Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan media bagi manusia dalam berkomunikasi. Melalui
bahasa, manusia dapat mengungkapkan ide, pikiran, dan perasaannya. Namun
demikian, saat ini definisi bahasa telah berkembang sesuai fungsinya bukan hanya
se-bagai alat berkomunikasi. Saat ini, bahasa telah menjadi media perantara dalam
pelaksanaan kuasa melalui ideologi. Bahkan bahasa juga menyumbang proses
domi-nasi ter-hadap orang lain oleh pihak lain.
Terkait pernyataan di atas, Halliday (1978) juga menegaskan bahwa
sesungguhnya bahasa bukan hanya terdiri atas kalimat, melainkan juga terdiri atas
teks atau wacana yang di dalamnya terdapat tukar-menukar maksud dalam
konteks interpersonal antara satu dengan yang lain. Konteks dalam tukar
me-nukar maksud itu tidak bersifat kosong dari nilai sosial, tetapi sangat
dipengaruhi oleh konteks sosial budaya masyarakatnya. Dalam memahami
wacana (naskah/teks), tidak dapat terlepas dari konteksnya. Untuk menemukan
realitas di balik teks memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks,
konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks.
Dikarenakan dalam sebuah teks tidak lepas akan kepentingan yang yang bersifat
subjektif.
Di dalam sebuah teks juga dibutuhkan penekanannya pada makna (lebih
jauh dari interpretasi dengan kemampuan integratif, yaitu inderawi, daya pikir dan
akal budi). Artinya, setelah mendapat sebuah teks yang telah ada dan juga telah
mendapat sebuah gambaran tentang teori yang akan dipakai untuk membedah
masalah, maka langkah selanjutnya adalah memadukan kedua hal tersebut
menjadi kesatuan yaitu dengan adanya teks tersebut memakai sebuah teori untuk
membedahnya.
Analisis wacana kritis (critical discourse analysis) merupakan pendekatan
sekaligus menjadi perangkat teknis yang digunakan para analisis wacana untuk
menyibak hal-hal yang tersimpan dalam wacana (teks). Selama ini analisis wacana
kritis (AWK) digunakan untuk menganalisis teks yang disajikan di ruang publik,
mengingat pengaruh yang diberikan wacana atau teks tersebut pada pembaca.

1
Teks memang menjadi salah satu instrumen yang digunakan untuk mempengaruhi
partisipan komunikasi. Realisasinya dapat berbentuk pengontrolan informasi dan
kerangka pikir pembaca melalui informasi yang sengaja dihadirkan. Bahasa
memang memiliki fungsi kontrol sosial, yakni dapat menjadi alat untuk
mempengaruhi dan membingkai pemikiran publik. Lihatlah misalnya selebaran
yang masih digunakan dalam kampanye legislatif atau eksekutif, masih diyakini
berpengaruh terhadap keajekan pilihan dari masyarakat. Melalui penggunaan
bahasa yang menjanjikan, merayu, hingga memprovokasi selebaran ditebar
kepada masyarakat dengan harapan publik terpengaruh dengan informasi yang
diberikan.
Asumsi utama AWK adalah bahwa teks menyimpan sesuatu yang implisit
dan transenden. Teks tidak hanya dapat dilihat dari unsur-unsur permukaan
semata yang berwujud rangkain kalimay. Untuk melihat jatidiri komunikasi, maka
harus digali sedalam-dalamnya apa yang terbungkus dalam teks. Asumsi utama
ini mengindikasikan bahwa dalam teks ada sesuatu yang tersimpan sebagai pesan
utama komunikasi. Pesan utama tersebut merupakan ideologi penutur yang
terbungkus dalam kata-kata atau kalimat. Asumsi ideologi inilah yang harus digali
dalam sebuah teks. Ideologi ini sering pula disebut lebih sederhana berupa
kepentingan. Selebaran kampanye menyimpan ideologi pembuatnya, yang sudah
dipastian adalah ideologi politik atau ideologi kekuasaan. Namun, ideologi atau
kekuasaan apakah yang tersimpan dalam sebuah selebaran, analisis wacana
memiliki ruang untuk membongkar teks tersebut.
Asumsi selanjutnya adalah bahwa bahasa bukan instrumen kosong yang
dapat diisi apa saja oleh penuturnya. Maksudnya bahasa bersifat tidak netral,
walaupun para ahli komunikasi mengatakan bahwa bahasa itu tidak bermakna,
kepada oranglah yang memberi makna. Oleh karena itu mempelajari wacana
sesungguhnya mempelajari pesan penuturnya. Pesan tersebut dibungkus dalam
rangkaian bahasa sebagai simbol. Asumsi ini meyakinkan kepada kita bahwa
bahasa sangat strategis dalam menyampaikan kepentingan, ideologi, dan pesan
penuturnya.
Sebagai dimensi yang netral bagaimana kita memosisikan bahasa salam
kajian wacana, paling tidak ada tiga pemahaman yang disampaikan menurut

2
(Badara, 2012: 19-20, Eriyanto, 2003: 4-6) yaitu pertama, bahasa hanya
dipandang sebagai alat komunikasi semata. Kedua, cara pandang yang
menempatkan bahasa tidak hanya menempatkan sebagai alat komunikasi semata,
tetapi bahasa digunakan sebagai alat untuk mengendalikan pihak lain. Ketiga,
bahasa ditempatkan sebagai media representasi kehadiran individu, organisasi,
atau lembaga.
Dengan pemahaman di atas, kita dapat meyakini bahwa analisis wacana
kritis diperlukan, baik sebagai ilmu maupun sebagai instrumen analisis bahasa,
terlebih pada kondisi banjir informasi saat ini. Sikap kritis diperlukan agar kita
mengetahui “makna dalam” dari sebuah tuturan yang disampaikan banyak pihak.
Kita pun tidak akan dibodohi dengan informasi-informasi palsu (hoax) karena
memiliki nalar ktiris dan mampu menelaah wacana dengan bai. Pada lain hal, kita
dapat mengetahui apa kepentingan dibalik tuturan tersebut hingga kita dapat
bersikap terhadap informasi tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana pendekatan utama dalam analisis wacana kritis?
1.2.2 Bagaimana dimensi dalam analisis wacana ktiris?
1.2.3 Bagaimana paradigma dalam analisis wacana kritis?

1.3 Tujuan Makalah


1.3.1 Untuk mengetahui pendekatan utama dalam analisis wacana kritis.
1.3.2 Untuk mengetahui dimensi dalam analisis wacana kritis.
1.3.3 Untuk mengetahui paradigma dalam analisis wacana kritis.

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pendekatan Utama dalam Analisis Wacana Kritis
Pendekatan Utama dalam Analisis wacana kritis terutama berutang budi
kepada beberapa intelektual dan pemikir, Michel Foucault, Antonio Gramsci,
sekolah Frankfurt, dan Louis Althusser. Gramsci berperan besar terutama dengan
teorinya mengenai hegemoni. Ini memberi kemungkinan penjelas bagaimana
wacana yang dikembangkan mampu mempengaruhi khalayak, bukan dengan
kekerasan tetapi secara halus dan diterima sebagai suatu kebenaran. Althusser
memberi sumbangan besar, terutama teori ideologi. Ia melihat ideologi sebagai
praktik melalui mana seseorang diposisikan dalam posisi tertentu dalam hubungan
sosial. Orang yang berhasil menerjemahkan dengan baik teori Gramsci di satu sisi
dan teori Althusser di pihak lain dalam hubungannya dengan media adalah Stuart
Hall dan koleganya di Center for Contemporary Cul-tural Studies at Birmingham
di Inggris. Ada beberapa pendekatan dari analisis wacana ini. Pendekatan-
pendekatan itu secara hasil umum dapat diringkas sebagai berikut:
2.1.1Analisis Bahasa Kritis (Critical Linguistics)
Critical Linguistics ini dibangun oleh sekelompok pengajar di Universitas
East Anglia pada tahun 1970-an. Pendekatan wacana yang dipakai banyak
dipengaruhi oleh teori sistematik tentang bahasa yang diperkenalkan oleh
Halliday. Hampir mirip dengan French Discourse Analysis, Critical Linguistics
memusatkan analisis wacana pada bahasa dan menghubungkannya dengan
ideologi Bedanya, kalau dalam Pecheux, aspek kebahasaan ini didekati dengan
teori yang abstrak mengenai formasi diskursif, Critical Linguistics lebih konkret
dengan melihat gramatika. Inti dari gagasan Critical Linguistics adalah melihat
bagaimana gramatika bahasa membawa posisi dan makna ideologi tertentu.
Dengan kata lain, aspek ideologi itu diamati dengan melihat pilihan bahasa dan
struktur tata bahasa yang dipakai. Bahasa, baik pilihan kata maupun struktur
gramatika, dipahami sebagai pilihan, mana yang dipilih oleh seseorang untuk
diungkapkan membawa makna ideologi tertentu. Ideologi itu dalam taraf yang
umum menunjukkan bagaimana satu kelompok berusaha memenangkan dukungan

4
publik, dan bagaimana kelompok lain berusaha dimarjinalkan lewat pemakaian
bahasa dan struktur gramatika tertentu
2.1.2 Analisis Wacana Pendekatan Perancis (French Discourse Analysis)
Pendekatan Pecheux ini banyak dipengaruhi oleh teori ideologi Althusser
dan teori wacana Foucault. Dalam pandangan Pecheux, bahasa dan ideologi
bertemu pada pemakaian bahasa dan materialisasi bahasa pada ideologi.
Keduanya, kata digunakan dan makna dari kata-kata menunjukkan posisi
seseorang dalam kelas tertentu. Bahasa adalah medan pertarungan melalui mana
berbagai kelompok dan kelas sosial berusaha menanamkan keyakinan dan
pemahamannya. Pecheux memusatkan perhatian pada efek ideologi dari formasi
diskursus yan memposisikan seseorang sebagai subjek dalam situasi posisi
tertentu. Mengutip Althusser, ia menekankan bagaimana seseorang ditempatkan
secara imajiner dalam posisi tertentu, wacan menyediakan efek ideologis berupa
pemosisian ideologi sese rang. Lebih dalam, formasi diskursif seseorang
ditempatkan dalam keseluruhan praktik dominasi dalam masyarakat. Dalam taraf
yang sama, hal ini juga dilakukan oleh Sara Mills, yan mengajukan teori
mengenai posisi penulis dan khalayak dan bagaimana seseorang ditempatkan
dalam subjek tertentu. Titik perhatian Mills, terutama pada masalah-masalah
feminis.
2.2.3 Pendekatan Kognisi Sosial (Socio Cognitive Approach)
Pendekatan kognisi sosial ini dikembangkan oleh pengajar di Universitas
Amsterdam, Belanda, dengan tokoh utamanya Teun A. Van Dijk. Van Dijk dan
koleganya dalam kurun waktu yang lama sejak 1980-an meneliti berita-berita di
surat kabar Eropa terutama untuk melihat bagaimana kelompok minoritas
ditampilkan. Titik perhatian van Dijk dan koleganya dalam kurun waktu yang
lama sejak 1980-an meneliti berita-berita di surat kabar Eropa terutama untuk
melihat bagaimana kelompok minoritas ditampilkan. Titik perhatian van Dijk
adalah pada masalah etnis, rasialisme, dan pengungsi. Pendekatan van Dijk ini
disebut kognisi sosial karena van Dijk melihat faktor kognisi sebagai elemen
penting dalam produksi wacana. Wacana dilihat bukan hanya dari struktur
wacana, tetapi juga menyertakan bagaimana wacana itu di produksi. Proses
produksi wacana itu menyertakan suatu proses yang disebut sebagai kognisi

5
sosial. Dari analisis teks misalnya dapat díketahui bahwa wacana cenderung
memarjinalkan kelompok minoritas dalam pembicaraan publik. Akan tetapi,
menurut van Djk, wacana semacam ini hanya tumbuh dalam suasana kognisi
pembuat teks yang memang berpandangan cenderung memarjinalkan kelompok
minoritas. Oleh karena itu, dengan melakukan penelitian yang komprehensif
mengenai kognisi sosial akan dapat dilihat sejauh mana keterkaitan tersebut,
sehingga wacana dapat dilihat lebih utuh.
2.2.4 Pendekatan Perubahan Sosial (Sociocultural Change Approach)
Analisis wacana ini terutama memusatkan perhatian pada bagai- mana
wacana dan perubahan sosial. Fairclough banyak dipenga- ruhi oleh Foucault dan
pemikiran intertekstualitas Julia Kristeva dan Bakhtin. Wacana di sini dipandang
sebagai praktik sosial. Dengan memandang wacana sebagai praktik sosial, ada
hubungan dialektis antara praktik diskursif tersebut dengan identitas dan relasi
sosial. Wacana juga melekat dalam situasi, institusi, dan kelas sosial tertentu.
Memaknai wacana demikian, menolong menjelaskan bagaimana wacana dapat
memproduksi dan mereproduksi status quo dan mentransformasikannya.
2.1.5 Pendekatan Wacana Sejarah (Discourse Historical Approaches)
Analisis wacana ini dikembangkan oleh sekelompok pengajar di Vienna di
bawah Ruth Wodak. Wodak dan koleganya ter- utama dipengaruhi oleh pemikiran
dari sekolah Frankfurt, khu- susnya Jurgen Habermas. Penelitiannya terutama
ditujukan untuk menunjukkan bagaimana wacana seksisme, antisemit, rasialisme
dalam media dan masyarakat kontemporer. Wacana sini disebut historis karena
menurut Wodak dkk., analisis wacana harus menyertakan konteks sejarah
bagaimana wacana tentang suatu kelompok atau komunitas digambarkan.
Misalnya penggambaran yang buruk atau rasis tentang suatu kelompok,
menurutnya terbangun lewat proses sejarah yang panjang. Prasangka, bias,
misrepresentasi dan sebagainya harus dibongkar dengan melakukan tinjauan
sejarah karena prasangka itu adalah peninggalan atau arisan lama yang penting.
2.2 Dimensi dalam Analisis Wacana Kritis
Sebagai sebuah kajian lintas disipliner, AWK memiliki karakteristik yang
berbeda dengan analisis wacana pada umumnya. AWK bersifat lebih mendalam
dan menggunakan beragam pendekatan selain pendekatan linguistik sebagai

6
landasan utama. Karena keterkaitan tersebut, wujud AWK menjadi demikian luas,
bukan hanya teks (text) dan tuturan (talk), tetapi tindakan (act) dan jejak
peninggalan (artifact).
Bahasa dan masyarakat merupakan dua sisi yang saling membutuhkan, tak
mungkin bahasa tanpa masyarakat, juga tak mungkin masyarakat tanpa kehadiran
bahasa. Institusi sosial menjadikan bahasa sebagai kelengkapan keberadaannya.
Demikian pula individu membuituhkan bahasa untuk menyampaikan atau
menerima sesuatu dari dalam pikiran dan hatinya dari dalam pikiran dan hari
orang lain.
AWK atau kajian wacana pada umumnya tidak dapat dilepaskan dari
penggunaan bahasa dalam konteks. Bahasa mengandung makna karena hadir
konteks, apalagi bahasa lisan, sangat tampak kehadiran konteks. Cutting dalam
Anshori (2017: 194) menyebut tiga jenis konteks yang ada di luar teks, yaitu
konteks situasi, konteks latar pengetahuan, dan konteks ko-tekstual. Konteks
situasi adalah segala sesuatu situasi yang meliputi penutur ketika bertutur. Ketika
seseorang bertutur atau berbahasa, terdapat situasi yang hadir dan menyertainya.
Misalnya tuturan kebencian, akan keluar dari situasi yang penuh amarah, emosi,
dan perilaku yang menunjukkan ketidaksenangan. Efeknya penutur akan
mengucapkan tuturan ini dengan wajah memerah, mata memandangtajam, nada
bicara tinggi
Konteks situasi tersebut akan tergambar melalui uturan atau wacana yang
digunakan oleh penutur. Seorang dosen akan menyampaikan materi perkuliahan
sesuai dengan konteksnya. Bahkan untuk menguatkan konteks situasi, diberikan
contoh, iluastrasi, atau sejenisnya dalam wacana. Seperti wacana di bawah ini:
“Para mahasiswaku, hari ini kita memasuki pertemuan ke-8 perkuliahan.
Sekalipun saya tidak memberitahu anda, sepatutnya anda mengetahui dan
mempersiapkan diri bahwa hari ini akan diselenggarakan ujian tengah semester.
Tolong duduknya jangan terlalu rapat, dan persiapkan alat tulis untuk ujian kali
ini, bekerjalah sebai-baiknya dan tidak bekerja sama”. Konteks situasi yang
terangun dalam tuturan tersebut mungkin penuh keseriusan, ketegangan, bahkan
mungkin kekecewaan mahasiswa yang tidak menyiapkan diri untuk ujian. Bahkan
mungkin ada konteks situasi protes agar ujian dapat diundur pada minggu

7
berikutnya. Dapat dipastikan bahwa setiap tuturan yang disampaikan baik lisan
maupun tulisan mengandung konteks situasi. Konteks inilah yang meberikan arah
makna dan tuturan tersebut.
Konteks latar pengetahuan dibangun oleh dua asumsi dasar yaitu
pengetahuan budaya yang bersifat umum, yakni sesuatu yang dipikirkan sama
dalam komunitas masyarakat, biasanya mengenai nilai hidup serta pengetahuan
iterpersonal. Pengetahuan yang bersifat khusus dan pribadi mengenai latar diri
penutur. Misalnya apabila pandangan hidup masyarakat sunda menjadi konteks
latar budaya anggota etnis sunda, misalnya, hade ku basa goreng ku basa,
menyebabkan masyarakat Sunda jarang melayani pertengkaran atau konflik
karena mereka berpandangan segala sesuatu dapat diselesaikan dengan
komunikasi yang baik.
Konteks rujukan (co-textual context) merupakan konteks yang terbangun
dalam wujud pendukung linguistik. Setiap penggunaan bahasa akan mengikuti
rujukan ekspresi penuturnya. Misalnya orang yang memperkenalkan diri akan
merujuk pada dirinya dan segala yang berkaitan dengan dirinya. Dalam bentuk
linguistik, rujukan seperti deiksis akan digunakan untuk merujuk pada kata ganti
orang, seperti aku, saya, dia, mereka, kami, kita, dan lain-lain. Rujukan peristiwa
dan waktu juga akan digunakan sebagai pendukung percakapan dalam berbagai
bentuk pendukung linguistik.
1. Dimensi Tekstual (Mikrostruktural), meliputi: kohesi dan koherensi, tata
bahasa, dan diksi.
2. Dimensi Kewacanaan (Mesostruktural), meliputi: produksi teks, penyebaran
teks dan konsumsi teks.
3. Dimensi Praktik Sosial-Budaya (Makrostruktural), meliputi: situasional,
institusional dan sosial.
2.2.1 Setting/Latar
Setting sering disebut dengan latar. Agak mirip dengan konteks, setting
dapat dipahami sebagai sesuatu yang melatari sebuah pernyataan. Setiap tuturan
memiliki latar, baik waktu, tempat, maupun situasi. Latar merupakan unsur dalam
teks. Memahami latar membantu petutur mengerti maksud dari tuturan, terutama

8
dalam komuniasi tulis, dalam komunikasi, latar menjadi penanda peristiwa baik
dari segi waktu, tempat, dan situasi saat peristiwa tersebut.
Analisis wacana harus menyertakan setting sebagai bagian dari
pertimbangan pemberian makna terhadap simbol yang ditafsirkan. Dalam
memahami simbol tersebut dapat dipertimbangkan apakah makna dalam kalimat
memiliki kelogisan atau kesesuaian dengan latar yang digambarkan. Misalnya,
sebuah peristiwa demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah digambarkan dengan
latar banyaknya penjual aksesoris sepakbola. Tentu dalam peristiwa tersebut latar
tidak logis dan tidak mendukung makna yang disampaikan. Kesesuaian latar akan
mampu mengutuhkan makna dari wacana yang disajikan.
2.2.2 Aksi/Tindakan
Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan berbahasa (speech act).
Wacana juga merupakan representasi dari kehendak manusia yang berbuat,
sehingga berbahasa sesungguhnya merupakan perilaku manusia dalam konteks
sosial. Berbahasa tidak ditafsirkan sebagai merangkai kata-kata atau kalimat,
tetapi sesungguhnya merajut tindakan sehingga terkomunikasikan dalam simbol
bahasa.
Sebagai sebuah tindakan, berbahasa dikategorikan ke dalam bentuk
tindakan lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Kegiatan berbahasa harus berimplikasi
pada perubahan tindakan fisik seseorang. Misalnya, apabila seseorang berteriak
“awas, ada bahaya!” maka petutur harus bergerak melakukan penyelamatan
dirinya. Berbahasa seharusnya bukan hanya menunjukkan adanya implikasi
tindakan, tetapi disesuaikan dengan tuturan.
2.2.3 Rujukan/Referensi
Dalam wacana rujukan berperan memberikan arah pembicaraan kepada
pembaca atau penutur. Rujukan dapat berbentuk gramatikal atau rujukan
linguistik dan rujukan situasional. Rujukan gramatikal ditadai dengan simbol-
simbol bahasa, baik konjungsi, substitusi, pronomina, elipsis, dan lain-lain.
Rujukan gramatikal berfungsi sebagai penegas, penyingkat, dan penjelas
rangkaian alimat sebelum dan sesudahnya. Dalam kata ganti orang misalnya,
saya, aku, dia, engkau, mereka, dapat menggantikan posisi subjek orang yang
mungkin pada bagian lain dijelaskan lebih panjang atau berbentuk

9
frasa.mdemikian pula dengan konjungsi dapart menegaskan arah wacana sehingga
dipahami selaras dengan keinginan penulis atau penutur.
Rujukan situasional biasanya bersifat eksopora, yakni rujukan yang
melibatkan hal-hal di luar teks. Seorang petutur harus memiliki skemata berupa
pengetahuan lain tentang topiks teks. Misalnya pada pernyataan “Menurut
sebagian masyarakat kelas menengah........”, maka petutur harus memahami
rujukan situasional tersebut pada pemahaman frasa kelas menengah. Apabila
pembaca tidak mengerti maksud dari frasa kelas menengah, maka pemahaman
wacana tidak utuh.
2.2.4 Produksi Teks
Produksi teks dilakukan secara individu maupun secara lembaga. Teks
juga diproduksi oleh kelompok dominan yang banyak berinteraksi secara sosial.
Seorang wartawan akan memproduksi teks atas nama lembaga, sehingga teks
yang dihasilkan merepresentasi lembaga tersebut. Seorang pengamat politik akan
memproduksi teks secara pribadi yang dikonsumsi media dan disebarkan kepada
pembaca.
Produksi teks berkaitan dengan bagaimanansebuah wacana disusun dan
dan disebarkan kepada pembaca. Di sini ada pertimbangan dan rasionalisasi
mengapa seseorang atau lembaga memproduksi teks. Misalnya, mengapa media A
memilih topik ini sedangkan media B memilih topik itu. Mengetahui alasan
pemilihan tersebut penting dalam produksi teks.
2.2.5 Konsumsi Teks
Pada model konsumsi teks yang top-down, seorang pembaca akan
memaknai sepenuhnya teks berdasarkan makna yang diterimanya dari teks,
berbeda konsumsiteks yang bottom up pengetahuan awal penutur akan menyaring
informasi yang dicernanya sehingga terjadi pemilihan makan yang sesuai dengan
kebutuhan pembaca. Tentu mengonsumsi teks yang ideal adalah dengan model
interaktif, yakni terjadinya interaksi antara makna yang dibangun dalam teks
dengan pengetahuan awal pembaca atau penutur dalam memahami teks.
Dalam konsumsi teks kemampuan penutur memahami setiap simbol
bahasa yang disajikan akan menjadi penentu kedalaman pemahaman wacana.
Oleh karena itu penting dilakukan penutur menentukan tujuan mengonsumsi teks.

10
Tujuan tersebut akan membantu menentukan teknik apa yang cocok. Kegiatan
membaca dipandang sebagai wisata ilmu pengetauan, karena pembaca menikmati
dan membawa alam batinnya pada dunia teks. Membaca untuk analisis wacana
berbeda dengan membaca untuk relaksasi, terutama dalam hal melibatkan sikap
kritis dan daya nalar pembaca terhadap penyajian atau isi teks. Kekritisan dapat
dilakukan dengan selalu mengonfirmasi kebenaran fakta dan data serta
membandingkan dengan fakta dan data lain yang relevan.
2.2.6 Historis
Teks sebagai produk berpikir manusia mengandung historis pemikiran
manusianya. Teks tidak berdiri pada zaman yang terpisah, melainkan hadir karena
ada teks sebelumnya dan kemungkinan akan hadir teks berikutnya. Dalam kajian
wacana, histori dapat terjadi terutama dalam analisis wacana yang mengandung
peristiwa masa lampau dan dilihat dari perspektif kekinian. Misalnya, wacana
kekuasaan Orde Lama dianalisis pada konteks saat ini. Bukan saja topik teks yang
mengandung historis, tetapi perspektifnya sama-sama mengandung historis,
karena analisis yang dilakukan saat ini mungkin saja berubah dinamis apabila
dilakukan dua puluh tahun yang akan datang.
2.2.7 Kekuasaan
Kekuasaan (power) dipahami dalam analisis wacana sebagai upaya
mempengaruhi atau mengontrol pihak lain melalui bahasa yang digunakan.
Kontrol sosial ini terjadi karena bahasa berperan sebagai katalisator pemikiran dan
kepentingan penutur, termasuk dalam mengendalikan mitra tuturnya. Pada saat
dua orang berkomunikasi, terjadi saling mempengaruhi pemikiran atau saling
kontrol melalui bahasa yang digunakan. Kegiatan tersebut menimbulkan berbagai
reaksi, mulai menolak pemikiran, berkompromi, atau salah seorang dari mereka
mengikuti pemikiran yang lainnya.
Wacana sebagai kedok medan pertarungan para penutur akan membuka
kedok kekuasaan yang mereka tampilkan. Misalnya pada Pilkada Jakarta, ketika
putaran pertama pertarungan wacana ,asih tidak saling berhadapan, berbeda
dengan putaran kedua yang saling berhadapan. Pertarungan ini diklaim sebagian
orang sebagai perjuangan membela kebenaran dan pembelaan rakyat kecil.
Kekuasaan benar-benar menjelma menjadi pertarungan tanpa etika, apalagi

11
dipahami kekuasaan itu sebagai amanah. Politik bukan sebagai ikhtisar
mensejahterakan masyarakat, politik menajadi alat untuk meraih kekuasaan
sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan segala cara.
2.2.8 Ideologi
Ideologi menjadi salah satu karakteristik analisis wacana kritis. Ideologi
dalam berwarna kritis dipahami sebagai representasi dan konstruksi sosial yang
dibangun melalui teks. Ideologi menjadi masalah sentral dalam analisis wacana
kritis, mengingat secara hakikat analisis wacana ktitis menggali masalah yang
bersifat inhern yang berada dalam teks. Ideologi erat kaitannya dengan bahasa
yang digunakan dan direkayasa. Penting dalam hal ini membicarakan bagaimana
konstruksi bahasa dalam format kekuasaan, karena ideologi disampaikan melalui
bahasa. Bahasa menjadi alat yang efektif dalam menyampaikan ideologi baik
personal maupun komunnal.
Menggali ideologi dalam teks dapat dilakukan dengan menkaji kognisi
sosial pembuat teks. Teks diproduksidengan mind set pembuatnya. Ke mana arah
ideologi teks tersebut ditentukan oleh apa yang ada dalam kepala pembuat teks
tersebut. Misalnya sebuah berita yang disajikannya telah mengonstruksi teks
untuk kepentingan dirinya dan media tempat kerjanya.
Kekuatan (power) dalam kegiatan berbahasa adalah usaha untuk
mempengaruhi orang lain dalam bersikap dan berbuat, Hung dan Bradac dalam
Anshori (2017: 205). Pengaruh ini dapat diwujudkan dalam bentuk persuasi,
argumentasi, pengggunaan kekuatan, pemberian izin, permohonan, penyampaikan
kebutuhan, dan lain-lain. Melalui kegiatan tersebut, bahasa akan digunakan untuk
mempengaruhi sikap dan perbuatan orang. Pada masyarakat kelas atas dan
terdidik bentuk komunikasi yang dilakukan harus mengandung argumentasi dan
persuasi. Berbeda dengan penggunaan kekuatan hanya dapat dilakukan dalam
situasi dan kondisi yang memungkinkan posisi komunikator lebih unggul
dibandingan komunikan. Penggunaan kekuatan akan melahirkan bahasa-bahasa
yang bersifat doktrin dan instruktif.
2.3 Paradigma Kritis
Analisis wacana termasuk dalam kategori paradigma kritis. Awal untuk
menghidupkan analisis wacana kritis adalah harus hadirnya payung paradigma

12
kritis dalam penelitian bahasa. Aliran kritis merupakan “perlawanan aliran
empiris” yang berkembang dan didirikan oleh Frankfurt Institute of Social
Research Franfrut, Jerman, pada 23 Februari 1923 sehingga disebut mahzab
Franfrut, dengan tokoh Adorno, Horkheimer, Benjamin, dan Marcuce. Aliran
kritis menempatkan subjek sebagai instrumen aktif yang dapat ditafsirkan sesuai
dengan dinamika sosial yang ada. Oleh karena itu, subjek bukan benda pasif yang
kosong dari kepentingan para pihak.
Secara ontologis, epistemologis, aksiologis, dan metodologis, penelitian
kritis berbeda dengan paradigma klasik (positivisme) dan paradigma
konstruktivisme. Secara ontogis, realitas yang teramati (virtual reality) merupakan
realitas “semu” yang telah terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan sosial,
budaya, dan ekonomi politik.secara epistemologis dijelaskan bahwa hubungan
antara peneliti dengan realitas yang diteliti selalu dijembatani oleh nilai-nilai
tertentu. Secara aksiologis bisa dijelaskan bahwa (1) penelitian, (2) peneliti
menemoatkan diri sebagai transformatif intellectual, advokad, dan aktivis. (3)
tujuan penelitian, yaitu kritik sosial, transformasi, emansipasi, dan social
empowerment. Secara metodologis, penelitian kritis: (1) mengutamakan anlsisi
komprehensif, kontekstual, dan multilevel analisis yang bisa dilakukan melalui
penempatan diri sebagai aktivis/partisipan dalam proses transvormasi sosial, (2)
kriteria kualitas penelitian adalah historical situatedness, yakni sejauh mana
penelitian memperhatikan konteks historis, sosial, budaya, ekonomi, politik,
menurut Hidayat dalam Anshori (2017: 207).
Secara paradigmatis ilmu bahasa sudah sangat mapan. Sikap kritis dan
bernalar adalah persoalan budaya masyarakat, baik berlatar belakang bahasa atau
tidak. Dasar-dasar ilmu bernalar ada pada setiap cabang ilmu. Bahasa kritis telah
dikubur jauh-jauh sejak Orde Baru berdiri. Jika hendak menjadikan bahasa
sebagai alat berpikir kritus, maka kita perlu mereformasi paradigma keilmuan
bahasa termasuk pendekatan-pendekatan pembelajaran bahasa yang digunakan
selama ini.
Paradigma ini mempunyai pandangan tertentu bagaimana media, dan pada
akhirnya berita harus dipahami dalam dalam keseluruhan proses produksi dan
struktur sosial. Paradigma kritis ini, sering kali dilawankan dengan tradisi lain:

13
pluralis. Perbedaan dan pembagian pandangan media antara kritis dan pluralis ini
memperhitungkan filosofi media dan pandangan bagaimana hubungan antara
media, masyarakat, dan filosofi kehadiran media di tengah masyarakat. Pertama
pandangan pluralis. Paradigma pluralis terutama bersumber dari pemikiran
August Comte, Emile Durkheim, Mark Weber, dan Ferdinand Tonnies. Inti dari
aliran ini terutama adalah kepercayaan bahwa masyarakat adalah wujud dari
konsensus dan mengutamakan keseimbangan. Masyarakat dilihat sebagai suatu
kelompok yang kompleks di mana terdapat berbagai kelompok sosial yang saling
berpengaruh dalam suatu sistem dan pada akhirnya mencapai keseimbangan.
Pandangan ini percaya dengan ide liberal yang menyakini kalau persaingan
dibiarkan bebas, pada akhirnya akan tercipta suatu keseimbangan, ekuilibrium
antara berbagai kelompok masyarakat tersebut.
Kedua, pandangan kritis. Pandangan ini dipengaruhi oleh ide dan gagasan
Marxis yang melihat masyarakat sebagai suatu sistem kelas. Masyarakat dilihat
sebagai suatu sistem dominasi dan media adalah salah satu bagian dari sistem
dominasi tersebut. Kalau pandangan pluralis percaya bahwa kelompok-kelompok
masyarakat dapat secara bebas bertarung dalam ruang yang terbuka, maka
pandangan kritis justru melihat masyarakat didominasi kelompok elit. Media
adalah alat kelompok dominan untuk memanipulasi dan mengukuhkan
kehadirannya sembari memarjinalkan kelompok yang tidak dominan. Kalau
pandangan pluralis percaya bahwa profesionalitas, sistem kerja, dan pembagian
kerja dalam media dapat menciptakan kebenarannya sendiri, maka pandangan
kritis menolaknya. Wartawan yang bekerja dalam suatu sistem produksi berita
bukanlah otonom, bukan pula bagian dari suatu sistem yang stabil, tetapi
merupakan praktik ketidakseimbangan dan dominasi.

2.3.1 Media dan Berita Dilihat dari Paradigma Kritis


Paradigma kritis mempunyai pandangan tersendiri terhadap berita, yang
bersumber pada bagaimana berita tersebut diproduksi dan bagaimana kedudukan
wartawan dan media bersangkutan dalam keseluruhan proses produksi berita.
Paradigma pluralis percaya bahwa wartawan dan media adalah entitas yang
otonom dan berita dihasilkan haruslah menggambarkan realitas yang terjadi di

14
lapangan. Sementara paradigma kritis mempertanyakan posisi wartawan dan
media dalam keseluruhan struktur sosial dan kekuatan sosial yang ada dalam
masyarakat. Pada akhirnya posisi tersebut mempengaruhi berita, bukan
pencerminan dari realitas yang sesungguhnya. Perbedaan tersebut dapat
digambarkan selengkapnya sebagai berikut:

PANDANGAN PLURALIS PANDANGAN KRITIS

FAKTA

Ada fakta yang real yang diatur oleh Fakta merupakan hasil dari proses
kaidah-kaidah tertentu yang berlaku pertarungan antara kekuatan ekonomi,
universal. politik, dan sosial yang ada dalam
masyarakat.
Berita adalah cermin dan refleksi dari Berita tidak mungkin merupakan
kenyataan. Oleh karena itu, berita cermin dan refleksi dan realitas, karena
haruslah sama dan sebangun dengan berita yang terbentuk hanya cerminan
fakta yang hendak diliput. dari kepentingan kekuatan dominan.

POSISI MEDIA

Media adalah sarana yang bebas dan Media hanya dikuasai oleh kelompok
netral tempat semua kelompok dominan dan menjadi sarana untuk
masyarakat saling berdiskusi yang tidak memojokkan kelompok lain.
dominan.
Media menggambarkan diskusi apa Media hanya dimanfaatkan dan
yang ada dalam masyarakat. menjadi alat kelompok dominan.

15
POSISI WARTAWAN

Nilai dan ideologi wartawan berada di Nilai dan ideologi wartawan tidak dapat
luar proses peliputan berita. dipisahkan dari proses peliputan dan
pelaporan suatu peristiwa.
Wartawan berperan sebagai pelapor. Wartawan berperan sebagai partisipan
dari kelompok yang ada dalam
masyarakat.
Tujuan peliputan dan penulisan berita: Tujuan peliputan dan penulisan berita:
eksplanasi dan menjelaskan apa adanya pemihakan kelompok sendiri dan atau
memburukkan kelompok. pihak lain.
Penjaga gerbang (gatekeeping) Sensor diri.
Landasan etis. Landasan ideologis.
Profesionalisme sebagai keuntungan. Profesionalisme sebagai kontrol.
Wartawan sebagai bagian dari tim Sebagai pekerja yang mempunyai
untuk mencari kebenaran. berbeda dalam kelas sosial.

HASIL LIPUTAN

Liputan dua sisi, dua pihak, dan Mencerminkan ideologi wartawan dan
kredibel. kepentingan sosial, ekonomi, atau
politik tertentu.
Objektif, menyingkirkan opini dan Tidak objektif, karena wartawan adalah
pandangan subjektif dari pemberitaan. bagian dari kelompok/struktur sosial
tertentu yang lebih besar.
Memakai bahasa yang tidak Bahasa menunjukkan bagaimana
menimbulkan penafsiran yang kelompok sendiri diunggulkan dan
beraneka. memarjinalkan kelompok lain.

16
Contoh analisis wacana kritis:
Judul: Analisis Wacana Kritis Pada Pemberitaan Tempo.CO Tentang Kematian
Taruna STIP Jakarta
Penulis: Genta Maghvira
Asal: Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Pendidikan, UNISSULA
Hasil dan Pembahasan :
Jenis Media Online
Nama Media Tempo.co
Judul Taruna STIP Tewas Dihajar Senior, Ini Kronologinya
Terbit Rabu, 11 Januari 2017, pukul 19:51 WIB
Isi TEMPO.CO,Jakarta-Seorang siswa tingkat satu di Sekolah Tinggi
Ilmu Pelayaran,Jakarta Utara, bernama Amirulloh Adityas Putra,
18 tahun, meninggal dunia setelah dianiaya oleh empat seniornya
di dalam asrama, Selasa malam, 10 Januari 2017. Ini kronologi
penganiayaan sadis yang dilakukan empat senior itu kepada
juniornya. "Pelaku menganiaya korban dengan cara memukul
perut, dada, dan ulu hati dengan tangan kosong," kata Kepala
Humas Polres Metro Jakarta
Utara, Komisaris M. Sungkono kepada wartawan pada Rabu, 11

Januari 2017.
 


Amirulloh diketahui meninggal pada Selasa malam sekitar pukul


22.30 WIB di dalam asrama. Korban dipukuli oleh empat terduga
pelaku yakni Sisko Mataheru (19), Willy Hasiholan (20), Iswanto
(21), dan Akbar Ramadhan (19). Para senior tahun kedua ini, tidak
hanya menyiksa Amirulloh, tapi juga lima taruna tingkat pertama
lain. Menurut Sungkono, tindakan sadis senior, yang tampaknya
biasa dilakukan pada juniornya, digagas oleh Sisko. Ia
mengungkapkan renananya
untuk mem-bully juniornya itu pada ketiga rekannya setelah
latihan drum band.

17
Sekitar pukul 22.00, empat sekawan ini memanggil korbannya:
enam junior yang
belum satu semester menjadi taruna di sekolah pelayaran milik
Kementerian Perhubungan ini. Mereka diminta berkumpul di
Lantai 2, kamar M-205, Gedung
Dermotery Ring 4. Keenam junior diminta berdiri berjajar dan
para senior mulai prosesi bully mereka. Empat pelaku bergantian
menghajar junior di bagian dada, ulu hati dan perut. Masing-
masing korban mendapat serangkaian pukulan dari empat
seniornya. Tiba giliran Amirulloh mendapat pukulan Willy.
Karena kelelahan dan sakit, Amirulloh roboh ke dada Willy, yang
tengah memukulnya. "Pada pukulan terakhir yang dilakukan oleh
Willy, tiba-tiba korban ambruk ke dada pelaku," kata Sungkono.


 


Panik melihat korban lemas, pelaku kemudian mengangkat korban


ke atas ranjang. Saat itu korban sudah tak sadarkan diri. Para
pelaku melaporkan kejadian itu ke seniornya. Dokter pun sempat
memeriksa kondisi korban, namun sudah dinyatakan meninggal.
Menurut Sungkono, ini bukan kali pertama penganiayaan di
sekolah tersebut. Pada 2012 dan 2013 kejadian yang sama juga
menewaskan siswa di sekolah itu. Penyidik Polres Metro Jakarta
Utara dan Polsek Cilincing telah menetapkan empat tersangka.
"Semalam Kapolres Metro Jakarta Utara telah menetapkan
tersangka terhadap pengeroyokan korban," kata Kapolda Metro
Jaya Inspektur Jenderal Polisi M. Iriawan. Iriawan mengatakan
penyidik telah mengantongi alat bukti yang cukup untuk
menetapkan tersangka terhadap taruna senior STIP yang diduga
terlibat penganiayaan Amirullah. Kapolda Metro Jaya
mengungkapkan penyidik kepolisian juga telah melakukan olah
tempat kejadian perkara dan mengotopsi jasad Amirullah guna
memastikan penyebab kematian korban. Berdasarkan otopsi,

18
korban mengalami luka lebam pada bagian dada, perut dan ulu

hati diduga akibat benturan benda tumpul.
 Kementerian

Perhubungan memecat Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran


(STIP), Capt. Weku F. Karuntu akibat kejadian ini. Menteri
Perhubungan Budi Karya Sumadi juga memerintahkan Kepala
Badan Sumber Dana Manusia Kementerian Perhubungan untuk
membentuk tim investigasi internal. “Ini untuk menginvestigasi
mengapa kasus itu sampai terjadi lagi,” kata Budi.

1. Pendekatan utama dan dimensi yang digunakan:


Pendekatan Fairclough dalam menganalisa teks dianggap lengkap
karena berusaha menyatukan tiga tradisi yaitu:
1. Dimensi Tekstual (Mikrostruktural), meliputi: kohesi dan koherensi,
tata bahasa, dan diksi.
2. Dimensi Kewacanaan (Mesostruktural), meliputi: produksi teks,
penyebaran teks dan konsumsi teks.
3. Dimensi Praktik Sosial-Budaya (Makrostruktural), meliputi:
situasional, institusional dan sosial. Penelitian ini akan mengambil
ketiga dimensi tersebut untuk melihat hasil yang menyeluruh dari
bagaimana Tempo.co melakukan kontruksi realitas yang tertuang pada
teks berita ‘Taruna STIP Tewas Dihajar Senior, Ini Kronologinya.
2. Paradigma dalam analisis wacana kritis:
Paradigma penelitian ini adalah paradigma kritis. Everett M.
Roger, seperti dikutip oleh Eriyanto (2001), mengemukakan bahwa
‘media bukanlah entitas yang netral, tetapi bisa dikuasai oleh
kelompok dominan.’ Paradigma kritis percaya bahwa media adalah
sarana di mana kelompok dominan dapat mengontrol kelompok yang
tidak dominan, bahkan memarjinalkan mereka dengan menguasai dan
mengontrol media. Sehingga jawaban yang diharapkan dari

19
pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah adanya kekuatan-kekuatan yang
berbeda dalam masyarakat yang mengontrol suatu proses komunikasi.
Pada paradigma kritis, penelitian media massa lebih diletakkan
dalam kesadaran bahwa teks atau wacana dalam media massa
mempunyai pengaruh yang sedemikian rupa pada manusia. Seluruh
aktivitas dan pemaknaan simbolik dapat dilakukan dalam teks media
massa. Teks dalam media massa dipandang bukan realitas yang bebas
nilai.

20
BAB III
PENUTUP

Simpulan
Berdasarkan pemaparan makalah di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah
wacana memiliki maksud yang tersimpan dalam kalimat yang disampaiakan oleh
penulis atau penutur. Dan sebagai pembaca harus kritis dalam memahami sebuah
wacana. Dalam analisis wacana kritis terdapat pendekatan utama dalam analisis
wacana kritis, dimensi kritis, dan paradigma kritis. Halliday (1978) juga
menegaskan bahwa sesungguhnya bahasa bukan hanya terdiri atas kalimat,
melainkan juga terdiri atas teks atau wacana yang di dalamnya terdapat tukar-
menukar maksud dalam konteks interpersonal antara satu dengan yang lain.
Analisis wacana kritis (critical discourse analysis) merupakan pendekatan
sekaligus menjadi perangkat teknis yang digunakan para analisis wacana untuk
menyibak hal-hal yang tersimpan dalam wacana (teks).
Dengan pemahaman di atas, kita dapat meyakini bahwa analisis wacana
kritis diperlukan, baik sebagai ilmu maupun sebagai instrumen analisis bahasa,
terlebih pada kondisi banjir informasi saat ini. Sikap kritis diperlukan agar kita
mengetahui “makna dalam” dari sebuah tuturan yang disampaikan banyak pihak.
Kita pun tidak akan dibodohi dengan informasi-informasi palsu (hoax) karena
memiliki nalar ktiris dan mampu menelaah wacana dengan bai. Pada lain hal, kita
dapat mengetahui apa kepentingan dibalik tuturan tersebut hingga kita dapat
bersikap terhadap informasi tersebut.
Saran
Perlu dilakukan ulasan lebih lanjut dan detail terkait dengan analisis
wacana kritis. Dan diharapkan ada sebuah penelitian yang meneliti wacana kritis
untuk mendukung sumber penelitian berikutnya. Untuk pembaca harus lebih sikap

21
kritis diperlukan agar mengetahui “makna dalam” dari sebuah tuturan yang
disampaikan banyak pihak. Kita pun tidak akan dibodohi dengan informasi-
informasi palsu (hoax) karena memiliki nalar ktiris dan mampu menelaah wacana
dengan baik. Pada lain hal, kita dapat mengetahui apa kepentingan dibalik tuturan
tersebut hingga kita dapat bersikap terhadap informasi tersebut.

Daftar Rujukan
Anshori, Dadang S. Analisis Wacana Teori, Aplikasi, dan Pembelajaran. 2017.
Bandung: UPI Press.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
PT. Lkis Printing Cemerlang.
M.A.K Halliday dan Ruqaiya Hasan. 1992. Bahasa Konteks, dan Teks: Aspek
Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

22

Anda mungkin juga menyukai