaran menulis. Perbandingan dengan MIK akan menjadikan mahasiswa lebih aktif, kreatif, berpikir
kritis, inovatif, ilmiah, serta menyenangkan (hlm. 410 s.d. 412).
DAFTAR PUSTAKA
Ary, Donald, Lucy Chaesar Jacobs, dan Asghar Razavieh.1982. Introduction to Research in Education
(Penerjemah Arief Furchan). Surabaya: Usaha Nasional.
Creswell, John W. 1994. Research Design Qualitative & Quantitative Approaches. London: SAGE
Publications, Inc.
Fraenkel, Jack R. & Norman E. Wallen. 2007. How to Design and Evaluate Research in Education (Seventh
Edition). Boston: Mc Graw Hill.
Hadjar, Ibnu. 1999. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kuantitatif dalam Pendidikan. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Widodo, Mulyanto. 2009. “Penerapan Model Investigasi Kelompok Beroreintasi Penilaian Bersama dalam
Peningkatan Keterampilan Menulis Mahasiswa (Studi Ekperimen Kuasi di FKIP Universitas Lampung)”.
Bandung: SPS UPI.
UPI. 2010. ”Pedoman Penilisan Karya Ilmiah”. Bandung: UPI.
Posted in Uncategorized | No Comments »

Feb
17

Pengalaman tentang Membaca Oleh Arono


Membaca merupakan suatu proses memahami informasi. Sulit atau mudahnya informasi yang kita baca
tergantung dari jenis teks/buku yang kita baca. Berdasarkan pengalamn saya, saya di sini akan
menguraikan membaca buku berdasarkan jenis buku yang kita baca sehingga akan berpengaruh pada
strategi dan cara saya membaca, yaitu membaca buku atau bacaan ilmiah dan bacaan nonilmiah. Bacaan
ilmiah seperti buku pelajaran, artikel, jurnal, esai, dan bahan ajar lainnya, sedangkan bacaan nonilmiah
seperti buku-buku sastra baik berupa roman, novel, cerpen, drama, puisi, komik, dan jenis buku sastra
lainnya.
Kebiasaan saya pada membaca bacaan ilmiah dilakukan berdasarkan kebutuhan, misalnya saat ingin
membuat makalah untuk dipresentasikan, persiapan dalam pembelajaran, isu-isu ilmu pngetahuan
terbaru, dan keingintahuan saya terhadap ilmu tertentu. Sampai saat ini dalam setiap membaca buku
ilmiah, saya masih jarang menuntaskan buku yang saya baca karena saya masih membaca berdasarkan
yang saya butuhkan saja. Saya menuntaskan bacaannya itu biasanya dalam beberapa minggu bahkan
beberapa bulan. Hal tersebut saya lakukan karena apa yang saya butuhkan dalam bacaan itu sudah saya
dapatkan sehingga saya beralih atau membaca buku yang lainnya. Begitu seterusnya secara bergantian
dan berkelanjutan saya terus membaca hingga pada akhirnya bacaan itu dapat saya selesaikan.
Buku ilmiah yang saya baca, saya selalu mencoba merumuskan dalam bentuk tulisan baik proposal,
penelitian, persiapan bahan ajar, makalah, ringkasan, atau sekadar kutipan karena sewaktu-waktu bisa
diperlukan. Kebiasaan yang baik ini saya mencoba mempertahankannya. Walaupun ada kebiasaan saya
dalam membaca yang kurang baik misalnya saya masih membaca dalam keadaan suasana santai setiap
membaca buku yang saya baca dan masih jarang menuntaskan bacaan dalam target waktu yang singkat
sehingga buku yang saya baca masih bermuara pada koleksi bahan bacaan.
Cara saya dalam memmbaca buku ilmiah lebih dominan saya terapkan metode SQ3R (Tarigan, 1986;
Hernowo, 2003; Tampubolon, 1987). Selain itu, berdasarkan kebutuhan bahan bacaan yang say abaca,
saya juga menerapkan teknik membaca pili, lompat, tatap, dan layap. Metode dan teknik ini bagi saya
sangat efektif karena dapat membantu saya secara efektif dalam memahami setiap bacaan. Sebelum saya
membaca saya terlebih dahulu mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan saat membaca
nantinya/pramembaca, seperti alat tulis, pembatas buku, buku tulis/catatan, tempat yang nyaman dan
menyenangkan. Setelah dirasa hal tersebut sudah baik, saya melakukan kegiatan membaca. Kadang kala
kenyamanan saya membaca berdasarkan tempat dan waktu membaca. Kalau saya membaca di rumah saya
lebih banyak memilih waktu membaca agak malam setelah anak-anak tidur atau ketika menjelang salat
subuh. Saat itu saya dalam membaca menggunakan hadset dengan diringi instrumen musik atau
kadangkala diringi dengan suara gemericik air menambah ketenangan saat saya membaca. Jika berada di
kampus saya lebih banyak membaca di ruang baca atau perpustakaan. Saya lebih memilih suasana yang
sepi dan terang.
Saat membaca, langkah pertama yang saya lakukan, yaitu survei. Saya terlebih dahulu mensurvei atau
menelaah pendahuluan terhadap buku yang saya baca baik itu identitas buku maupun informasi umum
buku yang saya baca. Identitas buku seperti judul buku, pengarang, tahun terbit, penerbit, dan tempat
terbit, sedangkan informasi umum tentang buku, saya akan membaca bagian kata pengantar dari buku
itu, biadata/biografi penulis, dan ringkasan/sinopsis buku jika ada. Informasi umum mengenai buku say
abaca pada bagian kata pengantar dan daftar isi. Dari daftar isi itulah nantinya saya akan memfokuskan
bahan bacaan saya. Saat membaca surbei ini saya lakukan saya ingin mengetahui secara garis besar
tetntang buku yang say abaca. Apalagi jika waktu membaca sangat singkat, saya minimal telah
mengetahui secara umum buku yang pernah say abaca. Jika diperlukan atau diinginkan sewaktu-waktu,
saya akan lebih mudah menemukan atau membacanya kembali.
Langkah ke dua, yaitu question. Langkah ke dua ini saya gunakan untuk memberikan pemahaman awal
terhadap becaan yang saya akan baca. Minimal dalam pertanyaan ini akan memandu saya sebagai rambu-
rambu ketika membaca. Misalnya pertanyaan itu saya ajukan berdasarkn judul yang saya baca dengan
menggunakan kata tanya mengapa dan bagaimana. Selain itu, bisa juga pertanyaan itu diajukan
berdasarkan daftar isi sesuai dengan bacaan yag akan saya baca. Kadangkala pertanyaan ini akan saya
catat untuk memudahkan bahan yang akan saya cari dalam bacaan. Selain itu, saya akan menuliskannya
apa ke buku catatan atau kertas yang saya bawa, tetapi jika buku yang say abaca itu milik pribadi maka
saya akan menggarisbawahi terlebih dahulu atau menandai dengan sabilo yang berwarna-warni. Setelah
itu, saya akan memindahkannya ke dalam buku cacatan saya.
Langkah ke tiga, yaitu read. Saya akan membaca bacaan yang sudah saya tentukan di mana bacaan yang
harus saya baca. Saya akan berusaha konsentrasi ketika membaca karena bacaan yang saya baca
merupakan keinginan saya dan harus saya pahami. Selian itu, saya mencoba membaca dalam hati dengan
gerakan mata tanpa gerakkan tangan dan tak bersuara. Hal tersebut tidak berjalan lama paling tidak lima
belas menit berjalan rasa kantuk, bosan, malas, mata terasa lelah, dan jenuh menyelimutiku. Untuk
mengatasi hal itu, saya mengatasinya dengan cara memilih waktu membaca yang baik seperti malam hari
atau pagi hari, tempatnya nyaman, bersih, dan cahaya lampu yang terang. Selain itu, kadangkala saat
membaca saya mendengarkan instrument klasik. Kadang-kadang saya juga mendengarkan lagu untuk
menghilangkan kejenuhanku. Sesekali saya pun memandang ke luar jendela atau melihat ke yang
berwarna hijau seperti taman atau halaman atau kadangkala layar monitor yang berwarna hijau. Saya juga
sesekalai kadangkala melihat ke atas dengan sesekali mengucek-ngucek mata atau mengedip-ngedipkan
mata. Kadangkala saya juga mengeleng-gelengkan kepala bahkan berdiri atau berjalan sejenak sambil
menggerak-gerakkan badan dengan gerakan yang ringan. Setelah kondisi sudah kembali normal, saya
melanjutkan membaca kembali sampai pada bacaan selesai saya baca.
Langkah ke empat, yaitu menceritakan kembali. Untuk menguji pemahaman terhadap bacaan yang saya
baca, saya mencoba mengulangi dengan cara mengingat-ingat apakah yang saya baca dapat saya pahami
dengan baik atau belum. Dengan sesekali saya menutup buku, saya mencoba mengingat apa yang saya
baca. Jika ada yang terlupakan, saya melihat kembali tek/isi buku yang saya baca. Selain itu, kadangkala
saya mencoba mengungkapkan kepada teman untuk dikoreksi atau ada masukkan terhadap bacaan yang
saya baca. Jika memang ada yang kurang sesuai dengan isi bacaan, saya meminta teman untuk
menambahkan dan memberikan masukkan pada bagian mana bacaan yang saya baca kurang dapat saya
pahami dengan jalan berdiskusi. Selain itu, saya juga merumuskan dalam bentuk ringkasan, rangkuman,
dan peta konsep terhadap isi bacaan yang saya baca.
Langkah ke lima, yaitu meninjau kembali. Pada bagian ini ketika bacaan di rasa sudah saya lakukan
dengan baik, saya tidak lupa meninjau ulang kembali terhadaap bahan bacaan yang saya baca apalagi
bacaan yang dibaca dibuat dalam bentuk tulisan. Tulisan yang saya buat saya baca kembali apakah sudah
tepat, masih ada yang kurang, terlupakan, atau ada kesalahan dalam penulisan. Keterbatasan daya serap
saya terhadap bahan bacaan yang saya baca, memungkinkan bagi saya untuk melakukan tahapan ini. Hal
tersebut saya lakukan agar bacaan yang saya baca sudah betul-betul sesuai dengan yang diharapkan baik
secara isi maupun pemahaman pembaca ada kesamaan dengan penulis.
Setelah kegiatan membaca dikakukan, saya melakukan kebiasaan-kebiasaan antara lain mengembalikan
bahan bacaan yang saya baca pada tempatnya, menandai atau memberi pembatas pada bagian yang saya
baca, dan merumuskan bahan bacaan dalam bentuk tulisan ilmiah. Kadangkala bahan bacaan yang saya
baca tersebut saya dikusikan dengan teman untuk menambah pemahaman lebih dalam terhadap bahan
bacaan yang saya baca. Atau mungkin kadangkala bahan yang saya baca masih ada yang belum saya baca
berkenaan dengan hal itu sehingga saya pun mencoba mencari atau menggali informasi agar saya dapat
membacanya atau mendapatkan buku baru tersebut.
Berbeda dari hal di atas, saya membaca buku nonilmiah seperti novel atau buku sastra lainnya. Apakah ini
kebiasaan yang jelek atau yang baik bagi saya? Membaca demikian saya lakukan kadangkala lupa dengan
waktu. Saya akan membaca buku tersebut sampai tuntas. Kadangkala istirahat hanya dilakukan saat
makan dan salat saja. Kebiasaan jelek lainnya, saya kadangkala kalau belum mau tidur sering membaca
novel atau bacaan-bacaan ringan sampai tertidur sehingga buku yang saya baca kadangkala sudah
terlipat-lipat. Dalam membaca di sini hanya proses pemahaman saja yang saya lakukan. Kalau memang
harus berhenti, saya memberi pembataas terlebih dahulu. Tidak berlangsung lama saya pun melanjutkan
bacaan itu sampai tuntas. Saya pun tidak pernah menyiapkan alat tulis atau catatan sejenisnya. Saya
membaca di sini sebagai kepuasan batin saja. Saya merasa hanyut, nyaman, asyik, dan penasaran
sehingga tak satupun alur demi alur terlewatkan bagi saya dalam membaca.
Kondisi di atas mengalami perubahan akhir-akhir ini. Saya kadangkala asyik di depan laptop untuk
membaca bahan-bahan bacaan yang ada di internet. Ketika minat membaca saya muncul, saya tinggal
menuliskan frasa atau kata kunci saja dalam melacak informasi atau bacaan yang saya akan baca. Bahan
bacaan tersebut baik berupa artikel, buku, maupun jurnal. Hal tersebut bisa diperoleh melalui laman-
laman yang ada di internet, seperti google, e-book, avaxhome, google, yahoo, open directory, MSN, live,
altavista, AOL, alltheweb, baidu, dan looksmart. Satu persatu bacaan itu saya baca, tetapi jika waktunya
sangat singkat sedangkan bahan bacaannya masih banyak, saya akan menyimpannya ke dalam file yang
ada di laptop saya. Data bahan bacaan yang telah disimpan tersebut akan saya butuhkan sewaktu-waktu.
Selain bacaan-bacaan ilmiah, saya juga membaca berbagai informasi atau berita online yang ada di
internet sebagai wawasan pengembangan ilmu saya, seperti Republika, Kompas, Rakyat Bengkulu, dan
laman-laman lainnya. Untuk menguatkan terhadap bahan bacaan yang saya baca, saya sesekali membuka
facebook atau YM untuk berkomunikasi dengan teman terhadap bahan bacaan yang saya baca. Namun,
ketika kejenuhan datang saat membaca di internet ini, saya chating dengan teman-teman tentang topik-
topik yang menarik atau sebagai penyegar pikiran sambil mendengarkan instrumen atau musik.
Membaca ilmiah maupun non ilmiah pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan atau proses memahami
informasi untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Kedua hal tersebut memerlukan konsentrasi
dengan cara dan strategi yang berbeda untuk melakukannya. Dalam pelaksanaan membacanya secara
umum bahwa metode SQ3R bisa diterapkan dengan baik. Teknik dan strategi yang baik dengan
membiasakaan pada hal-hal yang positif akan membawa kita pada pemahaman bacaan pada tingkat yang
lebih tinggi.
Posted in Uncategorized | No Comments »

May
28

PIDATO DENGAN TEMA EKONOMI PEMBANGUNAN

Masukkan/tulislah pidato yang telah Anda buat ke dalam komentar di bawah ini!
Posted in Uncategorized | No Comments »

Recent Posts
 CONTOH MEREVIEW BAB VI TES BAHASA DAN IDENTITAS SOSIAL Oleh Arono
 Hegemoni Bahasa Politik dalam Kasus Sidang Dispendagate Gubernur Nonaktif Provinsi Bengkulu Oleh
Arono
 Puisi-puisi Dank-Aron
 PENERAPAN MODEL KAJIAN SINTAKSIS WARRINER PADA BENTUK REDUNAN DAN SALINAN BAHASA
BAWAAN: STUDI KASUS BAHASA BIMA DAN BAHASA INDONESIA Oleh Arono
 STUDI PENDIDIKAN PERBANDINGAN NEGARA AMERIKA SERIKAT: LATAR BELAKANG FILSAFAT DAN BUDAYA
YANG MEWARNAI FILSAFAT DAN TEORI PENDIDIKAN DI AMERIKA Oleh Arono dan Elvi Susanti
 PRAANGGAPAN DAN IMPLIKATUR WACANA DIALOG DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Oleh
Arono
 Beberapa Studi Kasus dalam Penelitian Pendidikan Bahasa Oleh Arono
 Kritik Disertasi (Mengkritisi Disertasi) oleh Arono
 Pengalaman tentang Membaca Oleh Arono
 PIDATO DENGAN TEMA EKONOMI PEMBANGUNAN

Pages:
 Home
 About

Categories
 Uncategorized

Blogroll
 WordPress.com
 WordPress.org

Archives
 August 2011
 February 2011
 May 2009

Search
Search

Meta:
 RSS
 Comments RSS
 Valid XHTML
 XFN

© 2006 Cerdas Berbahasa . Ported to Wordpress | Sponsored By Website Traffic Promotion |

Anda mungkin juga menyukai