Anda di halaman 1dari 4

Tugas Komunikasi Gender

Review
"Feminist Metodologi"
Nama: Boby Delaroy Oktana

Sejauh ini belum ada metodologi murni dalam penelitian komunikasi Feminist. Namun
penelitian Feminist "bergaul" Dengan berbagai metode penelitian untuk memulihkan suara
perempuan dan mengungkap masalah gender yang diperdebatkan dalam komunikasi.
Setidaknya disini akan dibahas 3 pendekatan metodologis yang berbeda. Masing-masing
ada yang dibentuk dengan kerangka yang spesifik dan berhubungan dengan kerangka
struturalis dan atau Post-Strukturalis. Metodologi merupakan satu paket dimana dapat
berhubungan dengan teori komunikasi Feminis yang sebelumnya sudah dibahas.
A. Structuralism & Metodologi
Paradigma Strukturalis dalam kajian Komunikasi bekerja pada dua kerangka
metodologis yang berbeda, yakni a) Sosiolinguistik & Conversation Analysis (CA)
dan b) Critical Analysis & Critical Discourses Analysis. Sosiolinguistik & Critical
Analysis menjadi kerangka kerja dasar atas metodologi Conversation Analysis &
Critical Discourses Analysis.
● Conversation Analysis (CA)
Metodologi CA adalah pengembangan dari metode Sosiolinguistik.
Sosiolinguistik merupakan metode untuk mempelajari fenomena melalui
kajian bahasa. Menurut Noam Chomsky, bahasa adalah sistem.
Sosiolinguistik awalnya berkaitan dengan hubungan antara penggunaan
kosakata, gramatika, pola pengucapan hingga pada tataran tertentu tentang
sexuaialitas, ras, jenis kelamin, dan kelas. Metode ini dikembangkan kembali
dengan menghubungkan bahasa dengan kehidupan sosial. Bahasa dan
penuturan tidak hanya digunakan berdasarkan strata/kelas sosial namun juga
dipengaruhi oleh penemuan jati diri pembicara. Penutur mengubah bahasa
dan cara bicara mereka menyesuaikan dengan keadaan sosial. Disisi lain
pola komunikasi heterogen memaksa penutur untuk menggunakan bahasa
yang sama dalam berkomunikasi dengan etnis, kelas, ras, budaya yang
berbeda yang tentunya bahasa ini dikendalikan oleh kaum dominan, yang
tidak jarang menimbulkan miskomunikasi.
Etnografi komunikasi adalah salah satu metode sosiolinguistik yang bertujuan
untuk mempelajari cara komunikasi tertentu dalam suatu kelompok budaya.
Etnografi mempelajari pola komunikasi melalui data wawancara, observasi,
Rekam suara, video yang nantinya akan dikaitkan dengan budaya.
Selanjutnya, Dell Hymes membedakan tiga lapisan komunikasi yang saling
berkaitan, yakni a) tindak tutur, b) peristiwa tutur, dan c) situasi tutur. Lebih
lanjut Hymes membuat kisi-kisi dalam mempelajari pola komunikasi dalam
komunitas yang diberi singkatan "SPEAKING":
○ "S" For Setting
○ "P" For Participants (Speaker, Sender, audiens)
○ "E" For Ends (Purpose & Goals)
○ "A" For Act (Massage)
○ "K" For Key (tone & manner)
○ "I" For Instrumentalist ( Channel, Verbal, non-Verbal, & mediated)
○ "N" For Norms
○ "G" For Genre
Erving Goffman memperluas kerangka dengan hipotesis bahwa komunikasi
adalah kinerja yang mengikuti format umum tertentu dan jenis perwujudan,
sama seperti dalam ritual dan drama. Konsep pentingnya adalah front & back
stage performance (norma publik & privat) dan maintenance of "face" (Harga
diri) Yang artinya konvensi komunikatif terkait dengan institusi sosial dan
bahkan matriks masyarakat.
Kita masuk ke CA sekarang. Bagi Conversation analysis, bicara adalah
usaha bersama, dan fokus metodologis utamanya adalah bicara sebagai
tindakan (Kitzinger, 2002). Lawan bicara secara sadar atau tidak
memperhatikan tatanan bicara orang lain. CA berfokus pada bagaimana
percakapan disusun dan faktor yang membuatnya sukses. Orang bergantung
pada aturan percakapan dalam berbahasa, seperti sopan santun, tata krama,
kepercayaan, waktu, dominasi, dll.
kerangka CA Tidak hanya sosiolinguistik namun juga etnometodologi yang
terinspirasi dari karya Harold Garfinkel. Etnometodologi menganggap
konstruksi kekuasaan dan penindasan adalah pencapaian. Keduanya
diciptakan terus menerus, dipertahankan, dan dilawan dengan komunikasi
dan interaksi (Kitzinger, 2002). Menurut Kitzinger, orang adalah agen aktif
dari pemulihan dan perlawanan dunia sosial.
Praktisi CA agenda penelitian yang telah ditentukan sebelumnya untuk
mendapat materi interaksi yang alami, tidak seperti etnometodologi yang
dipengaruhi oleh kekuasaan dan penindasan. Kami mengklaim bahwa
sosiolinguistik, dan khususnya apropriasi feminis dari CA, paling erat
hubungannya dengan feminisme gelombang kedua awal, teori kelompok
yang diredam, dan pendekatan dominasi dan defisit.
● Critical Discourses Analysis (CDA)
Sebelum masuk pada CDA, kita akan bahas teori kritis yang berhubungan
terlebih dahulu.
Yang pertama datang dari Robert Hodge dan Gunther Kress (2001) dengan
teori kritis yang berfokus pada linguistik, semiotika, dan penelitian
Komunikasi. Mereka fokus pada mempelajari dan mengatasi tantangan
sosial yang dialami oleh kelompok subordinasi, dan dengan demikian
munculnya bidang ini menandai perubahan pandangan kritis terhadap
penggunaan tanda sebagai alat komunikasi yang diinvestasikan dengan
kekuasaan (Kress, 2001).
Pandangan teori kritis lainya adalah Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe yang
berangkat dari teori Gramsci tentang "hegemoni" Yang timbul akibat
kepentingan politik dengan membangun wacana yang kuat. Laclau dan
Mouffe mendefinisikan kembali hegemoni sebagai seperangkat wacana
tentang oposisi antagonis masyarakat, yang melibatkan tidak hanya
kepentingan kelas tetapi juga ras, etnis, gender, dan konflik lainnya.individu,
atau lebih tepatnya kelompok individu, terus berusaha untuk membangun
tatanan baru dengan menciptakan apa yang Laclau dan Mouffe sebut
sebagai "chains of equivalence," "nodal points" Atau "master signifiers".
Kita masuk pada CDA hasil dari kontribusi Norman Fairclough, Lilie
Chouliaraki, dan Ruth Wodak. Fairclough mengkombinasikan teori wacana
dengan sosiolinguistik dan menciptakan CDA. Untuk membangun hubungan
antara tradisi yang berbeda. untuk mengimplementasikan CDA, praktik tata
bahasa dan nondiskursif harus dipertimbangkan. Dengan demikian, CDA
tidak hanya harus fokus pada "teks" tertentu (baik itu tertulis atau lisan,
dimediasi atau tidak), itu juga harus mempertimbangkan praktik diskursif
produksi dan konsumsi teks serta keterikatan mereka dalam praktik sosial
yang lebih besar. Mereka percaya pada kemungkinan untuk mengidentifikasi
struktur dan elit kekuatan global dan lokal, serta ketidaksetaraan dan
ketidakadilan sosial (van Dijk, 2001). Van Dijk berpendapat bahwa tindak tutur
dapat mendukung sistem dominasi etnis-rasial, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Tokoh lain yakni Wodak mendefinisikan CDA sebagai berikut
"Analisis Wacana Kritis melihat penggunaan wacana bahasa dalam ucapan
dan tulisan-sebagai bentuk praktik sosial", wacana sebagai praktik sosial
menyiratkan hubungan dialektis antara peristiwa diskursif tertentu dan situasi,
institusi, dan struktur sosial yang membingkainya: peristiwa diskursif dibentuk
oleh mereka, tetapi juga membentuk mereka” (Wodak, 1995, hlm. 17).
Terlepas dari kerumitan seperti itu, kepentingan dasar CDA adalah, dan
masih, kekuasaan: pengorganisasian dan artikulasi kekuatan sosial melalui
wacana dan sebagai dominasi, tetapi juga sebagai mode tantangan dan
"kekuatan tandingan" di kerja identitas dan praktik diskursif oposisi.
B. Post-Structuralism.
a. Poststructural Discourses Analysis (PDA)
Sebelum masuk pada PDA, kita mesti mengenal teori tindak tutur. Jihh Austin
(1962), membedakan dua jenis tindak tutur yakni a) Konstatif (kebenaran &
kesalahan) dan b) Performatif (Keberhasilan & Kegagalan). Lalu Performatif
dibedakan lagi menjadi tiga jenis yakni; 1) Tindak Lokasi (mengatakan
sesuatu), b) Tindak Ilokusi (tindakan dalam melakukan lokasi), dan c) Tindak
Perlokusi (Efek/konsekuensi). Tindak tutur dikatakan Performatif jika
memenuhi dua unsur yakni teks dan konteks. Tindak tutur berhasil jika teks
sesuai dengan konteks. Bahasa bisa menjadi seksis & rasis atau
menyakitkan ketika performatif mendapatkan kekuatan ilokusi dengan
menyerukan konvensi sosial yang kuat. Misalnya, penggunaan kata pelacur
atau negro masih merujuk pada sejarah seksisme dan rasisme yang
mendahului subjek yang terlibat. Butler menafsir ulang pendapat Austin
tentang "otonomi kedaulatan dalam berbicara," Kekuatan Ilokusi berasal dari
tatanan sosial dan olah tubuh. Misal Kata "Pribumi" jika dikatakan dengan
saat masa penjajahan akan menimbulkan emosi marah bagi masyarakat
Indonesia, beda dengan kondisi sosial sekarang. Tapi jika kata "pribumi"
Diujarkan sekarang dengan olah tubuh yang merendahkan tetap saja akan
menimbulkan sakit hati bagi penerimanya, khususnya masyarakat Indonesia.
Bagi Butler, tubuh yang berbicara adalah kriteria utama ilokusi performatif. Itu
karena korelasi antara kata / ucapan, tubuh yang berbicara, dan hal yang
dibicarakan itulah yang membuatnya bekerja, tetapi juga di celah-celah ini
ada kemungkinan perubahan.
Tren lain dalam PDA berasal dari titik kontak antara psikologi diskursif dan
psikolinguistik dalam "Position Analysis". Davies dan Harré (lihat Bab 2)
berpendapat bahwa praktik diskursif memberikan posisi subjek yang
mencakup repertoar konseptual dan lokasi. Setelah mengambil posisi
tertentu, seseorang mau tak mau melihat dan bertindak di dunia dari sudut
pandang posisi itu dan dalam kaitannya dengan gambaran, metafora, alur
cerita, dan konsep tertentu yang dikenal sebagai "repertoar
interpretatif".dalam kerangka PDA, objek utama investigasinya adalah
mesolevel, dan fokusnya adalah pada percakapan yang dipahami sebagai
"serangkaian tindak tutur yang terstruktur, yaitu, sebagai ucapan dan
perbuatan dari jenis yang didefinisikan dengan mengacu pada sosial mereka
[ ilokusi] memaksa" (Davies & Harré, 1990/2001, hal. 263). Fokus utamanya
adalah pada mekanisme self-and other positioning yang terjadi di sebagian
besar ujaran: “Setiap kali seseorang memposisikan dirinya, tindakan diskursif
ini selalu mengimplikasikan positioning dari orang yang dituju. ketika
seseorang memposisikan orang lain, itu selalu berarti memposisikan orang itu
sendiri" (van Langenhove & Harré, 1999, hlm. 22). Misal, teman wanita saya
sakit setelah saya ajak untuk nonton konser, lalu saya minta maaf karena
sudah mengajaknya sampai dia sakit. Disini terjadi pemosisian diri, dimana
saya seakan mengontrol teman wanita saya (bagi wanita) yang mana
padahal tidak. Lalu teman wanita saya menjawab, "ini keputusanku dan
menjadi konsekuensiku". Karena wanita merasa diposisikan sebagai
subordinat, dia melawan dan membangun posisinya dalam interaksi tersebut.
variasi lain dari PDA adalah positioning naratif, di mana kemungkinan untuk
memposisikan diri melekat, di satu sisi, pada perspektif naratif atau sudut
pandang dan konstruksi peristiwa, dan, di sisi lain, berbasis kinerja.
pendekatan narasi lisan dan percakapan (Bamberg. 2000, 2004; Gergen
2002).
b. Transversal Discourses Analysis (TDA)
TDA terinspirasi dari politics transversal feminis di gelombang ketiga. TDA
berusaha untuk lepas dari metodologi yang sudah mapan sebagai metode
feminist. Dalam melintasi batas dan menggabungkan kembali alat dan
konsep, TDA juga menandakan munculnya transfeminisme. Namun,
pertama-tama mari kita lihat poin-poin inspirasinya.
TDA terinspirasi dari konsep yang dikembangkan oleh Nira Yuval Davis
tentang "Rooting" dan "Shifting" yang digunakan dalam konteks manajemen
konflik dan proses membangun solidaritas feminis yang tidak menjadi
mangsa homogenisasi. Feminis transversal berusaha menghindari
pengelompokan identitas esensialis dan sebaliknya terlibat dalam interogasi
kritis terhadap istilah esensialis seperti feminin, maskulin, perempuan,
laki-laki, butch, femme, dan sebagainya.
Ahli teori gender Judith Halberstam (1998) telah menggunakan TDA melalui
berbagai metodologi yang secara kolektif dia sebut sebagai "metodologi
aneh" (hal. 10): kritik tekstual, etnografi, survei sejarah, penelitian arsip, dan
produksi taksonomi.Halberstam Berusaha untuk menguak maskulinitas
perempuan dengan berbagai metode.

Anda mungkin juga menyukai