Anda di halaman 1dari 9

Analisis Wacana Kritis

Oleh: Muh. Ilham Dhani Asriawan

 Defenisi dan Sejarah

Kata “wacana” banyak digunakan oleh berbagai bidang ilmu pengetahuan mulai dari ilmu bahasa,
psikologi, sosiologi, politik, komunikasi, sastra, dan sebagainya. Implikasinya defenisi dan batasan istilah
wacana sangat beragam. Kita dapat melihat beragamnya defenisi akan “wacana” dari beberapa tokoh:

Foucault mendefenisikan wacana “kadang kala sebagai bidang dari pernyataan, kadang kala sebagai
sebuah individualisasi kelompok pernyataan, dan kadang sebagai praktik regulatif yang dilihat dari
sejumlah pernyataan”. Guy Cook (Profesor Bahasa di King’s College London) mendefenisikan wacana
sebagai penggunaan bahasa dalam berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Halliday dan
Ruqaiya Hasan (teoritikus semiotika) mendefenisikan wacana sebagai satuan semantik bukan gramatikal.

Saya sendiri mendefenisikan wacana sebagai bangun teoritis abstrak yang maknanya dikaji dalam
kaitannya dengan konteks dan dan situasi komunikasi. Yang dimaksud dengan abstrak adalah wacana
belum dapat dikatakan sebagai perwujudan fisik bahasa. Perwujudan fisik bahasa adalah teks. Disini
saya membedakan spoken (lisan) dan written (tertulis). Konteks adalah latar belakang waktu, tempat,
dan suasana dari pembuat wacana.

Analisis wacana sebagai sebuah disiplin ilmu berkembang di tahun 1960-an. Perkembangan analisis
wacana sejalan dengan perkembangan bahasa.

 Bahasa-Wacana

Pada era modern, pembahasan mengenai bahasa menjadi sangat penting. Bahasa adalah medium
yang kita pakai untuk membentuk pengetahuan tentang diri kita dan dunia sosial, juga medium utama
yang digunakan dalam pembentukan dan penyampaian makna-makna kultural. Dalam analisis wacana,
bahasa tetap sebagai unit pengamatan utama. Hal ini dikarenakan sorotan utama dalam analisis wacana
adalah perepresentasian, bagaimana seseorang, kelompok,atau segala sesuatu ditampilkan melalui
bahasa. Seperti yang saya sebutkan diatas bahwa perkembangan wacana sejalan dengan perkembangan
bahasa, dapat diamati dari gagasan Hikam yang saya bandingkan dengan gagasan Lubis.

Hikam (Badara, 2014) membagi tiga pandangan dalam melihat perkembangan wacana, yaitu.
1. Pandangan positivisme-empiris, dalam pandangan ini bahasa sebagai jembatan antara manusia
dan objek di luar dirinya. Salah satu cirinya dari pemikiran ini adalah pemisahan antara
pemikiran dan realitas, pemisahan subjek dan objek bahasa. Jadi analisis wacana dimaksudkan
untuk menggambarkan tata urutan kalimat, bahasa, dan pengertian secara bersama. Titik
fokusnya adalah pada benar atau tidaknya bahasa secara gramatikal.
2. Pandangan konstruktivis, bahasa tidak hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objek
belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan, tetapi subjek sebagian
faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan sosialnya. Setiap pernyataan pada
dasarnya merupakan tindakan penciptaan makna, yakni pembentukan jati diri dari sang
pembicara. Oleh karena itu, wacana dimaksudkan sebagai bangun teoritis untuk mengurai
maksud dan makna tertentu.
3. Pandangan kritis, mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses
produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun instusional. Wacana dalam
kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi
makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang dapat menafsirkan secara bebas
sesuai dengan pemikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial
yang ada dalam masyarakat.

Sedangkan Lubis (2014) menjelaskan perkembangan bahasa dimulai dari:

1. era Yunani Klasik seperti Plato, Aristoteles, dan Kaum Sofis yang sangat mengandalkan logika
dan retorika. Di masa Abad Pertengahan adalah bagian dari Liberal Arts yang dari Trivium
(grammar,rhetoric,logic) dan Quadrivium (geometry, arithmetic, music, astronomy)..
2. era Filsafat modern, problem bahasa dapat kita telusuri melalui alur pemikiran tokoh
empiris seperti John Locke, David Hume, atau Thomas Hobbes yang menekankan bahasa
sebagai instrumen untuk mengungkapkan fakta atau representase. Fungsi bahasa sebagai
kopian realitas kemudian menjadi faktor penting bagi positivisme ilmiah yang mengidealkan
kepastian dan kebenaran pernyataan. Di era ini kaum positivis menerima dua model bahasa
yaitu bahasa faktual dan bahasa logis-matematis.
3. Gagasan positivis kemudian dikritisi dengan gagasan idealis yang beranggapan bahwa
realitas tidak dapat menentukan dirinya sendiri (Das ding an sich) tetapi dia dibentuk dari
idea atau ideologi dalam melihat dan memahami. Ada ideologi diantara bahasa dan realitas.
4. Gagasan Saussure dengan strukturalisme linguistik. Saussure menolak pandangan ahli
linguistik yang berargumen bahwa bahasa adalah cermin dari realitas yang ada dan menolak
arti penting diakronik (sejarah) dalam menentukan makna bahasa. Saussure pula yang
menekankan pentingnya struktur dalam berbahasa. Saussure memperkenalkan empat
konsep penting dalam strukturalismenya yaitu: langue dan parole, sintagmatik-
paradigmatik, sinkronik-diakronik, dan signifie-signifiant.
5. Bahasa kemudian bergeser pada ranah psikoanalisis yang dikomandoi oleh Jacques Lacan.
Lacan meminjam konsep kesadaran (ego, id, superego) yang dikemukakan oleh Freud. Bagi
Lacan, subjek manusia tidak mungkin ada tanpa bahasa, tetapi subjek tidak dapat direduksi
menjadi bahasa. Keduanya memiliki hubungan yang melingkar dimana bahasa menempati
posisi istimewa. Yang dimaksud dengan tidak dapat direduksi adalah diri tidak dapat
otonom, tidak utuh, dan tidak stabil. Menurut konsep bahasa Lacan, suatu penanda selalu
menandakan penanda lain, bukan petanda. Petanda telah berubah menjadi penanda. Tidak
ada yang bebas dari metaforisitas. Karna setiap penanda dapat menerima pemaknaan, maka
tidak pernah ada makna yang tertutup, tidak ada makna yang memuaskan.
6. Era fenomenologi-hermeneutika yang dikomandoi oleh Paul Ricour. Ricour menjadi
jembatan dari fenomenologi Husserl, ontologi Heidegger, dan Hermeneutik Gadamer.
Dalam fenomenologi hermeneutik, Ricoeur menekankan pentingnya pemahaman tentang
distanciation (pengambilan-jarak). Kembalinya hermeneutik kepada fenomenologi terjadi
melalui pengambilan-jarak. Setiap pemaknaan yang dilakukan oleh kesadaran melibatkan
saat pengambilan-jarak dari obyek yang diberi makna, pengambilan-jarak dari pengalaman
yang dihayati sambil tetap secara murni dan lugas tertuju kepadanya. Fenomenologi mulai
ketika kita memutus pengalaman yang dihayati dengan maksud memberi arti kepadanya.
Pengambilan jarak ini berhubungan erat dengan epoché, mengheningkan dan menjauhkan
prasangka dan referensi terdahulu yang berkaitan dengan fenomen, namun epoché dalam
pengertian non-idealis sebagai aspek dari pergerakan intensional kesadaran terhadap
makna. Epoché yang bertujuan mendapatkan pemahaman langsung dari fenomen dan
pengambilan-jarak dengan intensi memberi makna merupakan dua hal yang saling terkait
erat.
 Analisis Wacana Kritis

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pendekatan kritis memandang bahasa selalu
terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam membentuk subjek serta berbagai tindakan
representasi yang terdapat di dalam masyarakat. Analisis wacana kritis yang menggunakan pendekatan
kritis kritis menganalisis bahasa tidak saja dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkannya
dengan konteks. Konteks yang dimaksud adalah untuk tujuan dan praktik tertentu. Ada tiga dimensi
dalam analisis wacana kritis, yaitu text, discourse practice, dan social practice.

Analisis wacana kritis pun berutang budi kepada beberapa pemikir seperti Foucault, Gramsci,
Mazhab Frakfurt, dan Althusser. Foucault memberikan sumbangsih dengan gagasannya mengenai
power-knowledge. Gramsci berperan besar dalam teorinya mengenai hegemoni, dimana wacana
beroperasi memengaruhi khayalak bukan dengan kekerasan melainkan dengan cara halus dan diterima
sebagai kebenaran. Athusser memberi sumbangan dengan teori ideologi, dimana ideologi sebagai
praktik melalui pemosisian seseorang dalam posisi tertentu dalam hubungan sosialnya. Mazhab Frakfurt
dengan Habermas memberikan hermeneutik kritis dimana proses refleksi-diri menjadikan subjek
menjadi penutur yang sadar akan kebebasan-kebebasan dan ketergantungan-ketergantungannya yang
inheren dalam soal bahasa.

 Karakteristik Analisis Wacana Kritis


a. Tindakan
Karakteristik pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Dengan pemahaman
semacam itu wacana diasosiasikan sebagai bentuk interaksi. Ada dua efek dalam
memandang wacana dengan karakter ini yaitu: Pertama wacana dipandang sebagai sesuatu
yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyanggah,
bereaksi, dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai suatu yang diekspresikan secara
sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang diluar kendali atau diekspresikan diluar kesadarann.
b. Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks wacana, seperti latar, situasi, peristiwa,
dan kondisi. Wacana dalam hal ini diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks
tertentu. Wacana kritis mendefenisikan teks dan percakapan pada situasi tertentu.
Beberapa konteks yang penting karena berpengaruh terhadap produksi wacana. Pertama,
jenis kelamin, umur, pendidikan, kelas sosial, etnik, agama. Kedua, setting sosial tertentu
seperti tempat, waktu, posisi pembicara dan pendengar dan lingkungan fisik.
c. Histori
Salah satu aspek yang penting untuk bisa mengerti suatu teks ialah menempatkan wacana
tersebut dalam konteks historis tertentu
d. Kekuasaan
Setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan, atau apapun, tidak dipandang
sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan
kekuasaan. Kekuasaan, hubungannya dengan wacana dalah sebagai suatu kontrol. Kontrol
tidak darus dalam bentuk fisik dan langsung, tetapi juga secara mental dan psikis.
e. Ideologi
Ideologi memiliki dua pengertian yang bertolak belakang. Secara positif, ideologi dipersepsi
sebagai suatu pandangan dunia yang menyatakan nilai kelompok sosial tertentu untuk
membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Secara negatif, ideologi dilihat
sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara
memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial. Ideologi menjadi konsep
sentral dalam analisis wacana kritis karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari
suatu praktik ideologi atau pencerminan ideologi tertentu.
 Pendekatan dalam analisis wacana kritis

Theo Van Leeuwen dalam Text and Practices: Freadings in Critical Discourse Analysis memberikan
dua pendekatan dalam analisis wacana kritis yaitu (a) proses pengeluaran (exclusion), dan (b) proses
pemasukan (inclusion).

a) Ekslusi.
Ekslusi adalah proses pengeluaran yang menitikberatkan pada kelompok atau aktor yang
dikeluarkan dalam suatu teks, serta strategi wacana yang digunakan untuk itu. Beberapa
strategi wacana yang termasuk dalam inklusi seperti berikut:
 Pasivasi
Bentuk pemakaian kalimat pasif. Melalui kalimat pasif, aktor tidak dapat dihadirkan
teks. Konsekuensi negatif dari pola kalimat ini ada dua yaitu Pertama, aktor/pelaku
hilang dari pemberitaan. Kedua, Pembaca menjadi menjadi tidak kritis karena
keterfokusan pada objek atau korban bukan pelaku.
Contoh:
Aktif: TNI menembak seorang mahasiswa yang demonstrasi hingga tewas
Pasif: seorang mahasiswa tewas tertembak saat berdemonstrasi
 Nominalisasi
Sesuai dengan namanya, strategi ini berhubungan dengan mengubah kata kerja
(verba) menjadi kata benda(nomina). Umumnya dilakukan dengan memberi
imbuhan “pe-an”. Kata nomina ini bisa hadir mandiri dalam kalimat.. Kata nominasi
tidak hanya bisa menghilangkan subjek, namun juga dapat mengubah makna
kalimat ketika diterima khalayak. Hal ini berhubungan dengan transformasi dari
bentuk kalimat aktif. Didalam kalimat aktif selalu membutuhkan subjek dan
berbentuk kata kerja. Efeknya wacana yang bermakna tindakan berubah menjadi
bermakna peristiwa.
Contoh:
Verba: Anggota Polisi X tidak membayar saat makan di warung padang
Nomina: lagi-lagi terjadi makan tidak bayar di warung padang
 Penggantian anak kalimat, Penggantian anak kalimat ini bukan hanya bisa dipakai
untuk menghilangkan aktor, namun juga bisa menjadi pengganti aktor. Hal ini
dilakukan oleh wartawan karena wartawan menganggap pembacanya tahu siapa
aktor yang dimaksud. Karena dianggap tahu itulah, untuk efesiensi kata, maka aktor
dihilangkan. Perubahan tersebut mungkin tidak disadari oleh penulisnya, namun
membuat aktor menjadi tersembunyi dalam kalimat.
Contoh:
Tanpa Anak kalimat: Anggota Menwa memukul seorang mahasiswa yang
berdemonstrasi hingga Tewas
Anak Kalimat: Untuk mengendalikan demonstrasi mahasiswa, tindakan kekerasan
terjadi. Akibatnya seorang mahasiswa tewas
b) Inklusi.
Sesuatu peristiwa atau seseorang aktor sosial bisa saja ditampilkan dalam teks secara
mandiri, sebagai suatu peristiwa yang unik dan khas, tetapi bisa juga dibuat kontras dengan
menampilkan peristiwa atau aktor lain dalam teks. Hadirnya inklusi bisa menjadi penanda
baik mengenai bagaimana suatu kelompok atau peristiwa direpresentasikan dalam teks.
Penghadiran kelompok atau peristiwa lain itu secara langsung ingin menunjukan bahwa
kelompok itu tidak bagus dibandingkan dengan kelompok lain. Ada beberapa macam
strategi wacana yang dilakukan ketika sesuatu, seseorang, atau kelompok ditampilkan
dalam teks, yakni:
 Diferensiasi-Indeferensiasi, Yakni dengan cara menghadirkan dua aktor yang
berbeda dalam suatu pemberitaan. Strategi wacana tersebut dilakukan untuk
membandingkan dan mengkontraskan. Namun, hadirnya aktor yang berbeda
tersebut tidaklah mengurangi arti yang ingin dikomunikasikan kepada khalayak.
Contoh:
Indeferensiasi: Buruh Pabrik L sampai kemarin masih melanjutkan mogok
Diferensiasi: Buruh pabrik L sampai kemarin masih melanjutkan mogok. Sementara
tawaran direksi yang menawarkan perundingan tidak ditanggapi oleh buruh
 Objektivasi-Abstraksi, Strategi wacana ini berhubungan dengan pertanyaan apakah
informasi mengenai suatu peristiwa atau aktor sosial ditampilkan dengan memberi
petunjuk yang konkret ataukah yang ditampilkan adalah abstraksi.
Objektiv: Mahasiswa telah dua kali melakukan aksi damai
Abstrak: mahasiswa telah berulang kali melakukan aksi damai
 Nominasi-Kategorisasi, Dalam pemberitaan mengenai aktor atau permasalahan
seringkali terjadi pilihan apakah aktor tersebut ditampilkan apa adanya, ataukah
yang disebut adalah kategorisasi dari aktor sosial tersebut. Kategoriasi ini bisa
bermacam-macam, bisa berupa agama, status, bentuk fisik, dan yang lainnya.
Nominasi: seorang pria ditemukan tewas, diduga sebelumnya diperkosa
Kategori: seorang pria tampan ditemukan tewas, diduga sebelumnya diperkosa
 Nominasi-Identifikasi, Strategi wacana ini hampir mirip dengan kategorisasi, namun
dalam identifikasi proses pendefiniasasian itu dilakukan dengan memberi anak
kalimat sebagai penjelas. Ada dua proposisi, proposisi kedua merupakan penjelas
dari proposisi pertama. Umumnya dihubungkan dengan kata hubung: yang, dimana.
Pemberian anak kalimat ini dapat memberikan sugesti makna tertentu, karena
umumnya berupa penilaian atas seseorang, kelompok atau tindakan tertentu.
Nominasi: seorang anak kecil ditemukan pingsan, diduga sebelumnya baru saja
diputuskan
Identifikasi: seorang anak kecil, yang seering nonton film Horor, ditemukan pingsan .
diduga sebelumnya baru saja diputuskan
 Determinasi-Indeterminasi, Dalam pemberitaan seringkali aktor ata peristiwa
disebutkan secara jelas, tetapi seringkali juga tidak jelas (anonim). Anonimitas ini
bisa jadi karena wartawan belum mendapatkan bukti yang cukup untuk menulis,
sehinga lebih aman untuk menulis anonim. Bisa jua karena ketakutanstruktural
kalau kategori yang jelas dari seseorang aktor sosial tersebut disebut dalam teks.
Pembentukan anonimitas ini akan menimbulkan kesan yang berbeda ketika diterima
khalayak.
Indeterminasi: Ketua Umum BEM X disebut—sebut terlibat kasus amoral
Determinasi: Orang Dekat WR 3 Universitas Hampir Hampir disebut—sebut terlibat
kasus amoral
 Asimilasi-Individualisasi, Stategi wacana ini berhubungan dengan pertanyaan,
apakah aktor sosial yang diberitakan ditunjukan dengan jelas kategorinya ataukah
tidak. Asimilasi terjadi ketika dalam pemberitaan bukan kategori aktor sosial yang
spesifik, namun komunitas atau kelompok sosial dimana seseorang tersebut berasal.
Asimilasi pada dasarnya adalah perangkat bahasa yang seakan akan terjadi
generalisasi. Sebaliknya dalam individualisasi seakan-akan terjadi spesialisasi.
Individualisasi: Alda, Mahasiswi FKM, tewas terlindas mobil polisi yang dikendarai
oleh Rikar, seorang polisi, dalam demonstrasi di Cendana kemarin
Asimilasi: mahasiswi tewas terlindas mobil polisi dalam demonstrasi di Cendana
kemarin
 Asosiasi-Disosiasi, Strategi wacana ini berhubungan dengan pertanyaan apakah
aktor atau suatu pihak ditampilkan sendiri ataukah ia dihubung-hubungkan dengan
kelompok lain yang lebih besar. Asosiasi menunjuk pada pengertian ketika dalam
teks, aktor sosial dibunungkan dengan asosiasi atau kelompok yang lebih besar,
dimana aktor sosial tersebut berada.
Disosiasi: sebanyak 40 orang muslim meninggal dalam kasus Makassar
Asosiasi: umat Islam dimana-mana selalu menjadi sasaran pembantaian. Setelah di
Bosnia, sekarang di Ambon. Sebanyak 40 orang meninggal dalam kasus Makassar.
 Pendekatan fokus pada posisi aktor

Salah satu perhatian Sarah Mills terhadap sttrategi wacana ialah bagaimana pembaca ditampilkan di
dalam teks. Strategi tersebut berkaitan dengan pertanyaan bagaimanakah pembaca mengidentifikasi
dan menempatkan dirinya dalam penceritaan. Pada akhirnya cara penceritaan dan posisi-posisi yang
ditempatkan dan ditampilkan dalam teks ini membuat satu pihak menjadi legitimate dan pihak lain
illegitimate. Mills berpandangan, dalam suatu teks posisi pembaca sangatlah penting dan haruslah
diperhitungkan dalam teks. Menurut Mills, bahwa teks merupakann suatu hasil negosiasi antara penulis
dan pembaca. Dalam membangun teorinya mengenai posisi pembaca, Sara Mills berdasarkan teori
ideologi yang dikemukakan oleh Althusser dan teori kode budaya oleh Barthes.
Konteks Penulis Teks Konteks Pembaca

Ideologi + Kode Budaya Ideologi + Kode Budaya

Anda mungkin juga menyukai